Magi sepenuhnya adalah mahakarya Shinobu Ohtaka. Fiksi ini diperuntukkan hanya untuk kesenangan batin. Tidak ada keuntungan apa pun yang diperoleh.
Satu hilang, satu menunggu © Imorz
Dunia masih harus menyusun kembali pundi-pundi yang tercerai-berai; di pijakan rumput ini Jafar menatap langit seakan berharap ada yang membumi—Jafar ingin itu Sinbad.
[ #MariBerpuisi ]
Melanjutkan sisa kehidupan dengan tinggalan jiwa hanya seperempat, sisanya terkikis waktu; waktu dan kenyataan yang zalim. Ketika dunia sedang sibuk membenah diri—dan persiapan ancaman yang akan datang, ia termenung, di atas pijakan sabana, dengan cakrawala membentang luas. Jafar menengadah, pelupuknya turun merasakan alam (padahal ia tahu alam bersekongkol dengan jahatnya skenario Dewa) menahan bait-bait kata yang ingin diteriakkan. Dua tangan yang biasa satu kini terbentang, entah ingin memeluk siapa.
Berhenti. Berhenti.
Tidak bisa berhenti.
Ia tidak mampu berhenti memikirkan satu insan. Mengusik isi kepalanya lebih dari dokumen anggaran keuangan atau laporan keluhan rakyat, mirip dengan keadaan ubun-ubun digerogoti gigi monster laut selatan. Cara mengusiknya cukup lucu, ditampilkannya layar bergerak berbagai momentum syahdu zaman dulu; dari yang manis hingga beringas, dari yang berkabut hingga terang-benderang, sampai Jafar meneteskan air mata, baru dia berhenti.
Semakin ingin Jafar menghapus ingatannya, semakin tidak becus ia dalam menjalani sisa hidup. Urakan; Jafar memeluk dirinya yang berubah urakan. Ia cukup bersyukur telah mengenakan kembali jubahnya dan tidak lagi mengenakan pakaian serampangan yang ia dapat ketika Sinbad berada di puncak kejayaan. Jubahnya, kenangannya, Sinbad. Oh, Sinbad. Alangkah malangnya; Jafar atau kau?
("Aku ingin bersama dirimu selamanya."
Jafar berhenti di ambang pintu, tangannya berisikan tumpukan dokumen. Berbalik, ia menemukan Rajanya masih duduk di kursi kerja seraya menyatukan jemari. Senyumnya menggoda, oh tentu saja, dia Sinbad. Jafar turut menggoda.
"Hati-hati jika ingin menggunakan kata selamanya, Sin.")
Kini bukan hitam lagi, melainkan awan yang berarak, dan biru langit; hampa. Jafar ingin menemukan setidaknya satu titik hitam—atau putih, yang turun, dari atas sana, membumi. Kemudian, merengkuh, mencium, bersama membangun kembali negeri yang diidamkan dengan saling rangkul-merangkul. Tapi semuanya biru. Biru yang lebih terasa seperti hitam. Ironis.
Tidak bisa berhenti. Sama sekali.
Rerumputan membelai, jubah terombak. Jafar jatuh. Ia meraung; Sinbad, Sinbad.
Harus berapa lama lagi?
.
.
Kiamat sudah
Aku tidak lihat kau di mana-mana
Di tanah, di air, di udara, di api
Aku bongkar belahan bumi lembar demi lembar; ketika itu masa membentakku, ia bilang aku terlalu tamak
Tapi aku ingin menemukan dirimu; yang lenyap entah dilebur siapa
oleh apa
Barang secuil anggota tubuh yang tersisa di antara pundi-pundi yang terurai
Justru tunggu kudapat
Nadi timbul di ceruk leher; aku bukan pelacur lara!
Aku tidak ingin menggenggam tunggu
Aku tidak mau bersanding dengan keparat itu
Hidup dengan menunggu lebih nestapa daripada mati
Oh, benar-benar kiamat sudah
.
.
.
a/n: fanfiksi pertama saya di fandom magi. Semoga berkenan dan terima kasih sudah membaca!
