It just come to me
But i don't know why must me?
It sincerely look alike a lie
But it's a reality
Just open eyes and heart
Can it just flow through?
.
.
.
Can It Be A Love?
Shingeki no Kyojin (c) Isayama Hajime
Warning : OOC, Typo(s), AU, ORZ, DLL
T+ For The Religion Politics. Just click left arrow in the right side of
screen, if you don't like or can'trespect about it; Multi Chapters ; Alternate Universe
.
.
.
Chapter 1 : Ijtima'
.
.
"Ustadzah.." seorang anak berambut pirang menarik-narik ujung dress seorang perempuan berhijab bermata emerald. Anak lelaki berambut pirang itu terlihat ketakutan dan agak risau. Terlihat dari mimik wajah yang penuh peluh dan kilatan mata yang menunjukkan kerisauan yang ada. Ia tak bisa diam- terlihat sangat ketakutan.
"Armin, kau kenapa?" tanya perempuan yang disebut ustadzah tersebut. Mengalihkan pandangannya yang sedari tadi terlihat serius menghadap sebuah buku diatas meja kearah wajah mungil Armin. Kulit tan pada telapak tangannya mengelus pucuk kepala Armin lembut dengan sentuhan senyuman teduh pada wajahnya- berusaha menutupi kerisauan yang terbersit pada hatinya.
"di-di luar.. ta-tadi a-aku dengar ada su-suara ribut. Aku takut itu orang atheis" Armin teringat, kejadian beberapa tahun lalu...
- Ketika pertama kali ia masuk ke sekolah islam ini. Tepat juga ketika keluarganya pertama kali masuk Islam. Dan di Amerika yang kebanyakan tak beragama atau atheis, pertama kali diberi agama yang mempercayai tuhan.
Terlebih bagi orang atheis, tuhan hanyalah sebuah intensitas belaka tak berwujud atau tak berbentuk yang sangat tak logis untuk dipikirkan—naif memang pemikiran mereka. Hanya karena tak dapat melihatnya bukan berarti tuhan itu tak ada. Walau memang tak terlihat, kita dapat merasakannya bukan. Dan pengajaran seperti ini yang sering dianut agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Buddha, Hindhu ataupun Kong Hu Cu. Atau mungkin ada agama yang lain.
Dan seperti yang kalian ketahui. Hal pertama pasti selalu memunculkan pro dan kontra. Dan itulah yang terjadi disini. Islam diultimatum besar-besaran. Masjid-masjid dan kitab-kitab dibakar. Para pengikut diancam—dipaksa untuk murtad keluar dari agama. Tapi tak lama, akhirnya Islam diterima lebih baik—ya mungkin untuk sementara atau kita hanya bisa berdoa untuk selamanya.
Dan Armin yang pernah merasakan ultimatum itu. Merasa pahit dan getir. Tapi ia tak ingin keluar dari agama seperti yang dilarang gurunya, yang bila kita telah keluar dari agama—kita tak dapat kembali lagi. Adil bukan? Memang siapa yang mau melihat agama dipermainkan.
"Tenang, Armin. Kita sudah berdamai bukan. Tak mungkin ada yang akan membuat keributan. Mungkin aku akan kesana sebentar." Ustadzah bername tag Eren Jaeger itu terlihat menenangkan. Walau ia sendiri juga sedikit merasa risau. Berbekal tongkat baseball yang disimpan untuk jaga-jaga—yang sesungguhnya ia meminjam dengan izin setengah hati dari si empunya tongkat. Salah satu muridnya sendiri—berkata ini hanya untuk jaga-jaga.
Ia mengendap melalui pintu belakang madrasah yang menyatu dengan bangunan masjid. Perlahan dengan sedikit menaikkan roknya keatas agar tak menghambat rencana pelarian diri, apabila ada kemungkinan terburuk—sekaligus agar dapat menghajar lebih mudah. Possible.
Ketika ia tepat disamping pintu keluar. Ia tarik napas, lalu hembuskan, tarik lagi, hembuskan. Dan – BAA. Tak ada apa-apa. Uh... ekspetasinya untuk menjadi orang heroik sementara kandas. Ya berlaku heroik tetapi akhirnya k.o juga. Tidak ada gunanya.
Tapi delusi kejayaanya, sementara terhenti melihat sesosok makhluk bernyawa yang terjerembab diantara sampah yang tercecer dengan tong sampah yang terguling kebawah disampingnya.
"Hey! Kau tak apa?" Eren reflek berlutut didekatnya lalu menggoyang-goyangkan bahu makhluk didepannya itu. Tak ada respon. "Hey! Kau—Hmppf" belum berkata-kata Eren segera digeret oleh makhluk yang berkelamin lelaki diumur antara SMA atau kuliah mungkin. Dan terlihat lebih tua dari Eren. Mengingat Eren hanyalah anak yang terpaksa berhenti sekolah. Atau bisa dibilang tak bersekolah. Hanya karena kecintaannya dalam mengajar Al-Quran—kitab suci umat Islam.
"Ssh diam—kau mau mati" suara bariton rendah itu berdesir diatas kerudung Eren, tepat dibawahnya leher Eren yang masih tertutup berada. "Hmmph.. pphhff" Eren hanya meronta tak jelas. Tiba-tiba saja mulutnya dibungkam oleh telapak tangan pemuda itu. Dan dalam... dekapannya. Tidak, Eren tak dapat berpikir. Ia hanya berpikir bahwa sekarang ia berada dalam lubang dosa. "Urgh.. bukan muhrim..." pikir Eren agak linglung. Ia terlalu pusing untuk mencerna semua hal ini sekaligus.
Kkhkk.. Eren menggigit jemari yang menghalangi mulutnya itu. Sontak pemuda mebelalak kaget. Ia tarik tangannya. Menghempas-hempaskannya naik turun seperti kipas tangan berharap agar tangannya bisa meregang mengurangi rasa sakit. "Kau..." pemuda itu menyipitkan mata sipitnya. Lebih sipit begitu.
"Apa yang kau lakukan? Dasar hidung belang, apa yang kau cari?—Heii!"
"Kau tak bisa diam, cerewet. Kau tak bisa baca situasinya?" lagi-lagi Eren diseret kedalam dekapan pemuda itu—lagi. Tapi sekarang ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ughh.. keluh Eren dalam hati ketika mengetahui perubahan yang tiba-tiba dan aneh ini.
Tiba-tiba dari arah luar gang. Terdengar keributan yang sangat memekakkan telinga. Suara denging sepeda motor x-trail pemula yang terdengar menderita. Suara teriakan sumbang yang bernada memerintah. Ditambah suara barang-barang yang dihancurkan. Pot, tong sampah atau apapun itu yang bagi mereka bisa hancurkan.
"Maksudmu itu?" Eren bertanya lirih. Keringat dingin tanpa terasa meluncur di wajahnya. Ini hampir sama dengan kejadian ultimatum itu. Eren takut, ia teringat bahwa santri atau murid-muridnya masih di masjid itu. Atau mungkin kosong? Mengingat ia keluar diwaktu jam sekolah hampir berakhir. Ia hanya bisa berharap masjidnya tak apa.
"Kau melihatnya?"
"Tidak."
"Dimana dia?"
"Setahuku tadi ia disekitar sini. Seharusnya dia sudah tak kuat lagi bukan? Hehehe"
Suara-suara seperti saling mencari buronan penting bersahut-sahutan. Mencari seseorang yang tidak dapat mereka temukan—karena memang sosok yang mereka cari itulah yang sekarang menyekap Eren dalam dekapan hangatnya—ahem. Eren merasa beruntung sekaligus tak beruntung. Beruntung karena entah—ia sesungguhnya tak terlalu mengerti tapi ini perasaan yang sangat menyamankan dirinya. Dan untuk tak beruntung. Kalian pasti mengerti situasinya.
"Baiklah, dia tak ada disini!"
"Kita cari ke tempat lain!.."
".. dan bila kita menemukannya. Kita jadikan dia makanan anjing."
"Hahahaha"
Grup paduan suara dadakan itu. Perlahan pergi meninggalkan kesunyian setelah koor ultimatum kepada yang merasa bersangkutan. Yang sekarang bersangkutan, ternyata hanya berdiam diri. Sementara matanya terus menelusur keluar gang kearah jalan. Harap-harap agar tak ada salah satu dari mereka masih tertinggal lalu menemukannya dan boom—ia dihajar lagi.
"Sudah bukan! Lepaskan aku!" Eren meronta lebih keras. Yang akhirnya disetujui oleh pelakunya. Eren berdiri lalu berjalan keluar dari gang sembari menepuk-nepuk bajunya yang terlihat hampir sama lusuhnya dengan tersangka yang hampir menggeretnya dalam masalah.
Perlahan, ia menunjukkan gelagat aneh. Sementara si pelaku yang belum diketahui namanya hanya meperhatikannya datar sembari membersihkan baju yang ia pakai sekedarnya. Hanya menepuk-nepuknya, berharap paling tidak menghilangkan sedikit lusuh yang terlihat. "Tidak, bau—bau selokan." Ngiinggg... dan seakan-akan tempat itu terasa lebih hening. Si pelaku menatapnya tajam.
"Kau, habis dari selokan" demi bau kaus kaki Eren yang terasa 2 kali lipat lebih wangi. Eren sangat berani untuk mengucapkan kata-kata frontal dengan wajah risih seperti itu. Karena memang itu adalah 'kenyataan' yang terjadi, si pelaku hanya mengangguk pelan. "Najis! Tidak!" Eren memekik horror memandangi dress panjangnya.
"Tadi, aku terpaksa bersembunyi dari mereka di selokan. Karena kupikir itu akan berhasil" Ia hanya menunduk. Eren hanya menatapnya miris. "Kau tak apa? Tadi ketika di gang aku melihat tanganmu terluka." Nada suara Eren merendah.
"Kau tak mentertawakanku?" Orang ini melihat Eren tajam. Tak percaya. Eren merasa aneh. Orang ini ingin ditertawakan?
"pfft—sebenarnya tidak, tapi itu tadi lucu. Dan dalam agamaku, mentertawakan orang yang baru saja tertimpa musibah itu adalah hal tabu yang menyebabkan dosa. Kau tau, itu adalah hal yang tak sopan." Eren melihat kearah tanah. Mantel pemuda itu rupanya. Tergeletak di atas tanah. Sangat kotor dan lusuh. Eren semakin miris melihatnya. Ia ambil mantel itu, melipatnya lalu menyodorkannya ke arah pemuda itu.
"Ini. Oh ya, namamu siapa?" tak ingin merasa seperti orang asing. Eren membuka percakapan.
"Namaku Rivaille." Orang itu menerima sodoran tangan Eren. "Namamu?"
"Oh, namaku Eren. Eren Jaeger. Kau bisa panggil aku Eren. Walau kita baru bertemu" kata-katanya yang terakhir terdengar lebih pelan, dengan Eren yang tiba-tiba membalikkan wajahnya menghadap arah lain.
"Eren bo—"
"Rivaille, bajumu itu sungguh kotor. Bagaimana kau mau mampir ketempatku untuk mengganti bajumu" entah Eren itu esper atau apa. Tapi hal inilah yang sebenernya Rivaille ingin katakan. Ia hanya mengangguk melihat Eren sudah mengerti keinginannya.
.
.
.
"Ini." Eren menyodorkan pakaian—tidak, setelan- tidak, Rivaille tak tau nama baju ini? Berlengan panjang dan berwarna putih dan sebuah celana panjang semata kaki- dan warna putih juga. Rivaille menatapnya aneh. Apakah ia sangat begitu terobsesi dengan warna putih melihat dirinya juga telah berganti baju dari baju sebelumnya— yang berwarna putih.
Dan yang paling terlihat adalah- perubahan sikapnya, ia terlihat lebih dingin. "Cepat, mandi sana. Kamar mandi pria belok kiri disana. Kau membawa najis bila lebih lama berdiri disini." Eren mendorong tubuh Rivaille keluar dari sebuah tempat yang baru saja ia kunjungi. Sangat besar, dominan warna putih dimana-mana ditambah banyak pajangan berukiran tinta emas didinding-dindingnya dan karpet kasar setengah halus terbentang lebar di lantai dan. Tempat apa ini? Ini pertama kalinya Rivaille melihat tempat seperti ini.
"Tunggu, Eren" Rivaille menyentakkan kakinya kelantai. Membuat ia berhenti lalu membalikkan tubuh Eren. Mendorongnya, menghantam dinding di belakangnya. Lalu mencengkram pundak Eren kuat-kuat.
"Ini, tempat apa?"
.
.
.
A/N : Hola~ Bertemu kembali dengan saya! - Ray Bellatrix - Author abal yang sangkin abalnya sampe' kena WB berkepanjangan *kais lantai.
Dan akhirnya karena masih WB dan memaksakan nulis ide yang ada. dan voila jadilah fic ini. sumpah, pengen cliffhanger sekarang. padahal ya takut ketinggian. dan saya gak ngerti mau ngomong apa lagi. karena saya sudah banyak salah yang tak terhitung. ok, buat orang-orang yang kurang politik-agamanya. harap undur diri. jangan tanya kenapa saya ngerti ginian. karena saya bisa dibilang paling sensitif kalo masalah agama-agama beginian.
Ijtima' Itu artinya Pertemuan. ya itu dari bahasa arab di google translate. (=v=")v
Oke, bila ada kesalahan dalam hal apapun tolong beritau saya~ Arigatou~
Dan review berupa kritik dan saran sangat diterima. kecuali flame. Tidak terima kasih. cerita saya terlalu jelek dalam arti sesungguhnya untuk diflame *ketawa. Oke, Minna Sayonara.
Respect,
Ray Bellatrix
