.

"Eren, kau yakin?" itu suara Erwin. Akhir-akhir ini dia sering menemui Eren hingga larut malam. Entah Erwin—perwalian murid, sejenis ketua OSIS—mengajak Eren kemana. Yang jelas, ketika Eren kembali, aku mencium bau obat walau tersamarkan wangi lily.

"—Ya." jawaban Eren terdengar ragu bagiku.

Kemudian pintu tertutup, meniadakan cahaya yang tadi sempat menyusup masuk ke kamar kami. Gelap. Eren sepertinya tak berniat menyalakan lampu. Kudengar langkahnya terseok hingga tubuhnya ambruk di atas ranjangnya.

"Senpai?"

Aku yang berbaring memunggunginya tidak menjawab. Kau lelah, bocah. Tidurlah.

"Rivaille-Senpai, apa Senpai benar-benar sudah tidur?"

Dasar keras kepala. Bocah tetap saja bocah. Sudah lelah begitu masih mau bicara deganku.

Lama tak kujawab, terdengar dalam gelap Eren menghela napas kasar, "Ya sudahlah."

Aku yakin dia menyerah dan bersedia memejamkan matanya. Tidurlah, Eren. Selamat malam.

Mimpi indah, ya.

.


Shingeki no Kyojin by Hajime Isayama

.

Haebaragi (Sunflower)

Hurt(maybe), AU! Modern's Life(?), Gaje

Byun's plot

-RiRen-


.

Eren Jaegar. 18 tahun. Aku mengenalnya 2 tahun lalu, saat kami sama-sama masuk ke Universitas Shina, Universitas khusus orang-orang dengan nilai akademik diatas rata-rata. Shina menerapkan sistem asrama 4 tahun dan lulus dengan jaminan pekerjaan yang mapan.

Eren memilih kelas akselerasi tiga tahun sekaligus saat Sekolah Menengah Atas dan lulus dengan nilai terbaik. Ia tiga tahun lebih muda namun kamampuannya sejajar denganku, Erd, Petra, Auruo, dan Gunter.

Eren selalu nampak ceria, mudah bergaul, penuh semangat, memiliki rasa optimisme dan rasa ingin tahu yang kuat. Semua orang menyukainya, semua ingin dekat dengannya. Eren seperti matahari dalam teori heliosentris.

.

Namun, perlahan-lahan, cahayanya meredup.

.

Entah beruntung atau tidak, aku sekamar dengan Eren. Alasannya agar kami bisa saling bersimbiosis mutualisme. Eren yang urakan bisa belajar dariku yang tidak suka berantakan. Aku yang suram bisa tersentuh hangatnya semangat Eren. Alasan Petra.

Well, dia benar.

Sesungguhnya aku tak suka orang cerewet dengan rasa ingin tahu tinggi seperti Eren. Aku bingung. Tak mengerti. Penasaran. Eren terlalu bertolak belakang denganku. Kami seperti definisi Yin-Yang, Rwa Bhineda.

Namun hal itu justru membuatku selalu ingin memperhatikannya, menyelidiki lebih jauh kepribadian Eren Jaegar. Tanpa sadar, setahun kemudian kudapati diriku telah terjerat cahayanya.

Terlalu dalam. Hingga sedikit saja ia meredup, aku akan segera tahu.

Eren masih disini. Ia ceria seperti biasa, secerewet biasanya, masih dengan keingintahuan yang besar. Dan aku juga masih tetap Rivaille yang biasa. Acuh tak acuh. Dengan tatapan datar andalan.

Setidaknya, semua berpikir begitu.

Tak ada yang sadar, bahwa disela tawanya, ada batuk kecil yang terlewat.

Tak ada yang tahu, bahwa dibalik ocehannya, ada tarikan napas yang janggal—napas yang tersengal.

Tak ada yang menyadari, bahwa tatapan ingin tahunya bersanding dengan tatapan lelah.

Dan tak ada yang mengerti, rasa sakit yang ia rasakan. Yang ia sembunyikan.

Eren seperti bunga yang layu perlahan-lahan.

Dan aku hanya diam, berpura-pura tidak tahu—

.

—karena itulah yang Eren inginkan.

.

.

Pagi pergi secepat ia datang. Sekitar pukul lima, aku terbangun mendengar suara batuk dari kamar mandi. Seberkas sinar lampu kamar mandi menerobos dan menyinari jemari kakiku. Eren terbatuk cukup keras. Kudengar dia terengah-engah lalu suara air mengalir dari wastafel.

Mataku tak bisa kupejamkan.

Eren mengerang, seperti putus asa. Terdengar pedih, rasanya aku ikut tersayat. Ingin aku menghampirinya tapi urung melihat lampu kamar mandi yang kembali redup.

Dalam keremangan, Eren keluar dari kamar mandi dengan langkah lemah. Melewati ranjangku, ia menoleh sebentar. Ketiadaan cahaya membuat kami tak bisa melihat rupa masing-masing, ia pasti tak melihat mataku yang tengah memandangnya.

Lalu ia meneruskan langkahnya, kemudian menjatuhkan diri di ranjangnya dengan keras. Aku masih setia tidur memunggunginya.

Kudengar napas Eren yang masih tersengal-sengal, kemudian lama-kelamaan mulai teratur. Apa dia tertidur lagi?

Rasa khawatir menelusup. Apa dadanya masih sesak? Apa ia masih kesakitan? Apa dia membutuhkan bantuanku untuk—

"Hiks…"

Aku tercekat.

"…hiks…"

Dadaku sesak, panas luar biasa. Seakan ada yang mencekik jantungku.

Eren menangis, aku ada disampingnya.

.

Harusnya aku menghapus air matanya.

.

.

Hari ini kami membedah hewan bersama Hanji, senior yang agak gila, dan meneliti organ dalamnya. Kecintaannya pada sesuatu yang dibilang aneh melewati batas wajar. Penampilan wanita, tapi ada yang bilang dia lelaki.

Ruang laboratorium tidak terlalu besar dan penuh dengan benda-benda rawan. Hanji berdiri angkuh di meja utama, dua meja paling depan diisi olehku dan Auruo. Dibelakangku Gunter, disampingnya Eren. Petra dan Erd menyusul paling belakang.

Hanji sedari awal bekoar-koar menyuruh orang lain seenaknya. Tawa anehnya membuat kedamaian telingaku terusik.

"Eren! Bisa kau ambilkan zat kloroform?!"

"Ya!"

"Eren! Tolong ambilkan skalpel!"

"Baik!"

"Eren! Bisakah kau mengelap keringatku? Fufufufu~"

"Ba-baik!"

Benar-benar merusak telinga.

Dia pikir Eren tidak butuh belajar? Bagaimana bisa ia memperlakukannya seperti asisten?! Sial, kenapa aku kesal sekali…

"Levi, jangan pelototi kelincimu seperti itu! Tatapanmu seram, tahu!"

Masa bodoh,"Urus saja merpatimu, Auruo."

"Miss Hanji! Jantung tikus sudah kudapat! Bagaimana sekarang?!" bagus. Petra berteriak lantang sehingga senior gila itu akhirnya beranjak dari singgasananya.

"Aku permisi ke toilet!"

Kulihat Eren melesat keluar ruangan, serta Auruo mendecak di sampingku—mengumpat betapa cerobohnya Eren yang menaruh jas laboratoriumnya begitu saja di meja Auruo.

Entah mengapa, firasatku buruk.

Sekitar sepuluh menit, Eren telah kembali. Hanya buang air kecil, itu terhitung lama. Aku bahkan hampir menyelesaikan pekerjaanku.

Kulirik Eren, dia tampak lelah walau masih menampilkan cengiran bodohnya. Ia segera kembali ke mejanya, menghampiri ikannya yang belum tersentuh.

Tepat dibelakangku, kudengar suara cekikikan Hanji dan bisikan Gunter pada Eren, "Kau sakit, Eren? Wajahmu pucat."

Refleks aku berbalik dan langsung memandang Eren. Nampaknya Gunter tidak menyadari pergerakanku dan Eren melirikku sesaat. Benar, Eren pucat sekali. Pasti gara-gara suruhan tidak penting Hanji. Benar-benar.

"Aku tidak apa-apa, kok… hehehe…" Eren mengelak.

"Mata dan hidungmu juga agak merah. Kau pasti sakit!" entah sejak kapan Erd ikut serta. Hidung dan mata merah, tentunya akibat Eren menangis tadi pagi.

"A-ah, tidak, kok… mungkin karena tadi aku berlari kesana-sini dan kelelahan…"

Gunter nampak berpikir sambil menatap Eren curiga. Yang ditatap hanya nyengir seperti biasa.

"Aku ke toilet! Tidak kuaaat!" Erd berlari terbirit-birit keluar laboratorium. Gunter mendecak kesal, lalu kembali memandang Eren.

"Lebih baik kau istirahat saja, Eren. Aku khawatir padamu." Saran Gunter. Yang sangat kusetujui dalam hati.

"Tidak apa, Senpai! Aku penasaran sekali! Siapa tahu aku bisa meneliti lebih cepat dari Senpai, hehehe…"

"Tidak bisa, Eren, aku hampir menyelesaikan merpatiku dan kau belum melakukan apa pun, ha-ha-ha." Auruo meremehkan bocah itu.

"Yosh! Aku akan menyusul Senpai! Petra-Senpai, tolong ajari aku!" Eren memelas dan tentu saja—tidak ada yang mampu menolak permintaannya.

"Woooaaa… ikan mas? Aku sudah menyelesaikan punyaku dan mungkin aku bisa membantumu, Eren! Metodenya sama dengan yang tadi bukan, Miss Hanji?"

Petra menoleh pada Hanji tapi senior itu malah menatap Eren dengan intens. Sial, aku makin kesal. Mau apa lagi dia?

"Eren…" matanya menyipit, "tampaknya kau benar-benar sakit… apa sakit parah?"

.

…apa?

.

"Eren, jangan-jangan kau…"

Hanji memajukan wajahnya, menatap Eren lebih dekat. Bocah mata hijau itu berkeringat dingin, gelisah tapi tak terlalu kentara. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku.

Eren…

"…flu?"

…Eh?

"Mata dan hidungmu merah, wajahmu pucat, akhir-akhir ini cuaca juga tidak menentu… kau benar-benar flu? Sebaiknya istirahatlah, aku memberimu ijin."

Lega.

"A-aaa… tidak! Aku tidak akan melewatkan pelajaran Hanji-Senpai! Aku benar-benar bersemangat walau sedikit flu… tapi aku benar-benar tidak apa-apa, sungguh!"

Sungguh…

Aktingmu sungguh hebat, bocah.

"Hooo begitu? Baiklah! Aku paling suka dengan murid penuh semangat sepertimu! Fufufufufu~"

Astaga, telingaku.

"Eren!" pintu laboratorium terbuka kasar, menampakkan sosok Erd yang terengah. Ia segera menghampiri Eren lalu memegang kedua pundaknya, "Apa tadi ada yang masuk toilet selain kau?"

Eren mengerjap, terlihat bingung, "Tidak, Senpai. Ada apa?"

Erd melepas genggamannya, wajahnya mendadak pucat. "A-aku… melihat sedikit darah…"

"APA?!"

Semua kecuali aku berteriak terkejut, Eren apalagi. Jangan-jangan… tadi Eren… pantas saja ia lama sekali.

"O-oh itu… hahahaha jangan khawatir, Senpai! Tadi saat mengambil keperluan Hanji-Senpai pergelangan kakiku tergores dan berdarah, karena itu aku segera ke toilet, hehehe…"

Berbohonglah terus, Jaegar.

Segera aku berbalik dan meneruskan pekerjaanku yang tertunda.

"Oh, begitu… pantas saja kau lama sekali. Coba kulihat, biar kuobati lukamu." Hanji mencoba berbuat baik.

"Tidak usah, Senpai! Aku sudah mengobatinya tadi…"

"Dasar! Bagaimana bisa kau seceroboh itu?" Petra terdengar seperti memarahi anaknya yang jatuh dari sepeda.

"Itu… aku sedikit pusing karena flu, jadi…"

"Sudah kubilang kau istirahat saja! Sudah sana cepat kembali ke kamarmu!"

"Yah! Erd-Senpai, kau mengusirku?"

"Erd benar, Eren. Daripada keadaanmu tambah parah."

"Uh… jangan-jangan Auruo-Senpai tidak ingin aku mengalahkan Senpai!"

"Bocah ini!"

"Diam!" Hanji turun tangan, "Jaegar, kembali ke kamar atau ikan mas-mu kuberikan pada Rivaille?"

"Hanji-Senpai! Kenapa anda tega sekali? Bukankah Senpai bilang suka semangatku? Aku sudah bersemangat tapi kenapa Senpai juga menghalangiku? Senpaaai…"

Bocah itu. Kenapa keras kepala sekali.

"Dalam hitungan ketiga. Satu…"

"Senpai curang!"

Kudengar Eren melepas jas laboratorium dan perangkatnya, lalu berlari keluar laboratorium diiringi dengan decakan milik Petra dan Gunter.

Sebelum pintu tertutup, kulirik sekilas pergelangan kakinya yang sedari tadi bersembunyi dibaik celana panjang.

.

Tidak ada luka.

.

.

Kutapaki satu-persatu jalan setapak menuju belakang Shina. Disana terdapat sebuah danau buatan dikelilingi bunga-bunga, satu-satunya tempat tenang.

Seperti dugaanku, Eren takkan mau ke kamar. Anak nakal itu pasti kabur ke tempat ini. Osh, aku tak habis pikir.

Diujung jalan setapak, rerumputan langsung menyambut. Wangi mawar tercium jelas. Semakin menuju ke danau, kulihat surai cokelat Eren menyembul dari balik pohon. Ia duduk berselonjor dipayungi dedaunan musim semi.

Tak ingin mengejutkannya—karena kemungkinan ia tengah tertidur—, aku melangkah pelan tanpa suara mendekatinya. Tepat di belakang pohon, kulihat bahu Eren bergerak seirama napasnya. Angin memainkan anak rambutnya, membuatku ikut terbuai.

"Senpai bolos kelas Hanji-Senpai, ya?"

Dalam keheningan, indera pendengaran Eren menjadi lebih tajam. Ia mendongak dan iris hijau cemerlang itu menatap tepat manik abu-abuku.

Kemudian bocah itu tersenyum dengan polosnya.

Oh tidak, jantung mulai hilang kendali, segera alihkan pandangan.

"Kau yang bolos, bocah." Yah, aku sudah selesai dengan pekerjaanku dan Hanji sudah memberiku ijin keluar.

Aku beranjak menuju pohon disebelah Eren dan duduk dibawah rindangnya. Menghadap Eren yang tengah memandangku, aku beralih menatap heningnya air danau agar mata itu tak membuatku hilang kendali.

"Kenapa Senpai kesini?"

"Tidak boleh?"

"A…bu-bukan begitu…"

"Hanya memastikan kau tidak menenggelamkan diri ke danau saja." —Hanya memastikan kau tidak muntah darah seperti tadi.

"Senpai!" Menggoda bocah ini memang menyenangkan.

Aku mengalihkan pandangan pada Eren yang tengah merenggut kesal. Ia segera membuang muka, pertanda ngambek.

"Apa Senpai akan memaksaku ke kamar juga seperti yang lainya?"

"Kalau iya, sudah kulakukan dari tadi." Jawabku masih datar.

Eren kini diam memandangi permukaan danau yang tenang. Aku mengamati figurnya, tak ingin melewatkan sedetik pun. Bagaimana surai cokelatnya menari pelan dengan angin musim semi, bagaimana bahu dan dadanya bergerak teratur mengikuti kerja jantung, bagaimana mata indahnya memandang penuh takjub—iris hijau itu berbinar, bagaimana… ia tampak sangat serasi dengan harum bunga bermekaran, cicit burung berpadu, dan riak air membias mentari.

Lalu kemudian kusadari bahunya bergerak dalam tempo yang lebih cepat, gurat wajahnya tidak tenang. Eren memegangi dadanya dengan sebelah tangan. Ia sesak napas.

"Bocah, kau baik-baik saja?"

Aku bangkit dari dudukku dan mendekatinya, berjongkok di depannya, memegang erat kedua pundaknya. Tidak, kumohon, jangan…

"Ti—" terdengar suara seperti cegukan, "—dak apa-apa, Senpai."

Dia menahannya, menahan batuk itu. Menahan sesaknya, sakitnya—semuanya.

Eren tersenyum—hambar. Napasnya sudah teratur. Ia berdehem, sepertinya menetralisir rasa tak enak pada tenggorokannya.

Aku berdiri, berbalik kemudian memandang datar berbagai bunga di sekeliling danau. Hanji yang menanam semuanya, mulai dari bunga yang umum seperti mawar sampai yang langka seperti Barringtonia asiatica. Bocah ini… Aku… ingin membuatmu tersenyum seperti dulu.

"Senpai…?"

"Hm?"

"Kalau aku diibaratkan sebagai bunga, menurut Senpai aku bunga apa?"

Bunga?

Sontak aku menatapi satu-persatu bunga di sekeliling danau. Mawar, krisan, aster, akasia…Wangi Eren seperti lily, tapi bagiku ia lebih dari itu.

"Kenapa harus bunga? Bukankah ada perumpamaan lain, seperti… matahari. Cerah, tegar, kuat, bersinar terang, kau seperti itu." —kau memberi cahaya padaku hingga aku mampu melihat warna selain abu-abu.

Ada jeda sebelum kudengar Eren terkekeh pelan. Aku melirik dari sudut mataku dan kulihat ia nyengir bodoh padaku.

"Senpai, matahari terlalu tinggi, aku tak bisa menjangkaunya. Tapi, mungkin aku bisa menjadi bunga matahari yang mencoba menduplikat matahari. Mencoba untuk kuat, untuk tegar, mencoba meniru cahayanya."

Aku berbalik. Eren memeluk kedua lututnya, menatap rumput dengan sendu. Kenapa…?

"Bukankah bunga matahari penuh dengan kepura-puraan?"

.

Ada 'dug' kecil di hatiku.

.

"Tetapi, bunga matahari mampu menjadi kuat, tegar, dan tumbuh tinggi diantara bunga lainnya." Balasku.

"Tetap saja… bunga matahari hanya bisa meniru, melihat matahari tapi tak mampu menjangkaunya, tak pantas bersanding dengannya, hanya terpaku pada sinarnya hingga matahari terbenam, dan… layu pada akhirnya."

Eren megangkat wajahnya, matanya tepat menghujam mataku, menusuk jantung dan membuatku serasa membeku. Ada kilat keyakinan disana.

"Rivaille-Senpai, matahari yang kumaksud… itu kau."

.

.

nani?

.

.

Seketika semburat menghiasi pipi Eren yang kemudian menyembunyikan wajah manis itu diantara lututnya. Aku…

Entah, ini rasa apa. Rasanya adrenalinku terpacu, sangat menyenangkan. Didalam sana terasa meletup-letup, ingin rasanya berteriak dan memeluk bocah nakal ini…

Apa dia baru saja menyatakan perasaannya?

Bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa kau bisa kalah dengan bocah, Rivaille?!

Tidak. Aku terlalu pengecut. Terlalu ragu, terlalu banyak berpikir… aku terlalu banyak menggunakan logika daripada hati. Eren takkan mau menunggu lama.

Payah, Rivaille…

Kenapa… kenapa dia bilang tak pantas bersanding denganku? Apa jangan-jangan ia pikir aku takkan membalas perasaannya?

Tersadar, aku mengedarkan pandangan, mencari-cari bunga itu. Aku harus segera mengambil keputusan. Aku tak ingin kehilangan Eren, aku harus mengikatnya.

Menemukan apa yang kucari, aku berjaan setengah berlari mendekatinya. Harum semerbak bunga-bunga membuatku mabuk. Segera kupetik bunga indah itu, kemudian menghampiri Eren kembali. Ia memandang bingung padaku yang terengah—karena terlalu bersemangat—sambil menyodorkan setangkai bunga.

Bunga matahari.

"Senpai?"

"Bahasa bunga, Eren."

Eren mengerjap lucu, lalu menerima bunga itu. Segera aku pergi menuju jalan setapak ke dalam gedung Shina. Aku tak mau ia melihat wajahku. Tidak, tidak sekarang, wajahku rasanya panas.

Eren menggumam, "Bahasa bunga? Dalam bahasa bunga, bunga matahari berarti…"

Samar kudengar ia memekik kecil. Aku tersenyum lepas, tak pernah merasa sesenang ini sebelumya.

"Mataku—"

Eren, jika bagimu bunga matahari seperti itu, maka bagiku inilah arti sebenarnya. Itulah, itulah jawabanku, Eren.

"—hanya melihat dirimu seorang."

.

.

.

-Continue-

.

.

.

.

Barringtonia asiatica juga dikenal sebagai Pohon Racun Laut berasal dari Samudera Hindia. (hasil googling) Kenapa bisa hidup di lingkungan danau buatan? Tanyakan pada Hanji /plak/

A/N : ga pernah ngebedah hewan, jadinya (memang) absurd ._.v

.