Crossing Paths

.

.

.

Disclaimer : Aoyama Gosho


Chapter 1

.

.

.

Semua berawal dari hujan. Seperti hujan hari ini. Tidak deras seperti hari-hari sebelumnya, namun cukup membuat daun-daun rontok berguguran jatuh satu persatu ke tanah. Dunia tampak hening dan sepi.

Shiho berjalan pelan sambil membawa payung hitam. Wajahnya tak berekspresi. Gadis itu melangkah lambat dalam dengungan rintik suara hujan. Rambut pirang strawberrynya tampak basah sedikit karena terkena terpaan air yang jatuh mengalir dari sela-sela payung kecilnya.

Dia kemudian berhenti di suatu tempat. Berdiri dalam diam menatap ke depan.

Rest In Peace

Akemi Miyano

19xx-19xx

Tangannya yang mengenggam payung mulai berkeringat. Pundaknya sedikit gemetar. Matanya menatap nama yang tertera di marmer putih itu dengan tak berkedip.

Akemi nee-chan tak seharusnya mengalami hal demikian. Hidupnya masih panjang, aku yang patut disalahkan atas semua yang terjadi padanya.

Aku yang tak seharusnya hidup, berdiri disini, dan masih bernafas..

Tawa riang Akemi masih terbayang-bayang di telinganya. Kedipan matanya yang terakhir masih tertera jelas di ingatannya.

"Shiho-chan, kenapa kau sangat jarang tersenyum? Padahal senyummu sangat cantik. Kau tak tau pria disamping kita mencuri pandang melihatmu terus-menerus?" goda Akemi.

Shiho mengernyit,"Nee-chan. Jangan menggangguku"

"Ah, alismu berkerut lagi. Kau tampak jelek" Akemi mengulurkan jarinya dan menjitak dahi Shiho. Dia kemudian tertawa,"Kita sudah beberapa bulan tak bertemu, kau selalu sibuk dengan penelitianmu. Shiho-chan, kau seharusnya sudah boleh mencari pacar"

Shiho tersenyum tipis. Dia ingin melihat wajah Akemi lebih jelas tapi mendadak pandangannya kabur dan berputar-putar ke dalam kegelapan.

Gadis itu tiba-tiba terkesiap dari kenangan pendeknya. Nafasnya terengah-engah.

Shiho menemukan dirinya masih berdiri di depan marmer putih yang lembap karena titik-titik air hujan. Dia mengencangkan jaket tipisnya. Dingin.

Gadis itu memutuskan untuk berlalu ketika dia menyadari ada orang yang sedang berdiri dibelakangnya.

Intuisinya bergerak cepat. Dia memalingkan wajahnya dan menemukan ada seorang pria muda sedang memandangnya. Tubuh pria itu basah kuyup oleh hujan yang menderas. Mata birunya mengawasinya sebentar sebelum senyum yang menarik muncul tiba-tiba di wajahnya.

"Nona. Jika kau tak keberatan, aku boleh meminjam payungmu sebentar. Stasiun kereta kira-kira 30 menit dari sini, temanku sedang berteduh di salah satu tempat. Kau tak keberatan jika kita bersama-sama ke stasiun kereta untuk membeli payung, bukan?"

Shiho terdiam sebentar kemudian menjawab,"Maksudmu kita berdua berpayungan bersama menuju stasiun?"

Pria itu sedikit bergidik atas dinginnya suara gadis itu. Dia kemudian mengangguk,"Tenang saja. Aku pria baik-baik—temanku Ran sedang menunggu di sana" dia berhenti untuk menunjuk ke suatu tempat lalu,"Kami tak tau hujan turun dengan deras hari ini. Lagipula dia baru sembuh dari sakit, jadi dia belum boleh terkena hujan dulu"

Shiho menatap pria itu tanpa ekspresi. Kemudian gadis itu bergumam pendek," Tidak. Kau carilah orang lain. Aku tak punya waktu."

Dia berjalan dengan cepat untuk menghindari tatapan pria itu tapi pria itu berlari dan berhenti di depannya.

"Sombong,"umpat pria itu kesal.

Shiho menyipitkan matanya tapi dia tak berkata apa-apa. Langkah kakinya makin cepat. Sepatu botnya berkecipak di atas genangan air.

Pria itu berseru lagi.

"Kalau bukan karena Ran, kau pikir aku mau berpayung berdua denganmu? Dasar cewek arogan"

Shiho menghiraukan seruannya. Dia mengenggam payungnya dengan erat, dia ingin cepat pergi dari pekuburan sepi ini.

Lagipula itu salahmu sendiri. Siapa suruh kalian tak bisa memprediksi cuaca. Tak ada kebaikan hati di dunia ini. Setiap manusia berjuang untuk dirinya masing-masing. Dan aku benci lelaki sombong yang sok tau.

Pria itu kesal dan menendang genangan air di depannya dan cipratan airnya bertebaran di udara. Sebagian besar jatuh ke pakaian Shiho. Gadis itu berhenti dan memalingkan tubuhnya.

Mata gadis itu menyipit marah.

Pria itu menelan ludah. Dia sama sekali tak menyangka perbuatan spontanitasnya berbuntut panjang.

"Maafkan aku… a—aku tak bermaksud…"gumamnya.

Shiho maju ke depan dan menampar pipi pria itu dengan nyaring.

"Jangan pernah mengangguku atau kau tau akibatnya" desisnya marah.

Wajah pria itu melongo karena shock. Tetesan air hujan masih membasahi seluruh tubuhnya. Sungguh hari yang sial baginya. Ditampar oleh gadis arogan tak dikenal.

Shiho mendengus dan meninggalkan pria itu dalam kebingungannya.

Sekarang dia dan pria itu sama-sama basah. Jaket tipisnya tak mampu melindungi dirinya dari terpaan air hujan. Shiho ingin menjerit dan meraung. Menumpahkan kekesalannya. Tapi dia memilih untuk menahan dirinya menendang pria itu dan cepat pergi dari sini sebelum ada hal buruk lain menimpanya lagi.

.

.

.

Shiho kembali ke apartemennya dengan tubuh mengigil. Dia cepat mengambil handuk dan melepaskan semua bajunya untuk berendam di bathtub dengan air panas.

Setelah beberapa saat, badannya kembali hangat. Dia menyandarkan punggungnya dan menutup matanya.

Dunia memang tak pernah adil, Shiho-chan. Tapi kau punya aku. Walau hanya tinggal kita berdua, kita akan bersama selamanya.

Shiho-chan, warna merah selalu cocok dengan kulitmu. Kau tau ibu punya hadiah untukmu? Kalung ini ada dua, untuk kau dan Akemi.

Kalung jelek. Cewek blasteran seperti kau tak cocok pakai kalung ini. Hahahaha

Aku menginginkanmu, Shiho… kau yang kudambakan selama ini…

Shiho membuka matanya dengan cepat. Nafasnya tersengal-sengal. Dia menyeka dahinya yang berkeringat.

Mimpi buruk selalu menghantuimu kemanapun kau pergi. Sepertinya apa yang terjadi memang sudah ditakdirkan untuk keturunan Miyano.

Kau tau, kau tak pantas hidup. Tak pantas hidup.

Setelah semuanya yang terjadi, kau yang patut disalahkan.

Beraninya kau, Shiho-chan?

Bibir Shiho gemetar dan menggumam pelan,"Sampai kapan aku harus menebus kesalahanku, nee-chan?"

.

.

.

"Hakase! Selamat pagi"

Profesor Agasa yang bertubuh tambun itu menoleh dan tersenyum hangat . Dia meletakkan koran yang sedang dibacanya dan menyesap kopi panas.

"Shinichi. Pagi sekali kau bangun hari ini"ujarnya kemudian.

"Terima kasih obatnya, Hakase. Kondisi tubuh Ran sudah agak baikan"

Shinichi duduk di salah satu kursi dan meraih sandwich di atas meja. Dia mengunyahnya dengan lahap.

"Kau tak seharusnya membawanya keluar kemarin, Shinichi. Kau tau kalau dia belum sepenuhnya pulih"

"Aku tau. Ran yang ingin melihat warna daun momoji rontok sebelum musim dingin. Padahal matahari sangat terik kemarin tetapi sialnya cuaca berubah dengan cepat. " ujarnya disela-sela kunyahannya.

Profesor Agasa tersenyum menenangkan," Yang penting Ran sudah agak lumayan. Kemarin kau ingin menceritakan kalau kau bertemu dengan siapa—itu "

Pembicaraan mereka terhenti karena deringan telepon.

"Ya, Halo? Hakase disini"

Keningnya berkerut,"Aku tau. Tapi aku sudah berjanji dengan orangtuanya dulu. Aku satu-satunya walinya sampai dia berumur 18 tahun." Kemudian hening dan dia melanjutkan lagi,"Apartemennya disewa atas nama kakaknya yang sudah meninggal. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Tenang saja, aku yang akan mengurus kepindahannya kemari. Sampai jumpa"

Hakase menutup teleponnya.

"Siapa yang kau maksudkan tadi, Hakase?" tanya Shinichi ingin tau.

"Ada kenalanku dulu, sesama ilmuwan. Mereka sudah meninggal. Maksudku, keluarga gadis ini semuanya sudah meninggal jadi tinggal dia sendirian. Dia akan pindah kesini karena aku walinya"

"Gadis yang malang. Kapan dia pindah kesini?"

"Mungkin beberapa hari lagi setelah dokumen beres. Kalian bisa menjadi teman baik"

"Ah, aku sudah cukup punya teman baik seperti Ran." Shinichi kembali nyengir. Wajahnya sedikit memerah.

Hakase tersenyum,"Gadis ini pasti telah melalui masa-masa sulit. Kau harus membantunya, Shinichi"

"Aku tau. Itu masalah gampang, Hakase" dia menelan potongan sandwichnya yang terakhir dan menelan sisa kopi dengan satu tegukan.

"Aku harus kembali mengecek Ran. Sampai jumpa" Shinichi bangkit berdiri dan melambai.

Detektif ini muncul kembali ke rumah teman masa kecilnya dan menemui ibu Ran sedang memotong apel. Eri Mouri tersenyum dan menyodorkan mangkok berisi apel itu dan berkata,"Ran sudah bangun, dia ingin bertemu denganmu. Bawalah ini bersamamu"

Shinichi meringis dan naik ke lantai dua. Dia menemukan Ran sedang duduk menyandar di atas tempat tidurnya, dan tersenyum lemah.

"Bagaimana flumu, Ran?" Shinichi duduk disamping gadis itu dan menyodorkan mangkok ke arahnya.

"Aku sudah agak baikan, Shinichi" ujarnya dengan serak. Shinichi tersenyum dan meletakkan tangannya ke bahu gadis itu.

"Kau harus segera sembuh. Aku minta maaf karena membawamu ke taman padahal kau belum sembuh benar dari flu"

"Aku yang bodoh. Aku tidak boleh memaksamu untuk melihat daun momoji yang berubah warna"

Shinichi nyengir,"Kita sama-sama bodoh. Sekolah sepi tanpa kehadiranmu"

Wajah Ran sedikit memerah, tapi dia mengambil potongan apel dan mengunyahnya dalam diam.

"Kalau saja gadis sombong itu bersedia meminjamkan payungnya, tentu saja kau tak akan sesakit ini, Ran" ujar Shinichi. Mukanya berubah mengernyit ketika mengingat kejadian kemarin. Tangannya mengepal.

"Shinichi… Siapa gadis sombong itu?"

"Tak penting untuk dibahas" Shinichi nyengir dan menepuk bahunya," Bagaimana kalau kita bahas tur sekolah bulan depan saja?"

Ran tersenyum kecil dan mereka menghabiskan waktu seharian bercanda bersama.

.

.

.

Ruang kelas penuh dengan suara-suara. Shinchi dan Ran yang hendak memasuki kelas takjub melihat riuhnya anak-anak berceloteh.

"Aku ketinggalan info penting ya? Apa yang terjadi?"tanya Shinichi.

Sonoko bangkit berdiri dari tempat duduknya menghampiri mereka," Ada anak baru masuk hari ini."

"Oh ya? Sudah lama tidak ada anak baru di Teitan"ujar Ran antusias.

"Cowok atau cewek?"tanya Shinichi acuh tak acuh.

"Cewek. Menurut gossip, gadis itu cantik sekali. "wajah Sonoko murung,takut kalau kesempatannya menggaet cowok keren berkurang sepertinya.

"Bagus!" ujar Ran berseri-seri. Dia membayangkan akan mengajak anak baru itu berkeliling sekolah dan mungkin mereka bisa menjadi teman baik. Dia kemudian mengambil tempat duduk di samping Sonoko dan Shinichi mengikutinya duduk dibelakangnya.

Shinichi mencuri kesempatan untuk tidur sejenak. Dia merasa lelah karena kurang tidur menghabiskan waktu membaca novel misteri favoritnya.

"Anak-anak. Aku minta perhatian kalian sebentar"

Shinichi mengangkat wajahnya dan matanya terbelalak melihat siapa yang datang bersama Mr. Tatsuya si guru kelas.

Gadis menyebalkan itu. Shinichi menggertakkan giginya.

"Hari ini kita mendapat murid baru pindahan dari Amerika. Namanya Shiho Miyano. Aku harap kalian bisa berteman baik"

Kelas riuh dengan bisikan kagum dan cemohan kecemburuan.

Shiho hanya mengucapkan salam dengan kaku, matanya menatap bosan.

"Oh, ternyata kursi kosong tinggal satu. Di belakang Kudo. Kamu bisa duduk disana, Miyano." Ujar Mr. Tatsuya. Gadis yang disapa hanya diam kemudian berjalan menuju kursi yang dituju. Dia sama sekali tidak menghiraukan tatapan dingin dari Shinichi dan anak- anak lain.

Shinichi berang. Kenapa cewek yang paling menyebalkan yang pernah dia temui malah duduk di belakangnya. Dia hendak mengangkat tangannya protes ketika Ran membalikkan wajahnya dan tersenyum.

"Shinichi, aku senang dia duduk di belakangmu. Kupikir dia mungkin kesepian sehingga wajahnya murung gitu" bisiknya.

Shinichi menelan ludah,"Oh ya, benar." Ditahannya keinginan untuk membalikkan badannya dan mencekik gadis dibelakangnya.

Sepanjang pelajaran, Shinichi sama sekali merasa tidak nyaman. Dia merasa tatapan gadis itu menembus punggungnya. Gadis itu sama sekali tidak menyapanya atau bersuara apapun.

Setelah lonceng berbunyi, anak-anak mulai mengeluarkan makan siangnya dan Ran menaruh bekal di depan meja Shinichi.

"Hari ini bento isinya telur dadar kesukaanmu" ujarnya dengan wajah memerah. Sonoko tertawa lebar menyikut lengan Ran dan mereka makan berdua sambil bergosip.

Shinichi penasaran dengan gadis dibelakangnya. Dia memberanikan diri untuk menoleh dan menemukan gadis itu sedang mengambil kotak kecil yang sepertinya onigiri. Gerakannya terhenti ketika menyadari kalau Shinichi sedang menatapnya.

"Ada yang kau suka?" suaranya dingin sekaligus indah. Matanya menatap Shinichi dengan bosan.

Wajah Shinichi memerah,dia tergagap-gagap dan segera berbalik menghabiskan makanannya. Tak pernah dia sebenci dengan orang lain, apalagi dengan gadis secantik dia. Entah kenapa ada sesuatu yang membuat emosinya menyala begitu melihat sosoknya. Shinichi berusaha menenangkan diri dan makan sambil mendengarkan gossip membosankan yang sedang dibahas Sonoko dan Ran.

Lonceng kembali berbunyi. Mr. Tatsuya masuk ke dalam kelas sambil membawa setumpuk kertas.

"Anak-anak. Ini test permulaan masuk sekolah seperti biasa dan kalian akan mengerjakannya dalam waktu 1 jam." Anak-anak mengerang dan menggerutu.

Sisa pelajaran berjalan lambat, terutama bagi Shinichi. Hari ini mungkin adalah hari yang paling menyiksa dalam hidupnya. Ketika dia meneruskan lembar soal ke belakang, Shiho menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Gadis itu malah mendengus.

Shinichi gusar. "Kau tak tau sopan santun, huh?"bisiknya.

Shiho menatapnya dengan senyum sinis tersungging,"Apa pedulimu? Tamparan kemarin dulu tidak cukup sepertinya?"

Shinichi menggertakkan giginya. Gadis ini sangat menyebalkan. Jadi dia mengenalinya dan dia masih ingat tamparan itu.

Detektif ini berjuang keras menghabiskan waktu tersisa untuk berkonsentrasi menjawab soal alih-alih mencekik orang.

Tenang, Shinichi. Dia hanya berusaha membuatmu marah. Kau harus tenang. Kau mau jadi detektif professional kan. Seorang detektif harus selalu tenang dalam berbagai situasi.

Ketika lonceng pulang berbunyi, sebelum Shinichi sempat mengambil tasnya, Shiho sudah berlalu dengan cepat keluar dari kelas diiringi tatapan menyesal dari Ran. Sepertinya Ran ingin berkenalan dengannya.

Shinichi kemudian menepuk bahunya,"Kau tak usah repot-repot berkenalan dengannya. Dia cewek yang menyebalkan"

"Darimana kau tau, Shinichi?"tanya Ran.

"Aku detektif. Selama 6 jam dia duduk dibelakangku, aku sudah tau sifatnya bagaimana" dengus Shinichi.

Ran menatapnya heran. Tak biasanya Shinichi membenci orang begitu cepat. Dia ingin bertanya lagi tapi Shinichi sudah menariknya keluar dari kelas untuk pulang bersama.

Setelah mengantarkan Ran pulang, Shinichi hendak mampir dulu ke rumah Hakase. Dia ingin menanyakan penelitiannya yang terbaru. Dipijitnya tombol bel dengan tak sabar.

Pintu terbuka.

Gadis itu.

Shiho Miyano berdiri dengan wajah sedikit kaget melihatnya. Tapi Shinichi bukan kaget lagi, dia seperti tersambar petir.

"Kau…" gumamnya tak percaya.

"Kau mengikutiku?" tanya Shiho heran.

"Cih. Aku mencari Hakase. Dimana dia? Bagaimana kau bisa berada disini?"

"Ada apa Shinichi?" terdengar seruan dari belakang. Shiho hanya mengangkat bahu dan dia menghilang begitu Profesor Agasa menghampiri Shinichi.

"Cewek itu! Bagaimana dia bisa disini, hakase?"

"Cewek yang mana? Shiho-chan? Kau masuklah dulu. "

Shinichi masuk sambil menggerutu. Profesor Agasa melihatnya sambil tersenyum," Sepertinya kau lupa waktu itu sudah pernah kuberitahukan padamu. Aku menjadi wali Shiho-chan sampai dia berumur 18 tahun. Dia akan tinggal di rumahku beberapa minggu. Semua sudah diurus pengacaranya"

Shinichi melongo,"Jadi dia adalah Miyano yang yatim piatu itu?"

"Aku tidak mengerti kenapa kau sibuk mengurusiku, Mr. Stalker" suara dingin seseorang memotong pertanyaan Shinichi. Shiho sedang duduk malas di sofa sambil membaca majalah.

Detektif itu merengut kesal dan berseru,"Kau! Kupikir aku ingin tau urusanmu? Kau tak sepenting itu, tau?! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu"

Shiho tersenyum kecil. "Kalau begitu, kau tidak boleh berbicara padaku di sekolah. Kau dan teman-temanmu yang sangat berisik itu"

"Siapa yang ingin bicara denganmu?"bentak Shinichi.

"Bagus. Aku juga tidak tertarik berteman dengan kalian. Aku hanya tinggal disini sampai umurku dewasa secara hukum, dimana hanya beberapa minggu lagi, kau mengerti bukan?" Shiho menegakkan tubuhnya dan meletakkan majalah yang sedang dia baca. Matanya menyipit menatap Shinichi.

Profesor Agasa menyela," Shiho-chan. Jangan berkata begitu."

"Profesor, aku sangat berterima kasih kau mau menampungku sementara. Tenang saja. Aku akan bersikap sebaik mungkin sehingga tidak merepotkanmu"

Shiho tersenyum lagi kemudian menghilang naik ke atas lantai.

Shinichi menatapnya kepergiannya dengan gusar. "Hakase, aku tak tau apa yang membuatmu berbaik hati menampung cewek berandalan yang tak tau terima kasih seperti dia"

Kening Hakase berkerut," Ada apa dengan kau, Shinichi? Tak biasanya kau membenci orang sampai begitunya"

"Dia menyebalkan" gumam Shinichi. Hatinya masih panas teringat tamparan kemarin. Dia akan membalasnya. Suatu saat nanti, pasti.

.

.

.

Shiho-chan, kau sangat cantik dengan baju ini. Mari kukenalkan padamu, kekasihku…

Namaku Shiho.

Tangannya membelai pipinya, kau cantik sekali, Shiho…

Lepaskan aku, lepaskan ! kita tidak boleh begini!

Aku tau kalau kau juga menginginkanku sama seperti aku menginginkanmu… bukan begitu, Shiho?

Kau tega sekali, Shiho-chan…

NEE-CHAN MAAFKAN AKU!

Shiho terbangun dengan terengah-engah. Wajahnya berkeringat.

Mimpi buruk lagi.

Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tapi hari ini lebih buruk.

Gadis itu bangkit berdiri dengan tangan gemetar, mencari-cari sesuatu di laci meja. Setelah menemukan apa yang dicarinya, dia mengambil obat tidur itu dan meneguknya dengan segelas air.

Tak butuh waktu lama obat itu berkerja. Gadis itu kembali terlelap dengan wajah pucat.

.

.

.

To be continued…


Author's note : ah, gw balik dengan cerita baru. Seperti biasa, gw pecandu drama melankolis dan banyak adegan mendayu-dayu. haha.

Pairingnya my OTP sepanjang masa : Shinichi dan Shiho.

Thanks telah melewatkan waktu sedikit untuk membaca fic gw. Fic ini terdiri dari 5 chapter dan endingnya...mungkin... rahasia haha.^_^