Himitsu no Uta
by Mizumori Fumaira
Disclaimer : Vocaloid © Yamaha corp.
Genre : Drama, Romance
Warning : typo(s), some uncannons (cannons based on Hiyama Kiyoteru' profile from Ice Mountain fanbook), randomness
Seorang gadis bersurai aquamarine menghela napas panjang. Ia telah menyelesaikan catatan harian kelas—karena dia menjadi petugas piket, namun pertemuannya dengan sang wali kelas harus berlangsung lebih panjang daripada biasanya.
Ini semua karena kemampuannya dalam fisika tak pernah sesuai dengan standar yang ditetapkan sekolah. Intinya, ia mendapatkan nilai yang bahkan membuat wali kelas baik hati itu—yang merangkap sebagai pengajar matematika kelas satu dan mengajar fisika kelas tiga, tidak bisa tersenyum normal.
Dari tiga soal ulangan harian, gadis itu hanya bisa mendapat nilai… 10? Dengan nilai maksimal 100, tentunya. Artinya bahkan ia tak bisa mengerjakan satupun soal dengan sempurna. Padahal rasanya Miku kemarin menulis cukup banyak…
Hell, bahkan nilai Akaishi-san sang berandalan Utaunoda saja lebih baik darinya. Tentu saja itu semua disebabkan oleh kekeraskepalaan gadis berkuncir dua itu sendiri. Padahal, semua orang di kelasnya termasuk Megurine Luka—sang juara kelas, menggunakan bocoran soal dari kelas sebelah. Kelas 3-1 dan kelas 3-2—kelasnya, memang sudah terbiasa bekerja sama dalam hal semacam itu.
Setelah menghela napas sekali lagi, akhirnya ia bisa mengetuk pintu ruang preparasi fisika. Sang wali kelas memang sudah berpesan untuk menemuinya di sana karena di ruang guru tidak memungkinkan untuk dijadikan tempat remedial atau apapun.
"Permisi, Hiyama-sensei, bolehkah saya masuk?" ujar gadis itu dengan nada aneh. Ia memang bukan seseorang yang terbiasa memanggil dirinya dengan sebutan saya—apalagi menggunakan bahasa formal.
"Ah, Hatsune Miku-san kah? Masuklah."
Miku perlahan menggeser pintu yang ada di depannya. Pria bersurai cokelat pendek itu tersenyum ke arahnya dan mempersilakannya duduk, "Kau sudah menelepon orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?"
Hiyama Kiyoteru, usianya… entahlah. Menurut perkiraan Miku, mungkin sekitar pertengahan kepala dua. Pria itu sebenarnya guru matematika, namun karena guru fisika kelas tiga tiba-tiba cuti, wakil kepala sekolah dengan seenaknya memberi tanggung jawab lebih pada pria ramah itu. Miku sendiri baru pertama kali diajar olehnya. Bagi Miku, meski ia tetap mendapat kesulitan dalam fisika, Kiyoteru lebih baik daripada guru fisika asli yang sering kali menatapnya seperti… sampah.
Miku melihat ke sekeliling. Berbeda dengan meja guru lainnya di sana, di luar dugaan meja Kiyoteru sedikit lebih berantakan meski tidak terlalu mengganggu mata. Miku juga tidak menduga kalau pria itu penggemar musik—terlihat dari headset berspek tinggi yang ia pakai. Dan, hei, apa itu program pengolah musik di komputernya?
Sebelum Miku melihat lebih jelas, pria itu sudah mematikan komputernya. Miku baru sadar kalau ia tidak menjawab pertanyaan senseinya itu beberapa lama.
"Tidak perlu. Kebetulan mereka sedang ke luar kota, jadi tidak masalah," jawab Miku kalem sambil meletakkan buku laporan piket di meja, kemudian duduk di kursi yang tersedia. Kiyoteru melepas headsetnya, lalu memindahkan kursinya sehingga ia dan Miku duduk dengan membentuk sudut 90 derajat.
"Oke. Karena cukup gawat kalau kau pulang terlalu sore, mari kita mulai saja," Kiyoteru mengambil sesuatu dari salah satu map yang tertumpuk di mejanya. Beberapa lembar kertas itu kemudian disodorkan pada Miku.
"Ini…"
"Jawaban tes kemarin, ya. Saya sudah membuat penjelasannya, juga sedikit rangkuman materi dan beberapa soal latihan. Soal latihannya agak banyak, tapi tolong dikerjakan di rumah dan dikumpulkan, hm… Senin, bagaimana?"
"Aku…ngerti," ucap Miku, tanpa sadar menggunakan kalimat tidak formal, karena kaget dengan betapa niatnya guru itu bahkan sampai membuat rangkuman materi," Maksudku, saya mengerti!"
Kiyoteru hanya tertawa kecil, "santai saja, Hatsune-san. Kalau kau tidak bisa mengerjakan beberapa atau semua soal, besok akan saya jelaskan. Kebetulan besok ada jam kosong, 'kan?"
"I… iya, terima kasih, sensei. Maaf merepotkan," Miku mengangguk hormat. "Um, tapi, anoo…"
"Ya?"
Sejak ia menginjakkan kaki di SMA, fisika sudah tidak semenyenangkan yang ia ingat. Belum lagi, guru-guru fisika yang mengajar di sana semuanya sama—tipe guru yang melihat hasil akhir, dan menyalahkan murid ketika nilai mereka buruk. Jadi, materi kelas satu pun sesungguhnya Miku masih belum paham.
Kabar buruknya, ini sudah bulan November. Hanya tinggal beberapa hari saja ia akan menjadi peserta ujian masuk universitas. Ia tak mau memberatkan orang tuanya dengan masuk universitas swasta yang mahal. Selain itu, meski ia ikut bimbingan belajar, pertemuan di sana terbatas dan waktunya tidak akan cukup kalau hanya belajar dari sana.
Dan Miku sangat bersyukur karena tampaknya ia bisa meminta tolong pada pria yang bisa bersabar dengan kemampuannya itu.
"Ku…kurasa sensei bisa menebak seburuk apa kemampuan fisikaku, 'kan? Oleh karena itu… bolehkah aku bertanya pada sensei lagi kalau aku kesulitan dalam… mengerjakan latihan soal ujian masuk?"
Dengan sekali tarikan napas, Miku mengucapkan itu. Entah kenapa ia jadi agak tegang menunggu jawaban senseinya itu. Kalau ia juga menolak, pupus sudah…
…seolah kabut yang di siram hujan, perasaan kalut yang Miku rasakan lenyap begitu saja saat ia menyadari sebuah tangan besar mengusap kepalanya lembut.
"Tentu saja, Hatsune-san. Saya senang bisa membantu siswa yang jujur dan mau bekerja keras sepertimu."
"Eh?"
Pria itu hanya tersenyum penuh arti, kemudian mengambil sebuah buku bersampul kulit—seperti buku agenda pribadi. Ia menatap ke sana dan tampak berpikir panjang.
"Karena rumahmu jauh dan kau juga punya jadwal bimbel, saya pikir tidak mungkin pada hari biasa… bagaimana kalau setiap sabtu pagi jam 10 di perpustakaan sekolah?"
Rasanya Miku ingin menangis terharu karena pria itu berbaik hati menyediakan waktu kosong untuknya. Ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum.
"Iya! Terima kasih, sensei. Aku senang sekali!"
Pria itu membalas senyumnya, sebelum ia teringat sesuatu dan mengambil kertas lain dari mapnya.
"Ah, satu lagi tugas remedialmu… ah, bukan. Tepatnya, saya ingin minta tolong," ia menyodorkan kertas lain yang lebih tipis penuh dengan teks alphabet, "Saya dengar kau mahir berbahasa inggris dari Meiko-sensei, jadi bisakah kau menerjemahkan ini?"
Miku membaca sebentar kertas itu. Tampaknya itu fotokopi dari sebagian buku teks fisika berbahasa inggris.
"Bukankah ini materi untuk selanjutnya?" tanya Miku.
"Iya. Biasanya saya menerjemahkan sendiri dibantu teman, namun kebetulan teman saya sedang sibuk, jadi…"
"Kurasa aku bisa! Mohon biarkan aku mencoba, sensei!" potong Miku setelah ia merasa kalau penjelasan di kertas itu lebih baik dari buku teks yang ia pakai.
"Silahkan, Hatsune-san. Saya terbantu sekali," Kiyoteru tersenyum lega. Pria itu kemudian menatap jam di tangannya, "Ah, sudah sore. Sebaiknya kau pulang, Hatsune-san."
"Ah benar," Miku melihat ke arah jendela dan tampak langit mulai berwarna jingga. Segera gadis itu memasukkan kertas-kertas itu ke dalam map yang ia bawa dan memasukkan map itu ke ranselnya. "Kalau begitu, aku duluan. Dah, Sensei!"
"Sampai jumpa besok, Hatsune-san. Hati-hati."
Dengan senyuman dan langkah ringan, Miku meninggalkan ruangan.
Sambil bersenandung pelan, Miku membereskan meja belajar. Meletakkan map berisi kertas-kertas yang tadi diberikan Kiyoteru, menyiapkan alat tulis, dan menyiapkan laptop di samping kirinya—meski sebenarnya fungsi laptop itu hanya untuk memutar playlist favoritnya.
"Yosh!"
Dengan stabilo di tangan kanannya, Miku membaca dan mewarnai bagian penting dari rangkuman materi yang diberikan. Miku sama sekali tidak menduga kalau materi gelombang bisa dimengerti olehnya yang hampir tidak pernah connect dengan fisika. Setelah itu, ia mencoba mengerti pembahasan soal ulangan harian kemarin, membacanya dan mencoba menyalinnya agar ingat. Lalu, dilanjutkan dengan mengerjakan latihan soal…
"Hm?"
Sebuah plastik bening berisi keping CD terselip di halaman bagian belakang dari kertas yang diberikan Kiyoteru. Tak ada label ataupun tanda apapun, namun CD berwarna putih itu menggugah rasa penasaran Miku. Gadis itu mencoba menerka apa yang ada di dalam CD itu, juga mencoba mempertimbangkan untuk melihat apa yang ada di dalam CD itu.
'Jangan-jangan isinya… ah nggak mungkin! Hiyama-sensei tidak terlihat orang seperti itu. Tapi dia juga 'kan laki-laki… tapi bukannya nggak mungkin kalau ini isinya lagu… Ya, mungkin isinya lagu. Apa boleh kubuka? Jangan-jangan isinya rahasia…'
Kalah dengan rasa penasarannya, Miku akhirnya mengeluarkan CD itu dari bungkusnya, lalu memutarnya dengan laptopnya. Setelah beberapa saat, tampilan penjelajahan berkas muncul di laptopnya.
'Kalau memang isinya yang begitu… pura-pura tidak tahu saja!'
Hanya terdapat satu berkas audio saja di dalam CD itu. Berkas dengan format mp3 itu masih berjudul untitled. Dari detail berkas tertulis Ice Mountain sebagai komposer.
'Ice Mountain… Hiyama-sensei 'kah?'
Rasa penasarannya semakin besar. Miku mengklik dua kali pada berkas audio itu. Dari sana kemudian terputar sebuah instrumental dari piano dan beberapa alat musik lain dengan tempo cepat. Meski musiknya mengingatkannya pada musik yang sering didengar dari taman hiburan, ada kesan yang bertolak belakang yang dirasakan Miku saat mendengar musik itu.
Dan Miku cukup menyukai musik itu. Ia memutuskan untuk menyalin berkas itu ke folder musik yang ia miliki.
Dengan mendengarkan musik itu, Miku melanjutkan tugasnya.
(A/N) : Hola! Spada! Sampurasun! Perkenalkan, saya Fumaira yang sudah lama jatuh cinta pada Hiyama-sensei dan akhirnya berhasil bikin ficnya si pak guru ganteng satu ini. Kenapa MCnyaMiku? Karena Miku warnanya toska, saya suka warna toska~ *ditampol
Fic ini sukses bikin saya insomnia, karena saat saya menulis author note ini pojok kanan bawah laptop saya memperlihatkan bahwa hari telah berganti dan hanya dua jam lagi menuju subuh. Berhubung saya berada dalam kondisi mental yang rada labil gegara TA, jadi wajar kalau saya mempublish pada jam aneh begini.
Eniwei, ditunggu kritik dan saran kalian XD Saya masih newbie di sini dan mohon bimbingan kalian (_ _)
