Hello! First fic nih…
Sebenernya kemaren itu udah bikin tapi karena beberapa hal, aku hapus. Tapi, sekarang aku ganti sama cerita yang baru. Semoga semuanya suka ya! Maaf kalo ada typo atau salah-salah kata.
It's all belongs to J.K. Rowling! Dan aku hanya bikin fanfic supaya cerita Harry Potter gak memudar walaupun udah abis :)
Enjoy!
. . . .
Harry tersenyum cerah, wajahnya berseri-seri menggandeng tangan anak-anaknya dan istrinya. Ini sudah kesekian kalinya Harry kembali ke King's Cross, mengantarkan ketiga buah hatinya menuju Hogwarts, 'rumahnya' dulu. Harry melambai bersemangat melihat kedua sahabatnya yang juga sedang mengantar anak-anak mereka ke Hogwarts. Ron dan Hermione, yang telah berperan besar dalam petualangan seumur hidupnya. Dua pasang mata menoleh kepadanya, membalas lambaiannya. Langsung saja Albus dan Lily berlari kearah saudara-saudara mereka yang sudah memanggil-manggil mereka. Terdengar tawa yang lepas saat kedua Potter itu mengobrol dengan Hugo dan Rose.
"Ginny, dimana James?" tanya Harry, mencari anaknya yang lain. Anak tertuanya yang paling jahil. Tapi, kadang-kadang rasanya lucu juga, karena Harry melihat figur ayahnya di dalam diri James. "Entahlah, Hon. Nah, itu dia, cari Teddy ternyata," Ginny tersenyum penuh arti kepada Harry. Wanita itu masih saja cantik setelah 21 tahun, pikir Harry.
"Father!" seorang remaja berambut cokelat memeluk Harry erat-erat. Harry membalas pelukan hangat putra baptisnya itu dengan ceria. "Cokelat hari ini, Ted?" Harry meledek Teddy. "Kau mau warna apa? Merah Jambu? Hijau kebiruan?" Ted membalas ledekan Harry.
Harry mengerling sedikit kepada Ginny yang sedang mengobrol dengan Luna dan Hermione. "Uncle Potter," sapa seorang anak perempuan, sopan. Mata anak itu sebiru lautan, kulitnya mulus dan bersinar, sangat kontras dengan rambut merah panjang yang dimilikinya. "Hai, Victoire. Apa kabar? Dimana Bill?" Harry membalas sapaan anak cantik itu. Hampir semua orang menoleh atau mengarahkan pandangan mereka sebentar untuk melihat Victoire. "Dad ada urusan di luar negeri, begitu juga Mom, aku dan yang lainnya diantar Uncle Ron kesini," Victoire menjawab. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Tiba-tiba Ted muncul lagi, memberi kode mengedip kepada Harry.
"Ohya, Victoire jaga Teddy ya, bilang dia kalau dia tidak lulus NEWT aku tidak akan mengizinkannya lagi ke toko George," ujar Harry. Victoire tertawa kecil. Ted mengacak-acak rambutnya hendak protes,"Tidak bisa dong, Father! Akukan sudah dewasa, kenapa dilarang-larang."
"Justru kau yang harusnya sadar. Kaukan sudah dewasa, kenapa masih saja suka ke tempat lelucon begitu," Harry menjawab. Victoire tertawa lebih keras dari sebelumnya. Ted ikut tertawa.
Tiba-tiba Lily datang memeluk ayahnya. Harry membalas pelukan Lily, "Dad, ceritakan lagi padaku apakah di Hogwarts orang-orangnya baik? Seperti apa kamar asramanya?" Lily bertanya dengan cemas. Harry mengerti kalau penjelasan kakak-kakaknya tidak mungkin dengan mudah Lily percaya. "Lily, mereka semua orang baik, Professor McGonagall juga sangat baik, jangan dengarkan James kalau Ia berkata macam-macam," Harry menjelaskan dengan lembut, membelai rambut merah Lily yang berkilau tertimpa matahari.
Para anak-anak sudah berada di dalam Hogwarts Express, siap menjalani hari-hari ajaib mereka di Hogwarts. Harry baru saja selesai mengantar Lily ke kompartemennya. Hampir semua Weasley berada dalam kompartemen yang sama. Harry jadi ingat lagi masa-masa sekolahnya ketika Ia duduk di salah satu kompartemen di dalam kereta ini, bersama Ron dan Hermione. Waktu berjalan sunguh cepat, dan Ia kembali menginjakkan kaki di King's Cross, mengantarkan anak-anaknya di dalam kompartemen yang pernah Ia tempati dahulu. Harry merangkul pinggang Ginny erat . Ginny menoleh tersenyum penuh pengertian kepada Harry. "Harry, itu dia, Draco Malfoy," Ron mencolek pundaknya.
Seorang laki-laki dewasa berwajah pucat berjalan melewati Harry, menggandeng tangan seorang anak yang tampak seperti duplikatnya dalam ukuran mini. Tampak juga seorang wanita yang Harry ketahui adalah istri Draco, Astoria, adik dari Daphne Greengrass. Draco terlihat dewasa dan juga terlihat semakin tampan, Harry mengakui bahwa mungkin saja Draco terlihat lebih awet muda dibandingkan dengan dia. Harry terus mengamati Draco yang mengantarkan anaknya, Scorpius, sampai ke pintu Hogwarts Express dan memberi kecupan perpisahan di kening duplikat mininya itu. Merasa ada yang mengawasi, Draco menoleh kepada Harry. Sepasang mata abu-abu itu terlihat kaget selama sedetik, tapi akhirnya Draco mengangguk kecil kepada Harry. Harry tentu saja membalas anggukannya yang langsung disambut oleh cubitan keras Ron di pinggang Harry.
"Bodoh kau! Tidak usah memberi salam kepadanya!" Ron berbisik keras di telinga Harry. Harry yang masih meringis sedikit tertawa melihat kelakuan sahabatnya yang tidak benar-benar berubah.
"Ron, semuanyakan sudah berbaikan, lagipula kudengar anak Malfoy itu kelakuannya baik di sekolah, Ia tidak pernah mengganggu anak-anak kita. Malah, berteman katanya," Ginny menimpali membela Harry. Harry tersenyum mengejek ke arah Ron.
Senyum Harry memudar melihat seorang anak perempuan berambut hitam legam berlari menghampiri Draco. Pergelangan tangan anak perempuan itu dibungkus semacam perban sampai ke siku. Anak itu memeluk Draco erat-erat. Draco tertawa ceria kepada anak itu dan mendaratkan ciuman di pipinya. Harry, dengan kemampuan aurornya, menguping pembicaraan mereka.
"Draco! Aku sudah menunggumu daritadi, astaga… kau tampan sekali," gadis itu terlihat menepuk kedua pipi Draco sehingga membuat Astoria dan Draco terbahak-bahak. Anak itu hanya memanggilnya dengan sebutan Draco? Padahal, Draco jelas jauh lebih tua darinya. Sebenarnya anak ini siapanya Draco?
"Tentu saja kau juga semakin cantik, Astoria. Semua orang tahu itu," gadis itu melepas pelukannya dari Draco dan berpaling memeluk Astoria. Astoria membuka tangannya lebar-lebar menyambut pelukan si anak perempuan. "Kami merindukanmu, kapan kau ke rumah kami lagi?" kata Astoria. "Entahlah, Astoria. Sampai hati kecil Granny sadar," jawabannya sudah tidak seceria tadi lagi. Draco sekali lagi memeluknya, "Sabarlah, Ia sangat menyayangimu, makanya Ia begitu," ujar Draco lembut. Harry terkejut dengan kata-kata yang Draco lontarkan. Terang saja, Draco benar-benar tampak seperti seorang ayah sekarang. "Keretanya sebentar lagi berangkat, aku masuk dulu, sampai ketemu lagi ya! Aku janji akan jaga Scorpius!" gadis bermata cokelat itu mencium pipi Draco dan Astoria lalu kembali naik ke Hogwarts Express. Anak itu berbalik sekali lagi, melambaikan tangannya yang tidak di perban dengan mata yang berkaca-kaca. Seketika itu juga pintu Hogwarts Express tertutup. Dan semua orangtua mengangkat tangan mereka, melambai-lambai kepada anak mereka yang ikut berlalu bersama kereta menuju Hogwarts, yang merupakan sekolah Ayah mereka juga dulu. Harry juga ikut melambai, Ia menoleh ke jendela kompartemen tempat tadi Ia mengantar para Potter dan Weasley. Jendelanya terbuka dan berpasang-pasang tangan melambai. Harry yang hanya bisa melihat wajah Albus, tersenyum selebar mungkin. Albus melambai bersemangat dan menutup jendelanya, ketika kereta itu menikung dan lenyap dari pandangan. Ia menggandeng mesra tangan Ginny yang menatap Harry bingung. "Tinggal kita berdua lagi, Hon," Harry berbisik lembut di telinga Ginny. Ginny mengecup pipi Harry.
"Kau langsung ke kementrian?" tanya Ginny ketika mereka telah ber-Dissaparate kembali ke Grimmauld Place.
Grimmauld Place sekarang adalah kediaman Potter. Keadaannya sudah jauh lebih hangat dan tidak sesuram dulu lagi. Butuh waktu lima bulan bagi Harry dan sahabat-sahabatnya (yang sekarang sudah menjadi keluarganya) untuk membersihkan rumah ini, hingga benar-benar normal. Hermione – entah bagaimana caranya, berhasil melepaskan mantra perekat yang digunakan Kreacher dengan lukisan Mrs. Black, sehingga umpatan-umpatan dan hinaan-hinaan kasar sudah tidak terdengar lagi di dalam sini. Sebagai gantinya, mereka menaruh sisa-sisa barang peninggalan keluarga Black ke dalam suatu ruangan yang biasa mereka sebut sebagai 'Ruangan Black'. Seluruh lukisan-lukisan, pajangan-pajangan, emas-emas dan benda-benda antik tertata rapih di dalam ruangan itu. Menurut Harry, keluarga Black juga harus di hormati karena sebagaimanapun bencinya Sirius kepada mereka, rumah ini dulunya adalah milik mereka dan selalu begitu. Kreacher menyetujui dibuatnya ruangan ini dan hampir setiap hari Kreacher kesana, bersih-bersih sampai lebih dari 10 menit dan memandangi para majikannya. Kepala para mantan peri rumah keluarga Black juga dengan berat hati mereka pajang satu persatu. Tetapi, pintu ke 'Ruangan Black' benar-benar bagaikan batas antara dua alam yang berbeda. Saat memasuki ruangan Black, rasanya dingin dan mencekam, berbeda saat di luar ruangan itu, hangat dan nyaman.
Harry mengenakan mantel aurornya yang berwarna cokelat, sudah disematkan oleh sebuah lencana emas. Di lencana itu terukir sebuah tulisan 'Head of Auror'.
"Ya, Ginny. Banyak sekali yang harus aku kerjakan," Harry mencium Ginny. Ginny membalas ciumannya dengan raut wajah masam. "Jadi, aku sendirian disini?" Ginny membalas. Harry membelai rambut merah Ginny dengan lembut. "Pergilah bersama Hermione atau Luna, atau ke The Burrow, sampaikan salamku pada Mom kalau kau kesana," timpal Harry. Ginny menatap mata hijau zamrud Harry. Ia mengangguk singkat. Harry sekali lagi mengecup dahinya dan ber-Apparate menuju kantornya
. . .
Draco duduk kursi putar di ruang kerjanya. Tongkat sihir Hawthorn miliknya Ia letakan hati-hati di sebuah tatakan kayu berukir. Ia memutar-mutar pena bulu di tangannya, sepertinya sedang berpikir. Draco bekerja di kementrian, sebagai seorang sekretaris ketua Departemen Bencana dan Kecelakaan sihir.
Draco tinggal terpisah dari orangtuanya sejak Ia menikah dengan Astoria, dan sekarang ayahnya malah menghilang entah kemana. Draco sudah membujuk Narcissa untuk tinggal dengannya, tapi Narcissa menolak. Ia tetap akan tinggal di rumahnya yang dulu Ia tinggali bersama Lucius. Sebagai gantinya, Draco mempercayakan seorang perempuan yang seumuran dengannya bernama Charlotte untuk menjaga ibu yang sangat Ia sayangi itu.
Nama Malfoy dibersihkan setelah Harry bicara pada semua orang bahwa keluarga Malfoy juga turut membantunya dalam mengalahkan Voldemort. Narcissa memang membantu Harry dengan mengatakan pada Voldemort bahwa Harry sudah mati, tapi Lucius tidak pernah menyukainya. Lucius masih membenci Harry seperti dulu. Karena tidak tahan dengan sikap ayahnya, Draco kabur dari rumah.
Dan singkat cerita, Astoria telah membawanya kembali ke Malfoy Manor dan disinilah Ia sekarang. Sudah tidak peduli lagi tentang ayahnya.
Mantan pemilik Tongkat Sihir Elder itu kembali mencatat, berkutat dengan tumpukan kertas-kertas file yang semakin lama semakin meninggi. "Slunky!" seru Draco, dan seorang peri rumah datang sepersekian detik kemudian. "Tolong buatkan aku sesuatu yang menyegarkan, aku benar-benar sudah tidak tahan lagi," Draco mendekap wajahnya dengan tangannya. Pekerjaan hari itu memang benar-benar banyak. "Baik Master Draco, Slunky akan membuat sesuatu yang menyegarkan untuk tuannya," Slunky membungkuk serendah mugkin dan menghilang dengan bunyi 'pop'.
Draco menghentikan pekerjaannya dan keluar dari ruang kerjaIa Berjalan ke suatu perpustakaan mini yang berada tepat disebelah kiri ruang kerja. Ia mengambil salah satu album foto keluarga dan membukanya. 'Milik Keluarga Malfoy' tertulis di lembar pertama album itu. Lembar kedua diisi oleh gambar Scorpius kecil. Draco tersenyum memandangi foto duplikatnya itu. Ia sendiri juga menyadari kemiripan fisik antaranya dan Scorpius, tapi sifat mereka sedikit berbeda. Scorpius anak yang ceria, tidak dingin sepertinya, tidak berperilaku menyebalkan dan heboh. Kebetulan Scorpius juga mendapat julukan 'Pangeran Slytherin' sama seperti Draco. Draco langsung membalik lagi halaman album yang sudah Ia tandai.
Fotonya dan Astoria kali ini, bersama seorang gadis mungil berambut hitam legam. Astoria masih hamil 2 bulan saat foto ini diambil. Draco menyentuh wajah si gadis kecil itu dengan jari-jarinya. "Carlisle," gumamnya. Gadis itu melambai-lambaikan tangan penuh semangat kepada Draco. Entah mengapa Ia bisa begitu menyayangi bayi perempuan yang dibawa Lucius 21 tahun yang lalu.
" Segelas Butterbeer yang segar untuk Master Draco," Slunky tiba-tiba saja muncul. Draco tersentak kaget dan menjatuhkan album foto yang ada ditangannya.
"Maafkan Slunky tuan!" Slunky membungkuk serendah-rendahnya sampai hampir tengkurap. Melihat hal ini Draco langsung bertindak. "Berdiri, Slunky. Tidak apa-apa, terimakasih," ujarnya penuh wibawa. Slunky menunduk sekali lagi memberi hormat dan menghilang.
"Tok,tok!" terdengar suara jendela yang diketuk. Draco menoleh ke sumber suara. Seekor burung hantu berkulit cokelat tua bertengger dijendela rumahnya, sebuah amplop putih terikat di kakinya. Draco segera melepas ikatan burung itu dan membaca suratnya.
'Kami benar-benar butuh kau, Malfoy. Masalah yang satu ini sepertinya harus melibatkan para auror. –Helen'
Auror? Separah itukah? Draco buru-buru mengenakan jubah kantornya dan ber-Apparate ke kantornya.
"Lily Potter versus Scorpius Malfoy, maju ke depan sekarang!" seru Professor Dung. Ia pengelola klub duel sekaligus guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam di Hogwarts selama 8 tahun terakhir ini.
Semua orang bergumam kaget karena Lily harus berduel dengan anak yang usianya 2 tahun diatasnya. Lily juga ikut terkejut, tapi mau tidak mau Ia harus tetap berduel, karena sekali saja Ia menolak Ia tidak akan pernah diizinkan untuk masuk lagi. 'Duel hanyalah untuk orang-orang bernyali' yang selalu dikatakan Professor Dung. Lily merasa Ia punya nyali untuk berduel dan dengan ragu-ragu berjalan ke tengah, dimana seorang anak berambut pirang telah menunggunya. Sejauh ini, Lily sudah mengalahkan hampir seluruh anak kelas satu. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Ia harus langsung berduel dengan anak kelas 3.
To be continued…
. . . .
Gimana gimana? Kepanjangan gak? Atau bosen? Hehehe… menerima kritik dan saran nih, hehehe!
By the way sebenernya ini baru bayangan buat chapter 2 nya. Ceritanya baru lebih jelas di chapter 2. Hope you like it!
Regards,
:)
