I don't own Naruto
Chapter 01: The Royal Family's Problem
Sakura
Latihan hari ini sangatlah melelahkan bagiku. Apalagi ditambah kakiku yang cedera saat melakukan aksi freestyle tadi. Tanpa basa-basi lagi kuselonjorkan kaki kananku yang terkilir untuk diperiksa oleh salah satu petugas kesehatan disini. Asuma, coach kami sedang berceloteh tentang pertahanan maupun strategi penyerangan kami yang katanya kurang fokus dan berantakan. Well, kuakui memang aku tidak terlalu fokus saat latihan tadi. Tapi aku tidak tahu dengan rekanku yang lain. Punggungku menyandar ke kursi yang kududuki saat ini sambil merilekskan badanku yang beberapa kali berjengit karena pijatan tangan petugas di depanku. Tiba-tiba, kakiku rasanya seakan dipelintir dengan arah yang berlawanan saat terkilir tadi. Spontan aku menjerit keras dan mengomelinya,
"Fuck. Bisakah kau pelan-pelan saja? Ini sangat menyakitkan ugh.." umpatku menggeram, bergerak tidak nyaman di kursiku.
"Setidaknya kau tidak akan cedera seperti itu, jika saja fokusmu tidak buyar." Coach Asuma mencibirku bosan sambil mengamati kuku jemarinya, seolah itu adalah hal yang sangat menarik baginya.
"Aku hanya... terlalu banyak pikiran," jawabku jujur. Ya, tidak ada yang harus di sembunyikan antara coach dan anak didik. Karena kami adalah tim. Dan tim ini merupakan keluarga kedua bagiku. Jujur dan saling terbuka satu sama lain adalah jalan yang bisa memudahkan suatu tim untuk meraih kesuksesannya.
"Kupikir, kau sudah terlalu dewasa untuk kuceramahi. Tapi, kau tetaplah anak didikku yang harus aku arahkan terus-menerus sampai kau bisa mengerti. Mengerti bagaimana cara membedakan antara urusan pribadimu dengan urusan timmu yang seharusnya kau utamakan saat ini. For goodness sake, 'Ra. Ini kesempatan kita untuk bisa mengalahkan tim dari Spanyol itu. Kita akan bermain di kandang lawan. Dan kita harus bisa memenangkan liga persahabatan antar negara ini." Coach berambut kecoklatan itu mondar-mandir di depan kami yang sedang beristirahat. "Bisakah kau melakukan itu untuk kami? Untuk timmu dan untuk negaramu ini?"
Aku menunduk. "I'm sorry, coach," ucapku lirih. Kuusap rambut sebahuku yang terkuncir dengan putus asa. "Akan aku usahakan."
Ya, aku harus bisa mengesampingkan urusan pribadiku. Dan mendahulukan kepentingan orang banyak, termasuk Sparks.
"Bagus. Itu yang kami harapkan darimu. Terus perjuangkan Sparks, young lady." Dia menepuk kedua tangannya sekali lalu pamit pergi menemui urusannya sebagai coach tim Sparks—yang tidak pernah absen dalam WNBA—meninggalkan kami yang masih terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Apa yang salah denganmu?" wanita berambut pirang panjang disampingku bertanya, menampilkan raut khawatirnya yang tidak asing lagi bagiku.
"Tidak ada," jawabku singkat, ingin memberinya isyarat bahwa aku sedang tidak mood untuk diajak berbicara tentang masalah yang tiba-tiba muncul di hidupku. Shit.
Dia memutar bola matanya bosan. "Oh, really? Come on, 'Ra. Aku mengerti kau lebih dari kau mengerti dirimu sendiri. So, tell me what's your problem?"
Aku menatap matanya lurus-lurus, mencoba mencari sesuatu yang tidak akan meragukanku saat bercerita padanya nanti. Aku ingin percaya padanya. Dan dia harus menjaga setiap rahasia yang kubagi padanya. Sebelumnya, aku tidak pernah meragukan kesetiaannya sebagai sahabat. Namun masalah kali ini sangatlah complicated, dan bisa saja menimbulkan berita skandal yang sangat menggemparkan dunia olahraga dan entertainment, menurutku. Dan selalu sama seperti sebelumnya, kali inipun aku tidak bisa meragukannya lagi. Jadi, kenapa kau meragukannya tadi, kalau faktanya dia adalah sahabat yang bisa dipercaya? Benakku menyindir pedas.
Menghela napas lelah, aku bergerak mendekat padanya untuk berbisik. "Perjodohan," ujarku lirih ke telinganya.
Seakan slow motion, matanya membulat dan mulutnya terbuka kemudian kedua tangannya bergerak keatas menutupi mulutnya yang menganga lebar. Aku memutar bola mata bosan. Tipikal.
"Is that true?" Dia bertanya masih dengan mata yang membulat mengerikan padaku.
"Ino, Ino, Ino..." kepalaku menggeleng geli menanggapinya. "Aku tidak akan stres begini jika saja apa yang aku bicarakan barusan adalah lelucon."
"Seriously? Perjodo—?" Ino hampir saja meneriakkan kata sialan itu keras-keras, namun segera kutendang kakinya agar dia tutup mulut sebelum terlambat. Dasar ember.
Ino menangkupkan kedua tangannya ke kedua pipinya yang sedikit memerah entah karena kaget atau menahan tawa. "Kau sungguhan? Apa aku bermimpi?"
Aku menggeleng. "I'm afraid not."
Berdiri dari dudukku, kakiku mengarah ke loker yang berisi beberapa pakaian yang kubawa dari rumah sambil meringis menahan kedutan hebat di kaki kananku. Berapa lama aku harus menanggung rasa sakit ini? Damn. Semua ini karena kata sialan itu.
Setelah sedikit berbincang dengan ke-empat rekanku, aku langsung pergi mengendarai mobilku membelah jalanan Los Angeles di sore hari yang lumayan terik karena sinar matahari masih menampakkan diri dengan gagahnya.
Setelah beberapa menit berpikir sambil menyetir, aku memutuskan untuk mampir sebentar ke toko roti yang terkenal akan kelezatannya di tepi jalan raya yang masih buka. Aku ingin memberikan berbagai macam makanan ringan yang manis kesayangannya. Sebenarnya, aku tidak terlalu menyukai yang namanya makanan manis. Tetapi, apapun yang bisa membuatnya bahagia akan kulakukan dengan senang hati. Ngomong-ngomong, aku belum mandi sedari pagi tadi. Ew. Aku akan menumpang mandi di hotelnya nanti.
Kutepikan mobilku tepat di depan Dely's Bakery itu, sambil mataku awas melirik polisi yang biasa bertugas disini. Ditilang merupakan kebiasaanku yang tidak bisa kuubah. Anggap saja aku berlangganan tilang-menilang. Kalau saja aku tidak terburu-buru, bisa saja masalah penilangan itu tidak pernah menghampiriku. Aku bahkan tidak terkejut saat membaca gosip tentang diriku yang selalu ditilang di internet. Bahkan aku hanya memutar mata bosan tidak menyangkalnya.
Semenit kemudian aku turun dari mobil setelah memastikan tidak ada polisi gemuk yang biasa mondar-mandir di sekitar sini. Thanks God, keberuntungan tengah memihak padaku.
Setiap membuka pintu kaca toko roti ini, telingaku tak pernah luput mendengar lonceng kecil yang terpasang di sudut atas pintu, menandakan datangnya seorang pelanggan. Harumnya panggangan roti saja sudah menyeruak ke hidungku dengan hebatnya. Tidak salah lagi toko roti ini menjadi terkenal.
"Ada yang bisa dibantu, miss?" seorang wanita paruh baya berusia sekitaran mum berlari kecil menghampiriku yang berdiri kaku di samping meja dengan banyak bunga yang bertumpah-ruah di setiap keranjang yang di sediakan. Di toko ini selalu ada saja bunga yang ditempatkan di setiap sudut etalase ataupun meja yang berisi roti-roti sedap itu. Aku tidak tahu apa alasan mereka menghias seperti itu. Ini sungguh memuakkan. Aku sama sekali tidak menyukai yang namanya bunga. Apapun jenisnya aku tetap tidak suka. Jadi wajar saja kalau tubuhku menjadi kaku dan sedikit enggan.
"Ah.. aku ingin donat dengan taburan gula putih." Mataku berkeliling mencoba mencari donat dan teman-temannya di sela-sela bunga berwarna-warni itu. Hmm.. dan tidak kutemukan.
"Berapa banyak, miss?" wanita paruh baya itu tersenyum ramah padaku.
"Terserah kau saja." Dan aku akan selalu menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama berulang kali.
Dia mengangguk sebelum menghilang di balik deretan etalase yang menutupi tubuh rata-ratanya. Setiap bunga yang kulihat memiliki beraneka ragam warna-warna yang mencolok. Hampir saja membuatku sakit mata. Apalagi wangi aromanya yang menyerbak dan menyengat mengalahkan aroma sedap roti disini. Aku berkali-kali mengingatkan diriku sendiri untuk bertahan di tempat ini beberapa menit ke depan. Mungkin jika bukan karenanya, aku akan berlari keluar secepat yang aku bisa. Heck, I hate flowers.
Daripada berdiri kaku di samping meja penuh bunga ini, aku mencoba berkeliling melihat-lihat, berharap ada sesuatu yang menarik selain bunga semerbak serta roti beraneka ragam rasa itu. Well, tentu saja di ruangan ini hanya penuh dengan bunga, makanan, dan kertas-kertas pembungkus. Apa yang kau harapkan, 'Ra? Bodohnya dirimu. Pikirku mencibir.
"Miss..." Tangan seseorang menyentuh lengan kananku secara tiba-tiba, membuatku berjengit sedikit.
"Hah?" Kepalaku menoleh kaget, hanya untuk menemukan Mrs. Henry berdiri di sebelahku membawakan sekotak besar donat yang aku pesan tadi dengan hiasan mawar putih ditangannya. Dia memang selalu menghampiriku. Aku sedikit mengernyit menatap hiasan bunga itu. Heh, tahan sedikit, 'Ra.
Mrs. Henry memberikannya padaku sembari tanganku merogoh saku mengambilkan uang untuknya. "Terima kasih, Mrs. Henry."
Dia tersenyum ramah. "Kembali lagi, young lady." Aku balas tersenyum lebar padanya.
Berjalan menuju pintu yang tadi kumasuki, secara tiba-tiba seorang pria menyenggol bahu kiriku dengan keras. Keras sekali hingga hampir saja aku menjatuhkan kotak ditanganku. Seolah dia memang sengaja melakukannya. Sialan.
Aku menggeram rendah sesaat setelah mataku yang menyipit dingin bertatapan dengan matanya yang berwarna biru layaknya samudra. Kutelusuri wajahnya dengan tatapan menyelidik. Oh... betapa warna rambutnya mengingatkanku akan dirinya. Dammit. Ketidaksabaran memaksaku untuk kembali ke tujuan awalku.
Berdecak keras, pria itu melihatku aneh dengan keningnya yang berkerut dalam. "Open your eyes, man." Setelah mengatakan satu kalimat bernada sinis itu, kakiku kembali melangkah lebar-lebar ke arah pintu.
Selama perjalanan, pikiranku kembali memutar ulang peristiwa sialan semalam. Peristiwa yang berhasil membuat darahku mendidih. Peristiwa yang berhasil membuat lubang besar di hatiku. Dan peristiwa yang nyaris membuatku terkena serangan jantung. Tak terasa mataku sedikit memanas karena mengingatnya. Namun takkan kubiarkan air mata sialan yang membuatku lemah ini meluncur bebas ke pipiku. Mereka terlihat egois dan tidak punya hati. Dengan seenaknya mereka memperlakukanku seolah aku ini adalah seonggok boneka yang bisa dimainkan kapanpun mereka mau. Namun aku tahu semua itu karena mereka peduli padaku.
"Please, take a seat, sweetie." Mum menatapku lembut, namun tak dapat menutupi kilatan antusias di matanya. Aku mulai bertanya-tanya, untuk apa mereka memanggilku sampai repot-repot mengundang kakek dan nenek yang datang jauh-jauh dari Brazil. Atau mungkin mereka mengundang diri mereka sendiri, aku tak tahu. Kemudian aku mendapati keberadaan kembaranku yang merupakan sainganku dalam bidang olahraga dengan istrinya dan kakak tertuaku yang duduk dengan anaknya yang bermain boneka di pangkuannya.
Ah, aku sudah bisa menebak jika istrinya, Hana, sedang sibuk mengurung diri dengan lukisannya. Hana Haruno, kakak iparku yang sebelumnya bernama Hana Inuzuka itu memanglah seorang pelukis yang sangat berbakat. Tapi saat ini aku sedang tidak ingin membahasnya lebih dalam, karena masalahku saat ini ada di depanku—menunggu untuk kuhadapi.
"Ada apa ini? Kenapa semuanya berkumpul? Apa ada acara besar?" Aku tak bisa menutupi rasa penasaranku. Sementara aku kebingungan disini, mereka malah terlihat tenang dengan senyuman misterius yang membuatku semakin penasaran.
"Kau akan segera tahu cake, tapi terlebih dahulu, makan malam sudah tersaji di meja makan. Jadi, apa yang lebih penting dibandingkan dengan makan?" Dad melenggang pergi menuju ruang makan yang terhubung dengan dapur, diikuti oleh yang lainnya. Kalau akhirnya kembali ke makanan, tahu begitu tadi aku berdiri saja.
Di meja makan, hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Ah, suara baby girl, anak Sasori juga terdengar. Entah hanya aku saja atau yang lainnya yang ada di sepanjang meja merasakan suasana yang tidak mengenakkan ini. Membuatku bergerak tidak nyaman. Seakan mengerti kegelisahanku, Gaara bertanya setelah kegiatan kunyahannya, mengundangku meliriknya mencemooh. "Ada apa denganmu, 'Ra?"
Mengedik seperti biasa, aku menjawab, "You are disgusting." Gaara memelototiku dengan mata hijaunya yang mirip denganku. "The hell was wrong with you?" tanyanya mengernyit curiga padaku.
Aku tidak tahu mengapa rasanya setiap kali berbicara dengannya mulutku sulit sekali untuk dikontrol dalam mengeluarkan cacian pedas yang berujung perdebatan di antara kami. Candaanku memang keterlaluan.
"Look—"
"Please, you two. Kita sedang makan, bukan bertengkar, okay?" Mum melerai kami menggunakan suara tegasnya yang selalu bisa membuat kami diam dalam sekejap. Damn. The power of our mummy is too strong to deny.
Makan malam berjalan tenang bagi mereka, namun tidak bagiku. Aku masih merasa tidak nyaman dengan pertemuan ini. Bagus sekali. Sepertinya akan terjadi sesuatu yang buruk. Mereka semua terlihat mencurigakan. Dan aku tidak menyukai itu. Tiba-tiba rasa takut menggelayutiku, seakan-akan hal itu akan menelanku hidup-hidup hingga tak tersisa sedikitpun.
Saat ini, kami kembali berkumpul di ruang keluarga yang sangat familiar untukku. Tempatku menetap bukanlah disini lagi, tapi di Beverly Hills. Hanya disana kedamaian bisa kudapatkan. Terlalu banyak aturan jika aku tetap tinggal satu atap dengan dad, mum, dan dua saudara laki-lakiku serta keluarga kecil mereka masing-masing. Mereka sudah memiliki rumah sendiri. Tetapi aku tidak tahu mengapa mereka lebih sering menghabiskan waktunya di rumah ini.
Dad berdeham, mengalihkan perhatian kami yang sedang berbincang satu sama lain, menanyakan kabar maupun karir yang kami jalani masing-masing. "Karena semuanya sudah lengkap berkumpul disini, aku ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting untuk anakku." Entah sejak kapan aku menahan napas, takut akan sesuatu yang keluar dari mulut dad yang tegas. "Khususnya, putriku satu-satunya, Sakura Haruno."
Oh great. Sudah kuduga ada yang tidak beres dengan pertemuan ini. Apalagi kali ini dad melibatkanku.
"What's going on?" Mulutku bertanya kencang tanpa bisa kucegah.
"Begini, cake..." Dad menggantung kalimatnya sambil memperlihatkan kerutan keningnya yang dalam. "Apa kau ingat dengan sahabat dad dari Spanyol itu?"
Sahabat dari Spanyol? Otakku kembali aku paksa untuk mengingat siapa sosok sahabat yang dibicarakan dad saat ini. Hmm, hanya ada satu orang sahabat yang pernah datang berkunjung ke rumah ini saat aku masih berumur tujuh belas tahun. Saat itu memang dad sedang mengadakan reuni antar teman maupun sahabatnya semasa sekolah dulu, seingatku. Aku mengingat bagaimana orang itu, but not the name.
"Aku tidak ingat namanya," jawabku terus terang.
Dad mengangguk paham. Aku melirik penghuni lainnya yang masih berbincang meskipun sangat lirih. Termasuk kakek dan nenek yang mendadak menjadi pendengar dibandingkan kebiasaan mereka yang suka berceloteh dan bercanda ria dengan kami. I'm fucking curious and of course, nervous.
"Dad paham, karena kau bukanlah orang yang peduli dengan sekitarmu. Well, I can't blame you, because you're the young of me." Kekeh Dad menggelengkan kepalanya pelan yang ditanggapi pukulan ringan di lengan milik mum. Dia sedang bernostalgia. Sayang sekali waktunya tidak tepat.
Berdeham sekali lagi, Dad menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kiri khas dirinya. "Namanya Fugaku Uchiha, dan istrinya bernama Mikoto Uchiha. Dia adalah sahabat yang sangat menyenangkan sekaligus menyebalkan," curhatnya membuatku memutar mata malas. "Tapi bukan mereka topik utama kita saat ini. Topik utama dan terpenting saat ini adalah putra bungsunya, Sasuke Uchiha."
Sasuke? Aku jelas tidak mengenalnya. He is fucking Spanish man.
"Lalu?"
"Dengarkan dulu, 'Ra." Mum melirikku tajam bagaikan pisau. Bagus. Sekarang aku seperti terdakwa yang siap divonis dengan beberapa orang yang menyaksikkan secara langsung bagaimana nasibku selanjutnya.
"Dengar baik-baik, 'Ra." Dad menarik napasnya dalam-dalam. "Dad melakukan ini demi kebaikanmu. Tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia, termasuk dad dan mum. Jangan sekali-kali kau membenci kami karena keputusan sepihak yang kami sepakati tanpa sepengatahuanmu sedikitpun, mengerti?"
Dad terlalu basi-basi. Aku tidak suka itu apalagi ditambah ketidaktahuanku akan kemana akhir jalan percakapan ini berlabuh. Akhirnya tanpa berpikir untuk yang kedua kalinya aku menjawab, "It's okay dad."
"Kami akan menjodohkanmu dengan putra sahabat dad tadi—Sasuke Uchiha."
Aku menegang dan menatapnya terkejut tidak percaya lalu berdiri dari dudukku hanya untuk berteriak. "What the hell is this?"
Selanjutnya pergerakan yang sama juga dilakukan mum. "Don't rise your voice, young lady. Calm down."
Wajahnya menatap murka ke wajahku yang penuh amarah yang meletup-letup tidak percaya. Apa-apaan ini? Mereka pasti bercanda.
"Jangan bercanda, dad." kepalaku kembali terpaku menatap pria paruh baya yang sangat berarti dalam hidupku selama ini. "Ini tidaklah lucu. Aku hampir mati muda rasanya." Tawa hambarku meluncur seketika, melengkapi suasana hening sejak dad mengatakan kata laknat itu ke udara. "Apakah hari ini April mop?"
"Terserah kau mau menganggapnya lelucon atau apapun itu, cake. Dad melakukan semua ini untuk kebaikanmu dan semuanya sudah mengetahui itu dan menyetujuinya," tegasnya tak terbantahkan, menatapku lurus-lurus menusuk tepat mataku hingga ke jantungku.
Sementara semuanya diam, aku bereaksi mengeluarkan semua amarah terpendamku. "Apa masalahnya sampai-sampai kalian menjodohkanku dengan seenaknya begini? Aku tidak tahu dengan jalan pikir kalian yang kuno. Lihat, aku sudah dewasa dan bisa mencari sendiri pasanganku, dad. Tak perlu mencarikanku seperti ini. Aku bukanlah anak kecil lagi yang bisa semaunya diatur dan diperintah layaknya boneka hidup yang tidak bisa apa-apa." Dadaku naik turun. Menyesakkan sekali rasanya. Bagaimana mungkin mereka tega padaku—putri satu-satunya dari tiga bersaudara..
Mata dad memancar tajam. "Masalahnya rumormu itu sudah menyebar ke seluruh penjuru media. Dan dad tidak ingin kau menanggung itu semua sendirian, cake. Dad dan mum sangat menyayangimu."
Tunggu.
Rumor yang mana? Rumor apa? Rumor tentangku? Kenapa aku tidak pernah tahu ataupun mendengarnya sama sekali?
Rautku yang kebingungan mengundang Sasori memberikan ponselnya yang menampilkan artikel tentangku yang lantas membuatku terkejut bukan main. Di artikel itu terdapat fotoku sedang berada di kelab bersama seorang pria. Kami terlihat sangat mesra disana. Sontak aku memaklumi para pemburu media yang sigap mengemas skandalku dengan apik ke media. Sialan.
"Fuck, fuckity, fuckdick, fuck." umpatku lirih sekali tidak terdengar semua penghuni yang menggerombol menyaksikkan reaksiku kini.
Aku tidak percaya hanya karena rumor seperti ini dad berani mengambil keputusan sepihak yang memancingku untuk bertindak radikal di hadapannya.
"Dad..." kuhela napasku sejenak sambil merangkai setiap kata yang akan kuucapkan. "Seriously? It's just a rubbish, dad. Don't believe it, okay? Karena aku tidak mungkin melakukan skandal seperti ini." ponsel Sasori kupampangkan di depannya agar dia melihat secara jelas.
"Trust me, dad."
"Keputusan kami sudah bulat, Sakura." Ketidaksukaanku semakin menjadi-jadi saat dad menyebut namaku dengan tegas. Itu artinya perintahnya mutlak dan aku tidak punya peluang sekecil apapun untuk menolaknya. "Terima atau hilang sudah karirmu sebagai pebasket selama 3 tahun ini," imbuhnya sambil lalu meninggalkanku yang berdiri mematung mencerna apa yang dikatakannya barusan.
Tersadar dari kebekuanku, kakiku spontan berlari menyusul dad yang terlebih dulu pergi. Telingaku serasa tuli sudah karena panggilan mum dibelakangku hingga terabaikan begitu saja. Aku tahu ia mengejarku yang memanggil-manggil dad sekeras yang aku bisa. Namun saat ini aku sedang tidak butuh omelan maupun nasehat lembut dari mum. Aku tidak butuh itu.
Yang aku butuhkan saat ini adalah penjelasan dari dad. Mengapa ia begitu tega melakukan ini padaku. Walaupun aku tahu semua protes yang menyembur dari mulutku takkan pernah bisa mematahkan tekad bulatnya. Timbul sudah rasa benci dalam diriku. Bukan salah dad jika dia melakukan ini terhadapku, aku tahu dia melakukan ini demi kebaikanku—putrinya, aku tidak bisa membencinya hanya karena tindak tegasnya yang pasti kelak membahagiakanku. Sungguh aku baru menyadari bahwa selama ini semua yang dilakukannya hanya untuk masa depanku.
Oh God. Tindakanku memanglah salah, aku mengakui itu. Justru sekarang aku mulai membenci diriku sendiri, atas semua kecerobohan dan kebodohanku, juga keadaan yang membuatku menjadi seperti ini.
I hate all of this fucking shit.
"Fuck!" Setir mobil dihadapanku lantas menjadi korban pukulanku kala otakku kembali memutar kejadian memuakkan itu. Great. Tidak lama lagi hidupku akan terasa seperti di nereka. Sarat akan amarah dan kebencian.
Memarkirkan mobilku di pelataran parkir yang tersedia di basemen gedung hotel, sejenak kain lembut sweater aku pakai untuk mengusap wajahku yang menjadi korban lintasan air mata tak bergunaku. Sejak kejadian itu, entah kenapa aku menjadi mellow begini. Hal yang seharusnya tidak pernah ada dalam kamusku, menangis.
Aku bukanlah wanita cengeng yang mengumbar tangisannya tanpa tahu malu dimanapun. Hanya sekali ini saja aku rela menangis. Namun aku berjanji tidak akan menangisi omong kosong tidak berguna itu lagi. Buang sudah masalah memuakkan itu. Ah, sudahlah itu tidaklah penting lagi. Sekarang waktunya untuk bersenang-senang, melupakan sejenak beban pikiran yang menggelayutiku.
Aku langsung menuju kamar hotelnya tanpa perlu meminta key card. Sudah bisa dipastikan bahwa aku sudah mempunyainya.
Pintu kamarnya yang berada di depanku membuatku sedikit merutuki kegiatan tangisan tidak berguna tadi. Ya, aku hanya berharap semoga mataku tidak memerah dan sembab. Karena itu memalukan.
Setelah menggesek key card mataku langsung disuguhi pemandangan sepasang sepatu sport dan dua koper besar yang asing bagiku. Aku baru tahu kalau dia memiliki koper baru sebab biasanya ia akan menunjukkan barang-barang baru yang dibelinya. Dan aku tidak keberatan dengan hal itu.
Kuletakkan box roti lezat ini diatas pantry lalu menuju kamarnya. Kalau dipikir-pikir dia selalu berada dirumah sebelum matahari terbenam. Tetapi aku merasa heran sekaligus penasaran dengan barang-barang tadi.
Mendapati ia tertidur dibawah balutan selimut, mengundangku untuk membangunkannya dengan cara yang sedikit ekstrim. Lagipula aku tidak terlalu terganggu dengan omelannya nanti yang malahan membuatku semakin merindukannya.
Langsung saja kusingkap selimut itu dan terkejut mendapati seorang pemuda asing yang tidur disana dan bukannya kekasihku. Apa aku salah masuk kamar?
Fuck.
"Who the hell are you?"
000
A/N: Hello fellas! I'm back with new story. It's been ages since my last updated. I hope everything is going well. I will continue to write the Haruno Sakura: Music Addict. I'm sorry for my absence cuz of college life. Well, enjoy this story and give me ur feedback. See ya!
