That Night, Chapter 1.
.
.
-Chongqing, China, 2017.
Duar! Duar!
Hangeng, lelaki berwajah oriental itu terlihat tengah asyik memperhatikan lampion-lampion dan kembang api yang melintas di atasnya. Sembari berdiri bersandar pada ujung pagar pembatas jembatan yang menghadap ke sungai kecil, lelaki itu menyunggingkan senyum sederhana yang memikat. Ia terlihat sangat menikmati apa yang sedang ia saksikan sekarang.
Malam ini adalah malam perayaan tahun baru di China, salah satu perayaan yang paling dinanti-nanti oleh Hangeng, selain perayaan Yuanxiao, tentunya. Hangeng sangat menyukai perayaan ini, karena disaat seperti inilah ia bisa melihat suasana kota yang ramai di malam hari, ditemani oleh lampion berwarna-warni dan kembang api yang menari-nari di atas langit sana.
Dalam kesendiriannya di tengah hiruk-pikuk lautan manusia yang datang untuk menonton kembang api dan lampion, Hangeng merasa sangat senang. Beberapa kali, lelaki yang hanya mengenakan kaus putih yang dilapisi oleh setelan kemeja lusuh dengan warna senada itu terlihat menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan matanya, menikmati udara malam di Chongqing yang telah bercampur dengan bau asap yang khas.
Duar! Duar!
Hangeng kembali membuka kedua matanya dan tersenyum lega, memperhatikan kembang api yang kembali dilepaskan ke atas dan mengukir bentuk-bentuk yang menarik di atas langit gelap sana. Walaupun udara di sekitarnya semakin dingin, tapi lelaki itu tetap merasa hangat. Ia diselimuti oleh kebahagiaan yang sangat sederhana malam ini.
Sembari terus tersenyum, Hangeng membiarkan kedua mata sipitnya menyapu sekeliling dengan pandangan kagum. Lelaki yang telah tumbuh dewasa itu memperhatikan satu per satu orang-orang yang berkeliaran di sekitarnya, sebelum akhirnya pandangannya terhenti pada seorang gadis berambut pendek yang tengah berdiri dua meter di sebelah kirinya.
Gadis cantik berpakaian dress ketat berwarna hitam yang dipadu dengan stocking jaring berwarna senada itu terlihat tengah asyik memperhatikan kembang api yang menyebar di atasnya, dengan air mata yang mengalir turun membasahi pipinya.
Hangeng menahan nafasnya, diam-diam memperhatikan gadis yang entah sejak kapan berdiri disana itu. Bahu kecil milik gadis itu bergetar hebat. Tangisannya semakin kencang, seakan bersaing dengan suara letusan kembang api yang bersahut-sahutan dari berbagai penjuru.
"Hiks.." Gadis itu terus memperhatikan kembang api yang merekah besar di langit sana dengan berlinang air mata. Sesekali, ia menggigit bibir tebalnya, membuat bibir itu terluka karena perbuatannya sendiri.
Hangeng meringis kecil melihatnya. Ia jadi merasa iba sekaligus penasaran. Oh ayolah, ini malam tahun baru. Seharusnya semua orang berbahagia menyambutnya, bukan? Tapi, kenapa gadis itu malah menangis? Ingin sekali rasanya Hangeng bertanya, tapi.. bisa-bisa ia malah dikira orang aneh atau penjahat. Jadi, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk sok akrab dan memilih untuk tetap diam di tempatnya, setia mendengarkan isak tangis gadis itu dari posisi berdirinya sekarang.
Duar! Duar!
Sebuah kembang api besar kembali diluncurkan dari arah selatan, menimbulkan bunyi keras sebelum akhirnya merekah indah di permukaan langit malam yang tadinya sepi. Lampion-lampion yang bercahaya kembali berterbangan, menghiasi angkasa yang bergembira malam ini.
Hangeng kembali menikmati pemandangan yang ada di depan matanya sekarang. Ia tersenyum senang, dan tanpa sadar menolehkan wajahnya ke samping, memperhatikan gadis yang ada di sebelah kirinya itu. tiba-tiba, gadis itu juga menolehkan wajahnya ke arah Hangeng-dan pandangan mereka pun akhirnya bertemu, untuk yang pertama kalinya.
Jantung Hangeng terasa seperti merosot jatuh ke bawah detik itu juga, tepat disaat kedua mata sipit miliknya beradu pandang dengan sepasang mata cantik milik gadis asing itu. Dengan susah payah, Hangeng meneguk ludahnya dan mulai membuka suaranya.
"Hey, S-Selamat tahun baru." Ucap lelaki itu dengan kedua kaki yang bergetar hebat. Ia merasa sangat canggung. Pandangannya seakan tersita habis setelah melihat sorot mata kelam milik gadis itu yang seakan menandakan sesuatu, seperti rasa sakit? Entahlah.
Gadis itu tidak merespon dengan kata-kata, namun ia tersenyum tipis. Wajahnya yang pucat membuat Hangeng khawatir bukan main-tapi sayangnya, lelaki itu tidak bisa menanyakan apapun. Hangeng hanya bisa terus memperhatikan gadis itu sampai ia kembali memfokuskan pandangannya pada suasana meriah di sekitarnya sembari menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya sendiri.
Dalam diam, Hangeng merogoh saku celana kainnya, berusaha untuk menemukan sapu tangan lusuh miliknya yang selalu ia simpan di dalam sana. Dari dalam hatinya, ada sebuah dorongan kecil untuk memberikan sapu tangan itu kepada gadis tersebut. Tapi, Hangeng ragu. Selama beberapa saat, ia terus menggenggam sapu tangan itu di dalam saku celananya dan berpikir keras.
Apa ia harus memberikannya, atau tidak? Hangeng menggigit bibirnya, menghadapi dilema kecil. Ia harus memberikannya. Sembari menarik nafas dalam-dalam, Hangeng menarik keluar sapu tangan itu dari saku celananya dan menolehkan kepalanya kembali ke arah gadis itu. Baru saja ia ingin memberikan sapu tangan itu, namun gerakannya tertahan setelah ia melihat sebuah mobil van berwarna hitam berhenti tepat di dekatnya dan seorang lelaki berpakaian setelan jas hitam turun dari dalamnya. Lelaki itu segera menuju ke arah gadis berambut pendek itu dan menarik tangannya dengan kasar dari belakang.
"Kena kau, gadis sialan."
Hangeng membeku di tempatnya, memperhatikan gadis itu yang terlihat terkejut dan berusaha untuk kabur dari lelaki yang saat ini tengah mencengkram kasar lengan kirinya itu.
"S-Shiyuan, lepaskan tanganku.." Gadis itu memohon, menatap lelaki yang dipanggilnya Shiyuan itu dengan takut-takut dan berusaha untuk meregangkan cengkraman lelaki itu yang seakan ingin menghancurkan lengannya. "Kumohon, aku tidak berniat untuk kabur darimu.."
Shiyuan semakin kuat mencengkram lengan gadis itu. Ia terlihat sangat marah. "Kau pikir aku percaya padamu, Xiche? Cepat masuk!" dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk menarik gadis bernama Xiche itu untuk masuk ke dalam van.
Xiche melawan. Ia mendorong Shiyuan dan berteriak. "Lepaskan aku! Sungguh, aku cuma ingin melihat kembang api!" Gadis itu menangis, ketakutan melihat tingkah Shiyuan yang seperti orang kesetanan di hadapannya.
"Sialan! Beraninya kau melawanku!" Shiyuan menjadi marah besar. Ia menjambak rambut pendek Xiche, membuat gadis itu mengerang kesakitan. "Dasar jalang tidak tahu diuntung!" Makinya sembari mengangkat tangan kanannya, berniat untuk melayangkan tamparan pada pipi Xiche. Namun, perbuatannya itu segera terbelenggu disaat seseorang tiba-tiba menghantamnya dengan satu pukulan telak di wajah.
Seseorang itu, Hangeng baru saja membuat tubuh Shiyuan terdorong ke belakang karena pukulan telaknya. Ia terlihat sangat marah. "Beraninya menyiksa perempuan. Lelaki macam apa kau itu?"
Xiche terkejut melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Hangeng. Ia menjadi semakin takut. Ia berlari mendekati lelaki china itu dan berusaha untuk menahannya, tapi Hangeng sudah kembali melayangkan pukulan keduanya disaat melihat Shiyuan kembali maju mendekat.
Buagh! Satu pukulan keras kembali menghantam wajah tampan milik Shiyuan, membuat lelaki itu terhuyung ke belakang dan akhirnya jatuh ke tanah. Nafas Hangeng memburu, termakan habis oleh amarahnya yang sudah ia tahan semenjak Shiyuan mencengkram lengan Xiche dan memaki-makinya tadi.
"Ikut aku! Kita pergi dari sini!" Hangeng tiba-tiba menarik tangan Xiche, membawa gadis itu pergi menjauh sebelum Shiyuan mengejar dan mendapatkan mereka. Dalam keadaan panik, dua sejoli itu berlari dengan sekuat tenaga, melewati kerumunan orang yang sama-sama berkumpul untuk menyaksikan lampion dan kembang api dengan nafas yang memburu.
Hangeng melirik sekitar, kemudian menarik tangan Xiche untuk masuk ke dalam gang kecil yang berada di sisi kiri jalan yang mereka lintasi. "Lewat sini!" Komandonya dengan sigap. Xiche terus mengikuti Hangeng, berlari menyusuri gang kecil yang mengarah pada rumah-rumah dan gudang pabrik. Tak lama, gadis itu menjadi lelah. kakinya sakit bukan main karena harus berlari dengan mengenakan sepatu hak tinggi.
"B-Berhenti dulu! Aku lelah.." Xiche tidak sanggup berlari lagi. ia melepaskan genggaman tangan Hangeng pada tangannya, lalu menarik nafas dalam-dalam dan beranjak duduk di atas sebuah peti kayu bekas yang ada di tepi gang sana.
Hangeng mengikutinya berhenti. Lelaki itu juga kelelahan. Ia beranjak duduk di tanah tepat di hadapan Xiche dengan nafas yang tak beraturan dan keringat yang mengalir membasahi pelipis dan sekitar lehernya.
"Agh.." Xiche meringis pelan sembari memegangi telapak kakinya yang terasa sangat nyeri karena terlalu banyak berlari tadi. Gadis itu melepaskan sepatu hak tingginya dengan kasar sembari mendengus kecil.
Hangeng memperhatikan gadis itu dengan raut wajah khawatir, masih sembari berusaha untuk mengatur nafasnya. Ia kemudian mulai mendekat. "Biar kupijat." Ucapnya sembari menyentuh telapak kaki Xiche yang hangat dan mulai memijatnya pelan.
Xiche hanya diam, membiarkan Hangeng memijat telapak kakinya dengan telaten. Sesaat, gadis cantik itu menghela nafas berat. "Dasar bodoh."
"Apa?" Hangeng mengangkat kepalanya, memandangi Xiche yang kini tengah menampakkan raut wajah kesal bercampur khawatir.
"Untuk apa kau menolongku? Pasti sekarang Shiyuan sedang mengerahkan anak buahnya untuk mengejar kita. Kau bisa mati jika-"
"Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini! Berpencar-lah dan cari mereka sampai dapat!"
Hangeng dan Xiche sontak membeku di posisi mereka saat mendengar suara itu. Suara Shiyuan bersama segerombolan anak buahnya. Mereka berada tak jauh dari posisi Hangeng dan Xiche sekarang.
"Kita harus pergi!" Hangeng berbisik dengan nada suara panik. Ia mengisyaratkan Xiche untuk kembali bangkit berdiri dan segera pergi dari sana. Xiche mengerti. Dengan sigap, ia bangkit dan mengambil kembali sepatu hak tingginya. Ia berlari mengikuti Hangeng dari belakang dalam keadaan kaki telanjang dan menjinjing sepatu miliknya di tangan kanannya.
Dua orang itu berlari semakin masuk ke dalam gang. "Kita mau kemana?" Tanya Xiche yang kini berada dalam keadaan panik, takut jika Shiyuan dan anak buahnya berhasil menemukan mereka berdua. Gadis itu mencengkram erat lengan Hangeng yang berlari di depannya.
"Ikut saja. Jangan khawatir, mereka tidak akan menemukan kita." Hangeng menggenggam erat tangan Xiche yang berkeringat, membawa gadis itu keluar dari gang kecil tersebut dan menuju ke bagian belakang dari sebuah bangunan pabrik tua.
Mereka berdua tiba di depan sebuah pintu besi berwarna hijau yang sudah hampir sepenuhnya berkarat. Dengan cepat, Hangeng menarik pintu itu dan membuatnya terbuka lebar, menampakkan sebuah ruangan gelap yang ada di dalam sana. "Masuklah." Ucap Hangeng pada Xiche.
Xiche terlihat ragu. Ia tidak bisa melihat apapun di dalam sana, jadi bagaimana bisa ia masuk? Namun, Hangeng tetap menggiringnya untuk masuk ke dalam sana. Setelah mereka berdua sama-sama masuk, Hangeng kembali menutup pintu besi itu dan merantainya dari dalam.
Pik! Hangeng menyalakan sebuah lampu kuning kecil yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut, kemudian melirik ke arah Xiche yang masih menggengam erat tangannya-dan bahkan mencengkram ujung pakaiannya karena takut.
Lelaki itu kemudian berdehem pelan. "Ekhem."
Xiche tersadar dan menjadi canggung. Ia segera melepaskan genggamannya dari lengan dan juga ujung pakaian Hangeng, kemudian beranjak mundur selangkah. "Ah-maaf." Ucapnya sembari beranjak meletakkan sepatu hak tinggi miliknya di atas lantai yang terbuat dari semen tersebut.
Hangeng tersenyum kecil, lalu beranjak melangkah mendekati sebuah kasur kecil yang berada di ujung ruangan tersebut. Di dekat kasur itu terdapat meja kayu yang sudah berdebu dan juga sebuah kursi kecil.
"Duduklah disini." Hangeng mendorong kursi kayu itu ke arah Xiche dan mempersilahkan gadis itu untuk mendudukinya. Setelah itu, ia kembali sibuk mengambil sesuatu dari ujung kasurnya, entah apa itu.
Xiche duduk diam di atas kursi kayu yang disodorkan oleh Hangeng itu sembari memperhatikan suasana di sekitarnya. Ia lebih dari sekedar yakin bahwa ruangan yang sedang ditempatinya sekarang ini adalah sebuah gudang. Kondisinya benar-benar tidak layak untuk ditempati dengan debu dan kerdus kosong yang terbengkalai di berbagai sisinya.
Apa Hangeng tinggal disini? Sesaat, Xiche memperhatikan Hangeng yang masih sibuk mencari sesuatu-entah apa itu dalam diam. Kemudian, gadis itu kembali menyapu pandangannya ke sekitar sembari sesekali menggosok-gosok kedua lengannya, mulai merasa kedinginan karena udara luar yang masuk lewat jendela-jendela besar yang ada di sisi atas gudang tersebut.
"Maaf, aku tidak punya sesuatu yang hangat selain ini disini." Hangeng tiba-tiba datang mendekati Xiche dan melapisi dress tanpa lengan yang dikenakan gadis itu menggunakan sebuah selimut berwarna putih. Setelah itu, ia beranjak duduk di atas lantai, di dekat gadis itu.
Xiche tersenyum kecil saat selimut putih itu menutupi bahu dan lengannya sampai sebatas pinggul. Ia jadi merasa sangat nyaman. "Terima kasih. Kau terlalu baik." Ucapnya sembari menatap Hangeng dengan pandangan mata yang sayu.
Hangeng tersenyum. "Bukan masalah." Ucapnya sembari memandangi wajah Xiche yang pucat dan berkeringat karena berlari cukup jauh dan lama tadi. "Namaku Hangeng, jika kau ingin tahu." Tambahnya kemudian.
"Hangeng." Xiche menggumamkan nama lelaki itu perlahan. "Kau tinggal disini?" Tanyanya.
Hangeng menggeleng pelan. "Tidak. Aku ditugaskan untuk menjaga gudang di sini setiap malam. Rumahku agak jauh dari sini." Ia kemudian beranjak kembali memijat telapak kaki Xiche. "Apa kakimu masih terasa sakit?"
"Ah.." Xiche jadi mengerti. Ia beranjak merapatkan selimut yang melapisi tubuhnya dan memandangi surai hitam pekat milik Hangeng dari posisi duduknya sekarang. "Sudah lumayan mendingan." Responnya sembari berpikir.
Bagaimana bisa ada orang sebaik Hangeng di dunia ini? sungguh, baru pertama kali ini Xiche diperlakukan seperti seorang ratu oleh orang yang baru dikenalnya. Ia jadi merasa sangat dihargai dan dilindungi sebagai perempuan. Kenapa ia baru menemukan perasaan senyaman ini setelah dua puluh tahun hidupnya yang penuh dengan penderitaan? Apa jangan-jangan... semua ini hanya mimpi?
"Kau melamun, Xiche." Ucapan Hangeng membuat Xiche kembali tersadar dan menemukan lelaki baik hati itu masih setia memandanginya. Itu artinya, ini semua benar nyata, kan?
Xiche balas memandangi Hangeng lekat-lekat. "Kau tahu namaku?"
"Lelaki itu-siapa namanya? Shiyuan? Dia memanggilmu 'Xiche' tadi, dan aku mendengarnya. Jadi, namamu benar 'Xiche'?" Tanya Hangeng yang segera disambut oleh anggukan singkat dari gadis berambut pendek itu, si empunnya nama.
"Kenapa kau lari dari kekasihmu itu?"
Xiche tersenyum kecut, memandangi Hangeng yang masih setia memijati kedua telapak kakinya dengan telaten di bawah sana. "Shiyuan bukan kekasihku. Dia bosku." Jawabnya.
"Bos?" Hangeng memandangi Xiche dari posisi duduknya sekarang. "Kau bekerja padanya? Lalu kenapa dia memperlakukanmu seperti itu?" Lelaki itu mengerutkan keningnya, bingung.
Xiche memejamkan matanya sesaat, kemudian menarik nafas dalam-dalam. "Aku pelacur, Hangeng. Dan Shiyuan adalah bosku, pemilik persewaannya."
Hangeng sontak menghentikan pergerakkan jemarinya pada telapak kaki Xiche. Ia beralih memandangi gadis cantik itu dengan mulut yang terbungkam sepenuhnya. Terkejut? Tentu saja.
Xiche memang cantik dan juga seksi, tapi Hangeng tak pernah menyangka jika gadis itu bekerja sebagai seorang pelacur. Woah, pertemuan macam apa yang terjadi di antara mereka berdua ini sebenarnya?
"Sudah kuduga." Xiche tertawa pahit, berusaha untuk tidak membuat matanya bertemu pandang dengan Hangeng yang masih duduk di hadapannya itu. Gadis itu beralih menatap langit-langit gudang. "Kau pasti terkejut dan merasa jijik padaku, kan?" Tanyanya dengan suara lirih.
Hangeng menghela nafas berat. Lelaki itu masih memperhatikan wajah cantik Xiche yang kini memancarkan kesedihan yang mendalam. "Aku sangat terkejut, tapi untuk apa merasa jijik? Tubuhku yang berkeringat ini masih jauh lebih menjijikkan." Ucapnya, berusaha untuk mengembalikan cahaya yang kian redup di wajah lawan bicaranya tersebut.
"Kau tidak perlu berbohong untuk menghiburku." Xiche beralih menatap kedua mata Hangeng yang kini juga menatapnya. Untuk beberapa lama, pandangan mereka berdua saling beradu di tengah bekunya suasana. "Aku sudah biasa melihat orang memandangku jijik." Ucap gadis itu lagi.
"Kapan aku memandangmu jijik?" Hangeng menatap Xiche lekat-lekat, kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku berbeda dengan orang-orang yang pernah kau temui sebelumnya, Xiche."
Xiche tertegun sesaat mendengar ucapan Hangeng. Gadis itu memandangi kedua mata sipit lawan bicaranya tersebut, berusaha untuk mencari secuil kebohongan yang tak kunjung ia temukan juga di dalam sana.
Hangeng tahu bahwa Xiche masih meragukannya. Ia mengerti, fisik dan batin gadis malang yang sudah terlalu banyak terlukai itu telah membuatnya berubah menjadi sosok yang seperti ini. Rapuh dan kacau. Keras dan dihantui oleh rasa takut. Hangeng jadi bertanya-tanya, sudah berapa lama gadis itu hidup di sisi dunia yang penuh dengan penderitaan seperti ini?
Duar! Duar!
Suara kembang api yang merekah ria di luar gudang sana berhasil membuyarkan lamunan kecil dari dua sejoli itu. Suasana di antara mereka berdua jadi terasa hampa, sebelum akhirnya Hangeng berdehem pelan dan Xiche kembali membuka suaranya.
"Aku sangat bersyukur karena masih bisa merayakan tahun baru tahun ini, bahkan setelah semua penderitaan yang kualami. Sulit dipercaya, tapi Tuhan masih membiarkanku hidup sampai sekarang." Gadis berambut pendek itu tersenyum kecil dari balik lamunannya.
"Tuhan sengaja melakukan itu agar kau bisa bertemu denganku. Jadi, bersyukurlah." Hangeng kembali balas menatap Xiche. "Apa selama ini Shiyuan selalu menyiksamu?" tanyanya kemudian, serius.
Xiche mengangguk lemah. "Ya. Bukan hanya dia. Semua orang yang pernah menyewaku, mereka juga menyiksaku." Ia kemudian beralih menunjukkan luka-luka goresan dan lebam yang menghiasi daerah sekitar pergelangan tangan, leher, dan juga bahunya. "Kau lihat ini?"
Hangeng meneguk ludahnya, memperhatikan luka-luka yang ada di sekujur tubuh Xiche. Ia jadi merasa kasihan. 'Lelaki seperti apa yang tega menyiksa gadis secantik ini?' batinnya dalam hati.
"Kenapa kau tidak keluar dari sana dan berusaha untuk mencari pekerjaan baru?"
Xiche tersenyum lemah. Ia kembali merapatkan selimut yang melapisi tubuhnya dan mencengkram erat ujungnya menggunakan jemari-jemari lentiknya. "Aku sudah mencobanya berkali-kali, Han. Sayangnya, aku tidak pernah berhasil. Sejauh apapun aku lari, Shiyuan pasti berhasil menemukanku. Lagipula, pekerjaan apalagi yang bisa kudapatkan selain ini? Tidak ada. Sejak kecil, aku sudah dididik untuk menjadi seorang pelacur. Kewajibanku adalah memuaskan orang-orang. Dengan cara itulah aku mendapatkan uang dan hidup."
"Pekerjaan itu tidak ada karena kau tidak pernah mencoba untuk menjalaninya, Xiche." Hangeng menarik nafas dalam-dalam, memandangi gadis cantik di hadapannya itu. "Selama ini kau hidup dengan prinsip bahwa uang hanya bisa didapatkan dengan cara kau memuaskan orang-orang, kan? Itulah yang menyebabkan kau merasa tidak ada pekerjaan lain yang bisa kau lakukan selain menjadi pelacur. Dalam arti singkatnya, kau sudah terikat dengan dunia itu-dan juga Shiyuan, kau terikat padanya."
Xiche menahan nafasnya, merasakan jantungnya seakan dihantam oleh sesuatu yang sangat besar. Hangeng benar. Ia sudah terikat dengan dunia pelacur dan juga Shiyuan. Selama dua puluh tahun hidupnya, ia bekerja sebagai pemuas nafsu orang lain. Mana pernah ia mencoba pekerjaan lain? Ia sudah terbelenggu habis di bawah kekuasaan Shiyuan dan ia tidak bisa lari karena ia tahu bahwa Shiyuan-lah orang yang selama ini membiarkannya tetap hidup walau tersiksa setiap saat.
"Kau benar, aku terikat. Karena itulah, aku tidak pernah bisa lari dari Shiyuan. Aku takut membayangkan bagaimana jika aku tidak bisa hidup setelah keluar dari sana. Aku tidak punya apa-apa selain tubuhku, Han. Aku tidak punya siapa-siapa selain Shiyuan yang selama ini merawatku. Hidupku bergantung padanya." Ucap Xiche sembari menyelipkan sebagian surai kecokelatannya ke belakang telinga.
Hangeng tersenyum kecil. "Kalau begitu, lepaskanlah dirimu dari Shiyuan dan hiduplah bersamaku. Shiyuan itu bukan Tuhan-mu, Xiche." Lelaki itu kemudian memeluk kedua kakinya erat.
Xiche memandangi Hangeng cukup lama, sebelum akhirnya ia kembali membuka suaranya. "Apa kau tidak takut jika Shiyuan membunuhmu karena kau menolongku seperti ini? Lelaki gila itu sudah hampir tiga kali membunuh orang karena mereka berusaha untuk membeliku."
"Untuk apa aku takut? Sudah kubilang, Shiyuan itu bukan Tuhan. Jangan terlalu khawatir. Kalaupun ia menemukan kita, aku masih bisa melawannya dengan tanganku sendiri. Aku menguasai wushu dengan sangat baik, kau tahu?" Hangeng mulai menunjukkan ilmu bela diri yang ia pelajari sejak kecil menggunakan kedua tangannya, membuat Xiche tertawa geli.
"Shiyuan pasti sangat marah karena kau memukulnya dua kali tepat di wajah. Kau harus hati-hati dengannya, Han. Dia selalu bertindak di luar dugaan."
Hangeng tersenyum ringan."Aku jauh lebih marah karena dia memperlakukanmu dengan kasar." Lelaki sederhana itu kemudian beranjak bangkit berdiri dan menepuk pelan pundak Xiche. "Sudahlah, jangan terlalu khawatir, Nona." Ucapnya lembut.
"Nona?" Xiche terkekeh kecil, walaupun sebenarnya ia masih merasa khawatir. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti jika Shiyuan berhasil menemukan mereka. Shiyuan itu gila dan penuh dengan obsesi. Ia bisa saja membunuh Hangeng, dan Xiche sangat takut jika hal seperti itu sampai terjadi. Secara, Shiyuan punya banyak anak buah. Sementara Hangeng? Ia hanya seorang diri. Sekalipun lelaki itu menguasai wushu dengan sangat baik, apa mungkin baginya untuk mengalahkan lebih dari sepuluh orang sekaligus? Ia pasti akan kewalahan. Ah, Xiche jadi merasa tidak tenang begini.
Hangeng tiba-tiba menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Xiche, membuat gadis itu kembali tersadar dari lamunan singkatnya. "Kau melamun lagi." Komentar lelaki itu kemudian yang hanya dibalas oleh senyuman kecil dari lawan bicaranya.
"Ini sudah larut malam. Pergilah tidur. Maaf, aku belum bisa membawamu ke rumahku malam ini karena Shiyuan pasti masih mencarimu. Kita akan pergi besok pagi." Hangeng mempersilahkan Xiche untuk tidur di atas kasur kecil yang ada di ujung gudang tersebut. Kasur yang biasa ia gunakan untuk beristirahat. "Kasurnya kecil, tapi itu bersih. Aku tidak pernah mengiler di atas sana." tambahnya kemudian.
Xiche tertawa mendengar ucapan Hangeng. "Kau tidak perlu menjelaskan sampai se-detail itu." Ucapnya sembari mulai melangkah mendekati kasur kecil yang dibalut oleh seprai tipis berwarna putih tersebut, kemudian beranjak duduk di tepiannya. "Apa kau tidak masalah jika aku tidur disini?"
Hangeng mengikuti Xiche dari belakang, kemudian beranjak duduk di sebelah gadis itu. "Sulit untuk membuatmu percaya padaku. Jadi, aku harus menjelaskannya secara detail agar kau bisa percaya." Lelaki itu kemudian membantu Xiche untuk berbaring di atas kasur tersebut dan menyelimutinya sampai sebatas dada. "Tentu saja, aku tidak masalah. Tidurlah."
Xiche tersenyum. Ia menggapai tangan Hangeng yang baru saja menyelimutinya dan menggenggamnya erat, meremasnya kecil. "Maaf karena aku sulit untuk mempercayaimu. Terima kasih banyak, Han." Ucap gadis itu lemah, sebelum ia benar-benar terlelap dengan cepat karena saking kelelahannya.
Hangeng menghela nafas tipis, memandangi Xiche dalam diam sembari membelai lembut surai kecokelatan milik gadis cantik itu. Konyol jika mengingat bahwa mereka baru saja kenal selama beberapa jam, tapi Hangeng sudah tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis di hadapannya itu. Jantungnya berdegup kencang disaat Xiche menatapnya dan menggenggam tangannya erat. Sebenarnya, perasaan apa yang sedang dihadapinya ini?
Jemari-jemari Hangeng mulai turun dan membelai pipi Xiche, merasakan betapa lembutnya gumpalan berisi lemak milik malaikat cantik tersebut. Ya, Xiche bagaikan seorang malaikat di mata Hangeng. Seorang malaikat yang kehilangan sebelah sayapnya, sehingga sulit baginya untuk terbang lebih tinggi. Seorang malaikat yang terbelenggu oleh kondisinya sendiri.
Kenapa Tuhan mempertemukan mereka? Hangeng masih belum mengerti sepenuhnya, tapi ia rasa Tuhan ingin dia untuk menyelamatkan malaikat cantik itu, membantunya untuk lepas dari belenggu dunia dan terbang tinggi ke angkasa sana.
Tak terasa, waktu berjalan dengan sangat cepat. Suara kembang api sudah tidak terdengar lagi dari luar sana. Hangeng masih duduk di tepi kasur itu, memandangi sang malaikat sembari terus menebak-nebak, akan seperti apa hari esok? Ia tidak tahu. Ia tidak punya sedikitpun gambaran. Lelaki itu hanya bisa berharap yang terbaik tentang hari esok. Ia ingin selalu bersama dengan Xiche, apapun itu yang terjadi.
.
.
TBC
.
.
Halo, saya kembali lagi dengan fanfiction baru! sebelumnya, saya berterimakasih banyak untuk yang sudah meng-review di ff sebelumnya, heuheu saya senang bacanya. terimakasih juga untuk kutu ((ekhem)) yang sudah banyak membantu saya yang masih belum mengerti apa-apa tentang dunia ini huhu sayang kutu tapi bohong /no. untuk fanfiction kali ini, mungkin ceritanya agak aneh dan kurang berkesan, tolong dimaafkan dan dimaklumi ya. untuk chapter kedua akan saya publish secepatnya kalau ingat /eh. untuk yang mau memberikan masukan, kritik, dan saran bisa ditulis lewat review ya, saya menerima semua pendapat kok heuheu. akhir kata, see you in the next chapter! -regards, kimheynim.
