- Scheduler's Angel-
Disclaimers:
Eyeshield 21 (c) Riichiro Inagaki and Yuusuke Murata
Scheduler's Angel (c) Hana Suzuran
Rate: T
Warning: AU, typo(s), OOC
Chapter 1: The Mysterious Guy
A special fanfic for Riidinaffa's birthday. Hope you like it, imoutou :)
Osaka tahun 20xx
Lalu lalang kendaraan terlihat ramai melintasi jalan-jalan di salah satu kota besar di Jepang, Osaka. Matahari mulai condong ke barat yang menandakan langit hendak berganti wajah menjadi malam. Walaupun begitu, aktivitas masih terasa di setiap sudut kota. Denyut napas dari mereka yang bekerja masih terasa hingga saat ini.
Di salah satu jalan yang juga memiliki taman kecil dengan pohon-pohon yang ditanam sepanjang pinggir jalan, terlihat sesosok lelaki muda berbadan tegap dan ramping yang mengenakan pakaian serba hitam dengan rambutnya yang berwarna pirang. Ia mengamati kendaraan yang seliweran di hadapannya sambil mengunyah permen karet mint favoritnya. Tangannya lalu merogoh saku jaket kulit hitamnya.
"Satu menit lagi," ia menyeringai saat melihat ponsel miliknya yang menampilkan penghitung waktu.
Lelaki itu menyimpan ponselnya kembali dan sekarang pandangannya beralih ke arah kanan dimana kendaraan berjalan menuju ke arah Tokyo. Ia menunggu sampai akhirnya yang ditunggunya pun datang.
"Kekekeke," kekehnya pelan.
Sebuah mobil Porsche perak jenis terbaru melaju dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah truk oleng ke arah mobil itu karena mencoba menghindari seorang pengendara motor. Kejadiannya cepat dan tiba-tiba. Alhasil, mobil malang itu tak sempat mengantisipasi datangnya truk besar itu. Tabrakan pun tak terhindarkan.
BRUAKK!
Suara hantaman keras terdengar hingga ke arah taman, membuat semua orang yang ada di sekitar lokasi kecelakaan panik. Mereka semua berhamburan menuju ke arah mobil tersebut, berusaha memastikan keadaan si pengemudi. Namun tidak dengan lelaki berpakaian hitam itu.
Ia masih tetap di tempatnya. Mengamati dengan santai sambil mengunyah permen karet. Setelah beberapa saat barulah ia berjalan menghampiri mobil itu.
"Permisi! Saya polisi! Mohon beri jalan!"
Teriakan yang terdengar dari dalam kerumunan orang itu membuat siapa pun yang mendengarnya langsung menyingkir dan memberi jalan. Seorang wanita berambut auburn yang mengenakan seragam polisi langsung mengambil tempat di samping kaca depan mobil. Ia mengintip ke dalam untuk memastikan keadaan si pengemudi mobil.
"Celaka..." gumamnya pelan.
Lelaki berpakaian hitam itu berdiri tepat di belakang polisi wanita tersebut. Anehnya, tidak ada satu pun yang menyadari kehadirannya. Ia hanya mengamati apa yang dilakukan wanita itu sambil menunggu.
Tak lama kemudian pengemudi yang ada di dalam mobil itu keluar. Tapi—lagi-lagi—tidak ada satu pun yang menyadarinya, bahkan tidak si polisi wanita. Si pengemudi keluar dengan menembus pintu dan polisi wanita itu hingga sekarang ia berdiri di hadapan si pria. Namun, wajah pria itu tak terkejut, ia malah menyeringai.
"Selamat datang di kehidupanmu yang baru, Nona Otohime," sambut lelaki itu masih dengan seringaiannya.
Otohime tampak terkejut. Ia lalu membalikkan tubuhnya. Tatapan matanya lurus, melewati si polisi wanita yang membelakanginya, ke dalam mobil milikknya. Ia bisa melihatnya! Di dalam sana, ada dirinya! Dirinya yang tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari pelipis, hidung dan mulutnya dan sebagian wajahnya rusak.
Ia kembali memandang lelaki di hadapannya.
"A-a-apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Otohime jelas merasa gugup. Ia masih tak percaya kalau ia bisa melihat sosok dirinya sendiri, bahkan dalam keadaan wajah yang rusak. Tangannya terus bergetar, mengekspresikan perasaannya dengan lugas.
"Masih bertanya lagi, heh?" lelaki itu terlihat mengejek.
Lelaki itu menjentikkan jarinya dan kemudian di belakang pria itu muncullah sebuah pintu kayu dengan ukiran klasik di sisinya. Perlahan pintu itu terbuka sambil menimbulkan bunyi. Cahaya putih terlihat dari dalam pintu itu. Cahaya yang terasa suci dan menenangkan. Tapi bagi Otohime, cahaya itu amat sangat menakutkan.
"Cepat masuk, gadis sialan!" perintah lelaki itu dengan tatapan tajam.
Otohime yang mulai menyadari maksud lelak ini hanya bisa menjerit histeris. "Ti-tidak!"
Gadis itu berusaha kabur. Ia berlari secepat mungkin menjauhi pria itu. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Ia tak mau diseret masuk ke dalam pintu itu. Tidak! Ia tidak akan pernah mau!
Karena terlalu fokus berlari, ia tersentak saat kedua lengannya ditahan oleh kekuatan yang tak jelas darimana datangnya. Kemudian, dengan cepat seluruh gerakan badannya menjadi terkunci dan selanjutnya terasa kaku. Entah sejak kapan pria itu sudah berdiri di hadapannya. Matanya menatap Otohime langsung di matanya dengan tatapan seperti ingin menerkamnya.
"Kau sama saja seperti orang-orang sialan itu. Mereka yang tak bisa menerima takdir hidup mereka. Dan kau baru saja menentang perintahku dan mencoba kabur, jadi jangan salahkan aku kalau aku bersikap lebih kasar," katanya dengan suara rendah.
"Cerberus!"
Sebuah geraman terdengar dari arah pintu yang sudah terbuka di belakang lelaki itu. Otohime pun sadar bahwa kedua pergelangan tangan dan tubuhnya sudah terikat rantai dengan kuat. Dan ujung dari rantai-rantai itu terikat pada anjing mengerikan itu.
"Bawa dia pergi!"
Anjing itu menuruti majikannya. Ia berlari masuk ke dalam pintu sambil menyeret Otohime bersamanya. Gadis itu menangis dan berteriak minta tolong. Namun lelaki itu hanya menyaksikan dengan wajah datar. Setelah Cerberus dan Otohime menghilang di balik pintu, lelaki itu kembali mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
Suara sirine ambulans terdengar meraung-raung, mengalihkan perhatian pria itu. Ia melihat si polisi wanita memberikan instruksi pada para petugas medis untuk segera mengevakuasi Otohime yang ada di dalam mobil.
"Cepat! Jangan buang waktu!" katanya dengan wajah cemas.
Polisi wanita itu mengalihkan pandangan ke arah truk saat matanya menangkap sesuatu. Ia melihat lelaki berpakaian serba hitam itu sedang menelepon seseorang. Pria itu juga menyadari kalau wanita itu menatapnya. Sesaat mata mereka beradu pandang.
Si lelaki kemudian memasukkan ponselnya dan berjalan menuju ke seberang jalan. Polisi wanita itu masih menatapnya.
"Maaf, Detektif Anezaki."
Panggilan itu mengalihkan polisi bernama Anezaki itu. Ternyata salah seorang petugas medis yang memanggilnya.
"Anda tidak apa-apa?" sambung si petugas medis.
Anezaki menggeleng. Ia lalu kembali melihat ke arah ia terakhir kali melihat lelaki tadi. Namun ia sudah menghilang!
'Cepat sekali!' batin Anezaki. Ia yakin hanya mengalihkan tatapannya dari lelaki itu kurang dari 30 detik. Seharusnya pria itu masih berada di sekitar TKP. Tapi, ia tak terlihat sama sekali! Dia, terasa begitu misterius bagi Anezaki, membuatnya jadi penasaran.
'Siapa dia sebenarnya?'
Tiga kata itu menghantui pikiran Anezaki.
XXX Scheduler's Angel XXX
Rumah Sakit Osaka
Detektif Polisi Anezaki Mamori berjalan keluar dari ruangan petugas forensik. Sesuai hasil forensik terhadap gadis muda yang mengalami kecelakaan tadi siang—yang belakangan diketahui bernama Otohime—sudah bisa dipastikan bahwa gadis itu meninggal di TKP. Penyebabnya adalah kehilangan banyak darah.
Detektif muda itu hanya menghela napas. Ia merasa kasihan sekaligus bersalah karena terlambat menyelamatkan gadis malang itu. Kalau saja ia bisa lebih cepat menolongnya, setidaknya itulah yang dipikirkan Mamori. Tapi apa mau dikata? Itu sudah takdir Otohime.
Sebenarnya ia tadi dalam perjalanan kembali ke kantor polisi. Partnernya menelepon dan memberitahukan bahwa atasan ingin memberikan misi pada mereka berdua. Namun, saat dalam perjalanan, ia dihadapkan pada masalah kecelakaan ini. Tentu saja ia tak bisa menolak panggilan jiwa untuk menolong gadis itu, walau akhirnya sia-sia juga. Dan sekarang ia ingin segera kembali ke kantor dan bertemu atasan untuk menanyakan apa misinya kali ini.
Saat keluar dari lift, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Ia segera menekan tombol 'Call' dan menempelkan benda itu ke telinganya.
"Ya, Yamato?"
"Anezaki, di mana kau sekarang?"
Suara di seberang adalah suara Yamato Takeru, partner Mamori di Kepolisian. Suaranya terdengar cemas.
"Aku sedang di rumah sakit, baru saja keluar dari ruangan petugas forensik. Sebentar lagi, aku segera kembali ke kantor," jawab Mamori sambil berjalan menuju pintu keluar.
"Tidak perlu, aku yang akan menyusul ke sana."
"Apa?"
"Aku sedang dalam perjalanan, jadi kau tunggu saja di sana. Sebentar lagi aku sampai."
Yamato langsung mematikan teleponnya, membuat Mamori hanya bisa menatap layar ponselnya dengan tatapan heran.
Ia langsung berjalan menuju kantin, berniat menunggu Yamato di sana. Sejenak pikirannya kembali pada kejadian tadi siang. Sejujurnya tidak ada yang aneh pada kematian Otohime. Itu murni kecelakaan, Mamori tidak meragukannya. Tapi, yang sebenarnya ia pikirkan adalah lelaki berpakaian hitam itu.
Entah mengapa, ia merasa lelaki itu... berbeda. Ada sesuatu yang berbeda dengannya. Mamori tidak tahu apa tapi ia bisa merasakannya. Cara lelaki itu menatapnya pun begitu tajam dan terkesan tak peduli walaupun Mamori bisa merasakan keheranan terlintas di mata lelaki itu.
Langkah Mamori terhenti saat matanya membelalak melihat sesuatu di hadapannya.
'Dia!'
Lelaki yang ditemuinya di TKP tadi siang ada di sini! Ia sedang berjalan tepat ke arahnya sekarang, namun mata lelaki itu seperti tak menatap ke arahnya. Bahkan, ia berlalu begitu saja saat melewati Mamori tanpa melirik ke arahnya sedikitpun.
Tatapan lelaki itu seperti menghipnotisnya. Ia merasa lidahnya kelu, tak bisa berkata apa –apa. Bahkan tubuhnya tidak bisa bergerak. Seluruh organ tubuhnya seperti lumpuh total selama sesaat. Dan ia sadar betul dengan perubahan itu.
Barulah saat lelaki itu sudah melewatinya, Mamori seperti merasa normal kembali. Refleks ia berbalik ke arah lelaki itu dan menatap punggungnya yang semakin menjauh.
"Hei!"
Mamori mencoba memanggil lelaki itu, tapi tetap tak digubris. Lelaki itu lalu berbelok ke arah koridor di sebelah kanan. Mamori mencoba mengejarnya. Ada banyak hal yang ingin ditanyakannya. Mengapa lelaki itu terlihat begitu acuh tadi siang padahal jelas-jelas ada kecelakaan di depannya? Dan kenapa ia tidak menyadari kehadiran lelaki itu sebelumnya?
Kali ini, ia tak boleh kalah cepat dan kehilangan lelaki itu lagi.
Saat sampai di ujung koridor, Mamori mencoba menatap sekeliling. Ia kehilangan lelaki itu lagi! Ia menyusuri koridor tersebut sambil melihat ke kanan dan kiri, mencoba mencari keberadaan lelaki misterius itu. Tapi, lagi-lagi hasilnya nihil!
Ponsel Mamori kembali berbunyi. Ia segera mengangkatnya sambil tetap mencari lelaki itu.
"Ya?"
"Anezaki, aku sudah sampai. Kau di mana?"
"Oh, aku sedang dalam perjalanan menuju kantin rumah sakit ini. Kita bertemu di sana saja," usul Mamori dengan sedikit berbohong. Ia masih belum mau memberitahu Yamato soal ini.
"Baiklah, sampai bertemu di sana. Aku ingin segera memberitahukan misi dari atasan padamu."
"Oke, aku segera ke sana."
Sambungan terputus. Mamori mau tidak mau harus menghentikan pencariannya dan menemui Yamato. Ia tak ingin membuat partnernya itu menunggu lama dan akhirnya bertanya macam-macam kepadanya. Kalau sudah begitu, susah untuk memberi alasan logis mengingat Yamato sudah cukup mengenal dirinya.
Satu lagi pertanyaan tak terjawab kembali terlintas di benak gadis itu.
Bagaimana caranya lelaki itu bisa menghilang begitu cepat?
~TBC~
A/N: Ahaha, fanfic pertama saya di fandom ini setelah sekian lama menjadi silent reader :)v Dan juga fanfic comeback saya setelah dilanda hiatus berkepanjangan karena tugas sekolah yang nauzubilah menumpuk T,T
Semoga kalian suka dengan fanfic coretnistacoret saya ini. Dan khusunya buat imoutou-ku, Riidinaffa, semoga kau juga suka :)
Mohon kritik dan sarannya ya~
