Matahari sore menyinari danau di depanku. Sinarnya memantulkan diriku pada danau seperti cermin. Sudah lama aku memandangi danau di depanku, memikirkan rencanaku. Rencana selanjutnya, drama yang harus aku mainkan.
"Tinggal sedikit lagi." kataku dalam hati, meyakinkan diriku. "Rencana ini pasti berhasil, tinggal sedikit lagi."
Tiba-tiba sosok ayah terlintas di pikiranku. Wajahnya tersenyum padaku dan kemudian berganti pada sosoknya malam itu. Malam kematian ayahku. Aku berlari mengelilingi lorong panjang yang sudah dilahap api, mencari ayahku. Aku takut tidak bisa menemukannya. Aku berkali-kali meneriakkan namanya, tapi tidak ada jawaban. Hanya ada panas api yang menyengat di sekitarku, asapnya membuat tenggorokanku sakit-sulit sekali bernafas. Aku berusaha menahan air mataku, tidak ingin ayah melihatku bersedih. Tiba-tiba, aku menemukan sesorang terbaring jauh di depanku. Aku menghampirinya pelan-pelan, berharap firasatku salah. "Itu bukan ayah, bukan ayah," aku meyakinkan diriku sendiri, maju menghampiri orang yang terbaring di depanku. Firasatku benar, orang itu memanggil namaku dengan suara kecilnya yang lemah. Aku langsung menghampirinya, berlutut, dan memeluknya. Air mataku tumpah, tidak bisa kutahan lagi. Aku melihat darah disekujur tubuhnya, luka sabetan pedang. Ayah memohon padaku satu hal, dapat kuingat dengan jelas hingga sekarang,
"Diao Chan..kumohon..se..selamatkan rakyat ini..dari Dong Zhuo..kumohon...Diao..Ch...an" suaranya terbata-bata karena lukanya sangat parah, sangat menyakitkan. Setelah mengucapkan permohonannya itu, beliau menutup matanya, tertidur selamanya.
Aku yakin, ayah di langit sana, di langit sore di atasku ini, pasti tersenyum padaku. Aku masih memegang janjinya, tapi aku lebih suka menyebutnya takdir. Takdirku menghancurkan Dong Zhuo, membawa kebahagiaan pada negeri ini.
"Diao Chan!" tiba-tiba seseorang berteriak dari kejauhan, membuatku terbangun dari lamunanku. Sosoknya yang tinggi itu menghampiriku. Itu Lu Bu, pion utamaku yang kupakai untuk menghancurkan pemerintahan Dong Zhuo. Lu Bu berjalan sambil tersenyum menghampiriku. Aku membalas senyumannya dengan senyuman palsu terbaikku. Aku bangun dari dudukku dan melihat ke atas, ke langit sore di atasku.
"Lihat aku, ayah." Kataku berbisik pada langit, berharap angin membawa pesanku ini pada ayah.
