"Semua orang mendapatkan cerita dan bintang yang berbeda."
"Ya, aku tau."
"Tetapi….kau sama denganku. Bagaimana bisa?"
Gadis itu tersenyum kecil. Menatap lurus pada manik eboniku yang tampak menyiratkan rasa ingin tau.
Refleksi
[AU!]
Rintik hujan mulai membasahi bumi dengan suasana yang terkesan kelam, namun menyiratkan banyak makna. Payung warna-warni mengelilingi lautan kota yang aku lihat dari balik jendela perpustakaan. Kombinasi dari aroma khas buku tua, secangkir teh, dan pemanas ruangan membuatku tidak beranjak dari tempat duduk yang sedari tadi aku tempati. Bahkan buku yang berada dihadapanku, aku acuhkan begitu saja.
"Ah, seandainya aku tidak terlahir…."
Kedua mataku kembali menatap kosong, entah memandang apa. Tak sengaja, aku pun berpikir.
Untuk apa aku hidup?
Kedua orang tua yang hampir bercerai, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, teman-teman yang datang jika mereka butuh, usaha yang tidak berarti…
Dan tentunya mimpi yang tenggelam.
Ah, dunia ini busuk. Sungguh busuk.
Aku pun tertawa memikirkan itu semua setelah menyadari betapa konyolnya pikiranku.
Hei, sejak kapan dunia itu adil?
Tawa dariku ternyata mengundang mata seorang gadis cantik yang ada yang berdiri di samping meja yang ada di hadapanku. Gadis itu cukup modis dengan kaus hitam, celana jeans dan sepatu converse merah. Rambut panjangnya dicat pink, bibir yang penuh, dan sorot maniknya yang bersinar seperti anak anjing. Ia sepertinya ingin mengambil buku di rak.
Gadis itu tertawa kecil melihatku, membuat aku langsung berdehem sekilas.
Aduh, sejak kapan gadis itu disana sih?
Aku segera memasang gestur meminta maaf dan kembali membaca buku tua yang kuambil tadi begitu gadis itu merespon gestur permohonan maafku.
"Memalukan." Aku segera menepuk-nepuk kepalaku pelan sebelum kembali berkencan dengan buku-buku tuaku.
Ah, dua buku lagi. Sepertinya aku akan meminjam mereka.
Hari ini, pada suasana dingin yang menjalar bagai akar, aku kembali berjumpa dengan gadis cantik yang kemarin di perpustakaan. Gadis itu melihatku dan tersenyum. "Maaf, apa tak masalah jika aku duduk di hadapanmu?"
"Tentu tidak." Jawabku singkat.
Ia kemudian duduk seraya meletakkan lima buah buku yang ia bawa. Segera ia pisahkan empat dan satunya ia taruh di hadapannya. Mulai membaca. Aku melirik sedikit apa yang dia baca.
Eh, buku pilihannya….sama denganku, toh?
Aku kembali fokus dengan bacaanku. Hanya keheningan yang menemani kami.
Suara petir membuyarkan fokusku pada buku yang sedang aku baca. Sepertinya ia pun begitu. Aku pun menatapnya sambil berkata, "Kau kaget?"
Gadis itupun mengangguk, "Ya. Aku kaget. Aku begitu fokus dengan bukuku. Jadi, ya…"
Eh?
"Pikiran kita sama." celetukku.
"Benarkah? Wah."
Aku pun mengangguk. "Ah, ya. Apa kau suka buku itu?"
"Tentu." Gadis itu mengangguk. "Aku sangat suka."
Aku pun tertawa kecil. "Cerita buku itu benar-benar bagus. Sastra lama memang punya keunikan tersendiri ya."
"Kau benar." Ia menunduk sejenak. Kemudian, ia menatapku kembali. "Sastra lama itu unik dan mampu membuat masalahku seolah menghilang meskipun sejenak."
"Oh ya?" tanyaku.
"Aku hidup seolah sebatang kara. Kedua orang tuaku akan bercerai sebentar lagi. Mereka bertengkar tadi. Apa kau tau? Jujur saja, di satu sisi aku ingin melihat mereka bersama, tetapi aku juga…tidak ingin melihat mereka saling melukai. Kau tau apa yang harus kulakukan?" tanyanya.
Aku terdiam sejenak. "Apa kau sudah mencoba untuk mendamaikan mereka?"
"Ya, sudah. Tetapi, aku tak melihat rasa cinta yang sama seperti dulu dari mereka. Dan lagi, mereka menganggapku cukup dewasa itu menghadapi hal ini. Tapi..hatiku ingin melihat mereka bersama. Apa aku egois?"
"Ngh…" Aku memutar mataku. "Kurasa tidak. Wajar bagi seorang anak jika ingin melihat orang tuanya bersama bukan?"
"Kau benar, ah….". Tersadar akan sesuatu, dia langsung menatapku panik, "Begitu….ah, aku jadi membicarakan masalahku. Aku minta maaf."
"Tidak apa-apa. Tidak masalah."
Aku tak sengaja melirik jam yang tergantung di dinding. Jam lima sore. Sebentar lagi surga ini akan tutup.
"Sepertinya aku harus kembali. Apa kau masih ingin disini?"
"Tidak. Aku akan pulang sebentar lagi. Segeralah pulang atau hujan akan semakin lebat."
"Baiklah. Ah…aku tidak akan bercerita ke siapa-siapa mengenai tadi. Kau tenang saja."
"Eh?" Dia pun mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih."
Weekend yang telah berakhir membuatku kembali harus berhadapan dengan berbagai rutinitas. Berteman dengan iblis dengan bentuk seperti manusia, menghadapi banyaknya pekerjaan, dan juga kehancuran keluargaku.
Aku butuh buku. Aroma buku tua.
Aku ingin surgaku.
Dan aku yang tidak tahan kembali ke tempat yang hangat dan nyaman tersebut. Kali ini, aku meminjam sepuluh buku.
Paman yang menjaga perpustakaan pun menatapku seolah kedua bola matanya melompat, "Banyak sekali yang kau bawa. Mau kubantu membawanya ke tempat biasa kau duduk?"
"Tidak, terimakasih ahjussi." ujarku tersenyum.
"Tak biasanya kau datang di hari selain Sabtu dan Minggu."
"Ya…aku ingin menenangkan diriku."
Dan lari dari kegelapan dunia yang aku tinggali.
Aku meletakkan buku-bukuku dan kembali tenggelam dalam dunia hangat ini. Ya, aku memutuskan untuk cuti sehari dari pekerjaan.
Dan lagi, aku bertemu dengan gadis kemarin. Dan kali ini ia membawa sepuluh buku yang sama denganku.
Lagi?
Ia tersenyum kecil dan duduk di hadapanku tanpa aba-aba.
Dahiku berkerut heran, diikuti dengan suara tawa yang menguar begitu saja darinya.
"Ekspresimu aneh."
"Ha?" responku.
"Ekspresimu." ujarnya seraya menunjukku.
Aku tertawa canggung. "Ah..ya…hahahaha…"
"Kau tau? Orang tuaku….pada akhirnya bercerai. Usahaku sia-sia."
Mataku pun melebar, sedikit tersentak.
"Dan lagi, aku kembali menjadi budak. Dan lucunya, usahaku tidak dipandang. Yang dipuji adalah dia, si penjilat."
Aku pun menunduk sejenak, kemudian menatapnya, "Usaha…tidak ada usaha yang sia-sia. Kau bisa coba di kesempatan lainnya."
Ah, aku benci pembohong, tapi aku sendiri berbohong.
Gadis itu kembali berkata, "Benarkah? Tapi, aku sudah banyak berusaha. Jujur saja, aku lelah."
"Semua orang mendapatkan cerita dan bintang yang berbeda."
"Ya, aku tau."
"Tetapi….kau sama denganku. Bagaimana bisa?"
Gadis itu tersenyum kecil. Menatap lurus pada manik eboniku yang tampak menyiratkan rasa ingin tau.
"Entahlah, mungkin takdir?"
Sabtunya, aku kembali ke dunia terang itu kembali. Paman penjaga perpustakaan seperti biasa menyambutku, namun kali ini dengan senyuman yang entah berarti apa.
"Tempat ini akan segera ditutup. Kontraktor akan membangun mall."
Ah, pantas saja sorot matanya menyiratkan kepiluan. Entah kepiluan itu tertuju pada sosokku atau kepada dirinya sendiri.
Surga ini akan hancur besok.
Apa berarti aku tidak akan punya tempat kembali?
Apa berarti aku tidak akan menghirup aroma buku tua dengan suasana hangat yang ada disini?
Dan…..
Apa berarti aku tidak akan bertemu gadis bersurai pink itu kembali?
Bodohnya aku yang lupa menanyakan namanya selama satu minggu. Aku benar-benar mengutuk kecerobohanku.
Tunggu, apa dia tau ya perpustakaan ini akan ditutup?
"Kau bisa habiskan malammu disini. Mungkin kau akan rindu dengan suasana disini?" ujar paman itu.
"Terimakasih, ahjussi. Aku terima tawaranmu."
"Buku-bukunya akan kusimpan. Ini memiliki kenangan kakekku."
"Ah, begitu." Aku mengangguk.
"Silahkan membaca untuk yang terakhir kalinya karena besok pagi, tempat ini akan dikosongkan. Kau tau, dunia tak pernah adil, Namjoon."
"Ehm. Aku tau, sangat tau."
"Aku akan ke belakang. Mengepak buku."
Aku menganggukkan kepalaku dan kembali ke tempat aku biasa duduk. Aku kembali melihat gadis kemarin…dengan buku yang sama denganku.
Lagi?
"Hehehehe." Ia menyengir.
"Ah, hai. Kau tau perpustakaan akan ditutup?"
Gadis itu duduk, "Ya, aku tau. Selama kau berduit banyak, apapun bisa dilakukan. Termasuk menghilangkan nyawa seseorang."
"Ya, benar."
Aku melihatnya mulai mengambil buku. Buku yang ia ambil sama dengan yang akan ingin kubaca. Apa dia melakukannya dengan sengaja atau bagaimana?
"Kau ingin baca yang itu?"
"Eh?" Ia melihat buku itu. "Ya."
"Sama dengan yang akan kubaca ya."
Gadis itu tertawa kecil, "Ah, benar. Aku tidak sadar. Ngomong-ngomong, kau terlihat sedih."
Aku menghela nafas, "Siapa yang tidak sedih kalau yang apa yang ia punya direnggut?"
"Kau merasa tempat ini punyamu?"
"Tidak, aku merasa ini adalah rumahku."
"Beli saja tempatnya. Tapi sayang ya. Uang tak cukup."
"Kau ingin membelinya?" tanyaku.
Dia mengangguk, "Ya."
"Dan sedihnya lagi, aku memikirkan, apakah kita akan berjumpa lagi?"
"Ku kira apa." Ia tertawa. "Tentu saja, kita akan berjumpa."
Gadis itu menatapku.
"Karena…aku adalah refleksi dirimu."
Aku pun mengernyit heran seraya menatapnya.
Aku menatapnya.
Menatapnya di dalam cermin yang berada di hadapanku.
Seketika, kesadaranku menggelap diikuti dengan getaran hebat. Kepalaku sakit. Apa aku akan tidur di dalam surga yang aku impikan?
Bunyi cermin yang pecah terdengar.
Ah, bagaimana keadaan gadis itu ya?
