FORGET ME NOT

.

.

Cast: Nakamoto Yuta x Dong Sicheng/ Winwin, NCT members

Genre: Romance, Drama, Sad

Inspired by Bruno Mars - Too good to say goodbye, you guys should prob check it out, it's great!

Special thanks to Epik High – Shoebox Album 3

.

.

.

Suasana berubah menjadi sunyi ketika sang calon pengantin keluar dari balik tirai ruang ganti. Kehadirannya berhasil menghipnotis setiap mata yang hadir, tanpa terkecuali, Sicheng dan beberapa bridemaids lainnya, Ten, dan Taeil. Gaun berwarna dominasi putih dan silver dengan sentuhan modern klasik membuat Kim Doyoung terlihat begitu anggun, dapat dibuktikan dengan anggukan persetujuan dari kelima pasang mata yang kini menatapnya terkesan. Perasaan gugupnya serta merta menghilang, ketika manik matanya beradu pandang dengan laki-laki berwajah tampan berlesung pipi yang merupakan tunangannya, Jung Jaehyun.

"Kau cantik…"

Doyoung tak dapat menahan semburat kemerahan yang dengan segera tercipta diwajahnya. 2 tahun sudah ia menjalin hubungan dengan pemuda yang berprofesi sebagai direktur keuangan di sebuah perusahaan swasta, namun tak pernah sekalipun perasaan berdebar-debar itu hilang. Bahkan ketika ia akan melangsungkan pernikahan 3 bulan lagi, ia masih saja dapat merasakan perasaan seperti pada saat pertama mereka bertemu.

"Oke, terima kasih untuk pertunjukkannya, sejoli… Drama kalian membuatku merindukan monster besarku di Chicago…" Ucapan Ten sontak membuat momen romantis itu sirna. Jaehyun menggaruk lehernya kikuk, sementara Doyoung hanya tertunduk malu menghindari tatapan ketiga sahabatnya.

"Hentikan omonganmu Ten, kau mengacaukan suasana. Lihat, mereka jadi terlihat salah tingkah kan?"

Kali ini si mungil Taeil yang bersuara, seorang wedding singer paruh waktu yang kini bekerja di salah satu agensi entertainment kenamaan Korea Selatan. Ia merupakan sahabat Doyoung ketika berkuliah di Universitas Busan beberapa tahun lalu.

"Hey! Jangan salahkan aku, kau pasti juga beranggapan seperti itu kan?" Sanggah Ten, tak terima dengan tuduhan yang dilontarkan Taeil padanya. Keduanya memang kerap kali beradu argument, bagaikan kucing dan anjing. Meskipun begitu Doyoung paham betul kedua sahabatnya itu sebetulnya saling mengasihi, caranya saja yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang.

"Siapa bilang?" Taeil melipat kedua tangannya, mulai menunjukkan sikap defensive terhadap si pemuda Thailand yang hanya memutar bola matanya malas.

Doyoung berdecak pelan menyaksikan tingkah kekanakan kedua sahabatnya itu. Kalau sudah begini, lebih baik menghindar ketimbang harus terkena peluru nyasar, entah dari Ten ataupun Taeil. Ia kemudian berpaling ke salah satu sudut, dimana seorang anak manusia tengah berdiri dengan wajah sendu. Sicheng, sang maid of honour itu terlihat sedikit menarik diri, dan sempat terkejut ketika ia mendapati Doyoung bergerak menghampirinya.

"Kau tidak apa-apa Sichengie?" Tanya Doyoung dengan gayanya yang keibuan. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, menampilkan senyuman kecil diwajahnya berupaya meyakinkan Doyoung bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi apakah benar ia baik-baik saja?

"Aku tahu kau pasti akan mendapatkan yang terbaik. Kau ini cantik, kau baik dan juga hangat, kau pasti akan mendapatkan penggantinya, aku yakin itu…" Sicheng hanya mampu mengangguk pelan, ketika Doyoung membisikan kalimat itu dengan hati-hati, berusaha untuk tak lagi mengungkit kenangan masa lalunya ketika menjalin asmara dengan seorang pemuda bernama Yuta.

7 tahun lalu, ketika usianya baru menginjak 19 tahun, ia bertemu dengan seorang pemuda tampan asal Jepang bernama Nakamoto Yuta. Keduanya dipertemukan dalam sebuah kegiatan charity kampus, dimana Sicheng ditunjuk sebagai koordinator sponsor dan Yuta, yang kala itu berusia 23 tahun, merupakan salah satu donatur pada kegiatan tersebut. Keduanya saling jatuh cinta, dan tak perlu waktu lama untuk mereka meresmikan hubungannya. Sicheng begitu menggilai Yuta, kekasihnya, yang tak hanya mampu membuatnya merasa nyaman, tetapi juga mampu membuat dirinya merasakan kembali perasaan cinta yang sempat lama menghilang dalam hidupnya.

Yuta, pemuda tampan itu pun mencintai Sicheng sama gilanya. Sayang, hubungan yang difikirnya akan berakhir dalam sebuah ikatan pernikahan itu, harus kandas, ketika Sicheng menyaksikan bagaimana Yuta menghianati dirinya tepat 6 bulan sebelum prosesi pernikahan itu dilakukan. Kecewa, marah, sedih, semua bentuk emosi seolah bercampur menjadi satu, membuat dirinya begitu terpuruk, hingga ia berani mengatakan bahwa masa itu merupakan masa terkelam dalam hidupnya. Ia tidak lagi dapat melihat cinta dengan cara yang sama. Semuanya berakhir, sama berakhirnya dengan hubungan yang ia jalin selama 3 tahun.

"Hey, aku tidak apa-apa, hari ini adalah salah satu hari terbaik sebelum D-Day mu, kau tidak boleh menyia-nyiakannya dengan persoalan tak penting semacam itu…" Sicheng meyakinkan Doyoung dengan senyumannya. Dirinya tak ingin membuat sang sahabat merasa terbebani dengan permasalahan masa lalunya. Meskipun Sicheng tahu tak mudah meyakinkan Doyoung dengan kualitas akting dirinya yang buruk.

"Kau itu sahabatku, persoalan apapun yang mengganggumu itu penting buatku."

Sicheng mengangguk, pandangannya menerawang –kosong.

"Hm, hidup itu terkadang lucu yaa… Aku jadi teringat impianmu saat kita di sekolah dasar dulu, saat kau bilang kau akan menemukan seorang pangeran dan akan menikahinya setelah kau berhasil lulus sekolah. Aku menertawakanmu waktu itu, karena ku fikir itu adalah hal bodoh, maksudku, kau tahu kan anak-anak seusia kita dulu, mereka memimpikan untuk menjadi pilot, dokter, -aku bahkan bercita-cita menjadi seorang perawat."

Sicheng tersenyum mendengar penuturan Doyoung. Ia cukup takjub melihat bagaimana sahabatnya itu masih mengingat detail kehidupan, yang ia sendiri hampir lupakan.

"Aku juga ingat, bagaimana bahagianya dirimu sewaktu kau mengatakan padaku via telpon tentang rencana pernikahanmu dengan Yuta, yang meskipun aku tidak terlalu mengenalnya, karena kita berbeda universitas. Aku bahagia sekali, paling tidak setelah kepergian kedua orangtuamu, kau bisa menemukan kebahagiaan yang semestinya kau dapatkan…"

Sicheng tertegun. Oh, mengapa perasaan sakit itu masih dapat ia rasakan setelah 4 tahun berlalu? Mengapa dirinya begitu lemah ketika ia mengingat sosok itu? Mengapa dirinya harus kembali bermelankolis hanya dengan sebuah ingatan nostalgia? Mengapa?

"Aku tahu kau pasti sudah muak dengan apa yang akan kukatakan, tapi kau harus mulai memikirkan dirimu sendiri, Sicheng… Aku tahu tidak mudah melupakan seseorang, apalagi dia sangat berarti untukmu, tapi menutup diri seperti ini juga tidak akan memberikan solusi. Kau adalah pribadi yang luar biasa, dan aku yakin suatu saat nanti kau akan menemukan kembali kebahagiaanmu. Lupakan Yuta, dan mulailah membuka diri untuk yang lain..."

Ingin rasanya Sicheng tertawa mengejek. Bagaimana bisa ia melupakan seseorang yang hingga kini masih amat ia cintai? Ya, dirinya adalah si masokis bodoh, yang terus menginginkan sosok itu meskipun jelas sekali penghianatan yang dilakukan orang itu padanya. Dia benci menjadi naïve –benci dengan hati dan perasaannya sendiri yang bahkan tak berubah meskipun 4 tahun telah terlewati dengan sia-sia.

"Sicheng ka-"

Tidak, ia tidak ingin mendengarnya lagi. Rasanya sudah cukup bagi Sicheng –tahu apa Doyoung tentang perasaannya? Ia lahir dikeluarga yang harmonis, dengan semua kemudahan yang ia terima, ia bahkan akan mewujudkan satu-satunya impian yang Sicheng harapkan sejak kecil. Mengapa hidup tidak pernah adil untuknya.

"Doyoung, a-aku, aku harus kembali ke kantor, aku lupa aku ada meeting dengan client siang ini. Kau tidak apa-apa kan? Ten dan Taeil masih akan disini, kalau ada hal penting yang perlu kuketahui, jangan sungkan untuk mengirimkan pesan padaku… aku pergi dulu…."

Doyoung tak mampu berbuat banyak ketika tubuh ramping Sicheng perlahan menghilang dari area penglihatannya –membuat Jaehyun, Ten, dan Taeil kini menatapnya dengan penuh pertanyaan.

.

.

.

"Winwin, tunggu! Aku bisa jelaskan semuanya…" Sicheng dapat merasakan tarikan keras dipergelangan tangannya –cukup keras untuk membuatnya tubuhnya berbalik arah seketika.

Yuta, pemuda itu, kekasihnya, ah bukan, tunangannya, ia temukan berada di dalam sebuah kamar hotel bersama dengan seorang perempuan yang ia ketahui sebagai rekan kerjanya. Sicheng pernah bertemu dengan perempuan itu 2x pada saat menghadiri acara kantor Yuta. Harus dia akui, perempuan bernama Yamazaki Sina itu memang menarik, Sicheng merasa kalah apabila ia harus disandingkan dengannya. Dirinya hanyalah mahasiswa tingkat akhir, yang tak memiliki apapun untuk dibanggakan, wajahnya selalu lelah karena mengerjakan tugas akhir hingga larut, pemikirannya yang hanya sebatas teori dari buku referensi –semuanya tak akan sebanding dengan yang perempuan itu miliki.

"Penjelasan apa lagi? Semuanya sudah jelas!" Ia tak lagi mampu meredam gejolak emosi yang bersarang dalam dirinya. Tangisannya pecah, tak lagi peduli dengan image-nya. Perasaannya hancur, sakit sekali, seolah-olah ada sebilah pisau yang kini tertancap didadanya.

"Ini tidak seperti yang kau lihat, Winwin, aku tidak melakukan apapun dengannya. Aku hanya membawanya ke hotel karena ia mabuk setelah kegiatan selebrasi divisi kami semalam, aku tidak tega meninggalkannya seorang diri, kau tahu aku kan? Aku tidak akan tega, Sina sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri." Yuta berusaha berkompromi dengan kekasihnya yang kini menangis meraung dihadapannya. Ia berusaha menarik tubuh kecil Sicheng dalam pelukan, namun Sicheng terus menolak. Yang paling menyedihkan adalah pandangan matanya yang seolah memandang rendah, penuh dengan emosi dan amarah. Yuta merasa menjadi orang yang paling brengsek –bagaimana bisa ia membuat Sicheng, orang yang begitu ia cintai berubah menjadi seperti ini?

"Kau bisa meninggalkannya! Kau bisa menyuruh temanmu yang lain untuk membantunya, kenapa harus kau yang melakukannya? Dan berhenti memberinya label saudara, dia tidak bersikap seperti seorang saudara bagiku!"

"Winwin, dengar, ini hanya sebuah kesalahpahaman-"

"Aku tahu ini bukan yang pertama. Kau pergi dengannya beberapa kali kan? Kun melihatmu dan Sina di department store bulan lalu, dan ketika ia memberitahuku mengenai hal itu, aku berusaha menyembunyikannya, dan mengatakan padanya kalau aku tau kau pergi dengan teman kantormu. Padahal kau tak mengatakan apapun padaku, bahkan setelah sms dua bulan lalu saat kita bertengkar hebat, kau tidak pernah menceritakan apapun. Kau terus berusaha menyembunyikannya. Aku tak bisa, aku tak bisa seperti ini terus…."

Yuta hanya menatap pasrah wajah Sicheng yang terlihat begitu menyedihkan. Nafasnya memburu, bibirnya bergetar menahan isakan yang terus-terusan keluar dari celah bibirnya. Jika dikesempatan lain, Yuta akan mengatakan bahwa Sicheng terlihat menggemaskan, dengan hidung dan bibir yang memerah serta mata yang sembab, namun kali ini, ia begitu membenci ekspresi wajah kekasihnya –kekasihnya yang ia kecewakan.

"Demi Tuhan Winwin, aku tidak melakukan apapun! Bisakah kau percaya padaku kali ini saja?" Yuta menarik rambutnya dengan kasar.

Sicheng tertawa mengejek, aliran airmata kembali jatuh menghiasi pipinya.

"Percaya? Kau bahkan tak pernah mempercayaiku. Kau selalu menyimpan semuanya seorang diri, kau fikir selama ini aku hanyalah si bodoh yang tak perlu tahu akan apapun yang kau lakukan…"

Melihat tak ada respon dari Yuta, Sicheng kembali melanjutkan aksi monolog-nya.

"Kau selalu menganggapku sebagai anak kecil, kau tidak pernah memperlakukanku setara, sebagai seorang partner. Kau selalu memutuskan semuanya seorang diri, seolah aku tak mampu melakukan apapun untuk diriku ataupun hubungan kita. Aku memang tidak bisa kau ajak berdiskusi untuk projek kantormu, atau memberimu pendapat untuk setiap masalah yang kau hadapi, tapi aku bersedia mendengarkan semuanya, jika saja kau menginjinkanku, karena aku peduli padamu, karena aku mencintaimu! Tapi tidak, sekalipun kau tak pernah melakukannya, karena bagimu aku hanyalah anak kecil yang selalu merengek meminta perhatian. Anak kecil bodoh yang kau pakai untuk mengusir kesepianmu, memuaskan hasratmu…"

"Sicheng! Aku mohon bersikaplah dewasa, kita akan bicarakan ini di apartment…" Yuta menarik tangan Sicheng, namun dirinya masih tak juga bergeming, membuat Yuta frustasi dibuatnya. Ayolah, bertengkar di basement hotel bukan merupakan keputusan yang terbaik saat ini. Terlebih beberapa orang sempat tertanggkap menyaksikan adegan demi adegan bak kdrama yang sedang ia lakoni bersama dengan kekasihnya.

"Kau selalu mengatakan padaku untuk bersikap dewasa, dewasa seperti apa yang kau maksud? Yang seperti Sina? Yang dengan mudah memberikan tubuhnya pada laki-laki yang sudah memiliki kekasih?"

Yuta betul-betul habis kesabaran menghadapi Sicheng. Ia tidak tahan dengan sikap kekanakan kekasihnya itu, berteriak-teriak dengan menyebarkan aib mereka sendiri diruang publik. Dengan kasar ia menarik tengkuk Sicheng dan menciumnya paksa ketika ia berhasil membawa masuk tubuh rampingnya ke dalam mobil.

'Plak'

Yuta menatap nanar kekasih yang baru saja menampar wajahnya, atas ulah barbar yang ia lakukan barusan–perasaan sakit dipipinya tak sebanding dengan apa yang perasaannya saat ini rasakan. Ia mengurut keningnya kasar, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai terpancing oleh tingkah polah Sicheng.

"Aku rasa cukup sampai sini saja…" Suara parau Sicheng menghapus keheningan yang sempat tercipta.

"A-Apa? Apa maksudmu?" Yuta menarik tubuhnya, memberikan spasi antara dirinya dan Sicheng, sambil terus mengamati ekspresi yang diproyeksikan kearahnya. Ia berusaha melakukan aksi penyangkalan atas statement yang baru saja ia dengar. Tidak, tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi.

"Semuanya berakhir, aku melepaskanmu, kau bisa melanjutkan kisah cintamu dengan siapapun yang kau suka…"

"Sicheng! Ini tidak lucu! Kau hanya emosi!" Sicheng sedikit tersentak dengan hardikan yang ia terima dari Yuta. Ia dapat melihat pancaran mata kekasihnya yang penuh dengan amarah, membuatnya merasa sedikit terintimidasi.

Sicheng menggeleng lelah. Dua butir airmata kembali terjatuh atas aksinya tersebut.

"Aku harap aku tidak perlu menemuimu lagi. Selamat tinggal!" Sicheng membuka pintu mobil yang tak sempat terkunci, kemudian pergi menjauh, meninggalkan Yuta yang hanya terpaku. Airmatanya tak henti-hentinya terjatuh, membuatnya nampak begitu menyedihkan –dirinya benci terlihat menyedihkan. Ia merasakan hidupnya benar-benar hancur. Semuanya berakhir, pernikahan impiannya, hubungannya dengan Yuta, dan semua hal manis yang sudah ia bayangkan akan terjadi dalam 6 bulan kedepan.

.

.

.

Yuta mematutkan dirinya dalam pantulan kaca sambil merapikan kemeja biru yang ia kenakan. Rambutnya ia tata dengan rapi, memberikan impresi yang cukup baik pada siapapun yang melihatnya saat ini. Ia meraih jam tangan analog favoritnya dan mengenakannya sebelum betul-betul beranjak keluar dari kamar tidurnya. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum ketika melihat sepupunya tengah duduk santai ditemani secangkir kopi.

"Sup bro! Maaf membuatmu menunggu lama, kau tau aku baru tiba semalam, jadi aku memperpanjang waktu tidurku sebentar. Kau tidak apa kan?"

Pria tampan dengan dimple diwajahnya itu hanya menaikkan senyum, sebelum menurunkan cangkir ditangan kanannya.

"It's okay, lagipula aku yakin Doyoung masih sibuk dengan ritual kecantikannya, meskipun rasanya itu tidak perlu, karena bagiku dia sudah sangat cantik..."

Yuta tertawa pelan sembari mendudukan tubuhnya pada sofa dihadapan Jaehyun.

"Ah, siapa nama calon pengantinmu itu? Doyoung?"

"Kim Doyoung."

Yuta terdiam sejenak. Kim Doyoung? Nama itu sepertinya tidak asing ditelinganya.

"Dimana kalian bertemu?"

"Kami bertemu musim panas 2 tahun lalu, saat itu kami berdua sama-sama mengikuti pelatihan business di Jeju, dan yaa, semuanya berjalan lancar sampai sejauh ini…"

Yuta menghela nafas panjang, memorinya kembali berputar ke beberapa tahun silam, ketika ia berada di posisi Jaehyun saat ini, saat tengah menyiapkan proses pernikahan. Ia jadi teringat akan mantan kekasihnya, Sicheng, bagaimana kabarnya? Apakah ia masih menyimpan dendam dan amarah padanya? Ah, mengingatnya membuat hatinya kembali mencelos –sakit.

Jujur saja ia masih mencintai sosok menawan yang hampir tiap malam selalu menghiasi mimpinya. Bagaimana wajahnya yang berseri ketika ia tertawa, bagaimana ia merajuk, bagaimana ketika ia menciuminya dengan manja, semua kenangan manis itu begitu menyakitkan untuk diingat. Yuta betul-betul terpuruk ketika ia harus berpisah dengan Sicheng, kehidupannya hancur total, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke negara asalnys, Jepang dan memulai semuanya kembali dari nol. Ia tidak pernah menghubungi Sina, perempuan itu sempat beberapa waktu mengkontak dirinya namun ia betul-betul menghindari apapun dan siapapun yang berkaitan dengan Sicheng maupun hari itu.

Dia memang bodoh, ia tahu bagaimana Sicheng sangat insecure pada hubungannya dengan Sina, perempuan yang sama-sama berkewarganegaraan Jepang. Ia paham bagaimana kekasih kecilnya itu cemburu tiap kali nama perempuan itu ia ucapkan. Namun ia sama sekali tak pernah berfikir semuanya akan berakhir seperti itu –Yuta berani bersumpah ia tidak melakukan apapun padanya malam itu. Seperti pengakuannya, Sina mabuk berat setelah menghadiri acara selebrasi divisi, Yuta yang kala itu merupakan satu-satunya manusia yang tak berada dibawah pengaruh alkohol, mau tak mau membantu perempuan itu. Ia sempat berfikir untuk membawanya ke apartment miliknya, namun rencana itu ia urungkan, karena ia teringat wajah Sicheng yang pasti tidak akan merasa senang. Ia kemudian membawa perempuan berambut panjang itu ke salah satu hotel, dan berniat meninggalkannya, sampai kemudian ia malah justru jatuh tertidur setelah kelelahan membantu Sina –perempuan itu memuntahkan isi perutnya akibat terlalu banyak mengkonsumsi alkohol.

Dan bagaikan petir disiang bolong, Sicheng justru mendapati dirinya bersama dengan perempuan itu didalam kamar hotel, tepat 6 bulan sebelum hari pernikahannya. Membuat hubungannya terpaksa kandas, dan menyisakan penyesalan yang luar biasa bagi Yuta. Ya, dia pantas mendapatkannya, apalagi setelah mendengar bagaimana Sicheng memandang hubungan mereka selama terjalin hampir 3 tahun lebih lamanya. Ia tersadar selama ini ia memperlakukan kekasihnya itu dengan tidak adil. Ia terlalu pengecut, ia takut mengecewakan Sicheng dan tak ingin terlihat lemah karena ia tahu kekasihnya begitu rapuh –alasan mengapa Yuta tak pernah mau menceritakan setiap masalah dan kekuatiran padanya. Bahkan ketakutannya itu membuatnya kemudian menyembunyikan setiap apapun yang ia lakukan bersama Sina –yang meskipun hanya sekedar kegiatan bersama dua orang rekan kerja. Tetap saja itu tidak adil, Yuta baru menyadari hal itu setelahnya, disaat ia tidak lagi mampu memperbaiki semua yang terjadi.

Jika saja ia dapat memutar kembali waktu dan berhasil menikah 4 tahun lalu, mungkin saat ini ia sudah berbahagia hidup bersama Sicheng membangun keluarga kecil seperti yang selalu dimimpikan oleh kekasihnya itu. Sayang sekali, semuanya harus berakhir dengan ending seperti ini.

"Hey, kurasa Doyoung sudah siap, kita berangkat sekarang saja, kau yang mengemudi ya?" Tawar Jaehyun, menyadarkan Yuta dari lamunannya –membuat Yuta terlihat sedikit bodoh ketika berusaha menyerap informasi setelah kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat.

"Kau tahu aku sudah meninggalkan Seoul lebih dari 3 tahun…" Jawabnya beralasan. Ya, ia memang sudah lama meninggalkan kota Seoul. Ia yakin banyak sekali perubahan yang terjadi selama ia absen, dari kota tempat dimana ia pernah menghabiskan setengah masa hidupnya.

"Tidak banyak yang berubah, percayalah, aku bahkan yakin kau masih hafal setiap jalan tikus di kota ini. Ayo, lekaslah, kita tidak boleh membuat tuan putri menunggu…" Jaehyun terus berupaya mempersuasi sepupunya yang kini mulai mempertimbangkan opsi yang ia ajukan. Dirinya sudah bosan mengemudi hampir setiap hari, melewati kepadatan kota di hari kerja, paling tidak ia ingin sehari saja menjadi penumpang tanpa terbebani oleh kemacetan.

Pada akhirnya Yuta menyerah, setelah melihat wajah antusias Jaehyun yang akan segera menemui tunangannya. Ia jadi sedikit merasa iri dan berharap ia dapat merasakan perasaan itu sekali lagi –meskipun ia sendiri tak yakin akan hal itu.

Kedua pria tampan itu dengan segera meninggalkan kediamannya, menuju lokasi dimana mereka akan bertemu dengan Doyoung dan sahabatnya yang akan bertugas sebagai maid of honour, Sicheng. Berkali-kali Yuta mendengar penuturan Jaehyun atas sosok Doyoung yang menarik, cerdas, dan penyayang. Meskipun sempat beberapa kali ia kehilangan atensinya ketika rute jalan yang familiar, membuatnya kembali dilanda nostalgia. Jaehyun benar, tak banyak yang berubah pada kota ini, semuanya masih sama, setiap sudut kota dan pertokoan –membuatnya merasakan perasaan seperti yang ia alami bertahun-tahun silam.

"Disana, kau lihat, kafe itu… Kurasa kita terlambat, aku sudah melihat mobil Doyoung disana. Dia tidak membalas pesanku, jadi kurasa dia sedang asik ngobrol dengan temannya itu…"

Yuta menoleh sebentar, sebelum kembali memfokuskan pandangannya kedepan –tangannya masih disibukan dengan kemudi mobil yang ia kendarai.

"Teman? Ku fikir kita hanya akan bertemu dengan Doyoung?" Tanya Yuta, jujur saja ia sedang tidak ingin berbasa-basi dengan banyak orang.

"Tenang, dia orangnya baik kok, meskipun tak terlalu banyak bicara, dan seperti yang kukatakan tadi, dia adalah maid of honor yang ditunjuk oleh Doyoung, makanya aku membawamu juga karena kau adalah best man-ku. Kalian akan banyak bertemu nantinya, oleh karena itu, kalian perlu mengenal satu sama lain, supaya paling tidak ada chemistry diantara kalian…"

Yuta menaikkan alisnya, tak terlalu ambil pusing. Paling tidak ia tidak perlu banyak bicara nantinya mengingat Jaehyun mengatakan bahwa sosok maid of honor pilihan tunangannya itu, juga seorang yang cukup introvert.

'ding'

Suara bel pada pintu utama yang menandakan kehadiran seseorang berhasil berbunyi. Jaehyun berjalan santai bersama Yuta disampingnya, sembari melemparkan pandangannya ke segala arah berusaha menemukan sosok cantik bernama Doyoung ditengah kumpulan manusia didalam kafe bernuansa eropa itu. Tak perlu waktu lama untuk dirinya menangkap siluet familiar yang tengah asik berbincang di sofa dekat jendela.

"Babe…"

Doyoung melambaikan tangannya, memberikan signal agar kedua pemuda itu bergegas menuju lokasinya kini. Didepannya, Sicheng yang duduk membelakangi kedua member tambahan itu, tak berniat sedikitpun untuk menolehkan tubuhnya, dan justru terlihat menikmati seduhan teh earl grey hangat dari cangkir keramik. Doyoung mengernyitkan keningnya, ketika perlahan wajah familiar itu semakin mendekat. Tunggu, kurasa aku mengenal wajah itu?

"Hey, babe maaf aku terlambat, aku terlalu asik bercerita dengan sepupuku ini sebelum berangkat. Oh ya, kenalkan, sepupuku, Yuta, Nakamoto Yuta."

Benar saja!

Doyoung menyaksikan bagaimana raut wajah Sicheng berubah seketika, saat ia mendengar nama itu –nama yang sangat tidak asing baginya. Ia menatap sosok Yuta dengan pandangan horror. Terlihat jelas keterkejutan diwajah cantik milik Sicheng, yang kini hanya mampu terperangah melihat mantan tunangannya berdiri dihadapannya. Yuta, pemuda Jepang itu juga hanya mampu meng-copy ekspresi mengejutkan Sicheng. Sama sekali tak menyangka, takdir akan mempertemukan keduanya kembali.

"J-Jaehyun, apa kau tah-"

"Halo Doyoung-ssi, senang bertemu denganmu." Ucapan Yuta, dengan sigap menghentikan apapun yang hendak dikatakan pemuda manis bernama Doyoung itu. Ya, Yuta ingat siapa dia, dia adalah sahabat masa kecil Sicheng yang berkuliah di Universitas Busan. Ia pernah bertemu dengannya satu kali ketika ia datang berkunjung ke Seoul untuk menemui Sicheng.

"O-Oh, ya, senang bertemu denganmu…" Meskipun sempat terlihat keraguan di wajah Doyoung namun ia berhasil menampilkan akting yang memukau melalui sebuah scene pembuka. Terlihat begitu natural, atau setidaknya begitulah yang ingin ia tampilkan di hadapan Jaehyun.

"Dan ini Sicheng, dia yang akan menjadi partnermu. Kalian akan banyak bertemu nantinya selama proses persiapan pernikahanku dan Doyoung, jadi kuharap kalian bisa berteman baik..." Jaehyun tersenyum –satu-satunya manusia dengan kertas kosong, yang dengan naïve-nya gagal mengamati ketegangan yang terjadi.

"Halo Sicheng-ssi, kuharap kita bisa menjadi partner yang baik untuk pernikahan Jaehyun dan Doyoung."

Yuta mengulurkan tangannya kearah Sicheng. Doyoung sempat melihat keraguan di wajah Sicheng sebelum akhirnya pemuda asal China itu memutuskan untuk membalas jabatan tangan laki-laki tampan yang menatapnya penuh harap.

.

.

.

.

.

Oke oke, maapin abang wahai eneng-eneng sekalian, udah ngilang dan ga ngapdet berbulan-bulan hahahaha *ketawa jahat* seriusan guys, lagi banyak urusan beudhhhh ditambah guenya yang emang dari lahir males. Pas lagi nulis buat chapter kedua ff yang satu-nya tiba-tiba gue mendapat ide lain yang klise bla bla, yaudahlah ya berhubung gue juga lagi iseng gue bikin aja, eeeh ga kerasa udah 24 halaman ae wkwkwk tinggal nambahin kurang lebih 8 halaman sisanya buat ending sabiiii terbaik emang dah gue *paan si? Oya, sekedar info ae, gue bukan penulis yak, ini gue bikin ff buat ngilangin kebosenan gue sekaligus bentuk kontribusi gue buat kapal kita tercinta, Yuwin, jadi kalo jelek dan ga berfaedah dimaklumin ae yaaak… Sama satu lagi, kalo semisal gue mention mpreg, kalian pada setuju apa kaga? Buat future reference aja sih, sekalian testing the water kalo kata cak lontong. Bbyong~