Haikyuu (c) Furudate Haruichi

Saya tidak mendapatkan keuntungan materiil apa pun atas pembuatan fanfiksi ini.

.

[a/n : dan akhirnya kesampaian bikin oisuga mlutichapter 8"DD dari dulu pengen bikin oikawa jadi pemain anggar, muehehe/yha. selamat membaca~]


"Faodail"


[1/7]

.

DAUN-daun kering yang berserakan di bawah kakinya itu menarik perhatian Tooru. Ia teringat momiji berukuran besar yang seringkali menimbun di belakang pekarangan rumahnya, jatuh dari pepohonan tetangga dan menggerutu kecil begitu sang ayah suka sekali menyuruhnya bersapu karena halaman berantakan. Lucu sekali, bukan, daun-daun itu bukan berasal dari rumahnya dan ia harus menghabiskan waktu menyapu momiji yang berserakan. Dulu sewaktu ia kecil, Koutarou suka sekali mengajaknya bermain dan ia memutuskan bolos, meski akhirnya kena marah ayah juga, sih.

Tapi dunia dan jalan yang saat ini dipijaknya bukan Miyagi, bukan salah satu kota terkenal seperti Tokyo dan Kyoto, bukan juga Jepang. Ketika Tooru mendongak untuk memastikan dari mana datangnya daun-daun itu, ia melihat pohon maple yang besar. Menjulang tinggi dan ia melihat jam Big Ben berdiri kokoh sebagai pelengkap panorama di matanya.

Tangkapan bagus, ia pikir, lekas menarik ponsel dari saku mantel dan membuka aplikasi kamera. Tooru sempat mendengar teriakan Hajime untuk diam di tempat dan ia hanya mengibaskan sebelah tangan tanda mengerti. Disusul oleh suara Tetsurou, bertanya apakah ia ingin dibelikan sesuatu atau tidak. Tooru memilih fish and chips, juga segelas cappucino kalau bisa. Ia tidak menduga kalau perjalanan dari Lake District ke London akan semelelahkan ini, jadi ketika bus rombongan klubnya berhenti sebagai waktu istirahat dan kawannya yang lain mengajak mampir ke kafe atau penjual kopi karavan, Tooru menolak.

Waktu istirahatnya tersisa satu jam lagi dan itu lama, ia jadi menyesal kenapa tidak ikut ajakan yang lain saja. Sendirian di dekat bus bersama sopir, menginjak daun-daun kering yang lama-lama membuatnya bosan setengah mati, memotret bagaimana kota London sampai Tooru mulai berpikir kalau waktu berjalan sangat lambat sekali.

Mungkin jalan-jalan sedikit tidak ada salahnya. Ia akan mengirim pesan ke Hajime nanti, atau kalau tidak ingin diamuk lagi kirim saja ke Koutarou. London adalah tempat yang tidak boleh ia lewatkan suasananya, apalagi pada saat musim gugur seperti ini. Toh, seandainya Tooru tersesat, tinggal aktifkan GPS atau paling-paling menelepon Tetsurou dan siap-siap mendengarkan ocehan Hajime dan pelatihnya nanti.

Ransel ukuran cukup besar dan tas berisi pedang anggar sengaja tersampir di belakang punggung dan bahu kanannya. Bukan bermaksud sombong, ia hanya merasa aneh kalau keluar tidak membawa apa-apa. Tidak seperti yang Wakatoshi bilang ia seperti ingin pamer, sungguh. Walaupun mendengar gadis-gadis berdecak kagum saat ia membawa tas berlogo anggar klubnya memang menyenangkan, sih. Itu pun jangan sampai Hajime tahu dan tiba-tiba ujung floret sudah mengarah ke depan wajahnya langsung.

Pemuda cokelat itu tidak sadar ketika langkahnya mencapai pagar tembok yang membentengi jembatan sungai Thames, berjalan sedikit lagi, dan ia berhenti pada jejeran bangunan kolot dengan kesan elegan. Lagi-lagi panorama Big Ben tertangkap matanya. Kali ini dalam sudut yang unik dan Tooru jelas tidak akan melewatkan pemandangan seperti ini.

Ia lekas mengangkat ponsel, menekan tanda yes saat pemberitahuan apakah kamera siap digunakan dan berdecak kalau itu mengganggu. Begitu Big Ben kembali memenuhi layarnya, Tooru siap membidik dan lupa akan sekitar.

"Oh, ya Tuhan!"

Tooru tidak sadar bagaimana pemuda yang sedang terburu-buru itu muncul dari arah belakangnya, berlari-lari kecil tetapi cepat, terlalu fokus dengan trotoar di bawahnya dan menerobos jalan begitu saja. Dan apa yang terjadi selanjutnya, bahu mereka saling bersenggolan dan keseimbangan Tooru roboh sejenak. Tooru berjengit, refleks melepas ponsel dan meluncur manis sebelum membentur aspal, terlempar bebas ke arah jalan raya. Ketika ia mendongak, seorang pemuda berambut abu lekas melihatnya sambil berseru maaf, mungkin tidak sadar kalau ponselnya juga jadi korban, lantas berlalu sebelum Tooro sepenuhnya sadar atau mengucap serentetan kalimat protes.

Mungkin dia sedang panik, sampai terburu-buru seperti itu, pikir Tooru optimis. Tidak jadi marah karena toh, ponselnya tidak berhamburan acak dan hanya jatuh tidak jauh dari trotoar pejalan kaki. Ia hanya tinggal berjalan sedikit dan—

—dan ia tidak jadi membungkuk begitu taksi hitam khas London lewat tanpa diduga, tepat sebelum ponselnya ia raih dan Tooru bisa mendengar suara krak yang nyaring, dua kali, sebelum taksi benar-benar pergi. Begitu cepat dalam hitungan sekon.

Tooru mengerjapkan mata, sekali, dua kali, lalu menunduk. Pecahan kaca ponselnya berhamburan ke mana-mana, bentuknya sudah terbagi dua dan layarnya jelas mati. Ia bahkan tidak ingat apakah pemandangan Big Ben tadi berhasil diambilnya.

Kemudian ia melirik jarum jam Big Ben, pukul tiga kurang dari lima menit yang itu berarti, tersisa lima menit lagi sampai rombongan bus klubnya berkumpul dan Tooru tidak yakin apakah otaknya mengingat dengan baik jalan yang telah dilaluinya sebelum ia sampai ke sini.

Hajime pasti akan membunuhnya.


"Iya, baru saja sampai—apa? Tidak, tidak, Asahi dengarkan aku," Koushi menarik napas sepanjang mungkin, membuka pintu mobil dengan terburu-buru, nyaris menutupnya dengan bantingan begitu ia keluar dan memijak trotoar. "Aku kemari karena keputusanku sendiri, oke? Tidak ada masalah dengan anggota yang lain, tenang saja. Kau tahu, sedikit refreshing dari rutinitas itu tidak apa-apa, kan? Aku tidak akan lama kok di sini. Paling hanya dua atau tiga minggu—aduh! Kau itu bisa tidak jangan panik? Kalau seperti itu terus—oh, ya Tuhan!"

Ia spontan memekik, ketika tanpa sengaja bahu seseorang ditabraknya dan nyaris membuatnya terjatuh. Koushi sempat mendengar benda terjatuh, membentur, bahkan terlempar tapi ia mengabaikan. Yang ia lakukan adalah mencari wajah orang yang tak sengaja ditabraknya, menemukan rambut cokelat keriting dan garis wajah yang tidak seperti orang Inggris pada umumnya, lalu berseru meminta maaf.

"Suga? Ada apa?"

"Apa—oh, tidak, bukan apa-apa," ponsel yang sebelumnya terjepit di pundak kanan ia pindahkan ke bagian kiri. "Tidak sengaja menabrak orang tadi, tapi tidak apa-apa. Lalu, sampai di mana kita tadi?"

Tujuan utamanya adalah ATM terdekat dan Koushi menemukannya tidak jauh dari kafe yang biasa ia datangi di waktu senggang sejak ia mampir ke London untuk kali kesekian. Seorang petugas parkir sudah mengenalnya dengan baik jadi ia tidak perlu khawatir akan keadaan mobilnya. Ia sempat melewati karavan kopi Mr. Albert, sejenak menewarinya gelas latte seperti biasa tapi Koushi menolak, berkata bahwa ia akan kembali lagi nanti. Jika tidak sedang diburu waktu.

"Oke, nanti aku hubungi lagi, Asahi. Jaga Yuu dan Ryu untukku, ya. Dua anak itu pasti ribut kalau tidak ada yang menangani. Dah."

Sebenarnya, kalau Koushi ingin mengeluh, ia ingin mencap hari ini sebagai hari tersial yang pernah ia rasakan. Dimulai ketika bensin mobil habis ketika perjalanan dari Wembley ke London. Salah satu kenalannya dari Jepang, Yaku Morisuke, sudah lama menetap di sana dan meminta Koushi untuk mampir ketika tahu ia kembali berkunjung ke Inggris. Setelah itu, Koushi nyaris kecopetan begitu berhenti untuk membeli camilan, sekadar mengisi perutnya yang kosong sebelum jam minum teh sore dan makan malam tiba. Ah, tidak nyaris juga, tapi ia berhasil kecopetan dan sejumlah uang yang tidak sengaja ia selipkan di saku parka lenyap dalam sekejap. Dan nominalnya tidak sedikit, demi Tuhan. Termasuk digit angka yang ia lihat begitu berhasil mencapai ATM. Ia perlu menghemat untuk beberapa bulan ke depan sebelum pulang ke Jepang.

Oh yah, ia juga menabrak orang tidak bersalah tadi. Meskipun tidak terjadi masalah yang serius. Semoga saja setelah ini tidak ada kesialan lain yang—

"Hyahoo, ada waktu sebentar?"

Koushi tersentak, refleks berhenti begitu ia keluar dan dihadang tanpa tedeng aling-aling. Ketika mendongak, ia mendapati seorang pemuda berambut cokelat, keriting, dan garis-garis rahangnya yang tidak seperti orang Inggris kebanyakan. Kening Koushi berkerut samar, sepertinya ia pernah mengalami ini dan ia pernah melihat dengan ciri yang sama.

Dan lagi—oh! Dia berbicara dalam bahasa Jepang!

"Japanese?"

"Duh, memangnya kau tidak dengar aku bicara dalam bahasa apa," senyumnya lebar tapi Koushi merasa janggal. "Jadi, ada waktu sebentar—uhm, siapa namamu?"

Sedikit mencurigakan, tapi orang di depannya ini satu rumpun. Barangkali dia tersesat. "Sugawara Koushi."

"Oke, Sugawara-san."

"Jadi, ada apa?"

"Ah, bukan masalah yang penting, hanya saja..." Pemuda itu merogoh saku mantel biru dongkernya sejenak, seperti mengeluarkan sesuatu dengan hati-hati, dan beberapa detik setelahnya kedua tangan terulur di depan Koushi. "... ini."

Koushi memekik, suaranya seperti tikus tercekik dan warna wajahnya nyaris menyerupai putih.

Persegi panjang yang terbelah, layar retak sekaligus pecah—tidak, itu sudah bolong, hitam, tanpa ada tanda-tanda bisa menyala atau mengeluarkan bunyi.

"Well, bagaimana ya, tadi kau menabrakku dan ponselku terlepas begitu saja. Sebenarnya itu bukan apa-apa kalau," bahu berkedik tak acuh, "kalau mobil taksi tidak tiba-tiba saja lewat dan ponselnya jadi seperti ini."

"Oh, astaga, maafkan aku!" Koushi membungkuk cepat, hampir membentur perut si pemuda cokelat kalau dia tidak langsung mundur selangkah. "Aku tidak tahu akan jadi seperti ini, semuanya di luar dugaanku dan tiba-tiba saja—ya Tuhan, maafkan aku!"

"Eh, oke, oke, tenang dulu. Duh, kau ini lucu, ya,"

"Apanya yang lucu!" Badan kembali tegak, "Ponselmu hancur dan—" Ucapan Koushi tidak tuntas. Ia seakan memiliki gerak autopilot untuk melirik ATM sejenak, mendelik dengan horor pada bagian dompet yang ia simpan dalam saku parka, lalu balas memandang sepasang iris mahoni yang lebih dulu menatapnya dengan geli. Sekon berikutnya, ia menepuk kening dengan keras. "Argh!"

"Err, Suga—"

"Begini saja," potong Koushi, meraih kedua tangan si pemuda cokelat dan mengguncangkannya agak keras. "Saat ini aku sedang krisis, jadi ponselmu tidak bisa aku ganti sekarang. Sebagai gantinya, aku akan melakukan apa pun untuk menembusnya."

Kening mengernyit. "Apa pun?"

"Ya, apa pun! Kau—uhm,"

"Oikawa Tooru."

"Ya, Oikawa-san, bagai—"

"Tooru saja,"

"To—eh, boleh?" Koushi mengerjapkan mata. "Tapi kita baru saja—argh, lupakan! Jadi, bagaimana?"

Senyum Oikawa Tooru kembali merekah, kali ini lebih lebar dan Koushi tidak tahu harus merasakan apa. "Kau bilang kau akan melakukan apa pun sebagai tebusan, kan?"

Jeda sejenak, lalu, "... err, ya."

Tooru tampak berpikir sesaat. "Kau bawa mobil?"

Hah? "Ng, yah, iya aku bawa mobil. Parkir di sebelah sana." Pegangan pada tangan Tooru terlepas, jari telunjuk menuding, sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berpijak.

"Maksudmu yang Beetle berwarna toska itu?"

"I... ya—kenapa tertawa! Tidak ada yang lucu juga."

"Maaf, maaf," lawan bicaranya berdeham kecil, "kalau begitu, jadi tour guide-ku saja, ya. Karena ponselku rusak, aku jadi tidak bisa menghubungi temanku dan tiga puluh menit yang lalu rombongan busku baru saja pergi. Dengan kata lain, aku menghilang dan ditinggalkan, hore!"

Koushi mencelos, di hadapannya, sebelah mata Tooru mengedip jenaka.

"Ajak aku berkeliling London, oke, Sawayaka-kun."

"... eh?"


tbc


[1] Floret : Pedang yang berbentuk langsing, lentur dan ringan, ujungnya datar atau bulat, tumpul dan berpegas. Salah satu jenis pedang dalam permainan anggar [wikipedia].