Tea
Oleh: Jogag Busang
Disclaimer: Kuroshitsuji by Yana Toboso
Penulis tidak mengambil keuntungan materil dari fanfiksi ini
.
.
Berjalan dan lalu kembali lagi
Rumah adalah tempat mengail tali
Inilah kekasih yang ditunggu, yang paling dicintai
Di dalam kediaman yang terpuruk dan terbenam
Secangkir teh adalah minuman yang paling dirindukan
Pelipur dari lara dan lupa
Pengganti dari sepi dan hampa
[]
"Biarkan aku saja yang membuatnya."
"Ta-tapi ini tugas kami. Tuan Putri tidak perlu repot-repot mengotori diri dengan melakukan pekerjaan semacam ini," ujar seorang pelayan wanita berkacamata bundar.
Gadis berambut pirang, Elizabeth, memasang wajah tidak terima. "Kenapa harus begitu?"
"Anda adalah Tuan Putri yang harus kami layani."
Tapi bukannya berhenti, Elizabeth malah mengambil cangkir dan gula dari rak. Lengan baju digulung hingga siku. Dia lalu menuang air panas ke dalam cangkir.
"Apakah aku tidak boleh menyenangkan hati Ciel? Aku ini kekasihnya. Aku tahu hari ini dia sedang tidak terlalu bersemangat."
Sang pelayan hanya bisa menurut. Dia memutuskan untuk keluar dapur karena tidak ada lagi yang dapat dilakukan.
"Kira-kira, kenapa Ciel bisa seperti itu, ya?" Elizabeth bergumam lirih.
Sudah seminggu ini Elizabeth melihat Ciel tidak bergairah. Seakan-akan dia berubah menjadi orang yang berbeda. Elizabeth tidak pernah lagi mendengar Ciel yang sering marah-marah atau bergaya sombong di depan anak-anak sekelasnya
Sebenarnya ini memang perubahan baik, tapi larut dalam kesedihan sama sekali bukan sifat Ciel. Karena itulah, pagi-pagi sekali di hari libur, dia sengaja mengunjungi rumah kediaman Ciel. Elizabeth ingin berbicara dengan laki-laki bermata sebiru langit itu.
Tanpa mengetuk, Elizabeth membuka pintu kamar Ciel.
"Lizzy?" Ciel yang sedang duduk di tepi kasur tersentak dari lamunannya.
"Aku membuatkan minuman untukmu." Elizabeth mencoba menyapa dengan ceria.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Apakah salah jika aku ada di sini?"
"Bu-bukan begitu. Mak-maksudku—"
"Tidak apa-apa, Ciel."
Elizabeth memilih duduk di samping Ciel. Gelas berisi teh hangat diulurkan. Mau tidak mau, Ciel harus menerimanya.
"Aku hanya ingin bertanya, apa yang terjadi padamu?"
Ciel menunduk. Teh yang dipegangnya tidak jadi diseruput.
"Kau ternyata menyadarinya, Lizzy?"
"Tentu saja. Aku ini kekasihmu, Ciel."
Ciel akhirnya meminum satu tegukan. Setelahnya, dia merasa lebih baik.
"Tahukah kau, Lizzy, kadang aku merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan dalam kehidupan ini."
Elizabeth merasa sedikit terkejut. Pernyataan Ciel barusan jelas mengagetkannya. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu, Ciel?"
"Aku juga tidak tahu."
Embusan angin pagi dari celah jendela berlalu dengan begitu lembut.
"Apakah kau sedang merindukan orang tuamu, Ciel?"
Bahkan Ciel sendiri baru menyadari perasaan yang menghinggapi batinnya belakangan ini usai mendengar pertanyaan dari Elizabeth tersebut.
"Kau selalu pandai menebak, Lizzy."
"Bukankah aku memang begitu? Kan sudah kubilang, aku ini kekasihmu. Aku tahu apa pun tentangmu."
"Dan aku harus bersyukur karena telah memintamu menjadi kekasihku?"
"Sepertinya, iya."
Keduanya tersenyum bersamaan.
Elizabeth merasa lega karena usahanya berhasil. Dia dapat melihat Ciel kembali tersenyum.
"Minumlah lagi. Teh tidak akan nikmat jika sudah dingin."
Untuk kesekian kalinya, di hadapan Elizabeth, Ciel hanya dapat menurut.
[The End]
