Disclaimer: Naruto and all characters in this Fanfiction is belongs to Masashi Kishimoto.
I hope you enjoy it.
Hinata mengamati sekelilingnya sebelum menjatuhkan pilihan untuk duduk di bangku persegi yang menghadap taman buatan. Ia memberi isyarat agar pelayan restoran yang mendatanginya bersedia menunggu hingga ia selesai mengangkat telepon. Setelah pembicaraan di telepon itu selesai, ia lalu memesan segelas mango smoothie. Ia akan menentukan menu utama jika sahabatnya, Yamanaka Ino sudah berada disini. Setelahnya Hinata membuka kembali buku sketsa yang sempat ditundanya tadi, ia menenggelamkan diri mengamati rancangan gaun musim semi yang akan menjadi koleksi baru butiknya.
Tak sedikitpun Hinata menyadari sepasang mata yang terus menatapnya sejak tadi, mengawasi gerak-geriknya dengan seksama. Sepasang mata itu bagaikan sebuah kamera yang merekam setiap hal kecil yang dilakukan Hinata. Sepertinya Hinata tidak terlalu peduli dengan siapa dan mengapa si pemilik mata itu menatapnya sejak tadi. Hinata terlalu fokus mengamati rancangan Ino yang selalu mengagumkan, gadis itu benar-benar memiliki selera fashion yang bagus.
Ino datang lima belas menit kemudian dengan raut wajah yang sulit ditebak. Berulang kali ia menarik napas berat, sorot matanya yang biasa berkilat indah itu terlihat menyebalkan. Ia kesal, tapi tetap tersenyum dengan begitu manis tatkala pramusaji menghadirkan pesanan mereka. Hinata terlalu malas untuk menebak apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu. Perutnya lapar dan aroma sup miso itu sungguh menggoda.
"Katakan padaku, apa kau benar-benar ingin menikah?" tanya Ino sambil meletakkan garpunya.
Hinata yang fikirannya sedang menerawang harus kembali pada waktu dimana ia berada saat ini.
"Tentu saja aku yakin," Hinata mengerutkan dahinya, "kau kan tahu, aku dan Toneri adalah sepasang kekasih yang sempurna. Tentu saja aku berbahagia dengan semua ini."
"Kau tidak tampak bahagia," nilai Ino, ia kembali mengisi cangkirnya yang sempat kosong.
Hinata memutar matanya dengan ekspresi mengejek dan juga putus asa. "Tunggu saja giliranmu, kau akan merasakan bagaimana setiap langkahmu diawasi dengan begitu ketat, pasti telinga ibuku sudah sakit ketika kubilang aku ingin pernikahan kecil yang sederhana."
"Lalu, kenapa tidak?" Ino memandang sorot terkejut Hinata dengan tenang. "Kau bisa meminta Toneri mempersiapkan pernikahan sederhana di sebuah gereja di pinggir kota. Aku akan membantu dengan menjadi saksi kalian."
Hinata menatap Ino lekat.
"Itu tidak mungkin, segalanya sudah terlambat." Hinata mendesah kecil sambil menatap mangkuknya yang telah kosong.
"Mereka pasti akan mengerti," bisik Ino seakan memberi sebuah keyakinan.
Hinata menggeleng lagi. Tidak, tidak ada yang akan sudi mengerti tentang apa yang dia rasakan. Demi Tuhan, bahkan Toneri juga tidak akan bisa memahaminya.
"Apa kau tidak ingin menjadi pengiring pengantin? Aku sudah mempersiapkan segalanya dan juga mengatur agar kau yang menerima lemparan buket bungaku."
"Setelah mengamatimu dengan cermat setelah pesta pertunanganmu, kurasa aku tidak mau," jawab Ino dengan mantap. Hinata merengut kesal dengan ekspresi lucu.
"Itu kejam sekali, Ino-chan."
Ino terkekeh kecil, dipandanginya Hinata dengan lebih seksama. Membaca setiap gores kerapuhan dan kesepian yang tergambar jelas di wajah ayu sahabatnya itu.
"Ah, berbicara mengenai pertunangan, kulihat kau tidak memakai cincin tunanganmu. Apa itu sebagai suatu isyarat?"
"Tidak, aku merusak cakar penjepit batunya seminggu yang lalu. Sekarang cincin itu sedang diperbaiki," Hinata memperdalam kerutan di keningnya sebelum bertanya lagi. "Kenapa? Kau terlihat tidak menyukai Toneri."
"Itu tidak benar!" sanggah Ino cepat. Mereka bertatapan sejenak, "kurasa kau tidak bahagia, Hinata. Dan mungkin kau akan membenciku jika kukatakan ini, Toneri bukan seseorang yang pantas untukmu."
Hinata terkesiap. Matanya membola menatap Ino dengan degup aneh, ada bagian di dalam dirinya yang menyetujui ucapan sahabat pirangnya itu.
"Jangan main-main, Ino. Aku mencintai Toneri, jika kau belum tahu itu."
Seperti biasa, Hinata membangun lapis demi lapis kepercayaan diri dan keyakinan yang diperlukannya untuk bersembunyi. Sayangnya, selama bertahun-tahun mereka saling mengenal hingga menjalin sebuah persahabatan yang menyerupai ikatan keluarga, Ino adalah sosok yang paling memahaminya.
"Kau tak pernah sembarangan berhubungan, Hinata. Dan aku selalu mengagumi prinsipmu itu, saat kau bersama Toneri aku akan mengira bahwa kau akan jatuh cinta sepenuhnya. Ada gairah, emosi, rasa sayang, kepemilikan, bahkan surga dan neraka sekalipun akan kau rasakan bersamanya. Tapi, aku tidak melihat itu, Hinata. Kau tidak seperti orang yang sedang jatuh cinta, tidak ada tanda-tanda cinta antara kau dan Toneri."
"Aku tidak seperti itu," sergah Hinata. Meskipun di dalam hatinya ada gemuruh yang membenarkan ucapan Ino.
"Benarkah?" Ino menyipitkan matanya sebagai bentuk ketidakpercayaannya pada jawaban Hinata.
"T-tentu saja," jawab Hinata gugup. Tangannya tiba-tiba berkeringat untuk alasan yang tidak dimengertinya.
"Sekarang jujurlah," Ino mencondongkan tubuhnya ke depan, "jika besok Toneri mendatangimu dan mengatakan bahwa ia ingin membatalkan pernikahan, apa itu berarti kiamat untukmu?"
"Ya," Hinata mengangkat sedikit dagunya. Ia harus mempertimbangkan segalanya, tentang pernikahan ini, keluarganya, dan juga Toneri. Hinata ingin menjalani segalanya seperti apa yang telah digariskan untuknya, memikirkan keinginan pribadinya sama saja dengan meruntuhkan segala pertahanan yang telah ia bangun dengan susah payah selama ini.
"Terkadang," bisik Ino lembut, "kau tidak bisa menipu diri sendiri." Ino meneguk isi cangkirnya hingga tandas, lalu meraih tas, dompet dan juga struk tagihan yang ada disana.
"Tapi jika itu pilihanmu, apapun itu... aku akan tetap berada di sisimu," ucapnya lagi.
"Kau membuatku gugup," balas Hinata. Ino terkekeh kecil, matanya mengerling indah.
"Aku akan lebih bahagia jika kau gugup, itu pertanda bahwa pernikahanmu ini memang mendebarkan," Ino mendorong kursinya kebelakang.
"Kau terlalu bersikap seolah mengetahui segalanya," Hinata membalas dengan nada geli.
"Kau cantik dan menarik, banyak pria yang sedang menunggu untuk kau tarik perhatiannya. Jika kau tidak percaya, coba lihat pria di meja sudut sana," tambah Ino lugas.
"Dia terus menatapmu sepanjang makan siang ini, kalau kulihat, dia menatapmu dengan tatapan yang luar biasa memuja, dan... uhm, dia cukup tampan," dengan kedipan mata nakal, Ino beranjak meninggalkan Hinata sendiri. Tak lupa ia meninggalkan sebuah senyuman yang samar.
Hinata pun seharusnya meninggalkan tempat itu. Tapi ia malah meraih teko dan kembali mengisi gelasnya. Ia mendesah sejenak, menatap kembali buku sketsa yang diletakkannya di salah satu kursi kosong. Hinata melirik arloji di pergelangan tangannya dan bangkit. Waktunya tidak banyak, dan ia harus mencari taksi untuk pertemuan yang berikutnya.
Pernyataan Ino yang blak-blakan tentang seorang pria yang menatapnya dari meja sudut sana benar-benar membuat Hinata penasaran. Dalam perjalanan keluar dari restoran itu, ia tergoda untuk mencari keberadaan pria itu. Hinata memberanikan diri mengarahkan pandangannya ke arah meja di sudut. Dan ia mendapati dirinya menatap langsung mata penghuni meja itu, lalu wajah Hinata tiba-tiba memanas.
Pria itu benar-benar menatapnya dengan sepasang mata sebiru langit yang menyorot penuh arti. Hinata salah tingkah dalam sekejap. Pria itu berkulit sedikit gelap, rambut pirangnya dipotong cepak dengan bentuk yang sedikit messy. Pria itu tampak rupawan sekaligus menawan, hidungnya mancung dengan bibir merah kecoklatan yang begitu sensual. Tatapan mata biru miliknya tak terputus mengarah Hinata, mengiringi langkahnya keluar restoran itu.
Ya Tuhan, sadar dengan perasaannya yang setengah senang dan setengah cemas, Hinata mengumpat Ino di dalam hatinya.
Sialan kau, Ino.
Ia bisa melukis wajah pria itu secara detail hanya dengan mengingatnya.
Hinata berjalan ke tepi trotoar sambil sesekali melihat ke belakang. Degup jantungnya yang tadi sempat berpacu telah mereda. Karena tak ada satupun taksi yang melintas, Hinata memutuskan untuk berjalan ke halte terdekat. Jika tak ada taksi, maka dengan menaiki bus juga tidak akan menjadi masalah selama itu bisa mengantarkannya hingga tujuan.
Hinata tidak menyadari kedatangan bahaya yang sedang mengancamnya. Petunjuk bahaya pertama adalah sebuah teriakan histeris yang mengagetkannya, detik selanjutnya Hinata merasa dirinya terjerembab.
Tas dan buku sketsa yang ia dipegang tertindih dibawah dadanya, ia mengepalkan tangan, lalu menutup mata dengan erat. Ia terlalu takut untuk melihat hal yang akan terjadi selanjutnya.
Lalu ia mendengar suara-suara teiakan, derit rem dan langkah berlari. Segalanya menjadi riuh dalam seketika.
Hinata tetap diam di tempatnya dengan napas yang tercekat di tenggorokan. Ia bisa mendengar seseorang berbicara kepadanya dengan suara berat dan bahasa Jepang yang sedikit beraksen.
"Apa kau terluka, Nona? Perlukah aku memanggil ambulans? Hei... buka matamu dan bicaralah," pria itu berjongkok di hadapan Hinata.
"Aku tidak apa-apa," Hinata mengangkat wajahnya dan memandang sekeliling dengan perasaan bigung.
"Aku bisa melakukannya sendiri," tolaknya halus untuk menepis tangan besar yang terulur kearahnya.
"Kurasa kau membutuhkan bantuan," ucap pria itu tanpa beranjak sedikitpun dari posisinya.
Hinata menoleh dan menatap pria itu dari jarak dekat. Lalu ia mendapati hal yang ditakutinya menjadi sebuah kenyataan. Dilihat dari jarak dekat, pria dari restoran itu berkali lipat jauh lebih mempesona. Bibirnya terkatup erat, tapi Hinata membayangkan bahwa bibir itu sedang membentuk sebuah senyum lembut. Mata birunya sejernih hamparan langit yang cerah, aroma cologne pria yang mahal merebak kedalam penciuman Hinata.
Tiba-tiba Hinata tersadar dan ia harus keluar dari segala pesona pria itu. Ia mencoba berdiri.
"Aduh," rintihnya pelan sambil mengernyit. Kakinya terluka dan berdarah, stoking hitam yang dikenakannya robek. Siku dan telapak tangannya terasa perih.
Tanpa ia minta, sepasang lengan yang kekar dan kuat itu membantu tubuh mungilnya berdiri. "Bagaimana kalau kau kubantu naik taksi dan menuju klinik terdekat? Sepertinya polisi dan petugas kesehatan akan sibuk menangani korban kecelakaan lainnya, ayo, Nona."
"Ah, iya... aku mau taksi."
Pria itu mengangguk paham, kemudian dalam keriuhan yang belum reda ia memanggil taksi dan menggiring Hinata kedalamnya. Hinata terkejut mendapati pria itu turut duduk disampingnya, dengan tatapan bertanya ia memandang pria itu dengan cermat.
"Kau terluka, dan seseorang perlu menjagamu." Jelas pria itu dengan acuh.
"Aku harus menghadiri pertemuan dengan seseorang," bisik Hinata lirih.
"Kau tidak bisa menghadiri pertemuan dengan kondisi seperti ini," kata pria itu lagi. "Kau perlu membersihkan pakaianmu, dan lukamu juga membutuhkan perawatan."
Sebelum Hinata menolak, pria itu menyebutkan salah satu hotel mewah yang ada disana. The Ritz Hotel.
"Tunggu, mengapa kau menuju The Ritz?" tanya Hinata penasaran.
"Kebetulan aku tinggal disana," jawab pria itu dengan enteng.
Hening sesaat, lalu Hinata berkata, "kalau begitu aku akan turun sebelumnya, apartemenku dua blok sebelum The Ritz Hotel. Aku akan membersihkan diri dan merawat lukaku disana."
"Kau takut aku berbuat yang tidak-tidak?" alis pria itu terangkat. "Izinkan aku meyakinkanmu, aku tidak pernah merayu seorang wanita, kecuali mereka yang memaksa."
Hinata menatap pria itu dengan sorot mata yang dingin. "Apa kau menikmati mengatur hidup orang lain?"
Pria itu terkekeh sejenak sebelum menjawab.
"Ya, hanya mereka yang telah kuselamatkan." Pria itu menjawab dengan melebarkan senyumannya yang mempesona.
Jauh di dalam lubuk dirinya, Hinata merasakan sebuah kehangatan memeluknya. Tapi dengan kentara ia mencoba menjauh dari pria itu, ia menciptakan jarak dengan memposisikan dirinya di sudut taksi itu.
"Kau terlalu berlebihan," cicit Hinata pelan.
Pria itu mengangkat bahunya acuh. Setelan hitam elegan itu mempertegas bahunya yang begitu kokoh. Kancing teratas kemeja abu-abu itu dibiarkan terbuka, Hinata juga memperhatikan bagaimana simpul dasi itu dibiarkan longgar dengan sengaja. Selebihnya, pria itu cukup jangkung dengan tinggi 185 sentimeter, ia langsing, berotot dan memiliki kaki yang panjang.
Mau tidak mau, Hinata mengakui bahwa pria ini begitu menarik. Ia terjerat pesona pria itu semenjak tatapan pertama mereka di restoran tadi.
Pria itu merogoh dompet tipis dari kantung jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Ia menyodorkan kartu nama itu pada Hinata.
"Mungkin perkenalan formal bisa meyakinkanmu," ucapnya demi menghapus gurat khawatir di wajah gadis mungil itu.
Hinata menerima kartu itu dan mengamatinya dengan ragu-ragu. "Uzumaki Naruto," ucapnya lirih. Hinata juga membaca label perusahaan ternama yang ada disana, "Shinokyuu Inc."
Hinata menatap pria itu, "perusahaan elektronik itu?"
Alis Naruto kembali terangkat, "kau telah mendengar tentang perusahaanku rupanya."
"Tentu saja," jawab Hinata pelan. Ia menelan ludahnya sejenak sebelum kembali berkata, "kau luar biasa sukses. Setiap kali perusahaanmu menawarkan saham, maka tunanganku akan merekomendasikan kliennya untuk membeli."
"Apa dia seorang pialang saham?" tanya Naruto sopan.
"Penasihat keuangan independen," jawab Hinata sambil melemparkan pandangannya ke jalanan.
"Apa kau bekerja di bidang yang sama dengannya?"
"Oh, tidak," jawab Hinata cepat. "Aku hanya seorang desainer yang tidak berbakat," ucapnya lagi.
"Kurasa kau begitu mencintai pekerjaanmu," ucap Naruto sambil mengamati wajah bulat Hinata.
"Ya, aku seringkali menerima pesanan gaun pernikahan yang begitu rumit. Bagi sebagian orang, pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Segala sesuatunya harus sempurna, maka tugasku adalah memenuhi keinginannya untuk tampil sempurna dengan gaun yang diimpikannya."
"Apa kau merancang gaun pernikahanmu sendiri?"
"Sejujurnya, tidak. Aku ingin memakai gaun milik ibuku, tapi itu tidak mungkin. Beliau melarangku melakukan hal itu, maka aku meminta sahabatku untuk merancang gaun pengantinku."
Naruto memandang Hinata penuh perhatian, "kurasa," kata Naruto dengan lembut, "kau sangat mempesona mengenakan busana apapun, karena kau sangat cantik."
Hinata menegang sesaat, "tolong... jangan katakan hal seperti itu."
Naruto mengekspresikan keheranannya. "Karena akan menikah, kau tidak boleh menerima pujian dari pria lain, itu aneh sekali."
"Bukan," kata Hinata, "bukan begitu maksudku."
Naruto yang sepenuhnya santai di pojok taksi itu melebarkan senyumannya kepada Hinata. "Dan kau juga terlihat enggan untuk bercanda, sepertinya aku harus bersikap layaknya seorang santa," tambahnya lagi.
Hinata menatap pria tampan itu sekilas, "kau bahkan tak menunjukkan gelagat seorang santa."
Kau lebih mirip malaikat pembangkang, Uzumaki Naruto.
"Jadi," kata Naruto, "kau sudah tahu siapa aku, apa kau tidak ingin memperkenalkan dirimu, nona manis?"
Hinata merasa pria ini mulai menggodanya lagi, dan ia tidak ingin menanggapi. "Namaku Hinata, Hyuuga Hinata," jelas Hinata kemudian.
Naruto memandang Hinata dengan sorot berkilauan di mata biru safirnya yang mewah.
"Hinata," ucapnya lembut, "sebuah tempat yang terang."
Hinata tersipu, lalu ia memalingkan wajahnya yang menghangat.
"Sebenarnya aku dinamai sesuai dengan nama ibuku, itu saja."
"Apa kau akan menikah dengan seorang laki-laki yang protektif?" tanya Naruto tanpa memperdulikan perasaan Hinata yang mungkin saja akan tersinggung.
"Tentu saja tidak, aku benci jika kegiatan sepele yang kulakukan mendapatk pengawasan yang berlebihan," ucap Hinata.
Naruto meredam tawanya sejenak, "itu bagus, karena kita sudah sampai di The Ritz," ucapnya lagi.
Hinata ingin menjauh dari pria yang telah berulangkali menciptakan hangat di relung hatinya itu, terasa aneh jika ia merasa nyaman dengan tiba-tiba. Tapi seorang pegawai hotel telah membuka pintu dan menuntun Hinata keluar.
Naruto memberikan perintah kepada orang-orang yang ada disana dengan nada sopan namun tegas, sebagian besar perintah itu menyangkut Hinata.
Hinata sadar, ini bukanlah apa yang diinginkannya. Satu-satunya hal yang ingin dilakukannya adalah mencari tempat yang tenang dan menangis sepuasnya.
Hinata tidak bisa melayangkan protes saat lengan kokoh itu kembali merengkuhnya, menuntunnya berjalan melewati lobi hotel dan menuju lift. Hinata dengan sabar mengamati gerak-gerik Naruto yang menggesek kartu kunci untuk membuka pintu kamarnya. Sambil membisu, Hinata melangkah memasuki kamar Naruto yang megah.
Kamar ini besar dan dilengkapi perabotan yang mewah, dan Hinata sedang berdiri di ruang tamu yang luas. Tirai jendela setengah tertutup, menghalangi sinar matahari senja yang menyeruak masuk. Naruto menunjuk sofa yang terlihat empuk, meminta Hinata duduk disana. Kaki Hinata yang terluka tiba-tiba gemetar, lalu ia duduk dengan kepatuhan yang tidak biasa.
"Aku sudah meminta perawat untuk merawat lukamu, kamar mandi ada disana," ucap Naruto sambil menunjuk sebuah ruangan yang dibatasi sekat. "Kau boleh menggunakan jubah mandi yang ada disana sambil menunggu pakaian barumu datang, aku juga memesankan teh hangat untukmu."
Hinata menyahut dengan suara bergetar, "kau benar-benar diktator, Uzumaki-san."
Naruto mengangkat bahunya, "aku hanya bisa berharap bisa meringankan bebanmu atas kecelakaan yang menimpamu hari ini."
"Aku tidak mengerti," ucap Hinata pelan, "itu sama sekali bukan salahmu."
"Aku bisa mencegah kau terluka jika aku mengikuti instingku."
"Apa maksudmu, Uzumaki-san?"
"Kupikir," ucap Naruto pelan sambil menatap mata Hinata, "aku ingin sekali berkenalan dengan seorang gadis manis bermata berlian."
Hinata terkejut, lalu rasa dingin menyeruak menerpa wajahnya. Ino benar, pria ini memang memperhatikannya selama makan siang berlangsung. Tiba-tiba rasa dingin itu membuatnya menggigil, Hinata memeluk dirinya sendiri.
"Mungkin kau memang suka perempuan bermata jernih," ucap Hinata sekuat tenaga.
"Tidak," sergah Naruto cepat, "aku benar-benar menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu disana."
Jantung Hinata berdegup kencang. Lalu dalam nada sinis yang membayangi, ia bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa banyak wanita yang berhasil dibujuknya dengan cara ini?
"Aku... tidak seharusnya berada disini," ucap Hinata lirih. Kemudian ia tersadar bahwa Naruto tidak senang mendengar kata-kata itu.
"Kau aman disini. Sebentar lagi perawat itu akan datang, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan seperti ini lagi." Naruto berucap lembut sembari memberikan sebuah keyakinan pada Hinata.
Tidak pernah. Batin Hinata merintih pilu. Itu adalah waktu yang sangat lama. Dan juga terasa sangat sepi. Tetapi pikiran itu disimpannya sendiri.
