Author : Rukee (han choon hee)

Genre : Yaoi, Romance, family, Kolosal, Sosial, Budaya, Politik

Rate : T (for this chap)

Summary : Jaejoong, seorang sekretaris kerajaan yang menjalin hubungan dengan Putra Mahkota. Apa yang dilakukan Raja ketika mengetahui hubungan keduanya?

Disclaimer : FF ini terinspirasi dari kegemaran author terhadap drama kolosal. Boy x boy. Don't like, don't read!

TERIMA KASIH UNTUK TEMANKU MANO YANG SUDAH MENYUMBANGKAN PENGETAHUAN SAEGUK-nya PADAKU. AKU CINTA KAMU!

-THE GREAT BOOJAE-

Author POV.

Pavilion Jungseang.

Sreeek.

Seorang dayang rumah membuka pelan pintu kediaman Putra Mahkota. Sedikit sinar menyeruak masuk sebelum pintu itu ditutup kembali. Dengan langkah takut, sang dayang mendekati perimbaan sang Raja di masa depan. Tidak jauh, dayang rumah itu berhenti. Menatap cukup lama pangeran yang sangat di hormatinya, masih bergumul di bawah selimut.

"putra mahkota"

Pelan, dayang itu berucap pelan. Seakan tidak ingin membangunkan sang 'yang mulia'. Tetapi, matahari yang terus menyemburkan cinta, memaksanya untuk membangunkan Putra Mahkota. Jadwal pagi melihat latihan Prajurit kerajaan bersama Raja, tidak dapat di elakan.

"putra mahkota, bangunlah…"

Tetap dengan suara yang pelan. Yang dibangunkan tidak menampilkan reaksi yang berarti. Bahkan kicauan burung di luar sana, jauh lebih terdengar daripada suara sang dayang. Dengan keberanian yang entah dari mana, dayang tersebut menyentuh tubuh suci sang pangeran. Bergetar, tangannya bergetar. Merasa tidak pantas menyentuh seseorang yang begitu di cintai rakyat meski mereka belum melihat rupanya.

"putra Mahkota, bangunlah"

Dayang tersebut menyentuh tangan sang baginda di balik selimutnya. Bersamaan dengan itu, setetes Kristal keluar dari sudut matanya. Bersalah, sungguh merasa bersalah hanya karena menyentuh calon Raja nya meskipun tidak secara langsung.

Merasa sentuhan aneh menyentuh lengannya, orang tersebut membuka manic coklatnya. Mata musangnya menatap lekat seseorang yang membangukannya. Masih dengan keadaan berpikir seusai menjelajah dunia mimpi, pangeran negeri itu mengerutkan alisnya.

"kenapa kau yang membangunkanku?"

Berlutut. Sang dayang berlutut dengan kedua pipi berurai air mata. Merasa sangat bersalah. Bahkan jika tanganlancangnya ini harus di potong, ia rela.

"joesong hamnida, joesong hamnida jeoha. Hamba tidak bermaksud mengganggu. Jeongmal joesong hamnida"

Dayang itu masih berlutut dan menundukan pandangannya.

"hei, berhentilah. Aku memaafkanmu. Aku hanya bertanya kenapa kau yang membangunkanku? Kemana sekretaris Kim? Seharusnya dia yang membangunkanku?"

Menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Melihat penuh Tanya perempuan yang menjadi dayang rumahnya selama ini.

"joesong hamnida jeoha, hamba tidak tahu. Pejabat Han datang dan meminta hamba membangunkan yang mulia. Pagi ini, yang mulia punya janji dengan Raja untuk melihat prajurit berlatih"

"ah, aku lupa. Pergilah, aku akan bersiap. Dan katakan pada sekretaris Kim untuk datang secepatnya. Tidak sepatutnya dia datang terlambat"

"baik yang mulia"

Putra Mahkota meninggalkan sang dayang dan masuk ke ruangan yang biasa digunakannya untuk membersihkan diri. Sang dayang ke luar dari tempat itu dan berganti dengan dua dayang lainnya yang bertugas merapikan peraduan sang pangeran. Semuanya harus rapi sebelum sang calon raja selesai dari mandinya.

End POV.

-THE GREAT BOOJAE-

Yunho POV

Aku merentangkan tanganku. Memudahkan para dayang yang bertugas memakaikanku pakaian. Tidak sepenuhnya, hanya pakaian di lapisan terluar. Bagian yang rumit jika memakainya sendiri, banyak ikatan dan tambahan aksesori di sana sini. Hanbok-ku kali ini berwarna merah, ah, warna favorit-ku. Bahan sutranya sungguh lembut, dan ukiran perak yang melambangkan statusku sebagai Putra Mahkota benar-benar indah. Aku suka busana-ku kali ini.

Aku membiarkan dayang melakukan tugasnya. Jujur, aku sama sekali tidak memperhatikan apa yang mereka kerjakan. Pikiranku terus melayang, bahkan di saat aku sedang membersihkan diri sebelumnya. Kim Jaejoong, Sekretaris kerajaan yang bertugas mendampingiku seumur hidupnya, membuat pikiranku teralih. Pagi ini namja cantik itu tidak membangunkanku. Seharusnya, sebagai seorang Putra Mahkota negeri ini, aku tidak perlu mengulang perkataanku bahwa aku tidak mengijinkan orang lain membangunkanku selain sekretaris kerajaan-ku. Aku terkejut melihat dayang yang membangunkanku dengan air yang tumpah dari matanya. Aku tidak marah dengan dayang itu. Sejujurnya perintahku tentang seseorang yang membangunkanku, hanya aku tujukan untuk sekretaris cantik-ku itu. Jadi seharusnya dayang itu tidak perlu takut aku akan menghukumnya, karena jika semua tidak berjalan sesuai perintahku, maka Kim Jaejoong lah yang akan menerima hukumanku.

"dayang Choi, dimana sekretaris Kim? Bukankah aku menyuruhnya untuk datang secepatnya?"

Ucapanku cukup tegas. Bukan untuk menghakimi. Tapi itu yang kupelajari sebagai calon Raja. Aku harus membiasakan diri berucap tegas, agar kelak aku menjadi Raja yang tegas dan bijak.

"joe-joesong hamnida, jeoha. Hamba tidak tahu"

Suara dayang Choi bergetar. Apa aku menakutinya? Ya Tuhan, aku rasa aku akan menjadi Raja yang menyeramkan nantinya. Kim Jaejoong, kemana orang itu? Harusnya saat ini dia berada di dekatku. Memilihkan hanbok mana yang harus kupakai. Mengawasi para dayang yang menyentuhku. Dan memberikanku 'morning smile'. Ah, morning Smile! Entah kenapa 'morning smile'-nya membuatku bersemangat menjalani kesibukanku sebagai calon pemimpin Negara. Masih ada setengah jam sebelum mood-ku benar-benar jelek, dan jangan salahkan aku, jika hari ini aku menjadi sensitive dan bermalas-malasan. Aku harap aku segera mendapat 'vitamin' ku itu.

Dayang Choi meletakan topi Mahkotaku perlahan. Ini adalah ritual terakhirku dalam berpakaian. Perlahan aku berdiri dan berjalan menuju singgahsanaku di dalam pavilion-ku. Aku duduk di bantal duduk yang empuk dan bersandar di sandaran yang nyaman. Setelah mendapat posisi nyamanku, pejabat Han masuk diiringi beberapa dayang yang membawa sarapanku. Dayang-dayang itu meletakan meja-meja kecil yang penuh makanan di hadapanku. Setelah itu, mereka berjalan mundur dengan kepala tertunduk dan menghilang di balik pintu.

Aku menatap pejabat Han yang berdiri tertunduk di dekat pintu.

"pejabat Han, dimana sekretaris Kim?"

Tanyaku pada orang kedua yang selalu mendampingiku bertugas. Aku harap aku mendapat jawaban yang pasti kali ini. Aku tidak ingin mendengar 'joesong hamnida, hamba tidak tahu yang mulia' lagi.

"joesong hamnida jeoha, saya harap sekretaris Kim sedang dalam perjalanan menuju ke tempat ini"

Jawab pejabat Han dengan tubuh membungkuk. Aku menghela napas dalam. Jawaban macam apa ini. Kemana sebenarnya sekretaris Kim?

"jawaban apa itu? Kenapa tidak ada satu pun yang tahu dimana sekretaris Kim berada? Bukankah aku sudah menyuruh kalian untuk mencarinya? Cepat cari dia. Dan suruh menghadapku sekarang"

Aku rasa, hari ini akan menjadi hari yang buruk jika sekretaris Kim tidak datang secepatnya. Aku mengawali hariku dengan membentak pejabat Han dan para dayang. Kemana kau Kim Jaejoong? Lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri.

"joesong hamnida yang mulia, para pengawal dan dayang sedang mencarinya. Saya harap mereka akan segera menemukannya. Maaf jika hamba lancang, tetapi lebih baik yang mulia menikmati makanan yang mulia tanpa harus menung-"

"AKU TIDAK AKAN MAKAN KALAU SEKRETARIS KIM TIDAK ADA!"

Bentakku. Bahkan aku rasa aku berteriak. Pagi ini benar-benar sulit. Apa di usia ku yang 19 tahun ini aku terlihat sangat kekanak-kanakan? Ah, aku akan menjadi Raja yang cengeng dan penuh emosi kelak. Sungguh memalukan.

Sreeek.

Pintu terbuka. Aku melempar mata musangku yang penuh amarah ke arah pintu. Seseorang yang sangat aku kenal masuk di iringi seorang dayang. Orang itu membungkuk di hadapanku.

"hamba menghadap yang mulia. joesong hamnida, hamba terlambat. Jeongmal joesong Hamnida"

Akhirnya, akhirnya seseorang yang sejak tadi membuatku mengeluarkan bentakan dan teriakan, seseorang yang membuatku terus bertanya-tanya, seseorang yang hampir membuat mood-ku buruk, menampakan mata bulatnya.

End POV.

-THE GREAT BOOJAE-

Jaejoong POV.

Ya Tuhan, aku terlambat. Aku harap Hwangtaeja memberikan pengampunan untukku. Aku berjalan cepat menuju pavilion Jungseang. Sedikit mengangkat baju bangsawanku agar mempermudah langkahku.

"dayang Kwon, cepatlah. Ini sudah masuk jam sarapan yang mulia"

Ucapku pada dayang yang berjalan di belakangku. Kami bisa melihat pavilion Jungseang. Sebentar lagi kami akan sampai. Hwangtaeja, maafkan aku. Aku terlambat. Bahkan aku tidak membangunkanmu pagi ini. Joesong hamnida. Begitu tiba di pavilion Jungseang. Aku berjalan mendekati pintu masuk kediaman Putra Mahkota.

"AKU TIDAK AKAN MAKAN KALAU SEKRETARIS KIM TIDAK ADA!"

Aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu masuk. Teriakan Putra Mahkota benar-benar mengejutkanku dan para dayang yang berada di luar. Bahkan aku yakin para pengawal yang berjaga di gerbang pavilion pun bias mendengarnya. Aku menarik napas dalam. Tampaknya yang mulia benar-benar marah padaku. Ya Tuhan, selamatkan aku.

Sreeek.

Aku menggeser pintu. Dengan keberanian yang sangat kecil aku membawa tubuhku masuk ke dalam ruangan yang sedang panas ini. Aku membungkuk dalam-dalam.

"hamba menghadap yang mulia. joesong hamnida, hamba terlambat. Jeongmal joesong Hamnida"

Hening.

Aku masih dengan kepala dan tubuh yang menunduk. Aku belum berani mengangkat wajah dan tubuhku sebelum mendengar reaksi dari Putra Mahkota. Marah kah? Atau aku akan dihukum? Entahlah. Ruangan ini masih hening. Semua seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"apa yang kau lakukan? Apa yang membuatmu datang sangat terlambat? Apa yang lebih penting dari Putra Mahkota-mu, sehingga kau mengabaikanku?"

Suara itu, akhirnya aku mendengar suara bass-nya. Suaranya berbeda dengan yang kudengar sebelumnya. Tenang, sangat tenang meskipun membutuhkan jawaban yang menuntut. Setidaknya aku tidak menemukan getaran amarah dalam pertanyaannya barusan. Berbeda dengan teriakan yang kudengar dari luar.

Aku berjalan mendekati Putra Mahkota di ikuti dayang yang sejak tadi bersamaku. Berlutut di depan hwangtaeja dan memindahkan meja-meja kecil di hadapannya ke sisi lain di luar jangkauan yang mulia. Mengambil meja kecil berisi penuh makanan dari tangan dayang yang bersamaku. Dan meletakan meja makan tersebut di depan hwangtaeja, menggantikan meja makan sebelumnya. Setalah meja tersebut tertata apik, aku berdiri kembali dan berjalan mundur beberapa langkah. Berdiri di sisi ruangan dengan kepala tertunduk seperti hal-nya pejabat Han. Para dayang mengambil dua meja sebelumnya dan berjalan keluar meninggalkan kami bertiga.

"apa ini?"

Putra Mahkota melirik sebentar meja yang baru saja kuletakkan dan menatapku penuh Tanya.

"joesong hamnida yang mulia, seharusnya kemarin hamba memberi tahu dapur istana untuk menyediakan sup ayam jahe sebagai menu sarapan yang mulia pagi ini. Karena kemarin yang mulia terserang flu, dan hari ini yang mulia akan melakukan aktifitas di luar ruangan. Tapi hamba lupa. Hari ini, pagi-pagi sekali hamba mengunjungi dapur istana. Tetapi hamba terlambat lagi. Para dayang sudah mengantarkan makanan ke pavilion ini. Jadi…. hamba memutuskan, u-untuk membuat sup ayam jahe ini…. Sendiri. Joe-joesong hamnida jeoha"

Aku tergugup di akhir kalimatku. Tidak sepantasnya aku melakukan hal ini. Memasak untuk Putra Mahkota? Itu kesalahan besar. Mungkin bias juga dikatakan suatu pelanggaran. Tidak sembarang makanan boleh di konsumsi oleh calon Raja. Selama ini apa yang masuk dalam tubuh keluarga kerajaan selalu melalui tes dari department kesehatan istana. Aku sungguh lancang. Aku bisa lihat mata musang itu sedikit membesar. Yang mulia pasti tidak percaya dengan apa yang kulakukan.

"sekretaris Kim, apa yang kau lakukan? Kau sungguh lancang"

Pejabat Han nampaknya juga terkeejut dengan tindakanku. Dia menatapku dari belakang.

"joesong hamnida"

Hanya perkataan lirih itu yang dapat terlontar dari bibirku. Sungguh, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya khawatir dengan kondisi Putra Mahkota yang sempat terserang flu kemarin. Dan sebagai sekretaris yang selalu mendampinginya, aku tahu benar kalau jadwalnya hari ini sangat padat. Aku tidak ingin Tuan-ku jatuh sakit.

"pejabat Han, bias tinggalkan kami?"

Deg.

Apa yang mulia baru saja mengatakan ingin berdua denganku? Entah kenapa jantungku mulai bergemuruh. Aku sekretaris yang di utus untuk mendampingi Putra Mahkota sampai akhir hayatku, aku sudah sering menghabiskan waktu dengan hwangtaeja. Tapi sungguh, di saat seperti ini aku tidak ingin berada berdua saja dengan yang mulia. Aku yakin, dia masih dalam keadaan marah padaku. Meskipun aku tidak bisa melihat kemarahannya. Hari ini aku terlambat, aku tidak membangunkan yang mulia, aku tidak memilihkan hanbok mana yang harus di pakai yang mulia, dan sekarang… aku muncul dengan makanan yang ku masak sendiri untuk yang mulia. Ah, Kim Jaejoong, selamat menerima hukumanmu. Aku bisa melihat pejabat Han membungkuk sekilas hingga akhirnya keluar dari ruangan ini.

End POV.

-THE GREAT BOOJAE-

Author POV.

Pejabat Han keluar dengan sangat sopan. Meninggalkan sang Putra mahkota dengan sekretarisnya. Yang mulia menatap sekretaris Kim yang sejak tadi menundukkan kepala.

"kemarilah dan duduk di hadapanku"

Ucap yang mulia Putra Mahkota kepada sekretaris Kim yang berdiri di sudut ruangan. Perlahan, Kim Jaejoong

melangkahkan kakinya mendekati Raja-nya di masa datang. Kakinya serasa kaku untuk dapat didudukkan di hadapan orang yang diagungkan seluruh rakyat. Sekretaris Kim sudah duduk di hadapan Putra Mahkota. Kepalanya tertunduk. Takut menerima tatapan menghakimi dari yang mulia-nya.

Hening.

Kim Jaejoong masih tertunduk. Putra Mahkota-nya menatapnya tajam tanpa berkedip. Mengabaikan makanan yang mulai mendingin. Terus menatap tanpa mengeluarkan suara dan membuat sekretaris Kim makin menenggelamkan wajahnya. Entah apa yang membuat wajahnya merona seketika. Tapi yang jelas pandangan pangeran-nya itu membuat jantungnya berdegup lebih, lebih dan lebih kencang dari biasanya.

"sekretaris Kim…"

Yang mulia pangeran Mahkota memanggil dengan suara yang tenang. Dengan intonasi yang datar namun menggantung di akhir. Masih dengan tatapan dari mata musang nan kecilnya.

"n-ne, ya-yang mulia J-Jung Yunho.."

Bergetar, suaranya bergetar melengkapi dadanya yang berdebar. Semakin berdebar menanti pangeran Mahkota melanjutkan kalimatnya.

"…. Tersenyumlah"

"eh?"

Sekretaris Kim Jaejoong, menoleh kilat pada Putra Mahkota. Dan langsung tertunduk kembali, berharap sang yang mulia tidak menyadari pandangan lancangnya barusan.

"tersenyumlah"

Ulang sang calon Raja, membuat Kim Jaejoong berpikir apa yang di dengarnya tidaklah salah. Putra Mahkota-nya, calon Raja-nya, yang mulia-nya, memintanya untuk tersenyum. Tapi…. Untuk apa?

"e-ee, maksud yang mulia…"

"hanya tersenyum, Kumohon"

Deg.

Apa seorang Kim Jaejoong tidak salah mendengar? Putra Mahkota baru saja memohon padanya? Dia yakin, jika ada yang mendengarnya, di akan di hukum pancung karena membuat calon Raja memohon.

Sekretaris Kim masih dengan pikiran ketidak-percayaannya, sampai sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh dagunya. Perlahan 'sesuatu' itu mengangkat dagunya. Mengangkatnya sampai sekretaris Kim Jaejoong tersadar apa yang menyentuh dagunya. Putra Mahkota Jung Yunho, dengan tangannya mengangkat lembut wajah hina Jaejoong yang tertunduk sejak tadi. Membuat mata bulatnya semakin melebar, syok dengan kejadian janggal yang tiba-tiba ini.

Deg. Lagi dan lagi jantung Kim Jaejoong, namja yang terlahir cantik, beradu dengan desiran darah yang mengalir menuju wajahnya. Warna merah darahnya mengambil alih pigmen putih susu yang tertuang di wajahnya. Meremas busana tepat di bagian dadanya begitu melihat wajah kecil pangeran-nya melengkungkan senyum yang sangat indah. Mata musang itu berbinar penuh harap. Tidak ada kilatan kemarahan sedikit pun. Demi Tuhan, namja bernama Kim Jaejoong itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"tersenyumlah"

Putra Mahkota Jung Yunho mengulangi permintaannya. Sebuah senyuman, senyuman yang sangat menentukan harinya. Senyuman yang bagaikan 'vitamin' untuknya. Senyuman yang selama tiga tahun ini selalu di nikmatinya diam-diam, 'morning smile'.

Sekretaris Kim terperangah dengan permintaan dan perlakuan Tuan-nya yang janggal. Perlahan. 'Cherry' itu pun melengkung membentuk sebuah 'pisang'. Kaku, hanya sebuah senyum kaku karena terkejutan. Tapi itu sudah cukup membuat sang Putra Mahkota menghela napas lega dan melepaskan untaian tangannya dari dagu porcelain tersebut.

Dengan senyum mengembang, Jung Yunho mulai mengambil sumpit peraknya. Mengabaikan ekspresi keterkejutan dari namja di hadapannya.

"jadi…. Kau yang memasak ini?"

Jaejoong yang masih membeku terkejut dengan suara berat dari orang di hadapannya.

"eoh? N-ne."

Hanya ucapan singkat penuh getaran yang mengiringi tundukan kepalannya lagi.

"aku akan mencobanya"

Perlahan sumpit dalam genggaman pangeran Yunho mulai menggerayangi makanan yang di buat Jaejoong sepenuh hati. Sang koki hanya tertunduk dengan hati cemas. Dia berharap kemampuaannya saat memasak tadi dikeluarkan sepenuhnya. Berharap tidak ada yang salah dengan rasa makanan yang saat ini mulai masuk ke dalam mulut Putra Raja.

Deg.

Deg.

Deg.

"mashita"

Singkat, namun mampu membuat Kim Jaejoong kehilangan kulit putihnya. Ya, wajahnya memerah hanya karena mendengar pujian dari sang Putra Raja-nya. Tanpa sadar, lengkungan garis indah menghiasi wajah merahnya.

Blush.

"yeppeo"

Entah sadar atau tidak, tapi bibir berbentuk hati itu melontarkan kata yangtidak terduga begitu mendapatkan 'morning smile'-nya. Si pemurah karena memberikan 'morning smile' terkejut bukan main. Menegakkan pandangannya dan mengedipkan mata bulatnya, sebelum….

SNAP.

Pandangan mereka bertemu. Senyum keduanya meruntuh seiring semakin intens tatapan mereka. Semakin masuk ke dalam manic lawan pandangnya. Mencari, mencari sesuatu entah apa bentuknya. Terus mencari entah untuk apa. Tapi mereka terus mencari, semakin masuk lebih dalam tanpa tahu alasannya.

TBC