Hmmm..... Atas permintaan sejumlah reader dan reviewer, akhirnyah saiia selaku author dari story mesum bin gaje "Kisah Sang Penulis Muda" bisa melanjutkan cerita yang mengambang itu~ Duh, seberapa penasaranya sih kalian sama kehidupan dua tokoh utama itu ? Sama, saiia juga penasaran, tapi lanjutan kisah itu ga muncul juga di kepala saiia yang emang kurang konek, he he he...

jadilah, saiia reka-reka sendiri lanjutanya. Masih dalam nuansa mesum dan ga bermoral, percis muka dan brain authornya -Glodakk- yah, juga efek kontaminasi kedua asistenya yang amat amat amat baka (disambet sama tetangga yang namanya Amat). Yosh, lanjutin aja ya boss ! he he he~

MELODI DI BELANTARA SALJU

Gelap. Bau alkohol menyengat sekat hidung bagi siapapun yang berani masuk ke ruangan tanpa ventilasi itu. Badai yang menderu dan memamerkan keganasanya di luar sana tidak membuat sejumlah manusia di ruangan itu bergeming.

Seorang pria terduduk pasrah dengan wajah tanpa ekspresi di salah satu sudut ruangan itu. Tanpa tali yang membelenggu kedua tangan kurusnya, tanpa lakban yang membungkam bibir pucatnya, pria ini sudah tertawan.

Dan jemari para pengedar narkotik keparat itu mulai menyelusup ke helai rambut perak si pria.

"Bagaimana keputusanmu ?, " kalimat itu terucap dari seorang diantara para bajingan itu.

Diam. Pria itu tidak membuka mulutnya sedikitpun, laksana jiwa dan raganya tertawan sepenuhnya.

"kalian menyusahkan, " hanya itu yang terucap lirih dari bibir pucat sang pria. rambut peraknya yang mulai agak kusam ikut berkilat ketika langit mulai menggertak nyali dengan kilat kilat yang nampak nyata dari jendela kecil di ruangan itu.

"Kau yang menyusahkan, " jawab seorang pria.

asap rokok mulai menggumpal, menambah pengap ruangan itu. suara-suara mereka terdengar teramat samar. kalah dengan amukan hujan di luar sana.

"aku harus segera pulang malam ini, " kata si rambut perak, "kalian tidak bisa menyanderaku disini, "

"apa kau lupa ?, " tanya seorang perempuan dengan nada datar, "Gin ?, "

"Lupa ? Sudah sepuluh tahun, mana mungkin aku ingat, " jawab rambut perak bernama Gin itu.

"Kematian Aizen... lalu, kasus kematian putri Aizen, lalu kami semua dipenjara sementara kau selamat dan hidup bahagia dengan anak istrimu... cih ! kau pikir itu lucu ?, " asap rokok mengepul lagi, dan suara berat seorang laki-laki menimpali kata si perempuan tadi, "Hallibel benar Gin, ini semua tidak adil, "

"Apanya yang tidak adil ? Aku tak pernah meminta Aizen untuk membebaskanku, " jawab Gin.

"Tapi saat itu kau yang membunuh Aizen-sama !!! " jeritan seorang perempuan menggema, hampir seirama dengan amukan petir di langit.

Kalimat yang hanya mampu membungkam mulut Gin. tak ada kata apapun yang terucap dari pria kurus berambut perak ini.

"Akan kupikirkan, " hanya itu yang ia ucapkan.


Masih dalam deru hujan yang disimponikan alam, Gin menatap buliran air jernih di jendela. Tangan halus istrinya memeluk erat pinggangnya dari belakang.

"Kau bisa menghitung, berapa jumlah butiran air hujan ini, Ran ?, " tanya Gin pelan.

"Jumlah titik air yang ada di jendela itu berjumlah sama dengan apa yang hatimu percayai. Jika kau percaya bahwa jumlahnya hanya ada satu, maka titik air hujan itu hanya satu, " kata Rangiku, tersenyum.

"Ha ha ha... " tawa Gin, menyentuh tangan Rangiku, dan mulai menyusupkan jarinya pada jari-jari Rangiku. Membagi segenap kehangatan yang mereka miliki.

"Sudah sepuluh tahun, " bisik Gin.

"Ya, sejak hari itu, sekarang sudah hampir genap sepuluh tahun perkawinan kita... " balas Rangiku.

Hanya senyum halus yang mengembang manis di bibir mereka.

Sepasang mata jernih mungil menatap Gin dan Rangiku dengan senyum yang tak kalah bahagianya. Rambut perak gadis kecil itu terurai lepas di punggungnya, sesekali jatuh kedepan, menghalangi pandanganya, tapi dengan cekatan, gadis itu menyibakkanya.

Tangan mungilnya memegang spidol berwarna pink menyala. Habis digunakanya untuk menandai tanggal di kalender. Yang merupakan hari ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya yang kini tengah menikmati hujan di depan jendela ruangan itu. Hari itu jatuh, sepuluh dari hari ini.

"Ayah, " panggil gadis mungil itu, membuat Rangiku dan Gin menoleh, nyaris bersamaan.

"Ajari Yuki main layang-layang ! Seperti Kak Jinta ! " kata gadis mungil yang tak lain adalah putri Gin dan Ragiku.

"Oh, kenapa tidak minta diajari kak Jinta saja ?, " tanya Gin, menyesap kopinya.

"Huh, Kak Jinta pelit ! Dia sibuk di tokonya kakek Urahara, " kata Yuki, cemberut.

"Kakek Urahara ? Eh, memangnya Kakek Urahara pensiun ya ? Waktu Ibu kuliah, dia dosen ilmu akutansi lho ! " kata Rangiku.

"Oh ya ? Keren dong ! " kata Yuki, "pantas tidak kenal kalkulator, otaknya canggih. "

"Hahaha," tawa Gin, " Oke, nanti ayah ajari kamu. Kalau sudah musim semi, dan Ayah tidak ada pekerjaan, " kata Gin, meraih tubuh mungil putrinya.

"Janji ?, " kata Yuki. Gin yang tengah membelai rambut putrinya itu hanya mengangguk.

Hujan masih turun dari singgasananya di atas langit sana, menebar bau basah yang khas. Sore yang gelap terpayungi mendung itu menjelma menjadi suasana nyaman yang mengantukkan. Dan disanalah, dibawah payung mendung, tiga insan, bertaut mesra, membagi setiap kehangatan sayang mereka....


Gin melayangkan pandanganya ke jendela. Matahari mulai tenggelam ke peraduan agungnya, menyisakan gelap malam yang damai.

"Salju diperkirakan akan turun malam ini, Gin. Kau suka musim dingin kan ?, " kata rangiku.

Gin tersenyum simpul, "yah... " katanya datar. Salju itu dingin, dingin seperti perasaan Gin detik itu. hatinya masih terselubungi gundah. Apa yang harus dilakukanya ? Haruskah dia bergabung dengan para pengedar narkotik itu lagi ?

Sepuluh tahun yang lalu, kematian seorang pengedar narkotik besar yang sempat memggemparkan media bukanlah kebetulan. Semua itu direncanakan. Seseorang menyelundupkan narkotik ke dalam sel Aizen, dan entah dirasuki iblis apa, Aizen menelan semuanya, hingga ajal menjemputnya saat itu. dan orang yang menyelundupkan obat-obatan terlarang ke sel Aizen itu adalah...

"Aku, " desis Gin.

"Eh ? Apa Gin ?, " tanya Rangiku.

"Tidak apa-apa. Aku kurang enak badan, aku mau istirahat, " kata Gin datar, tanpa melihat ke arah istrinya tercinta, "... jangan ganggu, " katanya lagi. Dan entah kenapa, kalimat terakhir yaang diucapkan Gin itu sangat berarti.

Pada detik terakhir, Rangiku melihatnya. Sorot mata Gin yang sama dengan sorot mata Gin yang sepuluh tahun yang lalu. Hatinya berdesir.

"Mata apa itu ?, " desis Rangiku, agak takut.


Hembusan nafas hangat di pipi Gin. Sepasang mata jernih mungil mengawasi Gin yang tengah menutup matanya. Gin merasakanya tentu, tapi enggan membuka matanya. Dia tau bahwa yang ada di sampingnya adalah Yuki.

"Ayah... " panggil Yuki pelan dan lembut, seolah tidak ingin mengganggu ayahnya yang tengah terlelap.

"Ayah... " ulangnya, masih dengan suara lembut, tapi Gin masih enggan membuka mata sipitnya.

"Kenapa sih ? " tanya Yuki heran.

"Ayah sudah bilang padamu sayang, jangan ganggu ayah, " kata Gin akhirnya sambil membuka matanya.

"Ayah sakit ? Ayah belum makan kan ? Yuki ada Pe-er matematika, ajari dong. Terus... "

"Yuki ! " potong Gin dengan suara tinggi. Yuki diam seketika oleh bentakan yang tiba-tiba itu. Baru pertamakali ini dia mendapat bentakkan dari sang ayah.

Diam sesaat. Tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut. Sampai kemudian Yuki berkata dengan amat lirih, "Chip handphone Yuki masuk ke speaker organ yah... "

Gin membuka matanya sedikit, dan dahinya berkerut. "Lagi ?, " tanyanya. Yuki menjawabnya dengan anggukan lemah yang terkesan takut-takut.

Gin menghela nafasnya sebentar. Ditatapnya sang buah hati, "Sudah yang keberapa dalam minggu ini ?, " tanyanya.

"Tiga Yah..." jawab Yuki pelan.

"Nah, bukanya Yuki sudah berjanji pada ayah, akan berhati-hati menjaga chip itu supaya tidak masuk lagi ke speaker organ ? " tanya Gin datar.

"Habisnya chip handphone kan tipis... " jawab Yuki. Lagi-lagi Gin hanya menghela nafasnya. Pikiranya agak kacau saat itu. Diurungkanya niat untuk memarahi putrinya itu.

"Baik, " kata Gin akhirnya, "Bawa organmu kemari. Lalu, minta tolong ibumu untuk mencarikan Ayah obat sakit kepala, " lanjutnya.

"ya Ayah, " jawab Yuki patuh. Pada detik terakhir, Yuki sempat melihat mata ayahnya. Ada semacam perasaan aneh yang didapat Yuki dari tatapan mata itu. Mata yang tak bisa ditebak. Mata yang menyiratkan bara hati yang menggelora. Seakan ada rasa yang ditahanya. Seperti rasa takut dan risau yang menyeruak.

Langkah Yuki sempat tertahan sesaat ketika ayahnya berkata perlahan, "Kenapa aku ini... " Tidak ada yang tau, pada siapa kalimat itu dialamatkan. Pada Yuki, atau pada sosok yang semejak kemarin terus membayang di kepala Gin. Sosok yang entah mengapa menghantui mimpi pria berambut perak ini.


PRAAANGGG !!! Gelas keramik berwarna aqua kebiruan jatuh. Benturanya membuat gelas anggun ini terpecah belah. Serpihanya berhamburan diatas lantai. Suaranya menggema, terdengar begitu jelas meski disaingi deru hujan yang menyuarakan melodi ritmis khas.

Baik Gin maupun Yuki sama-sama terkejut oleh suara itu.

"Ibu ?, " Panggil Yuki. Kaki mungilnya melangkah perlahan ke arah sumber suara, "Ibu tidak apa-apa ?, " tanyanya. Tak ada sahutan apa-apa dari sumber suara. Hati Yuki sedikit berdesir ketika ia menjengukkan kepalanya ke dapur. Kosong.

"Yuki ? ada apa ?, " Tanya Gin yang muncul di belakang Yuki.

"Ayah nih bikin kaget saja, " Kata Yuki, "Ibu mana sih ? Gelas kesukaan ayah pecah tuh ! " lanjut Yuki.

Gin mengerutkan keningnya. Wajahnya agak pucat menyaksikan puing gelas itu. Ada perasaan ganjil yang merayapi lubuk hatinya. Firasat buruk yang mengetuk kepalanya yang saat ini memang terasa kosong.

"Ah, ya sudah, biar ayah yang bereskan, " kata Gin akhirnya. Perasaan itu semakin kuat. Ada sisi lain hatinya yang merasa takut. Begitu takut. Membuat Gin terasa kehilangan pijakan untuk berlari dari ketakutan itu. Firasat itu terasa semakin mengejar. Ada sesuatu yang mengawasinya detik itu... sesuatu yang tajam, yang seakan siap menusuknya...

Gin cepat-cepat berpaling. Terasa ada sesuatu di belakangnya. Dia sedang diawasi oleh sesuatu yang...

"Isi kepalaku berantakan, " keluhnya kemudian. Gin berlutut, mulai mengumpulkan serpihan gelas kaca itu.

Mata sipit Gin menatap puing gelas di tanganya. Dahinya berkerut lagi. Sangat ganjil. "Atmosfir rumah ini benar-benar terasa berbeda sejak anak buah Aizen-san pulang dari penjara dan menemuiku kemarin. Entah kenapa isi kepalaku pecah semua ! " katanya lagi, mulai bangkit dan membuang serpihan gelas itu ke tempat sampah.

Sesuatu di belakang Gin. Semakin mendekat, mendekat, semakin dekat...

"Ah ! " Gin terlonjak kaget. Rangiku di belakangnya, memasang wajah heran.

"Kenapa sih ? kau melihat hantu ?, " tanya Rangiku.

"Apa sih, ternyata Rangiku ya... kukira siapa. Bikin kaget saja, " Gin bernafas lega.

"Huh, kenapa sih, kau ini aneh deh, "

"Maaf, belakangan ini aku memang kurang sehat, "

Rangiku tertegun. Lagi-lagi, senyum itu... senyum Gin yang halus, senyum Gin yang polos. Entah kenapa Rangiku merasa ada yang salah dengan senyum lembut itu.

"Gin, belakangan ini memang ada yang aneh disini, " kata Rangiku. Kata-kata yang menghentikan langkah Gin saat itu. "Kau... "

"Ah, " sela Gin, "Aku juga mau bicara denganmu, tapi nanti malam saja ya. Yuki memasukkan chip handphonenya ke speaker organ lagi, " lanjut Gin, "Lagipula... "

"Lagipula apa ?, " Rangiku menangkap seringai mesum dari wajah suaminya.

"Ya, nanti saja deh... " Gin meninggalkan ruangan itu. Kalimatnya menggantung penuh kemisteriusan, membuat Rangiku geli. Cairlah sedikit kekakuan di hati wanita ini.

dzzzttt...dzzzttt...

Nokia Rangiku bergetar. Dan terteralah sebaris nomor tak dikenal. Nomor yang sebenarnya sudah berulang kali menelfon Rangiku, dan menyuarakan kalimat yang sama.

"Ichimaru akan kembali kepada kami, apapun yang terjadi. Nyawa Aizen sepuluh tahun yang lalu akan dibayar lunas oleh Ichimaru, bagaimanapun caranya... "

Suara berat seorang pria. Ada firasat badai yang tak lama lagi akan membuyarkan pilar cinta Rangiku, Gin dan anak mereka. Dan badai itu ternyata ada di depan mata. Terlukis tepat di kanvas takdir yang tak mengenal dusta...


^ Tataplah lazuardi langit yang menaungi pilar rindumu

Nestapamu kau luruhkan bersama gundah, resah dan amarah

Release hasrat terbelenggumu ke deru ombak biru

Melodikan kasih yang kau bawa dari persemayaman cinta...^

"Bagus tidak Yah ?, " tanya Yuki, menyodorkan kertas bertuliskan puisinya kepada sang ayah.

"Ayah tidak paham sastra sayang... " Jawab Gin lembut, membelai rambut Yuki, "Tapi menurut Ayah ini bagus kok, siapa yang mengajari ?, "

"Ibu yang mengajari dong ! Tapi ini belum selesai Yah... Bagus kan ?, " Yuki menatap kembali kertasnya. Wajahnya berbinar ceria.

"Tapi Yuki itu kan masih kecil, belum boleh membuat puisi seperti ini, sayang. kalau Ibu tau, pasti Yuki dimarahi ! " kata Gin kemudian, "Ibu kan sudah bilang, Yuki tidak boleh membuat puisi cinta seperti ini, "

"Ayah jangan ikut cerewet deh, " sungut Yuki, "ini kan untuk Ayah dan Ibu "

Tawa Gin lepas, katanya, "Anak jaman sekarang cepat besar ya... "

"Katanya Ayah tidak paham sastra ! " bibir Yuki maju beberapa senti.

"Seorang Ayah itu, jika dia tidak memahami suatu hal, pasti suatu saat dia akan dituntut untuk memahami hal tersebut, "

"Memang kenapa ? Kalau memang tidak paham tapi pura-pura, itu kan namanya sok tau ! " Yuki tidak mau kalah. Membuat Gin gemas.

"Dengar, anak pintar... " Dicubitnya pipi ranum sang anak, "Yang namanya orang tua itu pasti dituntut untuk serba bisa jika memiliki seorang anak... apalagi kalau anaknya pintar seperti Yuki... "

"Aduuuhhh, sakit... " keluh Yuki, menggosok-gosok pipinya, "Ayah nih sukanya mencubit pipi Yuki... sakit... "

"Itu resikonya jadi anak ayah yang imut... " tawa Gin, lalu merangkul anaknya.

"Siapa sih yang sok berteori seperti itu... kalau orang tua tidak memahami suatu hal, lalu sok tau, malah nantinya hasilnya buruk... " kata Yuki, memulai argumentasi cerdasnya dengan sang ayah.

"Yah... apa boleh buat.... Yuki hanya akan paham hal itu kalau Yuki sudah jadi orang tua... " kata Gin sabar.

"Hayo, siapa ahli sosiologi yang berteori seperti itu ? Itu kan persepsi ayah sendiri... "

"Ada kok yang berteori seperti itu. Sahabat baik Ayah ! " kata Gin lagi, "Namanya... "

"Siapa ? " sela Yuki.

Gin hampir membuka mulutnya, tapi entah kenapa terkunci kembali. Matanya nanar, serasa ada yang merasuk ke pembuluh darahnya. Perasaan serupa rasa bersalah... dan rindu...

"hayo, siapa ?, " Yuki menggoyahkan pundak ayahnya lagi.

"... Aizen " kalimat Gin nyaris tak terdengar. Terasa tertahan di tenggorokanya.

"Aizen ? Siapa sih ? Teman ayah ? sekarang dia dimana ? " Yuki tersenyum lebar. Ada perasaan lain di hati Gin. Ini adalah pertamakalinya dia menyebut nama Aizen, setelah sepuluh tahun lamanya. Entah karena terbawa suasana percakapan dengan sang anak, atau karena Gin tau bahwa ada 'sesuatu' yang mulai mendekat padanya. Sesuatu yang terasa menyesakkan. Lebih menyesakkan daripada insiden sepuluh tahun yang lalu...

"A... Aizen sahabat Ayah. Ya... hubungan kami mungkin... mungkin seperti Ayah dan Kira, tapi lebih akrab... " kata Gin, bercerita pada putrinya. Tanpa sadar, iapun mencoba mengingat sosok yang sudah sepuluh tahun hilang dari hatinya itu.

"Dia sok berteori seperti itu ? " tanya Yuki.

"Ya, karena dia memiliki seorang anak perempuan seusia denganmu. Anaknya sangat cerdas, cantik, berbakti, yah... seperti Yuki... "

"Mereka sekarang dimana Yah ? Anaknya seperti Yuki ya ? wah, jadi Yu... , "

"Yuki, " potong Gin, "Ayah kurang enak badan hari ini... terlalu banyak kena angin malam... Yuki bisa carikan obat buat ayah ?, " lanjutnya.

"Oh, ya, nanti Yuki tanyakan pada Ibu... sebentar ya... " sesaat kemudian Yuki bangkit, meninggalkan Gin yang merasa aneh dengan percakapan barusan. Ada perasaan yang ganjil, seolah dia telah menemukan sesuatu yang sudah hilang... sesuatu yang dulu selalu memiliki ruang di hati kecilnya...

Aizen...

Sosok yang sudah terkirim ke akhirat...

Siapa yang sudah mengirimkan Aizen ke akhirat ?

"Aku... " hanya itu kalimat yang diucapkan Gin, sebelum pandanganya kabur... dan memutih... kepanya terasa begitu berat, dan...

Kesadaranya hilang.....

Gin terbawa ke alam lain. Alam yang terasa amat mengambang. Alam itu membawa Gin ke masa lalu yang amat jauh. saat-saat dimana Gin hanyalah seorang pemuda polos dengan balutan seragam putih-abu abu.

"Ayaaahhh... " jeritan nyaring gadis mungil itu terasa memekakkan telinga Gin yang sedang mencoba mencari channel televisi yang cocok untuknya siang yang panas itu.

Dan muncullah, gadis mungil yang manis. Usianya sama dengan anak Gin yang sekarang -sepuluh tahun-. Rambut gadis mungil berambut cokelat itu terhembus angin. Matanya menyiratkan binar bahagia, bahkan tak sedikitpun terhapus oleh peluh yang dihasilkan dari aktivitasnya seharian di sekolah.

"Hinamori, hallo sayang... " sapa Aizen yang baru muncul dari balik pintu. Seketika itulah, si gadis mungil itu melompat, menerjang Aizen, dan masuk begitu saja ke pelukan sang bandar narkotik bejat itu.

"Hinamori kangen~ " kata si gadis kecil itu, memeluk hangat tubuh Aizen.

"Ayah juga sayang. Kenapa kamu jarang sekali mengunjungi ayah ? " Aizen berkata lembut, lalu membawa putrinya itu duduk di sofa berlapis beludru panjang, disamping Gin yang sedang menjalankan aktivitas rutinya -pulang lebih awal dari jadwal, membolos dari jam ekstrakulikuler, dan main ke tempat Aizen-

"Sejak Ayah bercerai dengan Ibu... Ibu melarang Hinamori untuk menemui Ayah... Hinamori kan sedih yah... " kata Hinamori.

"Yah, apa boleh buat kan sayang, kalau ibumu yang melarang... nah, bagaimana sekolah Hinamori ? Sepertinya Hinamori sedang senang sekali nih... " ada selaksa kasih sayang dalam suara lembut Aizen.

"Minggu depan Hinamori dan kak Hitsugaya akan ikut kompetisi matematika Yah... hebat kan ? " Lagi-lagi, binar mata bahagia itu kembali memancar dari mata jernih bidadari kecil ini.

"Hebat deh... " Aizen tersenyum, membelai rambut putrinya, "ayah bangga... "

Gin tersenyum geli melihat Ayah dan Anak itu. Tidak masuk akal, pikirnya. Kemesraan yang teramat mendalam diantara mereka, tak sedikitpun terkotori oleh status Aizen sebagai seorang buronan paling berbahaya di kota. Meski sejahat apapun Aizen, dia tetaplah seorang Ayah bagi putrinya.

"Ayah itu adalah profesi yang tidak dituntut oleh tingkat pendidikan, dan sarjana tanpa wisuda, tapi merupakan profesi paling mulia di seluruh dunia, " kata Aizen suatu malam, saat angin mulai melolong menyeruakkan hawa dingin yang serasa meremukkan belulang.

"Aizen itu penjahat macam apa sih, aneh deh... emosimu stabil meski memelihara belasan pecandu narkotik dan bergaul dengan perempuan-perempuan jalanan... " Gin menyesap cokelat panasnya, "... dan entah bagaimana, sekarang bicaramu jadi melantur begitu. Mengutip darimana sih ?, " komentar Gin yang semakin merapatkan selimut ke tubuhnya di depan perapian rumah Aizen itu.

"Gin... Gin... polos sekali sih... " Aizen tertawa renyah. Digoyahkanya pundak Gin sampai cokelat panasnya hampir tumpah.

"kau takkan tau bagaimana rasanya menjadi orang tua, sampai kau mengalaminya sendiri..."

"Yah, percaya deh... " Gin menyesap cokelatnya lagi, dan mata sipitnya mengarah ke bara api yang memberika kehangatan untuk tubuh kurusnya itu.

"Aizen... " panggil Gin setelah mereka diam cukup lama, menikmati suara hujan yang menikam.

"Hm ?, "

"bagaimana kalau anakmu tau pekerjaanmu ha ? "

Aizen menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan spontan Gin. Matanya juga mengarah ke bara api yang merah. Cahaya api itu memantul di mata coklat Aizen yang jernih.

"Aku takkan menganggapnya resiko, " kata Aizen lirih, "Orang tua itu, suatu saat nanti, akan dihadapkan sebuah pilihan berat, "

"masa ? " tanya Gin.

Aizen diam sebentar. Gin tau, Aizen hampir membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu yang ada di dasar hatinya. Tapi entah bagaimana, Aizen batal buka mulut, kemudian mengubah kalimat yang tertahan itu menjadi tawa kecil yang terkesan terpaksa, "Yah, mungkin itu hanya akan berlaku bagiku yang seorang penjahat ini, hehehe.... "

Gin melihat tawa itu sebagai fenomena unik yang ada dalam diri Aizen. Sebuah tawa yang terkesan sangat terpaksa, ada perasaan yang membelenggu kebebasanya berbicara dari dasar hatinya. Padahal bagi seorang penjahat besar macam Aizen ini, sepuluh lusin polisi bukan ancaman baginya. Sikap tenang yang tak pernah terkalahkan, bahkan dengan senyum manis palsu yang selalu disunggingkan Gin.

Aizen berbaring, meluruskan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit ruangan itu. Bara api membuat bayangan di sekitarnya goyah.

"Semoga kau tidak mengalami hal yang sama denganku nanti ya, " kata Aizen tenang pada Gin. Gin hanya menaggapinya dengan senyum manisnya.

"Kau memelihara belasan penjahat, tapi kau tidak mau akau jadi penjahat, padahal aku bergaul denganmu juga, " kata Gin.

"Memang... kau kan'peliharaan' kesayanganku, " Aizen terkikik geli, lagi menutup matanya, membawa jiwanya ke alam mimpi.

Malam semakin larut. Suara nafas Aizen dan anak-anak buahnya yang tidur di rumah besar berlantai tiga itu mulai saling bersahutan. Tinggallah sosok pucat yang masih menatap bara api itu. Tanganya memegang gelas keramik berisi sisa cokelat panas. Bibirnya tersenyum, tapi siapapun yakin, bahwa otaknya kosong.

Melamun cukup ampuh juga untuk mengundang kantuk. Maka perlahan, sosok pucat yang tak lain adalah Gin itu merebahkan dirinya, lalu menekuk lutut, mencoba menepis hawa dingin yang datang. Matanya terpejam... terpejam... dan...

"Ayah !" Suara gadis kecil terdengar nyaring.

Sesaat, Gin membuka matanya, dan gadis mungil itu tersenyum ceria, "Ini obatnya Yah, " katanya. Duangsurkan sepasang tangan mungil miliknya.

"Terimakasih sayang, " kata Gin, menerima obat itu.

"Ayah tidur ya ? Yuki mengganggu ? Maaf ya... " gadis mungil yang tak lain adalah Yuki itu duduk di samping sang ayah. Ada senyum kecut di wajahnya. Gin merasa aneh dengan mimpinya.

Setelah sesaat mengusap dahinya yang berkeringat, ia berkata lembut, "Tidak apa-apa sayang... "

Ya, kelembutan yang selalu ada untuk sang anak, senyum paling tulus yang hanya ia berikan pada orang-orang yang Tuhan ciptakan untuk ada di hidupnya -Rangiku dan Yuki- , senyum yang ia tau sebentar lagi akan sirna. Gin melihat takdirnya kembali. Dia yang telah membunuh Aizen, dan mati untuk membayarnya.

Semua itu kemauan Aizen ! Dia yang ingin mati ! Ini perintah ! Satu sisi hatinya berontak, ingin lepas dari semua ini, benar-benar ingin lepas. Tapi ada satu sisi hantinya yang menyangkal kalimat itu, kau pembunuh. Aizen memang keparat, sudah membawamu dalam penderitaan yang bahkan ikut melibatkan Rangiku, tapi sebenarnya, meski kau mau mengakuinya atau tidak, kau dan Aizen itu saling menyayangi, kalian ada dalam hubungan yang lebih dekat dari persahabatan. Mungkin seperti Ayah dan anak, seperti kakak dan adik. Kau bisa menolak perintah Aizen untuk membantunya bunuh diri jika kau mau, tapi apa ? Kau menerima perintah itu. Namamu sudah kotor ! Kau pembunuh ! Sesalilah dirimu dalam suratan ini Ichimaru ! Sesalilah ! Lihat anak dan istri yang kau sayangi, pantaskah mereka bernaung di bawah kasih sayangmu ? Kau juga penjahat !


Gin tak bergeming menatap si pucat di hadapanya.

"Ulquiora ?, " tanyanya. Si pucat menatapnya dingin. Mata hijaunya redup, menguatkan kesan sadis di wajah tirusnya yang tampan. Ullquiorra, begitu ia dipanggil. Bawahan yang juga merupakan kesayangan Aizen.

"Lama tidak ketemu, Ichimaru, " katanya datar.

"Seperti biasa, kau tak pernah ramah padaku. Aku jadi ingat kematian Ruppi duabelas tahun yang lalu, " begitu sahut Gin, menyenyumkan senyum kamuflasenya yang khas. Inilah skenario terburuk yang menggaung di kepala Gin, bertemu lagi dengan teman-teman lamanya yang berasal dari jerat kegelapan penuh maksiat di masa lalu.

"Ah, jadi bagaimana keputusanmu, Ichimaru, kami sudah cukup menunggu, " Rambut keemasan seorang wanita berkibar. Dan sang pemilik -wanita berkulit gelap berdada aduhai- tak sedikitpun menampakkan emosinya. hanya wajah datar yang tenang, tersembunyi di balik kerah bajunya yang tinggi sebatas hidung.

"Halibel benar, " si pucat menyahut, "Kau harus pulang kepada kami, "

"Tempatku pulang bukan pada kalian, teman-teman, tapi pada keluargaku, anak dan istriku, " Gin menatap wajah-wajah di hadapanya. Si pucat berada paling depan, menatap Gin dengan mata dinginya yang mengerikan.

"Aku mohon, kita luruskan disini. Sekarang aku tanya, kalau kau kembali pada kalian, apa yang akan terjadi ? Apakah Aizen akan hidup lagi ?, " Gin berbalik, memunggungi teman-temannya. Diatas gedung itu, angin dingin bebas berhembus lembut menerpa wajahnya. Rambutnya yang keperakan juga berkibar. Ada masa-masa yang sedikit demi sedikit mulai muncul dari sudut-sudut ingatan kacaunya.

"Kalau kau ikut kami, kau akan tau alasan kami membawamu, " Suara seorang wanita terdengar menengahi kata-kata yang lainya yang hampir menjadi pertengkaran.

"Nel, lama tidak ketemu, " alis Gin terangkat melihat wanita berparas jelita itu naik dari anak-anak tangga menuju ke titik tertinggi gedung itu, tempat Gin dan yang lainya berada.

Muncullah, sosok yang hampir dilupakan Gin, wanita berdada indah yang dulu menjadi bawahan yang paling dusukai Aizen. Rambut toskanya berkibar terhempas angin musim dingin itu. Hampir sama dengan rambut Rangiku.

"Kau makin cantik saja Nel, " komentar Gin. Nel -atau Neliel- hanya tersenyum tipis, lalu bergabung dengan yang lain.

"Nah, " kata Ullquiorra, "Bagaimana ?, "

Gin hanya menghela nafasnya. Dia berbalik, membiarkan angin membelainya lembut. Ditatapnya jajaran gedung di bawah sana dengan tatapn yang kosong, hampa.

"Entahlah, " ucapnya lirih.

"Ini permintaan Kaname juga. Apa kau tidak rindu pada Kaname ? kau yang membutakan matanya dulu, " sahut seorang pria jangkung. Kaki-kaki ramping sang pria tertekuk, berpijak pada pagar besi yang berdiameter kurang dari dua senti. Sedikit saja salam gerakan, Gin yakin pria ini akan jatuh dan tewas seketika. Tapi agaknya itu tak membuat si pria ciut. Dia tetap saja memijakkan kakinya di pagar itu.

"Yah... aku tidak tau... " Gin menengadahkan wajahnya ke langit.

"Sebenarnya kami malas berurusan denganmu, " kata si jangkung.
"Ya, aku juga malas berurusan dengan kalian, " sahut Gin cuek.
"Nnoitra, jangan cari masalah ! " tajam suara Ullquiorra.
"Kalian tidak berguna, " komentar Halibel datar, diikuti desah nafas yang lainya. Jika ada Nnoitra dan Ullquiorra, pasti disana ada pertengkaran.

"kau tau, " Suara berat seorang lelaki terdengar. Rambut birunya terhempas angin dingin yang berhembus keras saat itu, "Kami tidak benci jalan kekerasan, " lanjutnya. Menekankan pada kata 'Kekerasan'. Lelaki berwajah sadis ini menggerakkan tanganya ke saku jeans biru tua nya. Dikeluarkanya sebuah benda yang membuat Gin bergidik ngeri. Pisau ramping yang mengkilat pada bagian tajamnya.

"mau apa kau ?, " tanya Gin. Mulailah meresap rasa waspada di hatinya.

"Entahlah, " lidah panjang yang merah milik si kekar berambut biru itu terjulur, menyentuh mata pisau, menghasilkan goresan yang meneteskan darahnya. tapi agaknya ia sama sekali tak terganggu. Darah dari lidahnya ia biarkan menetes. Ada tatapan bengis di mata kusamnya. Mengerikan !

"Kami hanya ingin kau kembali pada kami Gin, tidak lebih, " kata Nel yang bersandar pada pagar besi yang mulai berkarat.

"lalu kalau aku pulang pada kalian, apa ada jaminan bahwa aku akan bisa kembali pada anak dan istriku ?, " tanya Gin.

"Itu kan bisa diatur, " sahut Nnoitra, lalu melompat turun. Dia melangkah mendekati Gin. Tanganya yang hampir sekurus Gin terulur. Ditepuknya pundak Gin, "Itupun kalau kami belum membunuh dan memotongmu kecil-kecil " katanya di depan telinga Gin.

"Kalian menyusahkan, " kata Gin pasrah.

"Ingat, siapa yang membunuh Aizen ?, " tanya si rambut biru.

"Dengar Grimjaww, aku sedang tidak ingin membahas itu, " kilah Gin.

Senyum si rambut biru bernama Grimjaww itu mengembang, "Dasar, di mata kami, dari dulu sampai sekarang, kau tak lebih dari seorang bocah, " katanya.

"Aku tidak takut padamu, aku bukan pengecut ! " kali ini Gin melirik Grimjaww dengan lirikan tajam, "Kau itu cacat, sedangkan aku masih punya dua tangan, " lanjutnya.

Grimjaww -yang tanganya hanya satu- tersenyum kecil, "kau cari mati ! " katanya bengis.

"Jangan cari masalah ! " lerai Ullquiorra.

"Kalian memang tidak berguna, " kata seseorang. Sontak semua mata terarah pada orang itu. Orang itu -pria tampan berambut pink- berjalan perlahan, menaiki anak-anak tangga. Sampai dia berada satu lantai dengan yang lain..

"jangan lupa tujuan kita, payah ! " umpatnya.

"Sejak kapan kau memimpin kami ha ?, " suara tinggi Grimjaww terdengar, "Szayel ?, "

"Daripada mengikuti pemimpin tidak becus macam Grimjaww, bisa-bisa lengan kita putus satu semua ! , " balas si rambut pink.

"Jangan cari masalah ! " kali ini suara Ullquiorra lebih tajam.

Gin tak sanggup menahan senyum gelinya, "kalau para penjahat kelas besar macam kalian seperti ini terus, dunia penjahat akan mati, teman-teman, " katanya, terkikik.

"Bocah, kau masih perlu belajar, " Grimjaww mengalihkan padanganya ke wajah Gin, lalu menatapnya angkuh. Tangan berototnya terangkat. Pisau ramping itu teracung, tepat di leher Gin, "kau tau, apa ukuran 'kejam' bagi seorang penjahat ?, "

Glek !

"Sudahlah, " Halibel beranjak, "Aku lapar, Nel, ayo kita cari makan, " katanya cuek, lalu meninggalkan yang lain, diikuti Nel, si seksi berambut toska itu.

Sekali lagi, bagai film mati, semua berhenti. Hanya tangan Grimjaww yang masih mengacungkan pisau ke leher Gin.

Syazel yang pertama kali angkat suara, "Kau bisa temui kami di sini tengah malam nanti Ichimaru. Keputusan ada di tangan mu, " katanya.

"kalau aku datang atau tidak datang, apa yang akan kalian lakukan ?, " tanya Gin.

Perlahan Grimjaww menurunkan tanganya. Katanya, "Kau akan tau sendiri nanti, " katanya. Matanya melirik Gin. Mata yang menyiratkan keangkuhan besar.

"Kalau kau datang, tapi menolak ikut dengan kami..." lanjut Ullquiorra, "... mungkin Karakura akan digemparkan penemuan mayat laki-laki berambut perak di tempat ini, "

Ullquiorra beranjak, mengikuti Syazel dan Grimjaww yang sudah melangkah turun.

Mereka meninggalkan Gin yang terpaku seorang diri.

Salju mulai melayang turun. Temperatur tempat itu juga. Udara jadi lebih dingin di ketinggian. Gin tau kenyataan ini, tapi sesungguhnya, ia tak tau harus berbuat apa. Mereka benar, meski sepuluh tahun sudah berlalu, ternyata Gin tak lebih dari seorang bocah.


Gin menutup pintu rumah perlahan. Derajat kebiruan langit mulai berkurang, tanda senja sudah menyapa.

"Kasihan Bu... " Yuki memeluk seekor anak kucing di pangkuanya, "Yuki janji akan merawatnya dengan baik... " katanya memelas.

"Iya, Ibu izinkan Yuki memelihara anak kucing itu, tapi tolong, Yuki jaga baik-baik ya, " Rangiku berkata lembut, membelai rambut perak sang anak.

"Tadi yuki temukan dekat kotak pasir, kasihan, kakinya terluka, " kata Yuki, menunjukan kaki depan kucing itu yang diperban.

"Ibu bangga kamu mau menolong anak kucing itu sayang, " Rangiku ikut membelai bulu halus kecoklatan milik si kucing.

Anak kucing malang itu mengeong lembut, memanja di pelukan Yuki yang hangat. Gin melihat ada pancaran ketulusan di sorot tatap mata anaknya. Seribu kelembutan yang menyiratkan segala keikhlasan, bahkan pada binatang sekalipun.

"Yuki, " panggil Gin perlahan, "Lihat, ada paket dari langit, " katanya seraya membuka gorden satin yang melapisi jendela berkaca bening.

Pekik senang sontak terlontar dari bibir mungil Yuki. Salju ! Event di musim dingin yang sangat Yuki tunggu. Buliran lembut berwarna putih itu melayang pelan, mulai menumpuk memenuhi jalanan.

Senyum ceria tanpa beban, kepolosan yang menyiratkan begitu banyak ketulusan yang dimiliki Yuki mencekat laring Gin. Akankah dia meninggalkan Yuki begitu saja ? lalu bagaimana dengan Rangiku ? Akankah pilar istana cinta mereka luruh begitu saja hanya karena... Ah, berat bagi Gin untuk meneruskan keluh kesah hati lelahnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia pergi meninggalkan mereka. Tujuanya jelas : kamar.

Disanalah, ia genapkan keluh kesahnya. Biarlah, malam ini juga, Gin harus bisa membunuh perasaanya. Apapun yang akan terjadi...

"Aku belum pernah sefrustasi ini... " desisnya. Ah, sebenarnya Gin pernah sefrustasi itu sebelumnya. Tapi dulu... dulu sekali... masa yang hampir ia lupakan. Yang bahkan menuntunya sampai ke sebuah kejadian, yang melibatkan Rangiku, dan sampai lahirkan Yuki... Ah ! Egonya berontak. Sekali lagi, Gin tau kenyataan ini, tapi ia tak tau harus berbuat apa...

"Kau tau Gin ? " kata Rangiku, "Aku ingat kejadian di masa lalu... " lanjutnya. Rangiku menyandarkan kepalanya ke pundak Gin.

"Apa kau ingat sepuluh tahun yang lalu ?, " katanya lagi.

"Apa ? Kenapa tiba-tiba bertanya ?, " balas Gin.

"Aku merasa ada yang aneh denganmu, "

"Apa hubunganya ?, "

Rangiku menghela nafas perlahan, "Tadinya... " lanjutnya, "Aku ingin marah padamu, tapi kulihat kau sedang banyak masalah, jadi kuurungkan niatku, "

"Kalau mau marah, marah saja. Memang kenapa sayang ?, " Gin tersenyum geli, menatap sang istri.

"Yah... kau tau, dari tadi aku mencium bau yang ganjil di tubuhmu, " kata Rangiku jujur.

"Bau apa ?, "

"Mariyuana ! "

Gin tercengan sesaat, "Mariyuana ? Maksudmu bunga ganja ?, " tanyanya.

"Ya, aku jadi ingat kejadian sepuluh tahun yang lalu, " Rangiku memalingkan wajahnya, "dan entah bagaimana, aku mencium bau bunga ganja lagi di tubuhmu, "

Sialan ! Umpat Gin.

"Ah... " Gin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Jadi kau mencurigaiku ?, " tanyanya.

"Ya, aku mencurigaimu, " tajam suara Rangiku.

"Baiklah, cantik... " tangan kurus Gin terulur, merengkuh tubuh Rangiku, "Nanti aku bisa jelaskan, tapi, jika kau tidak suka bau bunga ganja, ayo kita tutupi baunya dengan bau mani... "

"Dasar... apa yang k... "

Rangiku kalah. Tubuhnya tertawan oleh sang suami. Titik terpeka tubuhnya sudah tertangkap. Dia tak bisa berbuat banyak, bahkan tak melawan. Tak ada yang tau adegan setelah itu....


Gin mengusap peluh terakhir di wajah sang istri. Wajah Rangiku tampak lebih cantik. Rangiku adalah satu-satunya orang yang tak ingin Gin sakiti lagi, apalagi untuk hal yang sama. Haruskah wanita sebaik dia merasakan sakitnya ditinggal pergi (lagi ?)

Gin tau, sejak dulu, ia memang selalu menjadi laki-laki yang tak pernah punya pendirian. hatinya serapuh buliran indah salju.

Rangiku menggeliat manja di pelukan Gin. Malam itu terlampau dingin memang.

Gin hanya menghela nafasnya berat. Maka, perlahanpun -meski ia tak pernah menginginkanya- Gin beringsut. Disibakkanya selimut tebal yang menyelubungi mereka, dan ia bangkit. Gin memaksa agar perasaanya mati, ia menutup matanya, menutup telinganya, membinasakan hatinya, ia tak ingin melihat, mendengar ataupun merasakan semuanya. Emosinya lebur bersama semua penyesalan yang ia tanam terlampau dalam.

Mata sipit itu mengintip dari celah pintu. Ditatapnya tubuh Rangiku yang tak terbalut apapun, terbaring sendirian. Senyum yang (sama sekali) tidak ikhlas melengkung sempurna di bibir Gin. Kini Gin merasa menjadi orang lain. Orang lain di masa lalu, yang mencampakkan sang kekasih dalam kenistaan karena dirudung frustasi tak berujung.

"Maafkan aku Rangiku, selamat tinggal, " bisiknya lirih, berharap udara beku malam itu mau menyampaikanya di mimipi indah Rangiku.


Dingin... terlalu dingin. Jemari kurus Gin kaku dalam udara beku ini. Bibirnya membiru menahan hawa dengan suhu se ekstrim ini.

"Maaf ya, " katanya lemah, menatap salju-salju yang melayang perlahan ke bawah. Udara di luar sana bukan udara yang mudah ditaklukan.

Anata wa itsudemo...

Ada melodi yang teramat akrab bergaung lembut di gendang telinga Gin. Terasa di simponikan buliran salju itu. Melodi lamat-lamat yang datang dan pergi sekejap. Seperti kembang api.

Atashi yuki saki wo...

Tsugezu ni kieseru... doushitte ?

Melodi bertempo cepat, tapi datang dan pergi dan bergema begitu halus, menghancur leburkan isi kepala Gin.

Melodi yang meyiratkan segala kerinduan. Gin terjepit di dalamnya. Melodi itu semakin merasuki jiwanya, semakin meracuninya. Semakin cepat, disimponikan oleh langit yang benar-benar beku. Pikiran Gin berantakan, Gin ingin menghentikanya, tapi sedikitpun ia tak sanggup. Raganya tak kuat. Ia terjebak. Dingin.... sakit... Melodi itu semakin meracuninya... tidak... tidak...

Nafas Gin semakin berat, ia berlari, tersaok diantara belantara salju yang menjadi tempat tujuanya. Dingin membekamnya, sunyi menyekapnya. Gin terbunuh oleh 'Fuyu no Hanabi'. Melodi itu adalah hukuman untuknya. Ia takkan pernah bisa lari dari nasib...

Dalam Luka, terucap doa

Untuk diriku, langitmu di masa lalu

Yang luruhkan pendar redup angan dalam kesakitan

Rotasikan segala kebohongan dalam poros semu kehidupan

Aku bawa nestapa berwujudkan cinta

Aku bawa pilu bermelodikan rindu

Untukmu

Aku ingin mati, dalam sejarah silam berpilar air mata

Dan disanalah

Dalam jazad matiku, kuharap kau temukan bahagia

Angin berhembus perlahan. Bayangan sosok-sosok di atas bangunan itu semakin nyata terlihat, meski salju mengaburkan pandangan Gin nyaris seluruhnya.

Si pucat melirik arlojinya, tepat tengah malam.

"Ichimaru ingkar, " kata si rambut toska.

"Tenang Nel, lihat " si rambut biru menunjuk ke bawah anak tangga. Awan tipis menutupi cahaya bulan perlahan. Tapi rambut keperakan seorang pria yang ada di bawah tangga itu tetap memantulkan cahaya samar.

"Lihat, dia datang, " si rambut keemasan berkata datar sembari menaikkan kerah bajunya semakin keatas.

"Aku kembali teman-teman, " bisik Gin. Bibinya nyaris menjadi es, tapi masih bisa tersenyum dengan senyumnya yang manis.

Baik Gin maupun para penjahat diatas gedung itu sama-sama diam untuk sesaat. Sampai si rambut biru yang pertamakali bersuara parau, "Nice fake ! "

Deg ! Pupil mata Gin mengecil seketika.

Tama ni miseru, hontou no emi, atashi wo doushitai no ? Doko e yukitai... Nan ni naritai... Aisareru kotoba kowai dake...

Melodi itu masih bergaung, seirama dengan jantung Gin yang menyuarakan ketakutan.

Pisau itu mengkilap. Tidak... Gin, kau menggali lubang kuburanmu sendiri !!!

"TIDAAAAAAKKKK !!!!! " Jeritan menggema. Rangiku yang berada jauh dri tempat itu cepat-cepat menyibakkan selimutnya. Ah, suaminya tak ada di sampingya. Deg ! Deg ! Deg ! Suara ketakutan... melodi kematian...

...

Lihat, salju putih bersih itu kini darah, yang menyiarkan anyir pengkhianatan.

Sementara itu, melodi kematian itu masih berdenting mesra bersama salju yang melayang turun... Meninggalkan seorang Rangiku yang terduduk tanpa daya di tempat tidurnya... yang mulai merasakan ada hawa kematian di tubuh sang suami.... entah dimana...


To be continued...

A/N : Maaf ya, bikin para reader penasaran tentang lanjutanya. mungkin akan banyak dugaan-dugaan yang nggak-nggak, misalnya Gin beneran mati apa masih idup dll. hehehe...

Balas revier 'Kisah sang penulis muda' bentar ya...

Sil : Ehmm... sebelumnya kami bertiga ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya buat yang udah setia ngereview, baik yang memuji, ngasih saran, kritik dan lain-lain... thanks bangetttt~~~

Diamond : YupZ, ada pesen nih dari si Silver buat...

Sil : Bakka, gua desene kaleee !

Diamond : Coir, kirain setan...

Sil : asem lu ngatain !

Diamond : Yupz, yang pertama buat...Astalavisbay , terimakasih atas pujianya, memang fic ini seperti puisi... hehehe... (Maaf tidak bisa bahasa malaysia)

Emerald : Nimbrung boleh ga Minna ?

Sil + Diamond : GAK !

Gubbrrrakkk

Sil : Yosh, berikutnya reviewnya AshouDan Zimmer... wah, pereview setia yang selalu ngasih koreksi-koreksi penting nih... Arigatou Nii-san... story-story dikau juga selalu menjadi inspirasi buat kami (Baca : Buat aku), hue he he...

Diamond : Huh... -tepuk jidad-

Sil : Tyuz Nahoko Morinozuka, thanks juga pujianya, dan dukung terus pair GinRan ! Yeah !

Diamond : Kampanye Mbak ?

Duagghh !!!

Sil : Nah, terus buat pereview yang sangat setia... anak 8G Spenasix Temanggung, Maiza Chayanx, wah, jangan ngamuk gara-gara Aizen jadi tokoh ancurr dong... but, thanks pujianya (baik yang sinis maupun yang manis)... Tenang, aku masih cinta sastra kok walaupun dah permanent di kelas sains, hehehe...

Diamond : -Muncul gaya kuntilanak- terus buat Ame-chan, Hehehe, GinRan emang keren sih... dan terusanya juga banyak kan ?

Sil : sok kenal !

Diamond : Emang kenal kok !

Sil : Knalan dmana ?

Diamond : Di fic akatsuki mu !

Sil : O, iya, ya... -gaya blo`onya Brapandi-

Gubbrrakk...

Emerald : Ikut bacain boleh kan ?

Sil : Bacain aja sisanya ! Oia, titip pesen buat Someone ku ya ! -ngacir-

Emerald : Woy, Sil, lu mao kmanah ???

Diamond : Aku ngikut Sil ya... daahhh...

Emerald : Lu gila... Woi ! Woi ! Bakka !

Diamond : Lu yang bakka ! -ngacirr-

Emerald : Asem ! yaudahlah... Ni Sil mau balas reviewnya mss Dhyta, pereview setia yang ngasih pengaruh positif buat otaknya si Sil, hehehe (jujur nih...). kata Sil : thanks banget. lain kali biar dkasih bocoran cerita lagi ma Silver, hehehe... -senyum manis- tapi, kita bertiga sbenernya juga ga punya bayangan apa-apa soal anaknya si Matsu... -bloon mode-

Dan pecinta GinRan yang ngasih banyak inspirasi, sudahjelasisaiia-CHEN-dol, nih ya, aku ceritain, Sil suka bangedd ma story GinRan mu, jadi... (percuma diceritain, Sil udah cerita sendiri lewat reviewnya) hehehe...

Untuk Niar, Buat bocoran Sil itu emang hobi ngelantur, jadi jangan salahin kalo ceritanya juga gitu...

Terus, buat Black-Cat-Yoruichi, yang pertamakali kasih koreksi tentang penulisan, dan selalu setia review dan nunggu datengnya next chapter yang ga pernah beres karena authornya sedeng semua hahaha -dihantam yang punya story- akhirnya kamu tau kan kmana si Gin... hehehe, pokoknya big thanks buat dirimu ^^

Next, ada review dari Naara Akira yang katanya bosan mengembarai fandom Naruto dan akhirnya nyasar ke fic gaje bin mesum ini... ini memang fic pertamanya si Silver (dengan kita sebagai pendukung sekaligus asisten yang juga hobi nulis (baca : Budak) nya...). Dan kita bertiga juga cinta mati sama pair ini, ^^

uchiha_uzumakiiiii, hmmm.... yang bikin aja pernah sempet mewek, apalagi yang baca... hehehe... fic ini emang indah (baca : Ancur)

hinamori14137 yoriko fic ini kan labelnya 'gaje bin mesum' jadi emang dewasa banget, hehe, sorry, sorry, tapi rated nya udah M kan ?

Next, ada dari byakuya_445930 ... euh, yang nulis males, jadi emang typ chap isinya dikit...

Buat catsearchtheidea .... ya ampun, thanks pujianya... ratednya udah M kan sekarang ? hehe... (idenya Diamond tuh !)

Next... ada review masuk dari NaMizu no Mai...Waw, ga penasaran lagi khan ? Hehe, tapi ngebaca kisah ini malah makin penasaran ya ? hahaha... kebiasaanya si Silver tuh !

And, thanks buat penyemangat hidupnya Silver (lebay Mas !) tentu aja, sahabat-sahabatnya terchayanx, Bellassa Neliel (Espada dari planet mana nih ?), Etiexx ma Thoushiro Bravandy limo doank (Shit, sejak kapan lu ganti nama ? kug ga pake jenang abang segala sih ?)...

And the last, buat anak SPENAMA Temanggung (SMP Lima maksudnya)...

You are 'Gin Ichimaru' to Silver forever...

Ah, anak Spenama kan banyak, yang mana nih ? Sabodo ah, pokoknya, yang merasa dah jadi 'sahabat'nya seorang FERISSA hehehe..

Yosh, saiia, Sweet Emerald (Atau Sour Emerald ?) mewakili semua kerabat kerja yang bertugas bahu-membahu membuat fic mesum ini mengucapkan terimakasih banyak... Arigatou Minna, dah baca tulisan gag bermoral ni... bye bye~~~ -Ichimaru mode-

...

...

...

Silver : Bakka... ternyata diurai satu persatu coy !

Diamond : Egepe, ntu anak emang... heuh...

r

e

v

i

e

w