12Gatsu no Himawari

Disclaimer

Shingeki no Kyojin milik Isayama Hajime

Fict ini asli buatan saya, dibantu oleh lagu Aqua Timez. Tapi sebenarnya bukan fongfict juga wkwk

Hisashiburi mina-saaan ~ Maafkan author baru nongol lagi setelah berabad-abad hiatus di dunia fict ini. Author juga belum sempet ngelanjutin fict author yang masih bersambung...gomenne...

Sebagai pembuka author kasih ini dulu aja yaaaa

Fict yang dikerjain setelah tugas kuliah terakhir dikumpulkan, yeay

Silahkan dibaca dengan seksama, awas typo bertebaran, mungkin bahasanya agak maksa, feelnya mungkin kurang dapet, pas mulai ngetik ini sebenernya masih ngawang-ngawang ceritanya wkwk

Semoga tidak mengecewakan deh

Fict ini dibuat resmi atas permintaan Salwa Mayrizky Aisyah, makasih nak sudah membangkitkan semangat menulis author :'))

Semoga sesuai dengan request yaaa

Dozo

.

.

"Bunga matahari, mekar tidak mengenal musim. Seperti cinta bukan? Yeah, kasarnya begitu. Tak pandang buluh dan tak perlu alasan, cinta itu tumbuh dengan sendirinya, bahkan di dunia kejam yang hampir dikuasai raksasa, bahkan pada seorang yang tak pernah ramah pada siapapun, pada orang yang baru pertama kali mengenal sesuatu yang bernama cinta. Levi Acherman, huh? Pria sepertinya juga bisa jatuh cinta?"

Bunga matahari mulai bermekaran di luar sana, menghiraukan kesibukan prajurit yang baru menyelesaikan ekspedisi kemarin. Untuk saat ini bunga-bunga itu memang tidak dihiraukan, kecerahan warnanya seakan belum memikat siapapun yang melihatnya. Dan ya.. kebanyakan orang-orang sibuk dengan pekerjaan di dalam kastil markas pasukan pengintai. Begitu juga dengan Levi Acherman, si kopral muda yang memiliki banyak julukan.

Prajurit terkuat umat manusia? Orang paling tak berperasaan? Harapan terakhir pasukan pengintai? Semua julukan itu sudah tak asing bagi Levi. Ya sejauh ini julukan-julukan itu memang benar adanya.

Tak diherankan lagi jika Levi memanglah prajurit terkuat saat ini, yang masih setia di pasukan pengintai meski tahu berbagai resiko yang akan didapatkannya jika terus maju melawan makhluk biadab pemakan manusia itu.

Tak berperasaan? Itu juga benar. Levi bukanlah orang yang mau bermurah hati untuk menyapa siapa saja –bahkan atasannya sendiri di kemiliteran-, ia juga tak mahir dan memang tidak didesain untuk berkata-kata baik pada lawan bicaranya. Levi akan senantiasa mengeluarkan pendapatnya sesuai dengan apa yang ia pikirkan, tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan.

Dan lalu, harapan terakhir pasukan pengintai. Bagaimanapun, Levi memang menjadi harapan paling besar untuk mencapai kemenangan umat manusia –yang murni dari umat manusia- karena ya.. sudah bukan rahasia lagi jika di pihak militer juga ada manusia setengah Titan –si anak kemarin sore, Eren Jaeger-.

Bagi Levi persetan semua julukan-julukan yang orang-orang berikan padanya, ia benar-benar tidak peduli. Yang menjadi perhatiannya adalah satu julukan lagi, 'orang yang belum dan tidak akan pernah jatu cinta'. Berkat julukan itu, Levi ingin sedikit mengolahragakan tangannya agar orang yang berani memberi julukan itu langsung dibawa ke ruang perawatan militer. Kenapa Levi bisa sampai seperti itu? Ya, ia 'sedikit tidak terima' .

Hey, apa yang membuatnya merasa tidak terima dengan julukan itu? Apakah karena ia bisa membuktikan bahwa seorang Levi juga bisa jatuh cinta? Dan bahkan menjatuhkan hati gadis incarannya juga? Bukanlah hal yang sulit bagi Levi membuat seorang gadis jatuh cinta bukan?

Baiklah, kembali ke dunia nyata, dimana Levi sedang menyesap kopi hitam kesukaannya sembari membaca laporan ekspedisi kemarin. Sebenarnya pikiran pria itu masih mengawang jauh. Memikirkan hal yang tak biasa ia pikirkan, seorang gadis.

Entahlah, akhir-akhir ini mata sipit itu begitu refleks memicingkan mata pada sesosok gadis disampingnya, gadis manis yang ikut berjuang melawan raksasa, gadis yang agak kikuk namun juga anggun saat menyajikan kopi hitam untuknya, satu-satunya gadis di squad spesialnya. Ya, siapa lagi jika bukan Petra Ral, si gadis karamel.

Ah, setiap kali Levi mulai terhanyut dalam pemikirannya itu, ia selalu ingin segera bertemu kembali gadisnya. Eh tunggu? Gadisnya? Tidak-tidak, itu keliru. Levi tidak memiliki Petra –untuk saat ini. Levi masih tampak menimbang-nimbang perasaan tiba-tiba yang ia rasakan akhir-akhir ini.

Bermula dari tak sengajanya mereka berdua bersentuhan tangan saat membereskan ruangan Levi. Dari sana Levi sangat berkeinginan untuk kembali menyentuh kulit lembut itu. Ia sangat terhibur saat melihat rona merah di wajah Petra mulai terlihat setelah Levi mencoba menatap manik Petra dengan dalam. Perasaan itu semakin berkembang, ia rasa. Karena setelahnya pria itu sangat intens memerhatikan gadis karamel itu. Sangat antusisas mencari tahu latar belakangnya di daftar prajurit pasukan pengintai. Sangat berkeinginan untuk melindungi gadis itu dari serangan macam apapun –meskipun ia tahu bahwa Petra juga bisa menyelesaikannya sendiri-

Apakah ini yang orang-orang sebut dengan cinta? Entahlah. Banyak orang yang terjebak dan salah membedakan antara cinta dan obsesi. Dan sebagai seorang pemula, Levi belum cukup nyali untuk mengakui bahwa yang ia rasakan adalah cinta. Karena ya, bukankah terlalu naif memikirkan cinta di dunia yang siap hancur ini?

Levi hanya mencoba untuk menjalani kehidupannya seperti biasa, dan tidak memikirkan perasaan pribadinya terlebih dahulu. Terlebih pasukan pengintai sedang gencar-gencarnya melakukan ekspedisi keluar dinding.

Melakukannya persama Petra hanyalah bonus, begitu pikirnya.

Tak lama suara ketukan pintu terdengar. Levi sedikit kesal dengan suara ketukan itu, karena suara itu berhasil menyudahi pikirannya.

"Masuk." Ucap Levi singkat.

Seseorang yang mengetuk pintu tadi langsung menuruti instruksi dari Levi. Sedangkan Levi masih menyibukkan diri dengan kertas di tangan kirinya dan cangkir kopi di tangan kanannya.

"Heichou, ini-"

Prang!

"Tch.."

Tepat saat suara lembut yang memanggilnya terdengar, Levi sontak terkejut dan menjatuhkan cangkir di tangannya. Dan kopi yang masih tersisa di cangkirnya itu berhasil membasahi cravat dan kemejanya.

"Kenapa kau mengejutkanku, Petra."

"A-aa.. sumimasen.. aku tidak bermaksud untuk itu heichou.."

Levi langsung menyimpan kertas di tangannya dan bangkit berdiri, melepas cravat dengan cepat dan membuka kemeja basahnya.

"A-ano.. heichou.. aku permisi dulu.."

"Kau pikir kau bisa kabur setelah melakukan ini? Urusan kita belum selesai."

Kata-kata itu berhasil membuat Petra mematung tak berdaya dan harus menyaksikan idola para gadis ini bertelanjang dada dan sibuk mengelap tubuh kekarnya dengan handuk. Gadis mana yang tidak akan merasa deg-degan disuguhi pemandangan seperti ini.

Petra mencengkram erat kertas-kertas yang tadinya akan ia berikan pada Levi. Wajahnya sudah memerah tidak jelas. Kepalanya menunduk tak berani memandang lebih jauh lagi.

Melihat tingkat Petra seperti ini Levi malah ingin sedikit 'bermain' dengan situasi disini. Selagi Petra masih sibuk menundukkan kepalanya, Levi berjalan dengan santai menuju pintu, dan diam-diam mengunci pintu itu.

"Petra."

"H-hai!"

"Bawakan kemejaku di lemari."

"Baik."

Levi melirik gadis itu dengan ujung matanya, sambil terus mengelap tubuhnya yang terasa lengket oleh kopi. Ia mendudukkan dirinya diatas meja kerja, tampak mempesona dari sisi manapun.

Setelah Petra mengambil kemeja yang dimaksud oleh Levi, ia hendak memberikannya pada pria itu, jika saja Levi tidak menatapnya dengan intens.

"Ano.. ini kemejanya, heichou.."

"Kau menyuruhku menghampirimu?"

"S-sumimasen.."

Dan akhirnya Petra sendiri yang mendekati Levi dan hendak memberika kemeja itu padanya.

Tapi ternyata saat kemeja itu sampai juga ditangan Levi, tangan mereka berdua kembali bersentuhan, seperti saat itu. Manik mereka bertemu. Rona merah semakin terlihat di wajah Petra. Sedangkan Levi masih dengan wajah datarnya yang biasa.

Dengan sengaja kali ini Levi menahan tangan Petra agar tetap dalam sentuhannya. Petra sudah tidak bisa berkata-kata, ia hanya menunjukkan protesnya melalui wajahnya yang mulai kacau –merasa bingung dengan situasi ini.

Dalam sekali hentakan, Levi menarik Petra menuju pelukannya. Berakhir dengan wajah gadis itu yang semakin memanas. Levi bisa mencium wangi rambut halus yang menyentuh pipinya. Ia bisa merasakan hangatnya tubuh gadis itu, dan aroma ini.. yang benar-benar memanjakan dia sebagai seorang pria.

Levi melapaskan handuk dan kemeja di tangannya, ia ingin fokus dengan kesenangannya saat ini. Ia mulai memeluk erat gadis itu, meraba setiap jengkal punggung yang tersuguh. Semakin erat pelukannya, semakin terasa sesuatu yang empuk menyentuh dada bidangnya.

"Heichou!"

Ia hiraukan suara protes itu, ia masih ingin menikmati aroma ini. Ia masih ingin kehangatan yang ia dapat menemaninya.

"Lepaskan aku, heichou.."

"Apa kau tidak lihat aku sedang menikmati ini."

"Kenapa harus aku, heichou? Bukankah masih banyak gadis diluar sana yang bisa anda-"

Dan ucapan Petra diputus oleh ciuman ganas yang memaksanya untuk diam.

Petra mencoba untuk melepaskan cengkraman lawannya, namun tampaknya nihil. Kekuatannya tak sebanding dengan prajurit terkuat umat manusia ini. Gadis itu tampak terdesak dengan posisinya, bibir mereka yang beradu membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Tanpa disadari matanya berembun, pandangannya terhalangi oleh air yang semakin tak dapat ditampung.

Levi yang sedari tadi memejamkan matanya mulai membuka dan memokuskan pandangannya pada wajah dihadapannya karena ia merasa ada sesuatu yang membasahi tangannya. Dan ya, ia mendapati Petra menangis didepannya, namun tak sanggup untuk berkata apapun. Sontak Levi langsung mengakhiri kesenangannya dan mundur beberapa langkah dari gadis itu. Petra masih mematung dan menunduk dalam. Sedangkan Levi tidak tahu harus berbuat apa. Apa ini gara-gara tindakannya yang semena-mena? Apa ia sudah menyakiti gadis itu?

"Petra.."

Gadis itu –tanpa mau melihat wajah kopralnya- langsung berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. Menyadari pintu yang ia pegang terkunci, Petra kembali menghasilkan air mata lagi. Bergegas ia membuka kunci dan keluar begitu saja meninggalkan ruangan itu.

Baiklah, Levi sudah melakukan kesalahan yang mungkin akan membuat jarak antara ia dan gadis itu.

"Tch.. apa yang sudah kulakukan.." gerutunya sendiri.

Hari ini sudah memasuki bulan Desember. Udara mulai terasa dingin. Bunga matahari masih setia menunjukkan kelopaknya yang cerah, tak peduli akan udara, tak peduli akan salju yang sesekali turun memijak bumi.

Sang kopral muda mengosongkan pandangannya ke arah bunga matahari di halaman kastil. Punggungnya ia senderkan pada dinding. Tangannya ia silangkan di depan dada. Tampak angkuh namun kesepian dalam waktu yang bersamaan.

Banyak yang sudah memberi salam padanya, tapi sama sekali tidak ia pedulikan. Levi masih sibuk dengan dunia alam bawah sadarnya.

Sudah 3 hari sejak insidennya dengan Petra di ruang kerja, dan sampai sekarang ia belum berhadapan lagi dengan gadis itu. Ia bahkan tidak mendapatkan kopi hitam di malam hari seperti biasanaya, ia tidak mendapat laporan apapun darinya, bahkan hal paling sepele.. tidak mendapat penampakannya sama sekali.

Ya, Petra jelas-jelas sangat terlihat sedang menghindari Levi. Dan yah.. Levi tahu betul bahwa kejadian malam itu yang membuatnya menjaga jarak dengannya. Ini buruk.

Levi yang gusar mengacak rambutnya kasar.

Besok adalah hari ekspedisi keluar dinding lagi, dengan bekal prajurit seadanya, pasukan pengintai akan melakukan pengecekkan ulang bekas markas pasukan pengintai sebelum dinding terluar dijebol raksasa. Dan squad Levi adalah salah satu squad yang dipilih untuk melakukan ekspedisi ini, bersama 2 squad lainnya.

Itu artinya besok ia akan melihat kembali Petra di sampingnya. Dengan catatan jika Petra masih sudi bekerja sama dengannya dalam misi. Baiklah, memikirkan itu saja sudah membuatnya ingin mengulangi malam itu. Agar ia tidak dengan seenak jidatnya mengekspoitasi gadis itu untuk kesenangannya sendiri.

Bunga matahari.. tumbuh tak memandang musim. Dia tetap bertahan di musim dingin. Sebuah keajaiban. Levi sedikit berharap nasibnya juga tengah bersinar layaknya bunga matahari itu, bertahan meski menerima banyak kondisi yang memaksanya berhenti berharap.

Markas pasukan pengintai yang dulu itu sudah benar-benar tidak dalam keadaan baik. Bukan, bukan karena kastil itu roboh atau ditumbuhi lumut, namun karena kastil itu kini telah menjadi sarang raksasa. Makhluk-makhluk besar tak berakal itu berkumpul dan berdiam diri disana. Dan sepertinya jika malam tiba mereka juga melemahkan tubuhnya di sekitar kastil. Sebegitu nyamannya kah?

Berkat ekspedisi yang lalu jumlah raksasa di daerah sekitaran sini memang tidak terlalu banyak, masih bisa dihabisi oleh mereka yang melaksanakan ekspedisi hari ini. Dan buktinya, setelah hampir 2 jam meninggalkan dinding untuk ekspedisi, mereka sudah membabat habis setiap raksasa yang mendekat dan sampailah mereka di kastil –setelah sebelumnya terjadi pertarungan juga disini-. Akhirnya mereka bisa memasuki kastil dan mencari dokumen yang tertinggal dan belum sempat dievakuasi.

Levi, sebagai kapten dalam ekspedisi kali ini langsung membagi tugas anak buahnya. Ada yang masuk ke dalam kastil dan mencari data, ada yang menjaga di luar kastil. Dari 15 orang ia bagi menjadi 2 regu. Dan Levi sendiri melakukan tugas keduanya. Ia akan berjaga dulu di luar dan kemudian menyusul.

Sebagai pemimpin dalam espedisi, Levi harus mampu membagi regu dengan bijak, tanpa melibatkan perasaan pribadi di dalamnya. Karena ya.. ternyata Petra hadir dalam ekspedisi ini. Gadis itu memaksakan diri untuk bertindak profesional. Begitu juga Levi. Meski beberapa kali pria itu mencoba untuk melirik gadis di sampingnya, ia tetap tidak menunjukkan perasaan apapun.

Ya, saatnya pembagian tugas.

Regu yang masuk sudah siap dengan obor dan segala perlengkapan yang mungkin dibutuhkan di dalam sana. Dan regu yang di luar bersiap dengan peralatan manuver 3D masing-masing –bersiap jika saja raksasa datang tiba-tiba.

Petra adalah salah satu yang masuk ke dalam kastil mencari data yang tertinggal. Dan saat Petra masuk, Levi memilih untuk berjaga di luar terlebih dahulu. Ia mencoba memberi jarak agar gadis itu tidak merasa risih.

Levi, bersama 7 orang lainnya tetap siaga memerhatikan setiap inci pergerakan semak-semak dan pohon yang tertiup angin.

Jika menutup mata, udara dingin terasa menusuk. Namun aroma udara seperti ini jauh lebih segar dari biasanya. Angin dingin kembali berhembus menusuk. Hanya Levi yang memilih melepaskan jubah hijaunya. Ia mampu bersahabat dengan udara dingin. Atau menyiksa diri sendiri?

Setengah jam berlalu. Levi hendak akan menyusul regu yang di dalam, jika saja sebuah suara tidak menghalangi langkahnya.

Mata kelabu itu langsung memicing ke arah pepohonan tinggi. Perasaan buruk mulai menghantui Levi dengan tiba-tiba.

"Semuanya bersiap!" ujarnya tegas.

Burung-burung yang tadinya hinggap dengan tenang di pepohonan tiba-tiba serentak beterbangan menjauh. Dan saat itu pula, sebuah tangan raksasa menjangkau para prajurit dengan ganas. 1 prajurit tertangkap, dan sosok raksasa abnormal muncul dari balik pepohonan itu, ia merangkak dengan gila. Mulutnya yang lebar siap melahap prajurit malang itu. Beruntung Levi langsung bergerak cepat dan menebas sekali hentakan leher si raksasa. 1 prajurit terselamatkan.

"T-terimakasih heichou!"

"Jika kau terluka, masuk dan berlindunglah di kastil." Ucap Levi sambil sibuk mengelap pedangnya yang kotor.

"Tidak heichou, aku akan membantu disini."

"Kau tidak bisa main-main disini, masuk sekarang atau kau akan tetap menghambat yang lain huh?" kali ini tatapan tajam Levi tampak benar-benar geram.

"B-baik.. heichou, aku akan masuk."

"Yang lain juga, jika kalian masih menyayangi nyawa kalian masuklah ke dalam. Biarkan aku yang berjaga dan menyelesaikan yang disini. Aku rasa si idiot abnormal itu akan berdatangan lagi 3-6 ekor."

"Aku ikut disini heichou." Seru Erd yakin.

"Aku juga." Gunter pun yakin.

Sekilas, Levi melihat siapa yang tengah berbicara. Kemudian ia kembali menghadap ke arah pepohonan.

"Baiklah, 2 orang aku rasa cukup. Sisanya masuklah ke dalam. Aku tidak usah membujuk kalian masuk dan mengatakan maksudku kenapa kalian harus masuk kan?"

Dengan wajah berkeringat dingin prajurit yang lain akhirnya menuruti perintah Levi dan masuk ke dalam kastil, mereka pastinya masih cukup waras untuk tidak melawan raksasa abnormal yang berdatangan.

"Mulailah bersiap Erd, Gunter."

Levi mengangkat kedua pedangnya, kemudia secara serentak langsung melemparnya jauh ke dalam pepohonan. Suara raungan terdengar. Dengan cepat Levi menggunakan peralatan manuvernya untuk menghampiri abnormal yang mengusik misinya ini. Gerakan memutar pedang seperti biasa berhasil menghabisi si raksasa dengan cepat.

Levi mendarat di tubuh raksasa yang mulai menguap.

"Heichou! Raksasa yang lainnya berdatangan!"

"Tch.."

Raksasa berdatangan, berlarian dengan girang menuju ke arah mereka bertiga. Dengan cepat ketiganya langsung bersiap diposisinya dan menghabisi satu per satu raksasa tak tahu diri itu.

Satu hal ceroboh terjadi pada Gunter, kakinya terbelit tali manuver gearnya sendiri. Alhasil ia terjatuh dari ketinggian dan kakinya terkilir. Baiklah, mungkin hari ini anak buah Levi sedang sial.

"Erd, bawa dia kepinggir dan obati dulu lukanya!"

"Baik!"

Dan seraya mengganti mata pedangnya, Levi berhadapan dengan 5 raksasa abnormal lagi. Sebenernya ia sudah muak dengan makhluk-makhluk gila ini.

"5 lawan 1, kalian pengecut ya.." monolognya.

Levi kembali beraksi. 1 putaran, 2 putaran, 3 putaran, dan tiba-tiba jantung pria itu terasa berdegup tidak biasa. Sontak ia memegangi dadanya dan mendarat di salah satu pohon yang tidak akan terjangkau raksasa. Napasnya terengah, keringat dingin mulai keluar. Baiklah, gejala ini juga ia rasakan tadi pagi, sebelum berangkat ekspedisi. Dan ayolah.. kenapa harus terasa saat seperti ini.

Bunga matahari di bawah sana seolah menertawakannya. Ya, ia terlalu percaya diri bisa melakukannya sendiri. Dan hasilnya ia yang kesulian sekarang.

Tidak, napas Levi semakin memburu. Ia mencengkram erat dadanya yang terasa sakit. Matanya terpejam erat. Pening tiba-tiba. Dan Levi seolah lupa cara bagaimana berdiri dengan tegap. Setelah sempoyongan dan kehilangan keseimbangan, ia terjatuh dari pohon yang menjadi pijakannya.

2 raksasa yang masih aktif meraih-raih tubuhnya yang seolah tak berdaya lagi.

"S-sial.."

Sebeum berhasil ditangkap oleh raksasa, tubuh Levi mendarat dengan keras di atas tanah. Padangannya menjadi samar. Ia juga merasakan darah keluar dari mulutnya.

Tangan Levi yang lemas mencoba meraih pedang yang ikut jatuh dan berada tak jauh dari jangkauannya. Perlahan namun pasti, tepat saat ia berhasil menggenggam pedangnya, tangan raksasa mendekat dan mencoba mencengkram tubuh tak berdayanya. Namun dengan sisa tenaga Levi, ia bisa menebas tangan raksasa dan kembali melemparkan pedangnya itu sampai mampu menembus leher raksasa – yang menjadi titik lemahnya itu.

Baiklah tinggal 1 raksasa lagi dan Levi bisa beristirahat sejenak.

Levi mencoba memaksakan kehendak tubuhnya untuk berdiri. Menggunakan sisa 1 pedang untuk menopang tubuhnya. Pandangannya yang mengabur nyatanya sama sekali tidak membantu. Ia kehilangan fokus dan indra sensitifnya seolah mati rasa, ia tidak bisa merasakan hawa raksasa yang ada tepat dibelakang tubuhnya, siap menerkam sekecil apapun pergerakan Levi.

Levi melangkah mundur 1 hentakan, dan raksasa yang tak seberapa besarnya itu menggigit tubuh Levi seenaknya. Gigi-gigi besar itu menekan tubuh Levi perlahan, menggores sedikit demi sedikit perutnya. Noda merah tak terelakkan lagi keberadaanya. Dan darah dari mulut Levi pun tak bisa dihindari. Kesadaran Levi semakin memudar, namun untuk terakhir kalinya, ia memutar tubuhnya dengan cepat, melangkah menginjak kepala raksasa dan menebas leher itu dengan kejam. Levi tidak peduli gerakan cepat melepaskan dirinya itu telah memperparah goresan hasil gigitan raksasa itu. Lukanya menjadi dalam dan darah yang keluar semakin banyak.

Ini sudah batasnya bagi Levi. Baik, memang salahnya tetap memaksakan diri meski ia memiliki keluhan pada tubuhnya di pagi hari. Salahnya tidak meminta bantuan pada rekan-rekannya di dalam kastil. Yah.. begitulah jika seseorang tidak ingin kehilangan siapapun di misi ini. Bagi Levi, sudah cukup umat manusia mengorbankan nyawanya. Dan lagi ini hanyalah misi kecil, tidak harus ada yang gugur. Walau hasilnya ternyata Levi yang cedera parah kehilangan banyak darah.

Levi lelah kali ini. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya –terutama jantung- membuatnya ingin menutup mata sejenak. Ia tumbang. Kesadarannya hilang. Suara samar yang memanggilnya semakin hilang dari pendengaran.

"Heichou!"

"Apa yang bisa menjahit luka?" seru Erd panik berlari menuju regu pencari dokumen di dalam kastil.

Mendengar pertanyaan itu sontak Petra langsung mengangkat tangannya, mengakui kemampuan yang ia miliki.

"Ada apa? Apa regu di luar diserang raksasa? Siapa saja yang terluka?"

"Yang parah hanya satu. Ayo, Petra!"

Petra turut bergegas menghampiri Erd. Sebelum melangkah menuju tempat Levi, Erd kembali menyampaikan sesuatu pada yang lain.

"Jika sudah menemukan yang kita cari, segera berkumpul lagi di lantai dasar."

Erd dan Petra berjalan cepat . Petra bisa melihat wajah panik pria blonde itu dengan jelas. Jarang sekali Erd terlihat seperti itu, jika bukan benar-benar hal yang sangat penting. Dari kondisi ini membuat Petra ingin bertanya siapa sebenarnya yang tengah terluka parah dan sampai harus dijahit.

"Ano.. Erd-san, siapa yang terluka?"

Tanpa berbalik Erd menjawab pertanyaan yang tertuju padanya itu.

"Heichou.."

Dari jawaban Erd, Petra membelalakkan matanya. Ada rasa tidak percaya dalam dirinya. Namun setelah langkah mereka berdua berhenti di depan sesosok pria kelam yang terbaring tak sadarkan diri di atas lantai, Petra langsung menenggak ludahnya sendiri. Bagaimana bisa Levi terluka hingga separah ini?

"Kenapa bisa seperti ini.."

"Aku kurang tahu pasti karena aku sedang mengobati Gunter saat itu, yang jelas aku rasa raksasa berhasil menggigitnya, dan tulang kakinya juga aku rasa ada masalah. Saat aku cek jantungnya pun... detaknya sangat lemah sekali.."

Keringat dingin keluar dari pelipis Petra. Keadaannya ternyata memanglah sangat parah. Pertolongan pertama saja tidak akan cukup. Tapi ya, ia harus bergegas agar darah yang hilang tidak sampai membuat kopralnya mati.

"Erd-san, aku hanya akan meminta bantuan sekali. Siapkan semua perlengkapan pertolongan pertama di kantung yang ada di kudaku. Sisanya biar aku kerjakan sendiri."

Selagi Erd membawakan apa yang Petra minta, gadis itu dengan cekatan namun tetap hati-hati merobek kemeja kebanggaan kopralnya, agar ia bisa membersihkan luka dengan benar. Oh ya ampun.. luka gigit itu sangat dalam membekas di perutnya. Sepertinya Levi memaksakan diri untuk melepaskan diri dari gigitan raksasa itu hingga lukanya tambah dalam seperti ini, batinnya.

Diam-diam Petra menggigit bibir bawahnya. Ia seakan menahan sesuatu. Ya, menahan sesuatu dari matanya, yang walau terlihat samar ada sebuah air yang tergenang.

Tangannya tiba-tiba melemah setelah berhasil menanggalkan kemeja Levi. Ada perasaan miris disana. Dan jika saja Erd tidak datang membawakan peralatan, mungkin Petra sudah benar-benar menangis tersedu.

"Ada lagi yang bisa aku bantu?"

"Ah.. aku rasa heichou akan kesulitan jika menaiki kudanya sendiri nanti. Kita perlu bala bantuan untuk membawanya."

"Baiklah, aku akan mengurus itu. Aku percayakan heichou padamu, berjuanglah."

"Tolong tutup kembali pintunya, Erd-san."

"Ryokai."

Dan tinggal Petra dan pria tak sadarkan diri di dalam ruangan itu –salah satu ruangan di lantai dasar kastil ini. Sebelum memulai pekerjaannya Petra kembali menarik napas, menenangkan diri sendiri agar tidak melakukan kesalahan sedikitpun.

Pekerjaan dimulai.

Mulai dari membersihkan luka, menahan pendarahan, mengecek luka lain yang tak terlihat, melakukan penanganan awal pada luka sobek, menjahit luka, dan banyak hal lain yang Petra lakukan. Sampai semua pertolongan pertama itu selesai.

Petra menyelimuti Levi dengan jubah hijaunya. Dan sampai sekarang ia masih memandangi wajah tak sadar itu degan intens, memerhatikan bagaimana paras pria itu bisa seegois ini.

Ingatan pribadinya tiba-tiba timbul di pikiranya. Tepat saat pertama kali gadis itu masuk ke pasukan pengintai, dan bertemu dengan seorang Levi, si prajurit terkuat umat manusia yang sedang hangat diperbincangkan.

Petra menghembuskan napasnya hingga terlihat uapnya di udara yang dingin.

-flashback-

Petra masih sangat naif akan menghabisi semua raksasa yang ada. Pemikirannya masih sangat sederana bahwa ia bisa menaklukan mereka dengan mudah. Namun hasilnya, tepat saat ekspedisi pertamanya ke luar dinding, gadis itu hampir saja menjadi santapan raksasa gila jika saja tidak diselamatkan oleh Levi.

"Bagaimana? Kau masih mau berada di pasukan ini?" tanya Levi setelah menyadari Petra menangis ketakutan disana.

Petra tak menjawab pertanyaan itu, tatapannya masih tertuju pada Levi yang bertengger di dahan pohon setelah berhasil menebas raksasa tadi. Ia yakin bahwa tampangnya kali ini tampaklah bodoh di depan prajurit terkuat umat manusia.

Tanpa disangka Levi turun dari pohon dan berjalan mendekatinya yang tengah duduk lemas di rerumputan yang sudah tercemari darah.

Tatapan mata Levi memang tajam tak terkira. Istilah bisa membunuh dengan tatapan mungkin benar adanya. Namun Petra juga menemukan sebuah rasa kesepian disana, yang juga ia alami sendiri di dunia kejam ini.

Levi berjongkok di depan Petra, wajahnya tampak datar seperti biasa.

"Di dunia kejam ini, kau bisa menunggu kebahagiaanmu. Lihat." Levi mengarahkan pandangannya pada sekelompok bunga matahari yang baru bermekaran, menampakkan keindahan di lautan darah.

"Bunga matahari akan tetap mekar tak mengenal musim dan tempat."

Tangis Petra berhenti, ia ikut memerhatikan bunga matahari yang terletak tak jauh dari mereka itu.

Levi bangkit berdiri, kembali terlihat siap dengan peralatan manuvernya.

"Ya, kurasa aku bukanlah orang yang pantas memberi motivasi pada seseorang. Tapi sebagai seorang prajurit yang memegang harapan banyak orang, kau harus lebih kuat dari siapapun. Jangan mudah mati."

Pria itu berlalu melangkah dan kembali beraksi mencari mangsa, layaknya seorang pemburu.

Petra akui bahwa perkataan Levi tadi cukup menggugahkan hatinya. Setidaknya tekadnya untuk tetap bertarung tidak memudar dengan mudah. Mungkin lain kali ia harus memberikan rasa terimakasih pada pria itu, ya meski akan terbilang lancang baginya yang masih prajurit baru.

2 bulan berlalu, dan pergantian komandan pasukan pengintai membuat adanya squad khusus yang diketuai oleh Levi. Anggota-anggotanya adalah pilihan dari yang terbaik. Terpilihlah Erd Gin, Gunter Sultz, Auro Bosart dan Petra Ral. Petra? Ya, gadis itu semakin giat berlatih sehingga sekarang kemampuannya membasmi raksasa diakui oleh komandan sekalipun.

Pertemuan pertama squad khusus ini mungkin tidak terlalu berkesan. Karena yang penting adalah bagaimana mereka bekerja tim nantinya. Petra sangatlah berterimakasih kepada Levi tentunya.

Dan setelah pertemuan pertama squad khusus, Petra langsung menahan langkah Levi yang hendak kembali ke ruangannya. Dengan berbekal beberapa tangkai bunga matahari yang ia petik di halaman kastil, gadis itu memberanikan diri menghadap kopralnya.

"Ada apa, Petra?"

"Ano.. aku ingin berterimakasih untuk segalanya, heichou."

Levi menaikan satu alisnya, merasa heran.

"Apa yang sudah aku perbuat?"

"Anda mungkin tidak menyadarnya, tapi sosok anda benar-benar berpengaruh dalam eksistensi saya di pasukan pengintai ini. Karena itu, terimakasih banyak, heichou."

"Hm.. baiklah, tak usah dipikirkan."

"Dan ini.. untuk anda." Ucap gadis caramel sembari menyodorkan bunga matahari di tangannya.

"Ah, aku tidak tahu bagaimana merawat bunga. Jika kau saja yang merawatnya bagaimana?"

"Baik, heichou." Senyuman tulus terukir begitu saja di wajah manis Petra. Setidaknya beginilah caranya berterimakasih pada Levi.

Tanpa disadari Petra sudah menggenggam tangan dingin Levi. Matanya yang terkesan melamun semakin resah dengan dinginnya tangan yang ia genggam. Wajah yang tertidur itu pun terlihat begitu pucat baginya. Setelah memeriksa nadi di pergelangan tangan Levi, aliran darah pria itu memang lemah. Tak heran jika wajahnya begitu pucat saat ini.

Ada perasaan takut didalam diri Petra. Perasaan takut itu berselimut juga kebingungan yang menghantuinya sejak malam itu –malam dimana Levi menciumnya dengan khidmat.

Petra akui bahwa ia merasa kagum pada sosok Levi, dalam segi apapun ia mengaguminya. Dan saat kejadian itu terjadi, Petra memilih untuk menghindar dari Levi. Ia tidak siap dengan apapun yang akan dijelaskan oleh Levi tentang kejadian malam itu. Ia takut jika Levi hanya sedang mabuk saat itu, takut bahwa Levi hanya mempermainkannya saja. Itulah kenapa Petra menghindar dan benar-benar menjaga jarak dengan pria yang ia kagumi itu.

Tapi sekarang ia merasakan rasa takut yang berbeda. Takut akan kehilangan kaptennya saat ini. Jantungnya begitu lemah. Darah yang keluar tadi begitu banyak. Manusia biasa akan mudah mati dalam kondisi seperti ini. Petra sangat berharap agar keajaiban muncul saat ini. Ia belum siap kehilangan orang membanggakan ini.

Setetes air jatuh dari matanya.

Pertanyaan muncul untuk dirinya sendiri. Pria ini, baginya itu apa? Seberapa penting dia?

Petra benar-benar tidak mengerti akan hal itu. Sejak hari ciuman itu, jantungnya tak bisa berdetak dengan normal. Pompaan darah itu seakan membabi buta dalam dirinya setiap kali mendapati sosok Levi berada dalam jangkauan pandangannya.

Ia menghindar, untuk hal sederhana. Ia mempertahankan. Untuk hal sederhana pula.

Tapi entah, saat membayangkan tangan yang genggam ini benar-benar akan hilang, terasa sebuah perasaan yang disayat dalam. Sakit sekali.

Membayangkan itu membuat Petra semakin menggenggam erat tangan yang tersuguh. Ia terisak dalam diam.

Semakin digenggam semakin terasa pergerakan tangan dingin itu –meski pergerakannya sangat lemah.

Petra membelalak, menantikan apa yang terjadi selanjutnya. Dan ternyata kedua manik kelam di depannya perlahan membuka.

"Heichou!"

Levi masih tak sanggup untuk merespon apapun. Yang ia lakukan setelah mencoba memfokuskan pandangannya adalah memastikan siapa yang berseru tadi. Dengan segenap kekuatan barulah ia mencoba untuk berbicara.

"Ternyata aku harus terluka dulu baru kau mau berhadapan lagi denganku.. Petra.."

"Bukan seperti itu.."

Kesadaran Levi yang sudah terkumpul membuatnya ingat akan satu misi pribadinya.

"Aku tidak pernah melakukan ini pada siapapun di dunia ini, tapi aku akan melakukannya padamu sekarang."

"Heichou, sebaiknya kau jangan terlalu banyak berbicara dulu.."

"Aku minta maaf, Petra."

Satu kalimat itu berhasil membuat Petra terdiam. Air matanya yang sudah mengering perlahan sepertinya akan terbasahi lagi tak lama lagi.

"Untuk memaksamu malam itu." Lanjut Levi.

Keduanya terdiam.

Berselang beberapa menit barulah Petra mengeluarkan suaranya lagi, dengan sedikit isakan.

"Heichou.. kau begitu egois, serakah, berkata-kata pedas, tak berperasaan, memikirkan orang lain terlebih dulu, pantang menyerah, mengorbankan diri sendiri.. hks..tak dapat dimengerti.. aku.. tidak mengerti.. apa maksudmu padaku.."

"Aku mencintaimu, Petra."

Dan mata karamel tu kembali membelalak.

"Aku ingin kau jadi milikku, sampai kapanpun."

Tangan Levi yang tadinya terkulai lemas dalam genggaman Petra kini menggenggam balik tangan Petra, begitu erat.

"Kau tidak tahu bagaimana paniknya aku melihatmu terluka parah seperti ini.. kau tidak tahu bagaimana.. aku menahan perasaan agar rasa kagumku padamu tidak berubah menjadi semakin dalam.. dan sekarang.."

"Ajarkan aku merawat bunga matahari, agar kita bisa merawatnya bersama nanti."

Levi tahu kalimatnya barusan benar-benar konyol, tapi terserahlah. Ia lelah.

"Lepaskan genggamanku jika kau menolak perasaanku, dan lakukan sebaliknya jika kau terima."

Petra masih bisa mendengar dengan baik. Dan ia juga masih bisa berpikir dengan baik. Cinta? Kagum? Obsesi? Entahlah. Yang dilakukan Petra nyatanya tidak melepaskan genggaman itu. Sampai ia bisa melihat sedikit senyuman di wajah datar Levi. Pria itu menatapnya sesaat sebelum kembali berucap.

"Baguslah.. dengan begini aku bisa beristirahat dengan tenang setelah ini.."

Dan kedua mata Levi benar-benar terpejam setelahnya. Wajahnya tampak tenang meski rona pucat masih mendominasinya.

"Heichou!"

Seminggu berlalu sejak hari ekspedisi itu.

Kini Levi sudah bisa berjalan tanpa tongkat karena kakinya yang terkilir sudah membaik. Jantungnya yang agak bermasalah sudah sedikit tertangani oleh bantuan obat dari dokter. Yang tersisa hanyalah bekas luka di peutnya yang belum kering maksimal.

Hubungannya dengan Petra membaik dengan sendirinya. Kopi hitam kembali tersaji tanpa diminta di meja kerjanya. Bahkan sekarang mendapat pijatan sukarela juga di malam hari dari gadis itu.

Sejauh ini, Petra memang menerima perasaan Levi. Namun sampai sekarang gadis itu masih menimbang-nimbang apakah ia juga memiliki perasaan yang sama atau rasa itu masihlah hanya sebatas kagum saja.

Dibalik semua itu, Petra akan dengan senang hati memberikan senyuman di pagi hari pada kopralnya. Akan dengan senang hati pula mengganti bunga matahari yang disimpan di ruang kerja Levi setiap bunganya layu. Dengan senang hati menerima sentuhan-sentuhan ringan yang Levi berikan padanya.

Seperti pagi ini, Levi mengajak paksa Petra ikut bersamanya ke halaman belakang markas. Tangan lembut yang Levi genggam terasa enggan untuk dilepaskan kembali saat mereka berdua sampai. Namun nyatanya keduanya malah terkaget dengan pemandangan menakjubkan yang tersuguh di halaman belakang itu. Salju suci bertebaran disegala penjuru, memberi hiasan putih pada semua bunga matahari yang masih bertahan disana.

"Kirei na.." Petra berguman.

Dan dalam hati Levi berguman juga sendiri 'kau lebih cantik, bodoh.'

"Bagaimana harimu, Petra?"

Levi memulai pembicaraan.

Dengan anggun gadis itu menoleh ringan ke arah Levi, tersenyum lembut. Yah.. pria mana yang akan menolak gadis seperti Petra.

"Cukup menyenangkan."

Mendengar jawaban singkat itu sebenarnya Levi sedikit kecewa. Ia ingin sekali mencubit kedua pipi merona karena kedinginan itu.

"Boleh aku menyentuhmu?"

Awalnya Petra bingung, namun akhirnya ia mengangguk untuk mengiyakan.

Dengan lembut tangan Levi menyentuh pipi Petra yang terasa sangat nyaman disentuh. Dengan hati-hati ia menelusuri wajah itu. Wajah sang gadis merona akibatnya. Tatapan serius Levi yang terlihat sayu membuat Petra ingin mengutarakan sesuatu yang mendalam, lebih tepatnya ingin membuktikan sesuatu.

"Kau sangat cantik, kau tahu?"

Perta terdiam, menunggu kelanjutan perkataan Levi.

"Aku sangat menginginkanmu.. seharusnya kau bertanggung jawab karena semua pikiranku sudah diambil alih olehmu."

"Bukankah.. aku sudah menjadi kekasihmu, heichou?"

"Aku rasa aku belum mendapatkan hatimu, kau masih menimbang-nimbang apa yang kau rasakan terhadapku. Apa kau.. juga mencintaiku, Petra?"

Petra menunduk, seraya terlepasnya sentuhan nyaman dari Levi. Wajah Petra terlihat berpikir. Perasaannya yang setengah-setengah ternyata terlihat jelas di mata Levi.

Tiba-tiba Levi memeluk Petra dengan erat. Wajahnya terbenam di bahu gadis itu, menyesap aroma kesukaannya.

"Jika kau terpaksa bersamaku, jika kau merasa hubungan ini hanyalah perintah dari kaptenmu, lebih baik kita sudahi ini."

Petra merasa perasaannya ditusuk saat mendengar perkataan Levi. Ada rasa tidak terima disana. Tapi ia tidak bia membela apapun saat ini, karena apa yang nampak dan apa yang disimpan oleh Petra menunjukkan hal yang sebaliknya. Ini memang membingungkan. Baiklah, saatnya Petra pergi dari zona aman.

Perlahan Petra melepaskan pelukan mereka. Dengan wajah yang tidak bisa didefinisikan, ia mulai angkat berbicara.

"Ya.. aku memang masih dalam kebingunganku.. dan aku ingin mengakhiri masa bingungku ini. Aku ingin membuktikan sesuatu padamu, heichou.. jadi, temui aku di kamarku malam ini."

Tanpa mengubah ekspresinya, Petra berlalu pergi meninggalkan Levi. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri 'Kenapa tidak katakan saja langsung.. kalau kau juga mencintainya dan tidak tahu harus berbuat apa.. ah Petra bodoh..'

Levi baru saja dipersilahkan masuk oleh Petra. Dan terdengar pula suara pintu yang terkunci oleh Petra. Lihat, bagaimana menggodanya si kopral muda itu. Ia mengenakan celana hitam dan kemeja putih. Petra memang sudah pernah melihat pakaian yang dikenakan Levi tapi entahlah, malam ini pria itu berkali lipat lebih tampan dari sebelumnya.

"Jadi apa yang ingin kau buktikan, Petra?"

Sekali hentakan langkah, Petra langsung mendekatkan bibirnya dengan bibir Levi. Sebuah serangan ciuman yang tiba-tiba. Tentu saja Levi terkaget dengan tindakan Petra kali ini. Namun ia tetap dalam mode siaga karena siapa yang tahu jika saja ciuman ini adalah isyarat buruk dari Petra.

Petra menarik napas sebentar dan kembali mencium kopralnya dnegan khidmat. Ia menutup matanya dan terus menekan bibir lawannya. Entah kekuatan dari mana yang membuat gadis karamel itu memiliki keberanian sebesar itu untuk mendorong Levi ke atas ranjang.

Levi benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini. Ia akhirnya membalikkan keadaan dan membuat Petra yang berada di bawahnya sekarang. Ia juga menyudahi ciuman itu untuk meminta kejelasan.

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu.. aku tidak mengerti.. aku belum pernah mengalami ini.. heichou.. bantu aku.."

Baiklah, naluri Levi sebagai seorang pria sedang diuji saat ini. Mungkin hanya Levi yang mampu menahan diri melihat gadis manis dengan dress putih dibawah kendalinya.

"Aku.. juga ingin memilikimu heichou, aku ingin bersama denganmu, dilindungi olehmu, berbagi banyak hal denganmu, mencintaimu.."

"Lalu apa yang kau bingungkan?"

"Apa aku pantas denganmu? Apa kau tidak salah memilihku? Apa kau.. benar-benar tidak salah orang? Aku hanyalah prajurit dengan kemampuan biasa, aku tidak bisa disandingkan denganmu, aku-"

Perkataan Petra ditahan oleh ciuman Levi. Meski singkat , tapi itu cukup untuk membuat Petra terdiam.

"Kau masih saja memikirkan itu disaat aku sudah sangat terus terang padamu? Lihat mataku Petra. Apa aku sedang bercanda? Apa aku terlihat hanya bermain-main denganmu?"

Petra benar-benar berdebar-debar saat ini. Memandang dalamnya mata kelabu itu seolah dihipnotis. Apa ia termasuk orang yang beruntung telah terlahir di waktu yang sama dengan Levi ada? Ia mulai merasa bahwa pilihannya masuk pasukan pengintai bukanlah sebuah bunuh diri. Ia menemukan Levi didalamnya, orang yang mengajari banyak hal. Mengajari bagaimana cara mempersembahkan diri sebagai seorang prajurit, mengajari bagaimana bertahan di dunia kejam ini, mengajari bagaimana mencintai seseorang.

"Aku juga.. mencintaimu.. heichou.. sangat mencintaimu.." bulir air mata berjatuhan dari manik karamel.

Dengan tenang kini Levi tersenyum hangat.

"Kau tahu. Kau membuatku takut dengan kebingunganmu itu."

"Maafkan aku.."

Keduanya tersenyum, kemudian tertawa ringan bersama. Perasaan kalut yang tadinya tertampung pada diri Petra perlahan sirna. Layaknya bunga matahari yang hampir tertutup salju dari langit.

"Aku suka warna rambutmu yang menyerupai kelopak bunga matahari, membuat siapa saja tersenyum berkat kehangatannya." Levi menyesap aroma rambut itu, masih dalam posisi Levi diatas Petra.

"Aku suka manik hangatmu yang menenangkan." Objek yang dibicarakan langsung ia kecup singkat.

"Aku suka aroma tubuhmu yang nyaman." Ia sesap aroma dari leher mulus Petra.

Terakhir ia tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memandang manik kesukaannya dan meminta pendapat. Setelah mendapat anggukan dari Petra, Levi langsung melanjutkan aksinya. Ia menciumi setiap jengkal tubuh Petra yang halus. Dengan hati-hati pula ia melapaskan benang-benag yang menghalangi jalannya. Alhasil dress itu berhasil ditanggalkan tanpa suara, bersisa tubuh polos yang tersuguh dibawahnya.

"Kau tahu, aku jadi ingin menikahimu besok."

Mendengar itu Petra langsung terlihat kikuk, ia tak tahu harus merespon apa. Ditambah, ia kedinginan tanpa pakaian sekarang. Menyadari itu Levi langsung memeluk hangat gadisnya. Dan tangan yang tadinya sibuk menghangatkan diri itu perlahan membalas pelukan nyamannya.

Tangan Levi bermain di setiap bagian yang ia inginkan. Sesekali Petra mengerang dan mendesah pelan. Matanya yang terpejam membuatnya tidak tahu sejak kapan Levi tidak memakai kemejanya lagi –menunjukkan bekas luka yang pernah ia jahit itu.

Pelukan hangat, ciuman panas, udara dingin, bunga matahari, bulan desember. Banyak hal yang terjadi yang disaksikan oleh si bunga matahari yang tumbuh di setiap musim. Si bunga pemberani yang bersinar. Si bunga lambang kebahagiaan. Kebahagiaan di udara dingin sekalipun. Ia juga menjadi saksi bersatunya 2 insan pembela kemanusiaan. Merajut cerita baru di udara dingin yang menusuk. Dan sebentar lagi ulangtahun Levi, mungkin akan terjadi hal spesial lain yang disaksikan bunga matahari. Ya, siapa yang tahu.

"Menikah saat ulangtahunku sepertinya tidak buruk, bagaimana?"

"Kau gila heichou."

"Ya aku gila karenamu."

Hari itu, bahkan ketika bunga tidak bermekaran,

Bunga matahari di bulan desember,

Kehangatan dari kata-kata yang sederhana merekatkan satu per satu pergerakan,

Bunga yang disebut kebahagiaan yang mekar tanpa mengenal musim,

Mengumpulkan angin di bulan desember seperti halnya bunga matahari.

-Fin-

Yattaaaaaaaaaa akhirnya selesaii

Yeey

Maapkan jika tidak memuaskan ya...

Maafkan jika tidak nyambung dengan judul dan terasa maksa ceritanya

Hontou ni gomennasai...

Pokoknya, ditunggu fict selanjutnya yaaa

Mumpung author lagi libur, doakan agar bisa produktif

Ja neee

-salam sayang

-Author shigeyuki-