Debu-debu bertebaran. Mata orang yang berlalu lintas menyipit tipis. Penutup hidung dan mulut setia bertengger. Anak-anak dilarang keras keluar rumah. Dikunci rapat-rapat dari ganasnya pemotongan leher. Kasta tinggi bersua jika dunia adalah milik mereka, dalam genggaman mereka. Orang-orang kecil hanya bisa mengangguk diperbudak. Untuk mencicip rasa manis dari ayam madu, rasanya hanya sebuah mimpi ketinggian untuk mereka.
Namun masih ada anak yang nakal.
Kepala-kepala kecil yang bersembunyi dibalik kotak kayu lolos dari mata sangar prajurit dengan senjata dan belati.
"Kesini!"
Anak kecil bersurai cokelat mengangkat tangan kiri dan memberi isyarat agar teman kecil sebayanya yang telah ia berhasil ajak untuk berkomplot mengikuti arah kemana ia pergi.
"Tidak. Aku rasa aku mau pulang saja." Anak berambut biru semakin erat memeluk benda empuk berbentuk kelinci putih yang usang.
"Ooooh ayolah, Tetsuya!"
"Tidak," Bibir merah muda digigit dua deret gigi putih yang mungil. "Belati dalam saku mereka sangat tajam." Suaranya kecil sekali, takut-takut ada prajurit yang mendengar suaranya. Bocah enam tahun itu sadar akan tubuhnya yang gemetaran.
Dua tubuh mungil itu sudah berhasil lolos masuk dalam daerah benteng kerajaan negeri mereka.
Anak berambut cokelat mengambil lembut tangan kanan anak berambut biru. Sangat terasa halus. "Ibumu lapar dan nenekmu sakit. Itu pun karena kelaparan. Mereka harus mendapatkan makanan yang mengenyangkan. Dan apa itu? Ayam madu istana impian!"
"Ogiwara-kun, lebih baik mencuri buah nanas segar dari kebun paman Miyaji. Aku mau pulang."
Ogiwara, bocah sepuluh tahun. Menghela nafas.
"Sedikit lagi!" Mata hitam legam mendongak sedikit dari balik kotak kayu cokelat, memastikan ada atau tidaknya keberadaan prajurit-prajurit.
"Kita harus mencoba, Tetsuya!"
"Ibu sudah kenyang dengan makan kacang merah."
"Ibumu itu berbohong! Ibumu bahkan suka saja tidak."
Kedua mata bulat berkaca-kaca. Kaki mungilnya gemetaran. Mencoba masuk, atau berlari pulang. Tanpa disadari bocah itu jika sudah percuma saja usahanya. Mereka sudah berada dalam area paling berbahaya untuk tamu asing tak diundang.
Satu belaian lembut mengusap surai biru muda, Ogiwara tersenyum lebar dengan senyuman lebar memberi kepercayaan.
"Kita harus mencoba. Kita selamatkan keluargamu dan keluargaku. Mereka membutuhkan kita, membutuhkan makanan. Percaya padaku!"
.
.
.
-One Hundred Years of Solitude-
Kuroko No Basuek beslongs to Tadatoshi Fujimaki
OHYOS belongs to Anagata Takigawa
Akashi Seijuurou | Kuroko Tetsuya | Ogiwara Shigehiro | GoM
WARN : Violence, Slow Romance, Explicit Sexual Content, AU, OOC, Typo(s).
You have been warned!
.
.
Bocah biru berlari cepat dengan sesekali tersandung batu. Sendal kaki kiri sudah tertinggal dan mungkin rusak dalam pekarangan istana. Sedangkan sandal kanan masih terpakai. Kaus longgar yang menyelimuti sudah terkoyak hingga memamerkan bahu putih kecil miliknya. Bunny, boneka kesayangan si kelinci putih, sudah kehilangan kepalanya. Tertinggal dalam salah satu kamar gelap bawah tanah.
Air mata menetes-netes dari dua iris biru langit. Namun sayang tak lagi secerah dulu. Terlihat redup dan hampa. Batin kecilnya hanya meneriakkan ibunya berkali-kali. Bagaimanapun ia harus pulang. Ya. Bertemu nenek, mencium punggung tangannya, dan membantu ibu memasak kacang merah. Kepalanya digelengkan kuat-kuat. Kedua kaki mungil dipaksa tetap berlari, walau ia merasa telapak kakinya sakit dan perih.
Pekarangan istana sudah tertinggal jauh. Yang ada di depan hanya jalan setapak yang tadi sore ia lewati dengan Ogiwara sebelum menyusup masuk ke pekarangan istana lewat lubang sebesar bokong paman Tanaka—paman penjual roti gandum terfavorit di kota kecil mereka. Arah ia berlari terus menelusuri jalan setapak mungil, berharap hari-hari kedepan ia tak akan pernah kembali ke tempat itu.
Sebelum melewati pagar berlapis kawat-kawat tajam –beruntung tubuh mungilnya bisa menghindarinya-,Kepalanya berbalik untuk melihat sosok pemuda kecil pemberani bersurai cokelat.
Kosong. Hanya angin bagai pengantar pesan, 'Selamat tinggal, Tetsuya'.
.
.
Sepanjang cakrawala cantik memenangkan kontes keindahan melawan bukit hijau di arah timur laut. Di tengah rimbunnya pepohonan, Kuroko Tetuya memasang ekspresi datar seperti biasa. Suasana hutan sangat nyaman, seolah membawanya ke alam lain.
"KUROKO!"
Aida Riko berkacak pinggang. Tangan kirinya menggengam spatula dengan kerak telur yang telah mengering menempel manja pada lengkungan-lengkungannya, "PUUULAAAANG."
"Ya ampun Riko-san." Kuroko membungkuk sopan. "Lihat, celemekmu bisa saja bolong terkena ranting tajam."
"Masa bodoh, huh." Wanita berumur tujuh belas membetulkan poni dalam jepitan manis merah muda, "U-um, Ibuku menyuruhku lagi untuk memasak untukmu. Hanya telur, yeah? Tak masalah?"
Kuroko beranjak dan menepuk-menepuk celana tepat bagian bokong. "Hm, aku bisa saja memasak kacang merah, Riko-san. Tak perlu repot. Lagi pula apa Hyuga-san tidak akan marah jika kau terus-terusan memasak untukku?"
Kedua mata Riko berputar malas, "Kacang merah dan kacang merah. Aku heran, mendiang ibumu saja tak suka kacang merah. Oh, kumohon jangan membawa si mata empat itu."
'Ibumu itu berbohong! Ibumu bahkan suka saja tidak.'
Terngiang suara hero kecil bersurai cokelat.
Dia.
"Oh ayolah." Riko membalikkan badannya dan lebih dulu menuruti jalan setapak keluar hutan.
Setidaknya Tetsuya butuh beberapa waktu lagi untuk kembali melihat sekeliling hutan. Hutan penuh kenangan sewaktu kecil. Dorongan aneh mengatakan bahwa ia harus berjalan menelusuri jalan setapak berukir batu ke arah utara. Jalan menuju dinding tebal tinggi dan kokoh.
Bukan hal asing dengan fakta bahwa orang biasa dari kota Athena tidak boleh berhubungan langsung bahkan masuk tanpa izin ke dalam istana bak negeri dongeng. Tetsuya pernah mencuri-curi dengar dari mantan pelayan yang dibuang bahwa dalam istana merupakan surga dunia. Bahkan mereka sampai ragu jika ada yang namanya surga akhirat. Tinggal di dalam istana dan itu sudah membuatmu melanglang ke langit ketujuh.
Dua kelopak mengerjap beberapa kali, angin tiba-tiba bertiup kencang membuat surai biru menari. Pikirannya melintas jauh ke masa lampau, delapan tahun yang lalu. Dua bocah diam-diam masuk bagai penguntit, untuk mendapatkan daging ayam madu impian.
Bukannya mendapat makanan dari surga, Tetsuya pulang dengan tangan kosong dan compang-camping. Mulutnya bergetar selama perjalanan pulang. Sampai rumah, ia mengadu sosok yang ia anggap kakak telah meninggal dunia. Kedua orang tua Ogiwara terkejut bukan main. Tangis meledak dan esoknya diadakan pemakaman gaib tanpa adanya mayat untuk dikuburkan.
Hanya nisan batu yang didalamnya peti berisi angin.
Pemakamannya penuh duka cita. Kala itu mulut-mulut warga sekitar merapalkan doa untuk rohnya.
Kedua tangan Tetsuya terkatup tepat depan dada. Kedua mata terpejam, lalu mengulang harapan berupa doa untuk bocah cilik penuh berani. Berharap angin mengantarkannya pada sosoknya di surga.
"KUROKOOO! CEPAT PULANG! AYOLAH!"
Air mata menetes jatuh namun cepat dihapus dengan kerah lengan baju, "Ya!"
.
.
"Penerus kerajaan tentunya sangat dibutuhkan. Tidak ada raja yang menghamili diri sendiri, lalu hamil dengan sendirinya, begitu pula melahirkan sendiri pula, nanodayo."
"Alasanmu buruk. Berpikirlah sedikit, Shintarou."
Pemuda hijau menghela nafas lambat. Menurunkan emosi yang bergerumul dalam kepala. Bisa-bisa ia pulang dengan keadaan kepala pusing sebelah. Kedua mata menatap lurus ke arah jendela yang terbuka, tepat pada cakrawala oranye keungu-unguan. Hari semakin sore. Sejak pagi kerjanya hanya menasihati tuan muda keras kepala.
"Baik." Shintarou mencoba kembali untuk berbicara. Memutar otaknya yang pintar dan mencari-cari alasan tepat tidak seperti yang sebelumnya, "Umurmu dua puluh satu. Tidak terlalu tua juga. Pada usia seperti itu tentu saja raja Masaomi dan ratu Shiori akan cerewet. Dengan alasan cucu untuk meneruskan kerajaan. Cukup lucu juga, padahal kau juga sama sekali belum menjadi raja. Tapi mereka sudah mempersiapkan lagi."
"Ambigu. Itu hanya alasan mereka." Akashi Seijuurou dengan bibir tipis membentuk garis lurus. Anggur merah dalam gelas berlian didiamkan tanpa selera walau masih di genggam tangan kanan.
"Tunggu, aku belum selesai." Shintarou mengalihkan perhatiannya pada sosok yang menjadi tanggung jawabnya, tuan mudanya, "Sebagai penasihat, biarkanlah dulu agar aku cerewet ini-itu. Aku tahu itu, mereka memang hanya sudah tidak sabaran saja mempunyai cucu. Maka Seijuurou, segeralah mencari perempuan, nikahi, dan buatlah-"
"Anak buruk rupa."
"Hn. Apa, Seijuurou?" Midorima mengerutkan alisnya dalam-dalam.
"Semua wanita dalam negeri ini buruk rupa."
Shintarou menepuk dahinya, "Ya ampun temanku."
Akashi bangkit dan menatap sinis Shintarou selama dua detik. Selama itu pula kedua kaki Shintarou terasa lemas. "Tinggalkan aku sendiri, Shintarou."
Shintarou sudah tahu sejak awal bahwa ocehannya dari pagi akan menjadi debu yang tak berguna.
Setelah mengucapkan salam selamat malam dan membungkuk penghormatan pada tuan muda, Pemuda hijau pergi meninggalkan kamar super megah penuh ukiran klasik.
"Lagi-lagi, huh."
.
.
"Lagi-lagi? Ha ha ha ha!"
"Tertawamu jelek dan selalu membuat telingaku sakit."
"Baiklah, Ha. Haha."
Sepulang dari kamar tuan muda pangeran dalam keadaan naas, ditambah dibuahi ejekan dari teman yang sama sekali bukan seperjuangannya. Mungkin ia memiliki posisi yang tinggi sebagai penasihat pangeran sedangkan ayahnya sendiri penasihat raja dan ahli penyembuh dalam lingkungan istana. Memiliki kamar besar yang cukup megah untuk dirinya dalam salah satu pavilliun pilihan. Tapi tetap saja ada pemuda tengik yang masih berani masuk ke dalam kamarnya dan tiduran dengan nyaman di atas kasur dengan sprai keberuntungan dari oha-asa.
Shintarou memelototi sosok tak diundang di atas kasur. Mata hijaunya mengatakan 'Pergi atau kupanggil pengawal pavilliun milikku.'
"Ayolah. Aku kemari hanya ingin tahu apa respon tuan muda yang kesekian ribu kalinya pada sosok malangmu."
"Kembalilah ke pavilliun milikmu." Midorima melepas luaran jas kerajaan khusus miliknya. Dilipat rapih dan disimpan diatas meja kaca hitam penuh batu alam pada kaki-kaki meja sebagai penghias.
Si penyusup bangkit dari posisi tidurnya dan menatap wajah Shintarou penuh keyakinan, "Pasti ia mengatakan bahwa seluruh wanita dalam negeri ini buruk rupa."
"Ya. Benar." Malas membantah, lagi pula Shintarou mengiyakan karena itulah yang diucapkan Seijuurou satu jam yang lalu.
"Benar, kan! Sebelumnya ia pernah mengatakan hal yang sama padaku. Sebagai panglima perang termuda tentu ia masih mau curhat denganku."
Shintarou sudah betul-betul kelelahan dan ingin sekali rasanya terlelap, "Itu bukan curhat, bodoh."
Pemuda berambut cokelat bangkit dan berumur sama dengan pangeran serta penasihat bersurai hijau itu meregangkan badan sebelum sosoknya mengalah dan akan segera kembali pada pavilliunnya yang hanya berjarak tiga puluh kaki.
"Aku mengantuk dan kau juga mengantuk. Baik-baik, aku akan keluar dari kamarmu yang sumpek oleh barang oha-asamu. Lagipula besok aku ada rapat strategi pengawalan istana dengan raja Masaomi. Lalu—"
Shintarou hampir saja menendang bokong si pengganggu, "Cepatlah keluar, Shigehiro!"
.
.
.
TBC
(A/N)
Fik baru dengan plot yang menurut saya sendiri cukup berat. Sebelumnya saya tidak pernah membuat fik dengan tema kerajaan. Mungkin dengan pengalaman yang baru pertama kali tersebut, akan kacau disana-sini. Tapi saya harap tidak akan begitu, karena nantinya akan jadi fik yang fail… uh.
Apa sebelumnya sudah ada yang menyadari bahwa ini adalah akun Anagata yang kedua setelah AnagataOkita? Ini adalah akun kedua milikku. Anagata Takigawa. Membawa-bawa marga husbando yang terkasih /peluk cium Chris Takigawa/
Dalam akun ini mungkin akan banyak fik berating dewasa. Jadi, semua fik dalam akun AnagataOkita adalah akun aman yang tak membawa dosa banyak. Hahahaha. Rating T adalah yang paling tinggi untuk akun tersebut. Dan untuk nama kota tempat Tetsuya tinggal, itu namanya Athena. Nama kota asal Yunani yang punya sejarah besar. Namanya bagus tapi bukan berarti saya membuat setting kota Athena di fanfik ini sama seperti suasana di kota Athena yang aslinya. Bahkan penggambaran istana dalam chapter satu sengaja belum dibuat terlalu detail, ehe.
Oke, salam manis,
Anagata Takigawa.
