Rasanya menyesakkan hingga tidak bisa bernafas. Tubuh terasa kelu, bahkan sulit untuk di gerakkan sedikit saja. Aku tidak tau apa yang harus kulakukan.

Melihat seseorang yang kita cintai tiba - tiba tertembak panah di depan mata kita sendiri. Bukan hanya satu atau dua kali tapi berkali - kali. Rasanya aku hampir gila hanya melihat itu.

Kupaksakan diriku berlari ke arahnya yang sudah hampir tumbang. Aku langsung menopang tubuhnya dengan tanganku dan memegangnya erat sekali.

Ia langsung menatapku dengan pandangan sendu. Tak lama ia langsung tersenyum manis seakan berkata tidak apa - apa.

Aku tidak bisa menahan tangisku. Semuanya langsung melebur hingga lututku lemas. Aku terduduk sambil menahan tubuhnya yang lemas.

Ia tersedak, mulutnya langsung mengeluarkan darah. Perlahan aku mengusap bibirnya. Merasakan darahnya mengenai permukaan kulitku.

Namun, ia kembali tersedak hingga darahnya kembali keluar hingga sangat banyak. Aku menangis sangat keras. Tidak pernah aku menangis sekeras ini kecuali saat ibuku meninggal.

Aku melihat sekeliling, semua orang hanya menatapku pdengan berbagai ekspresi. Mulai dari pandangan sedih, mengasihani, meremehkan bahkan tersenyum.

Tiba - tiba saja tangannya meremas jubahku membuatku sontak menoleh kearahnya. Ia membuka mulutnya perlahan dan berusaha mengucapkan sesuatu untukku.

Walaupun ia tidak bersuara, namun aku tau apa yang berusaha ia katakan. Aku tersenyum di sela tangisku.

"Aku juga mencintaimu." Kataku sambil mengelus pipinya yang sudah ternoda oleh darahnya sendiri.

Aku menatap matanya lekat - lekat, ingin melihat duniaku yang mungkin ini yang menjadi terakhir kalinya. Walaupun dalam kondisi situasi seperti ini, entah mengapa matanya tetap bersinar dan membuat seluruh badanku luruh dan bergetar.

Aku tidak bisa melepaskannya, membiarkan dia pergi begitu saja tanpa berpamitan denganku.

Tidak bertahan lama, matanya yang berkilauan perlahan meredup. Ia menutup matanya dan aku langsung memeluknya erat, mencengkram erat pundaknya.

Aku bisa mendengar nafasnya yang tersengal. Berada di ambang kematian yang menyakitkan dan menyiksakan.

Aku mendekatkan wajahku ke telinganya, ingin mengucapkan sesuatu kepadanya untuk terakhir kalinya.

"Mari bertemu lima ratus tahun lagi dan kita ubah semua mimpi buruk ini."

Setelah aku membisikkan ini, matanya yang terpejam erat itu mengeluarkan air matanya. Aku tau, ia mendengar pesanku yang aku bisikan.

Tubuhnya seketika terbujur kaku. Perlahan wajahnya yang biasanya sangat cerah mengalahkan sinar matahari langsung pucat seketika seperti mendung yang tidak berhenti.

Nafasnya tidak terdengar lagi. Tangannya yang sedari tadi meremas jubahku perlahan terjatuh mengenai permukaan tanah.

Dia telah pergi.

Duniaku sudah tiada.

Itu tandanya dunia ini sudah berhenti.

Aku harus mengejar duniaku lagi.

- A History of Joseon, 1519 -