Title : Twilight
Rated : T
Genre : Romance, School Life, Hurt/Comfort
Cast : Find it by yourself
Warning : YAOI! TYPOS, EYD, PLOT make confused, right?
Disclaimer : CHARA IS NOT MINE!
Summary : kisah pemuda manis bernama Byun Baekhyun dalam usahanya mencari lembayung dalam senjanya yang lain dalam sosok yang lain. Pusat dari tata surya-nya yang akan menjadi poros hidupnya yang terlalu takut dengan perasaan jatuh. Sosok matahari yang akan mengajarkannya tentang jatuh-bangunnya kehidupan.
No Label present
TWILIGHT – SUN GET DOWN
By E . J . A
[1]
Warna lembayung itu menguasai seluruh lautan awan di sore hari kali ini. Matahari masih bersembunyi malu di balik beberapa awan yang bergerombol membentuk kumpulan awan yang besar. Angin sepoi tampak berhembus dengan damai menghantarkan alunan-alunan lagu di penghujung senja.
Sinar matahari yang mengintip dari balik awan tampak menerpa beberapa sudut, menimpa dedaunan yang akan terlihat bagaikan emas. Tenang. Hanya suara beberapa burung yang berkicau dan kumpulan burung-burung yang berterbangan riang diatas langit membentuk sebuah formasi.
Indah.
Keindahan yang hanya bisa didapat ketika senja telah menjemput malam menguasai dunia.
Baekhyun meniti langkahnya tanpa terburu-buru menyusuri jalan setapak dengan berhiaskan pepohonan Birch dan Ginkgo di sepanjang jalan menuju rumahnya. Tinggal di pinggiran yang jauh dari hingar-bingarnya kota Seoul membuatnya bersyukur dengan suasana alami ketika senja ini. Keberuntungan tinggal di daerah wisata terkenal.
Baekhyun menyandarkan tubuh-nya menyelaraskan nafasnya –serta memandangi hamparan padang bunga Red Spider Lily dan juga bunga Cosmos berwarna ungu itu-, menyandar pada batang besar pohon Apel yang tidak berbuah sama sekali, hanya surai emas –hasil tertimpa dari sinar matahari dari balik awan- dari pohon itu yang menjadikannya tampak indah.
Berterima-kasihlah karena ini musim gugur.
Musim gugur yang indah di Pulau Nami.
Suasana menjadi lebih tampak seperti lukisan hidup kala musim ini bertandang di pulau Nami, dengan begitu banyak wisatawan dari dalam maupun manca-negara selalu singgah menyempatkan diri berlibur di tempat yang kata orang tempat romantis untuk yang sudah mempunyai pasangan hidup.
Well, pasangan hidup?
Baekhyun menghela nafas seperti orang yang frustasi.
Mengingat drama 'Winter Sonata' yang sempat syuting ditempat ini, membuatnya seperti seseorang yang terkucilkan dari kehidupan percintaan.
Pemuda mungil ini kemudian turun, melewati turunan yang agak curam lalu duduk agak menjauh dari tempat tumbuhnya pohon Apel itu pada tanah lapang yang memisahkan jalanan setapak untuk para wisatawan lewat dan padang bunga-bunga musim gugur yang ditanam oleh penduduk lokal, merebahkan diri menikmati hembusan angin yang menenangkannya dengan menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan.
Angin mengajak beberapa helai rambut coklat tua Baekhyun menari-nari mengikuti melodi dari angin, dan juga beberapa rerumputan yang tumbuh kecil-kecil itu menggelitik pipi Baekhyun tanpa menimbulkan goresan.
Pemuda itu memejamkan matanya, menarik setiap oksigen yang berlalu-lalang didepannya dengan rakus, seakan-akan oksigen tak akan lagi tersedia. Baekhyun membuka matanya yang berhiaskan eyeliner itu perlahan, sedikit menyipit kala sinar matahari dengan tegas menerpa matanya.
Warna lembayung itu benar nampak begitu indah dimata pemuda berusia delapan belas tahun ini.
"Sendirian?"
Baekhyun mengernyit heran kala indera pendengar-nya menangkap gelombang suara bass yang berada didekatnya. Dia mendongak, untuk mendapati seorang anak laki-laki lain tengah berdiri dengan cengiran bodohnya itu. Anak laki-laki itu menghalangi arah matahari Baekhyun.
"Tentu saja. Kau kira dengan siapa lagi aku berbaring disini? Hantu eum?" Baekhyun menjawab dengan ketus. Senjanya tampak buram gara-gara anak laki-laki dengan tinggi yang melampaui normal itu, jangan salahkan Baekhyun berpikiran seperti itu. Baekhyun hanya kurang tinggi saja.
Anak laki-laki itu diam, lalu mendudukkan –pantatnya, menimpa rumput-rumput kecil diarea itu- disamping Baekhyun.
"Suka melihat matahari terbenam, eum?"
Suara bass itu lagi, tertangkap dengan jelas oleh Baekhyun, partikel-partikel udara menghantarkan tanpa gangguan apapun. Baekhyun mengangkat tubuhnya, ikut- mendudukkan diri "Tidak, hanya warna lembayung saja, eum dan juga senja."
Tidak ada percakapan lagi.
Hanya sesekali angin mengantarkan beberapa daun maple yang rontok karena musim, berwarna merah tua atau kuning kecoklatan.
Masing-masing menyerapi keheningan yang tercipta diantara keduanya. Baekhyun jengah, dia bukanlah orang yang suka keheningan jika ada seseorang didekatnya seperti ini. Baekhyun menoleh, menikmati goresan sempurna yang diciptakan oleh Sang Penguasa Alam Semesta ini, hidung bangir itu mengoda Baekhyun untuk mengecupnya, dan jangan lupakan bibir –yang agak- tebal itu.
Baekhyun memalingkan wajahnya kedepan lagi terkikik dalam hati kala menyadari kekonyolannya, menikmati pemandangan jauh terhempas disana, padang ilalang dan bunga Cosmos ungu yang terhampar luas.
Wajah Baekhyun merah secara perlahan, aroma maskulin yang menyengat membuatnya memerah sendiri, Baekhyun menyadari kekonyolannya lagi kala membayangkan betapa enaknya ketika memeluk sesorang dengan aroma maskulin yang menenangkan seperti itu.
Ah.
Baekhyun menggeleng pelan.
"Kau kenapa?" Baekhyun menoleh ketika anak laki-laki disampingnya mengeluarkan pertanyaan lagi. Baekhyun merasa kelimpungan mendengar suara bass itu, bagaimana jika suara bass itu membisikkan namanya di telinganya dengan –sensual?
Err..
Ah, Baekhyun merasa sangat konyol. Tiba-tiba saja dia kehilangan kontrol akan pikirannya. Baekhyun mengerjapkan kedua matanya, mendapati kedua matanya bersibobrok dengan manik elang itu.
Siapa saja, Baekhyun kini merasa seperti mentega yang meleleh.
"A-ah. Aku merasa gila.." Baekhyun bersuara, tapi suaranya terdengar seperti tercekat di tenggorokannya. Anak laki-laki itu menggeser duduknya, mendekat pada Baekhyun. Bahkan -Baekhyun berani bersumpah- kulit lengan keduanya yang sama-sama terekspos itu sekarang saling menempel, menghantarkan listrik-listrik yang menyengat tanpa melukai Baekhyun.
Baekhyun meremas ujung kemeja putih –seragam tempatnya bersekolah- kala merasa sengatan dari perasaan beribu-ribu kupu-kupu menggelitik daerah perutnya. Baekhyun menyukai sensasi ini, aroma maskulin dari sosok disampingnya makin membuatnya gugup.
"Namamu siapa?"
Baekhyun menoleh, membiarkan rona merah itu masih menjajaki pipinya, Baekhyun tidak peduli "A-aku Byun B-Baekhyun. Kau sendiri?"
"Chanyeol. Park Chanyeol."
[2]
Park Chanyeol.
Satu kalimat yang Baekhyun suka dan sangat hapal diluar kepalanya. Satu kalimat yang membuatnya menjadi seperti orang yang baru saja masuk ke Rumah Sakit Jiwa. Satu kalimat yang membuatnya mengabaikan segalanya.
"Cinta memang membuat orang menjadi gila."
Baekhyun tersenyum lebar, kemudian menyembunyikan wajahnya yang tengah merona hebat dibalik kedua telapak tangannya, mengabaikan setiap pernyataan dari teman-teman terdekatnya.
"Oh Baekhyun-ku sayang. Aku tidak ingin kau menjadi gila seperti ini.." seorang pemuda cantik bersurai blonde itu hanya bisa facepalm, melihat keadaan Baekhyun yang jauh dari kata 'baik-baik saja', nama pemuda itu Xi Luhan dilihat dari nametag yang tersemat di seragamnya.
Baekhyun mengangkat wajahnya ketika menyadari rasa panas di wajahnya telah menghilang, matanya menatap ketiga sahabatnya yang berada disekelilingnya "Kalau aku tahu jatuh cinta seperti ini rasanya, aku mau dari dulu jatuh cinta.." ucapnya seraya menghentak-hentakkan kakinya dengan penuh semangat pada lantai.
Do Kyungsoo, pemuda manis dengan matanya yang seperti burung hantu itu mengangguk singkat, lalu menepuk bahu Baekhyun "Hati-hati, jatuh itu sakit."
Terima kasih untuk Kyungsoo telah menyadarkan Baekhyun pada ketakutannya yang tak berujung itu.
Baekhyun muram, jatuh adalah hal yang paling dibencinya sedari kecil. Dia membenci cinta juga karena takut jatuh, dia tidak pernah mau mencoba bagaimana perasaan ketika jatuh cinta itu.
Baekhyun menganguk pelan, kehilangan euphoria-nya barusan.
Dalam sekejap saja, ketakutannya membuatnya kehilangan gairah.
Sungguh, dia benar-benar takut jatuh lagi.
Dia terlalu takut.
Baekhyun terhenyak, mendapati anak laki-laki yang disukainya sudah datang terlebih dahulu disana. Anak laki-laki itu sibuk menggoreskan kuasnya pada kanvas, mengabaikan kedatangan Baekhyun.
"Kau sudah datang? Jangan berdiri terus. Kau tidak pegal?" Baekhyun salah mengira, pemuda manis itu menyunggingkan senyum terbaiknya ketika Park Chanyeol menengok kebelakang.
Chanyeol memakai kaos berwarna biru muda dengan tulisan acak tak jelas sebagai pemanisnya dan celana jeans berwarna hitam, dan sebuah topi bertengger dikepalanya. Chanyeol tampak tampan ketika sinar matahari itu menimpanya, membuatnya seperti barang yang berharga.
"Duduklah…" Chanyeol dengan tangannya yang panjang menarik tangan Baekhyun, dan mengengam jari-jari lentik pemuda manis itu, membuat rona merah kembali melintang dipipi putih Baekhyun.
"Kau sedang menulis apa, Chanyeol-ssi?" Tanya Baekhyun ketika Chanyeol mulai sibuk dengan lukisannya. Baekhyun memiringkan kepalanya sedikit waktu Chanyeol tidak bersuara.
"Aku melukis pohon.."
Baekhyun melongo "Lho? Chanyeol-ssi kan sedang melukis hamparan bunga Cosmos ungu di depan sana, kan? Kok dibilang melukis pohon sih?" Baekhyun protes, mengerucutkan bibirnya sedemikian rupa.
Chanyeol tergelak, tawanya berderai. Telunjuknya mengusap lelehan air mata yang akan keluar kala tertawa puas seperti itu "Kau ini, sudah tahu tapi tetap saja bertanya.." Chanyeol mendaratkan tangan besarnya dipucuk kepala Baekhyun, dan mengacak-acak surai Baekhyun.
Baekhyun memejamkan kedua matanya, menikmati sentuhan kecil Chanyeol. Kedua matanya terbuka seiring tangan besar Chanyeol menjauh dari pucuk kepalanya, kembali menikmati keseriusan Chanyeol saat menggoreskan kuas-nya tanpa ragu menciptakan karya indah yang benar-benar tampak hidup.
"Apa kau tahu alasanku menyukai saat-saat matahari terbenam seperti ini, Baekhyun-ssi?"
Baekhyun menggeleng pelan, tanda jika dia tidak tahu menahu.
Chanyeol menghela nafas kasar "Karena aku bertemu dengan cinta pertama-ku. Dan sampai saat ini aku masih mencintainya, bodoh sekali karena aku tidak tahu dimana dia sekarang."
Krek!
Kretak!
Anggap saja itu suara hati Baekhyun yang retak. Baekhyun hanya mengigit bibir bawahnya, dalam hati Baekhyun sudah berteriak kesetanan saat Chanyeol sudah bersuara kembali.
"Aku takut mengatakan jika aku mencintainya. Dia benar-benar seseorang yang tidak mudah jatuh cinta. Konyol sekali.."
Sudah. Sudah cukup! Baekhyun menggeser posisi duduknya menghadap padang bunga Cosmos didepannya, menimati hembusan angin. Namun senja ini tampak tak memberi kehidupan banyak untuk Baekhyun. Hanya saja, rentetan kalimat yang diucapkan Chanyeol tadi serasa merebut semua pasokan oksigen disekelilingnya.
Baekhyun merasa sesak.
[3]
Baekhyun membenci senja. Dia membenci warna lembayung yang selalu setia menjemput malam setiap pergantian hari. Baekhyun lebih senang mendapati langit yang berwarna hitam legam dengan atau tanpa pernak-pernik berkelap-kelip seperti glitter itu.
Bukan tanpa alasan dia membenci senja, lembayung, matahari terbenam dan juga.. –Chanyeol.
Anak laki-laki dengan tinggi badan semampai mirip tiang listrik itu membuatnya tak mengenal gravitasi bumi, tapi dengan sekejap saja, Chanyeol mampu menghempaskan Baekhyun pada sakitnya jatuh itu.
Baekhyun hanya tak ingin terlalu jatuh, makanya dia menghindari bertemunya dirinya sendiri dengan Chanyeol. Baekhyun tak mau ambil resiko seperti itu.
'Aku hanya tak ingin terlalu terpuruk nantinya.' Tekadnya.
Tapi tetap saja, seluruh peredaran tata surya pada dunia Baekhyun berpusat pada anak laki-laki dengan cengiran terlebar itu, Chanyeol adalah galaksi bima sakti pada dunia kecil milik Baekhyun.
Anak laki-laki bersurai coklat kayu itu.
Park Chanyeol.
Dia adalah lembayung yang menghiasi senja Baekhyun.
Baekhyun mendengus lemah, bibirnya tak mampu tersenyum. Penyemangatnya entah memudar dimana. Baekhyun lemah sekarang, kehilangan poros bukan hal mudah. Tidak ada yang stabil sekarang. Menjauhi inti kehidupan, bukan solusi terbaik.
Lagi-lagi, Baekhyun takut jatuh terlalu dalam.
Tapi, hal wajar jika kehidupan manusia harus jatuh dan bangun. Baekhyun hanya takut terjatuh dan berpikiran tak akan ada yang menolongnya untuk bangun, dan apakah dia akan bisa bangun sendiri dengan kemampuannya? Entah.
Keraguan masih kuat bercokol pada ulu hatinya.
Baekhyun kehilangan matahari-nya sebagai pusat tata surya-nya, dan itu bukanlah hal baik.
Tapi, Baekhyun hanya perlu merasa egois untuk saat ini. Perasaannya belum terlalu membuatnya harus –dan sangat diharuskan untuk- memiliki anak laki-laki bernama Park Chanyeol itu. Masih dalam tahap pertama, dan Baekhyun yakin akan menemukan matahari, lembayung, dan sosok Park Chanyeol dalam renkarnasi lain.
Pergi dari pulau Nami setelah lulus sekolah, sepertinya adalah ide yang baik, menyeberang ke sisi lain dari Korea Selatan, hidup mandiri di Seoul untuk melanjutkan pendidikan.
Baekhyun berharap pilihannya tak salah lagi.
tbc
