A Coin © ddideubeogeo17

.

.

Kim Mingyu, Jeon Wonwoo, other cast(s)

.

.

Cast(s) © Tuhan YME

.

.

Romance

.

.

Yaoi. BxB. Typo(s). AU!.

DLDR

.

.

Hana

Dul

Set

Enjoy it~

.

.

.

"Hiks… hiks…"

Terdengar suara isakan anak kecil yang begitu menyayat hati, membuat seorang lelaki berparas manis itu tergerak untuk menghampiri sumber suara.

Dan benar saja dugaannya, terlihat seorang anak laki-laki tengah berjongkok sambil menenggelamkan wajah di lututnya.

Lelaki itu berjalan mendekat dengan perlahan dan ikut berjongkok di depannya,"Hei, apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada penuh kelembutan.

Anak tersebut masih sibuk dengan tangisnya dan mengabaikan pertanyaan yang ditujukan untuknya. Lelaki yang lebih dewasa pun tetap bersabar, ia mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala anak itu dengan perlahan.

"Ssstt tidak apa-apa jika tidak ingin bercerita. Kau akan baik-baik saja."

Timbul pergerakan dari anak kecil itu, ia mulai mendongakkan wajah dan mengusap pipinya."K–kau, kau siapa?" lirihnya dengan suara serak.

"Aku Jeon Wonwoo." Jawab Wonwoo sambil mengulurkan tangan kanannya, namun hingga detik kelima belas, belum ada tanda-tanda pergerakan dari anak kecil di depannya.

Anak itu justru masih menatap kosong sebelum mulai mengangguk,"Aku Daehan, Wonwoo ahjussi." Ujarnya dengan tangan yang ikut mengarah ke depan namun justru mengenai wajah Wonwoo.

Wonwoo tersentak, ia menyadari sesuatu. Dengan ragu-ragu Wonwoo melambaikan tangannya tepat di depan wajah anak itu, dan tepat seperti perkiraannya.

'Ah, dia penyandang tunanetra.' Batinnya menyimpulkan.

Wonwoo meraih tangan kanan anak yang mengaku bernama Daehan itu dan menjabatnya,"Annyeong Daehan-ah, panggil saja aku 'Wonwoo hyung'. Aku belum setua itu untuk dipanggil ahjussi tahu." ucap Wonwoo diakhiri dengan kekehan kecil, menimbulkan senyum di wajah tampan Daehan.

"A–ah iya, maaf Wonwoo hyung."

"Tidak apa, santai saja. Hei bagaimana jika kita duduk di bangku saja? Posisi seperti ini tidak begitu nyaman, kan?"

Daehan mengangguk, ia berdiri dan mematung."Hyung, Da–daehan sebenarnya tidak bisa meli–"

Belum selesai dengan perkataannya, namun Daehan merasa ada tangan hangat yang melingkupi tangan mungilnya dan menarik dengan penuh kelembutan."Ssstt tidak apa-apa, ayo Daehan-ah."

Saat keduanya sudah duduk, Wonwoo langsung menanyakan hal yang mengganjal di pikirannya sedari tadi."Jadi Daehan-ah, apa yang anak kecil sepertimu lakukan di taman pada malam hari begini, hm?"

"Daehan bukan anak kecil lagi hyung. Daehan sudah tujuh tahun, dan beberapa bulan lagi Daehan akan menginjak usia delapan tahun."

Wonwoo terkekeh lalu mengusak surai Daehan dengan gemas,"Iya terserah. Jadi, sekarang jawab pertanyaan hyung."

"Sebenarnya, tadi Daehan sedang menemani halmeoni yang ingin belanja beberapa barang di supermarket terdekat, tapi karena ada yang tertinggal jadi halmeoni kembali lagi."

"Lalu, kenapa Daehan menangis?"

"Hummm seharusnya Daehan menunggu, tapi karena Daehan mendengar suara anak-anak yang bermain tidak jauh dari posisi berdiri Daehan, jadi Daehan berpikir untuk menghampiri mereka. Tapi, Daehan tersesat dan benar-benar tidak tahu harus kemana."

"Aigoo~ tapi Daehan baik-baik saja kan selama hyung belum datang tadi? Apa ada yang mengganggu Daehan?"

Daehan menggeleng, tangannya meraba-raba seolah mencari sesuatu. Saat sudah mendapatkan apa yang dicari, ia langsung meraihnya dan menggenggam erat. "Wonwoo hyung, terima kasih. Daehan memang tidak bisa melihat sosok hyung, tapi Daehan yakin hyung adalah orang keren yang baik hati." Ujar Daehan dengan tangan yang masih menangkup erat sepasang tangan Wonwoo.

Ucapan polos anak kecil itu membuat dada Wonwoo bergemuruh, ia bisa merasakan perasaan tulus yang Daehan sampaikan."Benarkah? Ahaha terima kasih juga sudah memuji hyung. Aduh, bagaimana ini? Hyung rasanya terbang melayang sampai ke angkasa."

Daehan terkekeh,"Hyung~ Daehan bicara sungguh-sungguh tahu."

"Hu'um, hyung percaya kok."

Diam-diam Wonwoo tersenyum begitu tulus, ia merasa sangat senang sudah bisa membuat Daehan tersenyum. Tanpa sadar tangannya terulur dan mengusap kepala Daehan dengan penuh kasih sayang.

"Oh iya!"

"Hm?"

"Hyung habis dari mana?"

"Oh, hyung habis pulang bekerja."

"Woah, apa hyung tidak ingin segera pulang? Daehan bisa menunggu halmeoni di sini, atau jika tidak, Daehan minta tolong agar hyung mengantar Daehan ke kantor polisi terdekat untuk me–"

"Tidak, pokoknya hyung akan tetap menemanimu sampai kau dijemput. Lagipula hyung juga tinggal di apartemen dekat sini."

"Oh, begitu. Omong-omong Daehan penasaran dengan wajah hyung, sebab Daehan tidak bisa melihat wajah hyung seperti apa."

". . ."

"A –ah maaf jika tidak sopan, Daehan hanya–"

Ucapan Daehan terputus, tangannya dituntun oleh Wonwoo untuk menyentuh wajah lelaki bermarga Jeon itu. Dengan tangan mungilnya, Daehan menyusuri wajah bertekstur halus dan lembut itu,"Wah Wonwoo hyung! Kulit hyung halus sekali, dan hyung tahu apa?"

"Apa?"

"Dari mata hati Daehan, Daehan bisa melihat dan merasakan jika hyung bukan hanya cantik hatinya saja, tetapi hyung juga memiliki paras yang cantik. Cocok untuk appa Daehan!" ungkap Daehan dengan semangat.

"Huh?"

.

.

.

.

.

"Wonwoo-ya!"

Wonwoo tersentak dari lamunannya mengenai anak kecil yang ia temui di taman beberapa waktu lalu. Namun saat fokusnya sudah kembali, ia melihat sahabat mungil yang seprofesi dengannya tengah duduk tepat di depannya –hanya terhalang meja kerja, dengan alis bertaut Wonwoo menjawab,"Ada apa sih?"

"Kau tidak mendengarkan ku ya?"

Inginnya Wonwoo mengangguk, namun karena ia tahu bagaimana perangai sahabatnya jika sudah merajuk, akhirnya Wonwoo hanya berdehem."Apa, Ji?"

Lelaki berperawakan mungil itu berdecak sebelum menjawab,"Apa ponsel mu tidak aktif? Eomma mu sedari tadi menelepon dan menyuruhmu pulang tahu! Karena kau tidak menjawab ataupun membalasnya, jadi beliau menghubungiku. Dan, ku pikir sebaiknya hari ini kau pulang lebih cepat, Wonwoo-ya."

"Tidak bisa, jadwal jaga ku belum sele–"

"Aku, aku yang akan menggantikanmu. Sudah sana pulang."

"Ish, tidak mau~ Kau sendiri jelas tahu apa yang akan eomma ku lakukan, kan?"

"Ck, dengarkan aku. Tiap orangtua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, dan coba saja turuti dulu perintah orangtuamu. Siapa tahu kan memang dia jodohmu."

"Tapi aku belum siap, Ji."

"Kurang siap apa lagi? Kau sudah berusia dua puluh lima tahun, kau sudah mapan, kau–"

"Iya siap, itu jika aku dijodohkan dengan seorang gadis. Sedangkan kau tahu? Eomma menjodohkan ku dengan laki-laki, Ji."

"Lalu?"

"Ku pertegas, la-ki-la-ki." Ujar Wonwoo menekankan kata terakhir dengan wajah frustasi.

"Hei, biar ku ingatkan. Jeon Wonwoo, kau bahkan belum pernah berkencan sekalipun seumur hidupmu. Jadi, apa salahnya jika kau mencoba dan menerima perjodohan itu? Aku sangat yakin jika orientasi seksualmu itu cenderung ke sesama lelaki." jawab Jihoon.

"Belum tentu! Aku ini tamp–"

"Ssstt, berisik sekali sih?" ujar Jihoon tak acuh sambil menarik paksa Wonwoo untuk berdiri dan menggiringnya keluar dari ruangan. "Sudah sana pergi, aku tidak ingin diamuk oleh Nyonya Besar Jeon."

BRAK!

Lelaki bermarga Jeon yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak itu mendengus keras saat pintu itu ditutup dari dalam,"YAK!"

"PULANGLAH!"

"ISH!"

.

.

.

Wonwoo tidak bisa mempercayai jika dirinya benar-benar patuh pada Jihoon dan berakhir dengan menuruti ucapannya. Sekarang lelaki bermarga Jeon itu tengah menatap pintu apartemennya dengan miris, ia yakin jika wanita yang sudah membawanya ke dunia ini pasti ada di dalam sana.

Siap menuntutnya dengan hal yang sama.

Dengan berbekal tekad, ia memasukan kata sandi apartemennya dan baru saja kakinya menapak di langkah kelima, sudah terdengar suara,"Anakku sayang, akhirnya pulang juga."

Wonwoo mendongak dan tesenyum paksa,"Iya, eomma." Ujarnya lemah sambil melepas sepatu.

Nyonya Jeon masih menyunggingkan senyum lebar yang sangat diantisipasi oleh Wonwoo, karena lelaki manis itu tahu jika senyum sang ibu memiliki sejuta arti.

"Jadi, ada apa eomma?" tanya Wonwoo berbasa-basi meskipun sebenarnya ia sudah bisa menebak untuk apa sang ibu menghampiri ia di apartemennya.

"Aigoo, apa perlu eomma jelaskan berkali-kali? Wonwoo sayang, eomma dan appa semakin hari akan semakin tua. Kau tentu tahu betapa para orangtua seperti kami ingin sekali menimang cucu, iya kan?" Ucap Nyonya Jeon dengan memasang wajah sendunya.

Wonwoo berdecak lirih karena ini bukanlah hal yang pertama kalinya terjadi."Tapi eomma, aku–"

"Lagipula kau pun juga sudah menginjak usia dua puluh lima tahun, usia yang cukup matang untuk membangun rumah tangga, kan?"

"Tapi aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat ini, dan aku juga belum menemukan wanita yang ku cintai."

"Hei, memangnya siapa yang menyuruhmu menikah dengan wanita?"

"Eomma aku ini lelaki tampan, itu berarti aku harus mendapatkan wani–"

"Eomma dan appa sudah bilang kan jika kau akan kami jodohkan dengan salah satu kenalan dekat kami?" tanya Nyonya Jeon memotong perkataan Wonwoo sebelumnya.

Wonwoo mengangguk. 'Alasan apapun sepertinya percuma saja.' Batin Wonwoo pasrah.

"Kami berniat menjodohkanmu dengan laki-laki tampan yang–"

"Mustahil. Aku tidak mau!"

"Ck, dengarkan eomma dulu. Padahal eomma sudah memberitahumu, ini semua salahmu karena kau tidak pernah mau mendengarkan eomma dan appa dengan baik. Kami berniat menjodohkanmu dengan cucu laki-laki kenalan eomma."

"Mustahil kuadrat! Eomma?! Ya Tuhan, yang benar saja. Apa eomma berniat menjadikanku sebagai pedofil?"

CTAK!

"Siapa yang menjodohkanmu dengan anak-anak? Ia sebaya denganmu." Ujar Nyonya Jeon santai setelah menjitak kepala sang anak.

"Tapi, tadi katanya cucu laki-laki kenalan eomma. Berarti kenalan eomma itu pasangan yang sudah lanjut usia, begitu?"

Nyonya Jeon mengangguk santai,"Sebenarnya eomma dan appa bersahabat dengan orangtua lelaki tersebut, namun karena mereka pindah ke luar negeri kami pun sempat hilang kontak."

Nyonya Jeon memberi jeda, matanya terlihat menerawang, "Dan memang sepertinya Tuhan sudah menggariskan takdir untuk kita. Beberapa bulan lalu saat di supermarket, eomma dipertemukan dengan ibu dari sahabat eomma itu. Kau tahu? Ternyata kedua sahabat eomma sudah meninggal karena kecelakan mobil." Lirih Nyonya Jeon.

"Eomma? Tapi maaf, aku tetap tidak mau."

"Yak! Kau bisa mencobanya dulu Wonwoo-ya. Jika memang tidak cocok, kami juga tidak akan memaksa."

Wonwoo terdiam, ia mengusap wajahnya frustasi. Satu hal yang menjadi kelemahannya sejak dulu adalah sosok wanita yang paling dicintainya itu, Wonwoo tidak bisa dan tidak akan pernah bisa melihat gurat kesedihan di wajah wanita yang masih terlihat cantik meski usianya sudah tidak lagi muda.

"Wonwoo-ya?"

"Arghhh! Baiklah, baik. Aku akan menuruti perkataan eomma dan appa. Tapi berjanjilah padaku jika kami memang tidak cocok, jangan paksa perjodohan ini untuk terus berjalan, oke?"

Ekspresi Nyonya Jeon langsung berubah dan berbanding seratus delapan puluh derajat, dengan semangat wanita itu mengangguk dan beranjak guna memeluk putra tunggalnya yang berparas manis itu.

'Eomma, maaf. Tapi aku yakin dia pasti akan langsung menolakku.' Batin Wonwoo sambil membalas pelukan sang ibu.

Otaknya sudah menyusun berbagai rencana yang akan ia eksekusi tepat di hari pertemuannya dengan lelaki yang bahkan wujudnya saja Wonwoo belum pernah lihat.

.

.

.

Dua minggu berlalu sejak kedatangan sang ibu ke apartemennya.

Sesuai janjinya dengan sang ibu jika Wonwoo akan menuruti rencana perjodohan yang dibuat orangtuanya. Namun, jangan kira jika Wonwoo luluh begitu saja dan memasrahkan segalanya. Terbukti dari pakaian yang akan dikenakannya untuk mendatangi acara kencan yang sudah diatur oleh sang ibu.

Meskipun sang ibu sudah mewanti-wanti agar Wonwoo mengenakan pakaian yang sopan, rapih, dan elegan, namun realitanya lelaki manis bermarga Jeon itu justru hanya mengenakan sweater biru muda yang lengannya panjang hingga menutupi separuh telapak tangan, lalu sepasang tungkai jenjangnya dibalut celana ripped jeans, dan penampilan itu dilengkapi dengan converse high kuning cerah.

Wonwoo menatap penampilannya di cermin, ia mengusak asal rambutnya sehingga menimbulkan kesan berantakan –tapi tetap saja wajahnya terlihat menawan.

"Hmm, apa aku sudah seperti berandalan?" monolognya.

Sepasang netra hitam itu menyisir kamarnya, menimang-nimang apa sekiranya yang terlupakan, dan saat menemukan benda yang dicari,"Ah iya! Ini sentuhan terakhir yang paling tepat."

Wonwoo mengambil kacamata bulat dan memakainya, ia bercermin lagi dan tersenyum sombong,"Mari kita lihat, apa kau masih tetap ingin menjadi pasangan seorang berandal dan fashion terrorist sepertiku?"

.

.

.

Wonwoo berdecak lirih saat melihat langsung restoran yang berada di depannya. Ia sengaja berangkat dengan menggunakan bis, dan hanya mengandalkan alamat yang dikirimkan sang ibu.

Entah kenapa, dari restoran tempat bertemunya saja Wonwoo sudah bisa merasakan keangkuhan lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu, ditambah dengan kenyataan saat ada salah satu orang berpakaian formal –yang Wonwoo tebak berusia sebaya dengannya– sudah menunggu dan menuntunnya ke sebuah ruangan khusus, dimana ruangan itu hanya teruntuk mereka yang sangat membutuhkan keprivasian.

"Sudah sampai, Tuan Muda."

"A–ah terima kasih." Ujar Wonwoo sambil mengusap tengkuk canggung.

Bekerja sebagai dokter spesialis anak membuat Wonwoo tidak terbiasa mendapat perlakuan bak seorang petinggi perusahaan.

"Silahkan masuk, Tuan Muda Kim sudah menunggu anda di dalam."

"Iya."

Lelaki berjas hitam tersebut membungkuk singkat dan memilih berdiri agak jauh dari pintu, sementara Wonwoo tengah berdiri dengan degupan jantung yang tidak berhenti bergemuruh kencang.

Ia memejamkan mata sambil mengatur napas, berbisik pada diri sendiri,"Tenang, dan hadapi siapapun di dalam sana. Buktikan pada eomma jika aku dan dia memang tidak cocok. Semangat Jeon Wonwoo." Lirihnya dengan tangan yang mulai terangkat.

Cklek

Wonwoo mematung.

'What the hell?!'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hening.

Sudah memasuki menit ketujuh, namun dua sosok yang berada di dalam salah satu ruangan VVIP di restoran bintang lima itu belum ada yang berniat memulai percakapan.

Wonwoo menelan ludahnya kasar, ia yang awalnya menunduk pada akhirnya mengalah pada keadaan. Dengan perlahan Wonwoo mendongak dan mulai menyunggingkan senyum di wajah manisnya,"Hai." Bisiknya lirih.

"Eung?" dengung sosok di depannya yang memang sejak awal melihat Wonwoo sudah mencuri-curi pandang.

"Hai." Ujar Wonwoo sekali lagi sambil mempertahankan senyum yang tersemat di bibirnya."Namaku Jeon Wonwoo."

Wonwoo bisa melihat jika lelaki di depannya mulai menatap balik,"Kim Mingoo. Namaku Kim Mingoo."

"Hm? Kim Mingoo?"

"Hu'um, sebenarnya nama asliku Kim Mingyu tapi halmeoni lebih sering memanggilku Kim Mingoo."

"Eoh? Kenapa?" tanya Wonwoo dengan nada antusias.

"Kata halmeoni 'Mingoo' terdengar lebih menggemaskan, sepertiku. Eh? Ah tidak! Lupakan saja. Jangan ingat apa yang Mingoo bilang barusan ya? Mingoo malu!"

Wonwoo tertegun, sebelum pada akhirnya ia terkekeh geli,"Aigoo, aku setuju dengan halmeoni, Mingoo memang menggemaskan!"

"Te–terima kasih." Ujar lelaki bermarga Kim sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Wonwoo tersenyum lembut, ia tidak pernah menyangka bahwa sosok selugu Kim Mingyu akan dijodohkan dengannya. Meskipun berusia sebaya dengannya, Wonwoo bahkan sangsi jika Mingyu bisa membedakan mana kaus kaki kanan dan kiri.

Bagaimana tidak?

Kim Mingyu yang ada di benaknya dengan realita yang ada di depan sungguh sangat bertolak belakang.

Mingyu yang di depannya hanyalah anak kecil yang terjebak di dalam tubuh orang dewasa. Dengan kaos merah bergambar spiderman yang dimasukan ke dalam celana, serta suspender hijau motif bintang yang tersambung dengan celana jeans selututnya. Bahkan, lelaki yang Wonwoo yakini bertubuh lebih tinggi darinya itu menggunakan kaos kaki panjang bermotif kartun robocar poli hingga menutupi setengah betis, dilengkapi dengan sepasang sepatu berwarna oranye yang sangat cerah.

Tak dapat dipungkiri, terlepas dari gaya berpakaian Mingyu, di dalam hati kecilnya Wonwoo mengakui jika sebenarnya lelaki itu cukup tampan meskipun memakai kacamata berframe persegi dengan rambut klimis belah tengah.

"Wonwoo-ssi?" panggil Mingyu ragu.

"Eh? Wonwoo hyung saja, arrachi?"

"Tapi kata halmeoni, jika baru berkenalan dengan orang asing Mingoo harus menggunakan bahasa formal."

Wonwoo tersenyum lembut sebelum ia mencondongkan tubuh dan mengusap kepala Mingyu dengan lembut,"Tidak apa, kita bukan orang asing lagi. Karena tadi aku dan Mingoo kan sudah berkenalan."

"Oh? Begitu ya? Kalau begitu Mingoo ingin memanggil dengan 'Wonnie hyung' saja! Hehe"

"Hu'um, boleh. Itu terdengar bagus."

Perlahan senyum terbit di wajah Mingyu, lelaki itu mengangguk berkali-kali dengan begitu semangat, membuahkan kekehan dari lelaki yang lebih tua."Hei hei sudah, jangan keras-keras. Nanti lehermu sakit."

"Eung!"

Wonwoo tersenyum miris, hancur total sudah rencana yang sudah di susunnya. Bagaimana bisa ia melancarkan aksinya pada sosok selugu dan sepolos Mingyu?

Bertahun-tahun mengabdi sebagai dokter yang terbiasa menangani anak-anak, tentu saja jiwanya secara refleks menumpahkan perhatian dan kelembutan pada Mingyu yang memiliki sikap tak ada bedanya dengan seorang anak kecil. Satu hal yang bisa Wonwoo simpulkan sejauh ini, yaitu kemungkinan jika Mingyu adalah seseorang yang mengidap autisme.

'Eomma benar-benar keterlaluan! Yang benar saja, bagaimana mungkin aku dijodohkan dengan anak selugu Mingyu? Akan sangat jahat jika aku mengikatnya dengan status yang bahkan aku yakin jika Mingyu sendiri tidak mengerti apa itu pernikahan.' Batin Wonwoo merutuki rencana sang ibu.

Sepasang anak adam itu larut dalam obrolan dan sesekali Wonwoo akan tergelak melihat segala tingkah polah seorang Kim Mingyu, hingga interaksi hangat itu harus diinterupsi oleh ketukan pintu dan kemunculan lelaki yang menyambut Wonwoo tadi.

Lelaki itu membungkuk singkat,"Makanannya sudah siap, Tuan Muda Kim."

"Yeay! Wonnie hyung makanan kita sudah siap!" ujar Mingyu sambil menggebrak-gebrak meja dengan rusuh hingga menimbulkan kebisingan.

"Tuan Muda Kim, jangan dipukul-pukul mejanya."

"Ish, Seokminnie menyebalkan!"

"Mingoo tidak boleh berkata begitu. Seokmin-ssi kan memberitahu hal yang baik, Wonnie hyung juga yakin jika halmeoni ada di sini, pasti beliau akan menegur Mingoo juga jika Mingoo seperti itu."

"Eoh? Seokminnie, maafkan Mingoo."

Seokmin tersenyum tipis,"Tidak apa-apa, asal Tuan Muda Kim berjanji untuk tidak mengulanginya lagi."

"Siap, Mingoo berjanji." Ucap Mingyu sambil memberi pose hormat.

"Baiklah, pelayan tolong bawa makanannya." Tepat setelah Seokmin berkata begitu, dua orang pelayan masuk membawa berbagai makanan dan minuman.

"Silahan dinikmati, Tuan Muda Kim dan Tuan Muda Jeon."

"Iya, Seokminnie."

"Terima kasih, Seokmin-ssi."

Seokmin beserta dua orang pelayan itu segera keluar dan membiarkan dua anak adam itu makan dengan tenang.

Baru saja Mingyu mau melahap makannya, ia bisa merasakan tangannya ditahan oleh tangan lain yang begitu ramping dan halus.

"Mingoo lupa ya?"

Mingyu memiringkan kepalanya dan itu membuat Wonwoo gemas."Eung? Mingoo lupa apa, Wonnie hyung? Mingoo tidak lupa apapun kok!"

"Mingoo lupa berdo'a."

"Ah iya benar! Untung Wonnie hyung mengingatkan Mingoo, tapi jika halmeoni yang ada di sini, dia pasti menegur Mingoo dengan galak. Uhhh!"

Wonwoo terkekeh,"Tidak apa-apa, teguran dari halmeoni itu berarti tanda kasih sayangnya untuk Mingoo. Jja~ Ayo berdo'a." Wonwoo menautkan kedua tangan lalu memejamkan mata, ia berdo'a dengan begitu khusyu'.

Karena terlalu fokus ditambah Wonwoo menutup mata, hal itu membuatnya tidak menyadari tatapan sosok di depannya yang sedari tadi terlihat lugu nan polos sudah berubah menjadi tatapan lembut penuh memuja, disertai dengan senyuman tipis yang tersemat di bibirnya.

.

.

.

.

.

TBC

*Esvi lagi ngerjain tugas yang harus dikirim via email sebelum tengah malem nanti, eh malah dapet ide begini coba xD mau ditahan-tahan, takut besok2nya malah lupa T.T

**Mau dilanjut ndak? Hwehehe

***Mind to RnR? Gomawo^^