Author's Note: Haaiii semua yang udah nyempetin diri buat mampir di story gue yang nggak jelas ini (halah) thank you banget yaa :) Ini kali ketiga gue nulis fic tentang DC, tapi ini baru pertama kalinya gue nulis dengan bahasa Ibu Pertiwi a.k.a Bahasa Indonesia. Sebenernya sih gue berniat untuk ngebuat multi-chapter dan jadiin ini kumpulan drabble tentang pairing super cute kita CoAi/ShinShi, tapi berhubung sekarang otak saya lagi mandek, jadi yahh… oneshot dulu kali ya :p
Fyi, judul gue ambil dari salah satu lagu Adele 'Chasing Pavements' yang menurut gue kece badai. Kenapa gue ambil lagu itu? Well simpelnya sih karena kata-katanya tuh ngena banget buat CoAi/ShinShi, mereka kan masih berusaha mencari 'pavements' (re: jalan) dalam hidup mereka, dan itulah yang membuat mereka bertemu. Takdir. Serendipity.
Anyways, cukup kali ya omongan gue yang gak jelas ini. Okay, here it goes…
Disclaimer: Sayangnya Detective Conan/Case Closed itu bukan punya gue, tapi itu punya Koko Aoyama Gosho (Koko?). Dan tentang fotonya, well itu editan.
Warning: Tolong dimaklumi kalau agak OOC atau fluffy atau typo atau semuanya. Nggak ada orang yang sempurna di dunia ini, begitu juga saya *sujud*
Hari itu hujan. Lagi.
Entah apa yang terjadi dengan cuaca Jepang akhir-akhir ini, karena sudah seminggu penuh Beika diguyur hujan dan gerimis. Daun-daun pohon Peony yang sudah tua terlepas satu persatu karena tidak kuat menahan rintik air, membuat kuncup bunga Peony yang seharusnya mekar di bulan Mei mengigil kedinginan. Jalan terlihat lengang dan sunyi, begitu pula dengan toko-toko yang sepertinya belum kedatangan pengunjung. Hari yang basah dan lembab untuk beraktivitas ataupun hanya sekedar berjalan-jalan.
Namun sepertinya tidak semua orang berpikir demikian. Seorang wanita muda mengenakan mantel berwarna maroon sedang berjalan menyusuri trotoar, sebelah tangannya memegang sebuah payung hitam dengan erat dan sebelahnya lagi disarukkan kedalam saku mantelnya. Rambutnya yang sewarna pirang stroberi terlihat sedikit basah oleh cipratan air dari tepi payungnya, membuat bibirnya yang merah muda sedikit bergetar kedinginan. Wanita itu menghembuskan napas berat, tangannya yang bebas bergerak untuk merapatkan mantelnya.
Shiho menemukan dirinya berjalan menyusuri Kota Beika, mata aquamarinenya terpaku pada langit yang gerimis dengan tatapan kosong dan menerawang. Senyum samar menghiasi wajahnya yang dingin sementara pikiran liarnya mulai bergerak, mengelana kepada satu titik dalam ingatan masa lalu, satu masa dimana ia juga dulu mengenal kota ini—Sepuluh tahun lalu. Sebenarnya tidak banyak yang berubah dari kota ini, hanya beberapa jalan baru yang Shiho sama sekali tidak mengerti dan puluhan gedung yang sekarang semakin menjamuri kota.
Padat. Metropolis. Sungguh khas Beika.
Langkah kakinya mengayun pelan menuju sebuah gang yang lebih kecil, ia bahkan tidak perlu mengecek apakah jalan itu benar karena ia sudah melewatinya selama berpuluh-puluh kali. Matanya menatap deretan rumah di sebelah kanan dan kirinya, berusaha menemukan satu rumah yang pemiliknya ia rindukan sejak sepuluh tahun lalu.
Ini dia, hatinya berbisik saat ia berdiri di depan sebuah mansion yang terlihat angker. Rumah itu terlihat begitu tua dan tidak terawat, membuatnya bertanya apakah pemiliknya sudah pindah ke tempat lain. Tangannya yang bebas baru terangkat untuk menekan bel ketika ia melihat pintu depan terbuka. Seorang pria muda mengangkat kepalanya ke arah Shiho, dan kemudian tatapan mereka bertemu.
Mereka berdua terlonjak.
"Hai—Shiho?" tanya pria itu terkejut. Shiho merasa tubuhnya dialiri listrik sebesar seribu voltase saat pria itu menyebut namanya. Ia tersenyum simpul.
"Aku kembali, Kudo," Shiho menjawab, "Kau tahu aku datang bahkan sebelum aku menekan bel."
Shinichi tidak merespon dan malah menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak, rona wajahnya dingin dan menyeramkan. Untuk sesaat Shiho berpikir untuk pergi meninggalkan Shinichi kedua kalinya, sampai akhirnya Shinichi membuka mulut.
"Kau—Kita bicarakan ini di dalam," katanya kemudian membukakan pintu, "Ayo masuk."
Shiho mengangguk pelan dan bergerak masuk. Shinichi berjalan di hadapannya dalam diam, ia bahkan tidak menengok untuk menatapnya. Rumah Shinichi bisa dibilang adalah rumah yang paling besar di daerah itu, berhubung ia berasal dari keluarga yang cukup berada dan kedua orang tuanya adalah seorang public figure. Satu set sofa impor berwarna putih gading menghiasi ruang tamunya, lengkap dengan sebuah lemari kaca besar yang meringkuk si salah satu sudut ruangan. Buku-buku yang berkutat dengan detektif seperti Sherlock Holmes, Agatha Christie, buku-buku karangan Sir Arthur Conan Doyle, dan sebagian karya ayahnya tersusun rapi dalam lemari kaca. Shiho menatapnya dengan bosan.
"Jelaskan padaku kenapa kau baru kembali, Shiho," tuntut Shinichi membuyarkan keheningan. Shiho yang sedang memperhatikan koleksi buku Shinichi pun menoleh.
"Aku… aku baru saja mendapatkan Baccalaureate Degree di London dua tahun lalu, dan sekarang aku bekerja di CERN. Kebetulan sekali tahun ini aku bertugas di Jepang, karena itu aku kembali." ia menjawab.
Shinichi mengatupkan rahangnya kuat-kuat. "HANYA ITU?! hanya itu ALASANMU setelah kau pergi selama SEPULUH TAHUN?! Shiho, gara-gara kau minggat Agasa hampir terkena serangan jantung! Ia mengkhawatirkanmu setengah mati tahu! Kami mencarimu kemana-mana!"
Shiho mengerutkan dahi dan menatapnya dingin. "Bukankah sudah kubilang untuk tidak mencariku?"
"Tentu saja aku akan mencarimu! Kau—kau menghilang! Bagaimana kalau organisasi sialan itu menculikmu kembali?! Bagaimana—"
"Kudo—"
"Bagaimana kalau si bajingan Gin itu berhasil menangkapmu, dan—dan—"
"Kudo!" bentaknya, dan Shinichi terdiam. Shiho menatapnya dengan aura yang mematikan. "Aku tidak boleh berada di Beika. Kalau AKU tinggal, kalian akan selalu terancam. Hidup Agasa akan berantakan, karirmu akan hancur, dan pacarmu Ran akan menjadi incaran sisa-sisa anggota BO. Aku ini berbahaya, Kudo." desisnya, suaranya terdengar lebih tajam pada dua baris kalimat terakhir yang diucapkannya.
"Omong kosong," bantah Shinichi, namun ia membuang pandangannya dari wanita itu. Shiho memperhatikan Shinichi dengan seksama dan baru menyadari kalau tubuh Shinichi terlihat jauh lebih kurus, rambutnya yang dulu hitam legam sekarang berwarna kecoklatan dan awut-awutan, matanya merah dan berkantung seolah ia tidak tertidur untuk dua hari lamanya. Shinichi Kudo terlihat seperti orang mampus.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Shiho khawatir. Insting kedokterannya langsung bekerja begitu melihat tubuh Shinichi yang tidak proporsional. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi detektif muda itu.
Shinichi refleks menjauh. "Aku tidak apa-apa."
Shiho menarik kembali tangannya dan mengerutkan dahi. Berpuluh-puluh pertanyaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, seperti, Apa Kudo-kun sudah berubah? Mungkinkah Kudo sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi?
"Kau masih membenciku, Kudo?" tanya Shiho hati-hati. Matanya yang sewarna Laut Circassia itu menatap Shinichi dalam, seolah ingin mereguk kenyataan pahit yang terpampang di hadapannya itu.
Shinichi Kudo tidak menyahut, tatapannya terpaku pada suatu titik misterius di balik sofa gading di hadapannya. Tangannya yang bersandar pada lengan sofa mengeras, buku-buku jarinya memutih akibat tangannya yang mengepal terlalu kuat. Kalau saja ia bukan Shiho Miyano, Shinichi sudah akan mengumpat dan bersumpah serapah di hadapan orang itu. Tetapi itu Shiho—itu Haibara, dan Shinichi tidak akan pernah bisa sekejam itu dengannya.
"Tidak," katanya setelah terdiam cukup lama. Ekspresi Shiho mengendur, entah mengapa pernyataan singkat dari Shinichi itu membuat hatinya tenang.
Namun sial, rasa itu tidak berlangsung lama.
"Tapi kau harus membayar perbuatanmu, Shiho." sambung Shinichi.
Tatapan Shiho berubah menjadi sekeras dan sedingin batu sapphire. "Aku akan membayar semua hutang budiku, Kudo. Kau tidak perlu takut, aku tidak akan kabur kali ini." desisnya.
Shinichi malah tertawa lemah. "Aku tahu. Gila, bagaimana mungkin seorang Sherry kabur hanya karena masalah sepele?" ia mendengus kemudian melanjutkan, "Tapi tidak, bukan itu maksudku. Kau jangan berani untuk meninggalkan Beika lagi, Shiho, atau aku akan sangat murka."
"Sudah kubilang aku tidak bisa, Kudo. Kantorku—"
"Aku tidak peduli dengan pekerjaanmu!" bentak Shinichi, membuat perkataan Shiho terpotong di tengah. Sekarang ia sudah berdiri tepat di hadapan ilmuwan muda itu, mata birunya menatap Shiho dengan liar. Shiho yang tidak biasa melihat perilaku aneh Shinichi itu mengkeret dan spontan bergerak mundur, namun kemudian punggungnya menyentuh dinding dingin. Ia terpojok.
"Aku tidak bisa," desisnya disela-sela gigi yang terkatup rapat. "Lagipula apa urusanmu, mentantei? Bukankah aku sudah memberikan semua yang kau inginkan?"
"Tidak semua," Shinichi menjawab, ia mengambil satu langkah maju dan meletakkan kedua lengannya pada dinding, membuat gadis itu tidak bisa menghindar dari hadapannya. Shiho bersumpah ia dapat merasakan radiasi hangat yang berpendar dari tubuh Shinichi, suara tarikan nafasnya yang pendek-pendek, juga aroma tubuhnya yang unik—bukan bau deodorant ataupun parfum.
"Kudo, apa-apaan kau—lepaskan—" gumam Shiho tak jelas, tangannya gemetaran ketika ia berusaha mendorong Shinichi menjauh. Walaupun Shinichi tidak sebugar biasanya, namun ia cukup cekatan dan berhasil menggagalkan niat Shiho, ia malah membawa tubuhnya lebih dekat.
"Apa kau setidak peka itu, Shiho Miyano?" tanyanya, pandangannya tertumbuk pada mata aquamarine Shiho. Mata azure Shinichi terlihat lebih gelap dan lebih liar, seolah Shiho sedang berhadapan dengan sisi lain dari diri detektif itu.
Ia menjilat bibirnya yang kering. "Apa maksudmu?"
Shinichi mendesah frustasi. "Aku tidak mau kau pergi, Shiho. Apa kau tidak bisa melihat akibatnya padaku?" ia menunjuk dirinya sendiri dan melanjutkan, "Aku tidak tidur hampir setiap malam hanya untuk mencarimu. Lihat aku, aku seperti mayat hidup! Bahkan Agasa saja meringis setiap menatapku. Sampai kapan kau akan menyiksaku seperti ini?"
Selama beberapa detik Shiho terdiam, wajahnya berkerut karena tidak kuasa menahan rasa sedih yang telah mengendap selama sepuluh tahun ini, namun kemudian ia berhasil menutupinya kembali dengan ekspresi bingung. "Aku tidak mengerti, Kudo. Bukankah ini yang kauinginkan?"
"Omong kosong!" jawab Shinichi, suaranya meninggi. "Bagaimana kalau yang kuinginkan itu kau, Shiho?"
Shiho mendengus. "Aku? Hah, memangnya aku ini siapa? Jangan bercanda, Kudo-kun, aku sudah tidak ada urusan denganmu. Sekarang biarkan aku pergi." Ia mendorong tangan Shinichi dan segera mengambil kesempatan untuk kabur, tapi Shinichi lebih cepat. Dengan kecepatan autopilot ia menggapai lengan gadis itu dan menyentaknya, membuatnya berputar sedikit kemudian jatuh dalam kedua lengan Shinichi.
Shiho melotot. "Kudo, kau—"
Perkataan Shiho terpotong karena kemudian Shinichi mengecupnya. Ciumannya penuh hasrat namun hati-hati, seolah ia takut Shiho akan menguap dan hilang dalam detik itu juga. Gadis itu terkejut untuk beberapa saat kemudian menggeram, tangannya yang bebas bergerak memberontak namun Shinichi menggagalkan niatnya. Tubuh Shinichi yang atletis menekan Shiho ke dinding dan membuatnya benar-benar tidak bisa berkutik, tangannya yang bebas bergerak menyentuh pinggang gadis itu.
"Shiho…" gumam Shinichi disela-sela ciumannya. Nafasnya yang hangat menggelitik kulit leher Shiho. Setiap senti dari tubuhnya terasa seperti dialiri listrik dengan voltase tinggi, ujung saraf dalam kulitnya tersengat dan sekarang mulai terbakar. Shiho mendesah dan membiarkan pertahanannya runtuh, memberikan dirinya kedalam pelukan pria tersebut.
Shinichi menyambutnya dengan geraman kecil. Ciumannya yang semula lembut berubah menjadi lebih dalam, lebih intens dan liar. Shiho menaruh kedua tangannya pada rambut hitam Shinichi dan menariknya lebih dekat sampai mereka menjadi satu. Seluruh isi hati Shinichi dan Shiho melebur dalam ciuman itu—segala kenangan, perasaan, dan obsesi yang tidak terucap. Mereka tidak perlu sebuah pengakuan, tidak perlu pernyataan akan cinta yang terkesan picisan dan bertele-tele. Mereka tidak membutuhkan waktu seumur hidup untuk mengenali belahan hati masing-masing, tidak perlu penantian begitu lama yang menyiksa setiap detik dalam hidup mereka.
Karena mereka tahu, di dalam lubuk hati yang terdalam, bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
There you go, fellas! Gimana menurut lo? Agak fluffy ya? Atau OOC? Hiks, gue emang nggak bakat nulis :(
Btw, ini baru oneshot, tapi gue janji (take note!) GUE JANJI bakal bikin multi-chapter yang lebih kece badai membahana, hahahaha… bagi siapapun viewers yang punya ide bisa kasih tau gue lewat PM/review, dan gue janji akan dibaca. Tapi mungkin agak lama, secara saya baru masuk SMA *batuk* dan sekolah gue sibuk banget, jadi sepertinya bakal jarang online *peace*
Oh ya, gue mungkin akan ngebuat beberapa drabble lain yang tentu saja berpairing CoAi/ShinShi dan ber-rated M. Aren't you all excited?! *evil smirk* Okay, tunggu aja ya tanggal mainnya ;)
KETERANGAN:
CERN: Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire / European Organization for Nuclear Research.
Peony tree: Pohon perdu yang biasanya bersemi di Jepang pada bulan Mei. Bunganya kebanyakan berwarna krem atau putih gading, namun ada juga yang berwarna putih dan merah darah.
Baccalaureate Degree: Gelar yang didapatkan setelah menyelesaikan postgraduate education. Di Indonesia gelar tersebut sama dengan S2.
Autopilot / automatic pilot: Gerakan yang sangat cepat dan biasanya dilakukan tanpa berpikir.
