Aku di sini. Kubisikkan namamu mesra dalam pekat dan hitamnya kesendirian. Menuliskan namamu dalam loh hatiku, sebelum akhirnya bermuara dalam frasa-frasa yang dilontarkan bibirku kini.

Untaian asa yang terangkai hampir sirna; membumbung tinggi,melepas diri, menguap menuju dalam pelukan hangat langit bermandikan senja. Tapi, aku di sini. Masih dengan secercah harap yang tinggal dalam kerapuhan diri. Maukah kau membantuku? Meski berbekas pahit, bersama kita jaga pelita ini agar tak padam.


00000

obli-VI-ous © Serion Furukawa

Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : Shimura Sai., Yamanaka Ino

Rated : T

Summary : Rumah pohon. Rumah pohon Loppie's House.

Penghuninya hanya dua orang. Jika ingin berbagi, silahkan.

Jika ingin mengajak orang lain masuk, silahkan.

Rumah pohon. Rumah pohon Loppie's House.

Dua anak manusia di dalamnya. Pada akhirnya, siapa yang akan meninggalkan atau ditinggalkan?

Terima kasih untuk semuanya.

"Fic untuk event 'LOVE4INO' dengan prompt 'Panah'"

00000

TREE HOUSE (1)


Kita hanya sepasang anak manusia yang hidup di bawah naungan Loppie's House. Sebuah rumah pohon―yang kau bangun sebelum akhirnya bertemu denganku―di sudut hiruk pikuk perkotaan ibukota Jepang. Sama-sama dicampakkan oleh orangtua yang melarikan diri dari tanggung jawab besar yang diberikan Tuhan. Tapi itu tak lantas membuat kita dirundung kesedihan tiap detiknya.

Kau dan aku, saling bertukar canda tawa, kehangatan serta isak tangis. Bagaimana kita yang membangunkan seorang akan yang lain untuk balik menyapa sang mentari, berbagi hasil curian dari tangan orang-orang yang 'berduit', atau bertukar remah roti yang kita pungut dari pagi menjelang malam. Bagaimana pula kita yang saling melindungi jika salah seorang dari kita hampir tertangkap basah, atau kita yang berjaga bergantian untuk menyelinap masuk dalam rumah orang kaya hanya untuk merasakan sekejap saja bagaimana rasanya jika diposisi si kaya tersebut.

Ya, kitalah para pencuri ulung itu. Namun, kita tak menyesal. Semua terasa hangat, tentu saja. Sampai suatu hari, aku salah akan persepsiku yang mengatakan bahwa 'kau dan aku itu adalah sama.'

Kau tahu apa itu cinta? Kau tahu bagaimana tanda seseorang itu menyukaimu?

Di situlah letak poin pentingnya. Kau sama sekali tak tahu apa itu cinta. Aku ingat saat kau tersenyum bingung ketika pertama kali mendengar kata cinta. Kala itu, kau dan aku sengaja berhenti di depan salah satu toko elektronik. Entah kebetulan atau bukan, siaran yang diputar adalah film melodrama romantis.

Untuk apa kita disana? Tentu saja menonton secara cuma-cuma. Begitu mendengar kata yang asing bagimu―yang dikatakan si pria pada wanitanya, dalam film itu―kau langsung dengan muka antusias menanyakannya padaku.

Perlahan tapi pasti, aku coba menjelaskannya padamu.

'Pertanda seseorang menyukaimu :

Pertama, dekatkan wajahmu pada wajahnya dan tatap matanya dalam-dalam. Lihat ke kedalaman matanya apakah dia juga balik menatap intens dirimu. Bila iya, maka dilanjutkan dengan apakah tangannya berkeringat dingin saat berhadapan denganmu.

Kedua, tetap pertahankan posisi wajah saling berdekatan. Tunggu beberapa detik dan lihat apakah ada rona merah menjalar di kedua belah pipinya. '

Kira-kira begitulah tips yang sukses kuingat dari sebuah buku curian berjudul 'Gejala Cinta' dari saku seorang pria bermarga Uchiha yang mapan―ku tahu dari tanda pengenal dalam dompetnya yang ikut juga kucuri, dan tampilannya yang selalu mengenakan pakaian formal sebelum matahari hendak pulang ke peraduannya.

Tetapi, di sore hari saat aku hampir menyelesaikan pembagian makan malam―Oh, kau bertanya apa makan malam hari ini? Ada dua potong sandwich dengan keju yang diiris membentuk persegi, yah meski ada salah satu sisi dimana terdapat bekas gigitan―kau menemuiku dengan wajah tak enak dilihat.

Ingat bagaimana kau yang selalu mengusahakan tersenyum padaku? Maka bisa digambarkan dengan jelas bagaimana rupamu memaksakan senyum dibalik kejadian menyebalkan yang baru saja kau alami. Aku lantas menghentikan aktifitas dan memusatkan perhatian penuh padamu.

Aku terkikik sebagai pembuka dari pertanyaan 'kenapa denganmu?' Lalu kau menghentikan senyum menjijikkan itu, memasang wajah sedikit bingung sebelum ikut duduk di sebelahku.

Aku bertanya, kau menjawab. Tadi kau bilang kalau kau mencuri lagi dari seorang anak SMA sebayamu di sekitar Klub Malam Raku, lebih tepatnya di gang sempit dan pengap.

'Aku sudah melakukan sesuai perkataanmu. Ini sebenarnya karena iseng semata,' begitulah katamu. Baiklah, lanjutkan. Masih belum ada yang perlu diperdebatkan. Keisengan itu hal yang wajar.

'Aku ingin coba peruntungan saja. Membuktikan isi dalam buku sekaligus merampok tas ransel gadis itu, siapa tahu ada barang berharga.'

Tu-Tunggu dulu! Apa tadi kau bilang? Gadis? Ouch, damn it! Hhuh, isengmu berlebihan.

'Ya, dia berkulit oriental dengan rambut pendek sebahu serupa dengan bunga sakura. Aku jadi terpikir, bagaimana jika namanya juga Sakura. Pasti akan terlihat bagus dan serasi dengan dirinya.'

Ah, lagi-lagi kau menerawang. Baru kali ini kulihat kau memedulikan penampilan korban-mu. Aku mendecak kesal, namun tetap memintamu melanjutkannya.

'Dia sepertinya datang seorang diri. Jika saja dia tidak menggerutu tak jelas, mungkin saja dia tidak menjadi target-ku malam ini. Mula-mula aku mengunci kedua tangannya di belakang lalu menyudutkan paksa dia pada dinding gang. Dia memberontak,' tuturmu dengan tampang tak berdosa, memancing hati kecilku untuk mencicit.

'Tentu saja dia memberontak,' begitu bunyi cibiranku. Sepersekian detik berikutnya, sekoyong-koyong kau bergerak cepat ke arahku―seperti memberi gerakan menerjang―mengakibatkan bisa saja punggungku mencium lantai kayu jika tak segera kutahan dengan sebelah tangan. Bersamaan dengan itu, kusilangkan sendok kayu di antara kita menggunakan tangan satunya, refleks.

Menyebalkan. Mengapa sekarang onyx milikmu lebih menarik perhatianku?

Pekatnya malam membuatku takut, namun sebaliknya, sepasang biji mata itu justru menenangkanku. Seperti menawarkan pelukan terhangat yang pernah kurasakan. Sihir apa yang kau pakai sehingga membuatku tetap terpaku padamu? Apa yang telah dilakukan gadis itu padamu, huh?

Aku seketika tersadar. Baru kali pertama itulah, jarakku denganmu sedekat itu. Kira-kira… ah, aku tidak tahu. Rona merah seketika menjilati tulang pipiku, membawa serta hawa hangat. Aku bahkan malu, hanya untuk membayangkan bagaimana tampak muka dari wajahku. Merona hebat, semoga tidak. Terlalu sibuk dengan keterkejutan diriku, sampai beberapa kata yang kau ucapkan kubiarkan lewat begitu saja.

'… " Jeda beberapa detik. Kau lalu melanjutkan bercerita sementara aku sibuk untuk menetralkan detak jantung yang menggila ini. Mengingat jarak kita yang terbilang dekat, aku bertanya 'apa kau juga mendengar jantungku yang berdegup kencang seperti hendak lepas dari tempatnya?' namun kubiarkan batinku mengambil alih.

Hangat. Hembusan nafasmu juga terasa menggelikan. Menyapu wajahku dan mengajak kedua kelopak mataku menutup perlahan.

'Wajahnya merona merah, bak buah apel ranum pemberian kakek tua waktu itu. Dan untuk kali pertama, aku diberi kesempatan melihat hijaunya padang rumput melalui iris emerald miliknya. Begitu memesona. Begitu damai.' Untuk kesekian kalinya, kau menerawang melewati ruang dan waktu.

Melihat ada celah, dengan segera kudorong dada bidangmu sekuat tenaga.

'Menyebalkan, menyebalkan, kau menyebalkan, Sai bodohhhhhhhhhh~' makiku penuh kekesalan.

'Sepertinya aku mulai mengerti. Dia menyukaiku, dan aku menyukainya.'

00000

Iris aqua itu bergulir dari kiri ke kanan sebelum menampilkan sorot sendu setelahnya. Hanya terlihat sejumput surai keemasan, sebelum seorang gadis mempertegas keberadaannya dengan melanjutkan menaiki tangga yang dipaku asal. Sempat ia berhenti sejenak, menghentakkan sebelah kakinya pada undakan tangga terakhir.

Gadis itu―Ino Yamanaka―bahkan lupa hujan baru saja berhenti. Begitu hujan deras berubah menjadi rinai, ia langsung menghambur keluar tanpa payung dan hampir tanpa alas kaki.

Tangga kayu kini tak lagi kokoh. Beberapa paku terlihat berlepasan, dan satu dua undakan tangga tidak ada lagi ditempatnya. Setiap orang tahu, kayunya telah rapuh. Apalagi hujan baru saja turun. Pastinya kayu tua akan semakin lapuk dan akan semakin berbahaya bagi orang yang menaikinya.

Ino menanggalkan jas hujan milikya, meletakkannya secara asal. Ia melangkah perlahan. Menyusuri ulang tiap sudut dari rumah pohon tua ini. Rumah pohon tempat pelariannya. Tempat ia banyak menghabiskan waktu-waktu berharga dan menyenangkan bersama seseorang yang ia sayangi. Juga orang yang sekarang telah menemukan tujuannya. Mengambil langkah, meninggalkan dirinya seorang diri yang bergelut dengan kenangan.

Kakinya berhenti menapak saat ia dapati kayu tempatnya berpijak pun menderit pelan. Ia sedikit terlonjak melihat sebuah surat lusuh teronggok manis di bawah kakinya. Ternodai oleh lumpur yang dibawa sepatu boot Ino.

Tak ayal Ino menghindar untuk tidak membuat surat itu lebih tidak layak untuk dibaca. Tanpa adanya amplop, hanya sehelai kertas bekas. Sepertinya, penulisnya memanfaatkan ruang kosong yang terbilang sedikit, di sana.

'Ino, bagaimana kabarmu? Saat aku melewati jalanan Kyoto, ada selebaran berisi lowongan kerja paruh waktu. Apa kau berminat dengan menjadi salah seorang maid di kafe dekat jembatan? Kalau iya, sebaiknya kau kesana saja. Pastinya itu akan berguna untukmu dibanding kau yang harus mengendap diam-diam ke rumah orang lain atau mencuri dari saku jas pegawai kantoran. Aku sudah menemukan jalanku. Dan kuharap kau pun sesegera mungkin begitu.

Pulanglah ke rumahmu. Bicara baik-baik dengan kedua orang tuamu untuk jangan suka bertengkar. Utarakan saja semua. Tentang kau yang merindukan sebuah keluarga yang hangat, atau malam dimana tidak adanya keributan besar.

Saat kau baca surat ini, kuharap aku sudah menjadi orang yang punya pekerjaan tetap sebelum memberanikan diri mendekati Sakura. Kau ingat gadis yang jadi target terakhirku? Kurasa aku harus mencari tahu tentang dirinya. Saat aku menyikat habis isi dompetnya, terlihat jelas ia punya masalah yang sulit untuk diselesaikan. Jadi, aku mungkin tidak akan kembali lagi. Aku sempat berpikir untuk melamar gadis itu, setidakya setelah aku terlihat layak di mata kedua orang tuanya. Doakan aku, ya.

Semoga di lain kesempatan, kita dapat mencuri bersama lagi. Baik kau yang sudah menjadi orang besar ataupun jabatan tinggi telah kupegang, aku akan tetap mau mencuri bersamamu lagi. Itu saat yang menyenangkan. Sudah, ya. Apa yang kupikirkan? Sekarang aku membayangkan kau yang menangis selepas membaca surat ini. Ah, kau bukan seorang yang cengeng. Jadi mustahil kau menangis hanya karena sebuah surat. Oh ya, setiap harinya aku datang ke sini hanya untuk mengantarkan sebutir apel tiap paginya, tapi kau tidak ada di tempat.

Kau sahabat terbaikku.

Tertanda,

Sai.'

"Sai," gumam gadis itu. Ino melempar pandangan ke tiap sudut rumah pohon, dan menemukan tak jauh darinya apel-apel yang telah membusuk. Tidak ada apel baru. Berarti Sai sudah cukup lama tidak mampir ke sini.

"Dasar bodoh," Ino menghapus air mata yang entah sejak kapan turun dengan lengan bajunya secara kasar berulang kali. Bahkan tanpa menghiraukan pedih yang mulai menjalar dan rona kemerahan di sekitar sudut matanya.

"Kau masih saja tidak sadar, heh?" Ino mendudukkan dirinya, lalu tidur terlentang. Raut sedih membingkai wajahnya, namun bertutupkan seringai nakal, kemudian melanjutkan "… kedua orang tuaku sudah lama meninggal. Permasalahan yang sedang kuhadapi saat bertemu denganmu adalah kakakku." Ino masih bermonolog.

Benar bahwa Ino lari dari rumah dan ditemukan Sai tertidur di bawah undakan tangga rumah pohon miliknya―setidaknya Sai yang menemukan pertama kali, jadi itu miliknya―karena kakak laki-laki Ino― Yamanaka Deidara―ringan tangan pada gadis itu.

Namun sesungguhnya, hal yang lebih disesalkan Ino adalah Sai yang meninggalkannya sendiri di sini. Sai yang mengajaknya masuk, dan Sai pula yang pergi pertama kali.

"Dasar jahat~" Setitik cairan hangat kembali bergulir di sebelah pipi Ino, disusul pada pipi sebelah lagi. Kali ini, Ino tak menyekanya. Hanya membiarkan lengannya menutup kedua matanya.

Ia lelah, tentu saja. Pikirkan bagaimana ia yang mencoba keluar rumah setiap ada kesempatan walau sedikit sekadar untuk mencari Sai, walau saat itu malam menjarah langit dan kegelapan semakin menjadi. Pikirkan bagaimana Ino yang melawan ketakutannya berjalan tergesa-gesa ke sana kemari ketika mendapati rumah pohon kosong, tanpa kehadiran seorang pun di sana. Jangan lupa juga dengan Ino yang takut gelap. Atau Ino yang sudah harus siap menerima tendangan dan pukulan dari kakaknya sendiri sesampainya di rumah.

Sai telah pergi. Bagaimana mungkin ini terjadi? Padahal semua terasa begitu sempurna. Namun Ino sadar, hal itu terlalu sempurna untuk makhluk hina seperti dirinya. Maka pantaslah Kami-sama mengambil semua kebahagiannya. Tapi apa Kami-sama lupa satu hal? Cuma tinggal Sai seorang kebahagiannya. Seminggu yang lalu, Deidara mengecap kematian. Sekarang, tak ada lagi sosok tempat ia berkeluh-kesah.

Kembali Ino terisak di tengah malam dingin tanpa bintang. Sedu sedan, isak tangis, dan sesenggukkan di tengah langit yang kembali memuntahkan jutaan tetesan air. Kembali Ino merasakan pahitnya kesendirian. Dan kembali Ino harus menggunakan kenangan yang ditinggalkan Sai guna menghibur diri. Membiarkan diri masuk dalam jeratan kenangan yang Ino rancang sendiri. Dan kembali Ino menyenandungkan lagu ciptaan Sai dan dirinya diselingi isak tangis. Mirip seperti malam-malam sebelumnya.

"Langit gelap tanpa bintang, atau dinginnya udara yang dibawa hujan di malam ini,

namun kita di sini.

Duduk berdekatan, berbagi selimut, menghalau dingin yang menusuk tulang.

Kita berdua. Siapa yang akan meninggalkan atau ditinggalkan?

Rumah pohon. Rumah pohon Loppie's House.

Penghuninya hanya dua orang. Jika ingin berbagi, silahkan.

Jika ingin mengajak orang lain masuk, silahkan.

Namun kenangan kita berdua takkan ada yang sanggup menghapus paksa dari benakku, ataupun benakmu.

Rumah pohon. Rumah pohon Loppie's House.

Dua anak manusia di dalamnya. Saling berbagi kasih, bertukar canda tawa.

Pada akhirnya, siapa yang akan meninggalkan atau ditinggalkan?

Rumah pohon. Rumah pohon Loppie's House.

Terima kasih untuk semuanya.

Jaga dia, bila akhirnya aku-lah yang terpilih sebagai pihak yang menyakiti."

00000

~OWARI~


A/N :

Ya, ini fic kedua dengan prompt 'Panah' ber-pairing-kan Sai x Ino. Ino yang mengajarkan pada Sai seperti apa gejala cinta yang nampak secara kasat mata. Namun itu justru yang menghantarkan Sai untuk pergi meninggalkannya. Seperti dua mata pisau. Ino menceritakan hal itu pada Sai dengan maksud lain agar Sai dapat membaca sinyal darinya, atau membaca isi hati Ino tanpa harus mengatakan 'Daisuki yo' pada Sai. Tapi, apa mau dikata? Sai sudah terlanjur jatuh hati pada Sakura.

Dan fic-nya rada 'angst', ya? Salahkan saja lagu-lagu mellow yang mendiami handphone saya atau hujan yang seperti mengajak untuk memulai adegan seperti di film-film (memandangi hujan dengan raut sedih) Dan, apa ada yang seperti Ino? Terjebak dalam 'Friend Zone'. Sebenarnya Ino sedih karena itu #nggak .

Oke, karena malam semakin larut, dan kesadaran akan fic ini yang masih jauh dari kata sempurna masih ada. Maka saya minta concritnya.