I Love You © Harada Seira

.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

Cover Image © Owner

.

Warning: missed typo(s), OOC (maybe)

.

Selamat membaca!

.

.

.

Wanita beranak satu dan berkuncir empat itu—entah disengaja atau tidak—mempunyai ingatan yang kuat berkenaan dengan sebagian besar hal-hal yang pernah dikatakan oleh suami berjanggut dan berambut nanasnya. Salah satunya ialah pernyataan dari zaman lapuk yang mengatakan bahwa wanita—semua wanita tanpa terkecuali ibunya—adalah makhluk hidup paling merepotkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Belakangan ia memang jarang mendengar suaminya mengatakan hal itu lagi, tepatnya setelah tujuh tahun ia melahirkan anak pertama mereka—Shikadai yang mewarisi mata tajam miliknya dan otak tajam suaminya. Namun, meskipun jarang meributkan pernyataan itu lagi, bukan berarti pria dewasa berjanggut dan berambut nanas itu telah melupakannya. Peristiwa disuatu pagi diakhir pekan yang ceria, tepatnya di rumah sederhana mereka yang elegan, sekiranya telah membuktikan bahwa pernyataan lapuk itu masih tertanam dalam benaknya yang tak pernah berhenti berspekulasi.

"Jadi, apa kau bersedia melawanku, Shika? Aku sedang menantangmu sekarang."

Bocah berumur tujuh tahun yang tengah duduk bersila pada sofa di sebelah ayahnya itu mendongak untuk menatap ibunya yang baru saja dari dapur, masih lengkap dengan celemek merah maroon-nya, "Apa ibu keracunan bumbu-bumbu dapur?"

Barangkali bagi anak semata wayangnya, ucapannya barusan terdengar seperti ucapan wanita mabuk. Tetapi, sungguh, demi halilintar yang selalu terlihat membelah langit ketika badai, ia sedang dalam kondisi terwarasnya, seperti biasa. Tanpa menunggu jawaban darinya, anak laki-laki yang lebih mirip replika ayahnya itu berujar tergesa-gesa sebelum berlari ke dapur, "Ayah, aku harus memeriksa bumbu-bumbu di dapur apakah sudah kedaluwarsa atau belum."

Shikadai memang pintar, cenderung jenius. Di usianya yang ketujuh ia sudah mengerti bahwa bumbu dapur juga mengandung bahan kimia, dan bahan kimia dalam porsi paling kecil sekalipun tidak baik untuk kesehatan, lebih-lebih bahan kimia yang sudah kedaluwarsa. Wanita berkuncir empat itu hampir tidak pernah menggunakan bumbu dapur instan, ia lebih senang menggunakan rempah-rempah untuk masakannya. Namun, meskipun tidak pernah menggunakannya, bumbu-bumbu instan itu tetap tersimpan di sana dalam waktu yang—ia pikir—sudah cukup lama dan membuat Shikadai berpikir salah satu di antaranya telah meracuni udara dan menginfeksi ibunya sehingga ucapannya terkesan seperti seorang mabuk.

"Shika, aku benar-benar tidak akan terima jika kau mengabaikanku karena kau menganggap remeh tantanganku. Aku bersumpah demi hokage ketujuh, tidak akan ada makan siang untukmu di meja makan."

Ah, apa itu tadi? Ancaman?

Nara Shikamaru yang sedari tadi berusaha menulikan telinganya dan menenggelamkan dirinya dalam kolom-kolom berita koran pagi terpaksa mengangkat kepala nanasnya, memerhatikan istrinya yang kini tengah melipat tangan di dada dengan jari telunjuk kanan mengetuk-ngetuk lengan kirinya, rautnya khas ibu rumah tangga yang sedang kesal karena tidak diberi uang belanja berbulan-bulan. Ia menyempatkan diri menyesap teh paginya terlebih dahulu sebelum menjawab pernyataan lebih mirip ancaman istrinya. "Kupikir kau sudah hapal kalau aku begitu menghormati wanita dan tidak ingin melukai wanita manapun, fisik maupun batin."

Perubahan pada raut wajah wanita di hadapannya menandakan bahwa derajat kekesalannya telah bertambah. "Sepertinya aku baru saja mendengar kau memvonis kekalahanku bahkan sebelum melawanku. Apakah ada tindakan yang lebih pengecut dari ini? Katakan."

Nara Shikamaru melipat kembali koran paginya, lalu meletakkannya pada meja kayu, bersebelahan dengan vas bunga kecil berwarna oranye dengan bunga matahari palsu di sana. "Apa kau pernah mendengar pepatah ini, Temari?"

Dahi wanitanya berkerut menunggu kelanjutan.

"Wir sind gewohnt dass die Menscben verhöhnen was sie nicht verstehen. Yang—jika kau tidak tahu—artinya adalah kita sudah biasa melihat manusia memandang rendah apa yang tidak bisa dipahaminya."

Sekeras itu perjuangan pria dewasa ini untuk menolak tantangan istrinya, sampai-sampai ia mengeluarkan pepatah dari negara yang jauh di sana, terpisah oleh samudera dan benua, yang ternyata malah memperkeruh suasana.

"Ini benar-benar terdengar seperti hinaan bagiku, Shika. Aku sudah mempelajari shogi, dan aku memahaminya. Sekarang aku menantangmu. Ya atau tidak, dengan konsekuensi yang sudah kukatakan jika kau menolak. Aku tak butuh pepatah berbahasa asing yang entah kau dapat dari mana."

Atas nama makan siangnya yang berharga, ia terpaksa mengiyakan bersamaan dengan kembalinya jagoan kecilnya dari misi penyelamatan ibunya.

"Bu, aku sudah membuang semua bahan kimia beracun itu. Aku menanamnya, karena jika dibakar akan meracuni udara. Dapur Ibu sudah aman sekarang."

Padahal hanya bumbu instan yang ia tahu jelas belum kedaluwarsa. Tetapi ia sangat menghargai usaha anak laki-lakinya untuk melindunginya.

"Terimakasih banyak, Shika," ujarnya dengan senyum yang menghiasi parasnya sembari mengusap lembut rambut hitam putranya. Entah untuk Shika yang mana. Namun, sepertinya keduanya.

Wanita rupanya masih saja merepotkan.

.

.

Pukul empat sore ialah waktu yang masih digunakan putranya untuk tidur siang (yang dimulai pukul dua siang tadi setelah memandangi awan yang berarak bersama ayahnya). Dua jam sudah anak mereka berpetualang di alam mimpi, satu jam sudah permainan shogi pasangan suami-istri ini.

Shikamaru masih dengan pendirian teguhnya bahwa wanita ialah makhluk hidup paling merepotkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Namun, sebenarnya hal-hal merepotkan mengenai wanita hanyalah masalah logika yang sangat sederhana. Pria dewasa ini menyadarinya, bahwa wanitanya hanya ingin dihargai atas kerja kerasnya mempelajari dan memahami shogi, permainan kesukaan suaminya, agar ia bisa menemani suaminya itu setiap akhir pekan atau kapan saja jika suaminya membutuhkan teman untuk bermain.

Tidak ada yang bersuara sejak permainan dimulai. Masing-masing sibuk menyusun strategi. Shikamaru memang tidak terlihat begitu kesulitan, berbeda dengan istrinya yang dahinya terus berkerut menandakan ia tengah berpikir keras. Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk kemenangannya.

Merenung selama beberapa detik, Temari mulai memajukan bidaknya yang ternyata merupakan jalan pintas kemenangan bagi suaminya.

"Skak mat."

Wanita berkuncir empat itu mendengus pelan. Rupanya benaknya yang terus berspekulasi sejak awal permainan tadi telah membangun teori liar dengan dasar yang salah, yang membawanya pada kekalahan.

"Aku kalah, Shika. Lain kali aku akan mengalahkanmu."

"Aku terkesan dengan semangatmu."

"Terimakasih."

"Sekarang apa?"

Sepasang manik beda warna itu saling pandang, sebelum akhirnya yang sewarna zamrud memilih menyerah lebih dulu ketika sang pemilik bangkit dari duduknya, "Aku akan membangunkan Shikadai. Ini sudah sore."

"Ya, silahkan. Aku akan memandangi awan sebentar di sini. Ah! Lihat awan kecil itu, Temari! Melayang seperti sehelai bulu merah muda seekor flamingo raksasa."

Sementara suaminya berbaring dengan berbantalkan lengan kirinya, dan telunjuk kanannya bergerak lamban mengikuti gerakan awan, Temari mulai melangkah meninggalkan laki-laki itu sembari berujar, "Aku sangat terkesan dengan imajinasimu mengenai awan-awan itu, Shika. Lain kali aku akan melatih diriku untuk menyukai hobimu yang itu."

Jari telunjuk yang bergerak itu berhenti. Beberapa detik setelahnya ia menoleh ke kiri, melihat istrinya yang sebentar lagi memasuki ruang tengah. Setelah mencoba mempelajari dan memahami shogi, sekarang wanitanya itu mengatakan akan mencoba menyukai hobinya yang lain. Tidakkah itu terdengar sangat menyenangkan?

"Temari," panggilnya menginterupsi wanitanya untuk berhenti, dan wanita itu benar-benar berhenti tepat di depan pintu masuk, menoleh saja dengan tatapan mata bertanya ada apa.

"Love you."

Wanita berkuncir empat itu jelas sekali tidak mempunyai gangguan pendengaran, tetapi mendengar dua kata itu rasanya ia jadi agak meragukan pendengarannya. "Maaf?"

"Love you, Temari."

Oh. Ia benar-benar tidak salah dengar.

Mendengar dua kata itu terlontar dari bibir suaminya, ia jadi teringat pernyataan yang ia baca di majalah langganannya beberapa waktu lalu, dan penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan suaminya (mengingat laki-laki ini sepertinya terlalu malas dengan apa saja yang berhubungan dengan sesuatu yang merepotkan semisal pernyataan cinta).

"Shika, apa kau tahu apa perbedaan pernyataan I love you dengan love you?"

Yang ditanya menaikkan sebelah alisnya, "Menurutmu?"

Wanita itu mengangkat bahu, "Aku tidak tahu. Tetapi, kurasa dua pernyataan itu berbeda, walaupun secara harfiah sepertinya sama saja."

"I love you, Temari."

Ia tak bisa menyembunyikan senyumnya meskipun kenyataannya ia tetap memvonis pendengarannya mengalami gangguan. "Maaf, Shika?"

"Kupikir pernyataan love you hanya pernyataan biasa, sedangkan I love you mempunyai makna yang lebih mendalam."

Senyum wanita beranak satu itu semakin kentara dari jarak hanya selemparan batu.

"I love you, Temari."

Ia ragu-ragu harus membalas pernyataan itu atau tidak, namun akhirnya ia menjawab sebelum menghilang dibalik pintu masuk. "I love you too, Shikamaru."

Oh, adakah yang bisa menjelaskan sejak kapan suaminya yang terkenal pemalas namun jenius ini menjadi seorang pengampu?

Owari

.

.

.

A/N:

H-halo :3 /siapakamuh/

Hola. Cómo estas /nak

Ini memang bukan fanfict pertama saya di fandom Naruto, tetapi ini fanfict pertama saya dengan pairing ShikaTema. Saya tidak tahu alasan bahwa ini pertama kalinya menulis cerita dengan pairing ini dapat dijadikan alasan atas ke-OOC-an atau tidak, tetapi saya benar-benar mohon maaf jika ini OOC /bungkuk/

Untuk monyan yang pagi-pagi sekali sudah dapet SMS link fanfict ini … HAHA maaf kalo ini jadinya jelek. Tapi, dengan segenap jiwa raga, nee mengatakan ini nee tulis khusus untuk mo (fanfict ShikaTema nee yang pertama loh XD). Maka dengan ini challenge menulis fanfict straight dari mo dinyatakan berhasil! XD dan, kalau boleh, ini juga kado ulang tahun buat mo (walaupun ide untuk kado yang sesungguhnya belum dituangkan dalam lembar kosong ms word, jangan bunuh nee please).

Terakhir, untuk semua pembaca yang sudah meluangan waktunya membaca tulisan saya yang tidak seberapa ini, saya mengucapkan terimakasih. Saya tentu akan merasa senang jika pembaca sekalian meluangkan waktu untuk mereview tulisan saya. Sekali lagi, terimakasih banyak! /lambailambaitangan/