Sitting on a square bench, gazing absentmindedly at the sky,

I remember, like I did yesterday how a little smile and petty quarrels, made me so much stronger

Since the, since then, I was searching for the other half of that broken moon

So that, one day, one day, I can return by the full moon

Where cherry-blossom flowers bloom

Sakura Mitsutsuki - SPYAIR


Title: Departures

Rating: Mature. Minors, please back off!

Pairing(s): Hijikata Toushirou x Sakata Gintoki. more to come?

Disclaimer: All Gintama characters are owned by Hideaki Sorachi. Hope we're allowed to play with his characters!

Warning: M/M, Smut. You've been warned.

Trope(s): Eventual mpreg(?), Alpha/Beta/Omega dynamics, Omega!Gin, Alpha!Hijikata, I use first name basis here, Canon-compliant

Chapter 1 [Looking Down From The Edge]


Dunia membenci Gintoki.

Kedua pasang mata merah tua Gintoki sesekali mencuri pandang. Membaca gerakan dari lelaki dengan rambut hitam yang sedang menyimpulkan seutas senyum.

Pria itu menatap gelas teh-nya yang kosong. Sama sekali tak berusaha memberikan Gintoki perhatian. Ia seakan menikmati keheningan yang bersarang di antara mereka. Mengabaikan tawa yang beberapa detik lalu masih mengalun dalam suasana.

Gintoki menduga-duga. Mungkin lidah rekannya tersebut masih kelu akan makanan yang dikatakannya sebagai sebuah 'bencana' tadi. Mungkin.

(Walau bagi Gintoki, nasi dengan topping azuki adalah penemuan paling hebat di dunia. Si rambut hitam bodoh itu saja yang tidak dapat mengerti.)

Gintoki beringsut di tempat duduknya. Berpikir tentang kalimat apa yang seharusnya ia lontarkan.

Tadi, walau si lelaki berambut hitam berjanji akan kembali, namun saat ini bisa saja menjadi momen terakhir mereka. Saat perpisahan. Waktu mengatakan selamat tinggal.

Si rekan yang terduduk di sampingnya akan menghilang. Meninggalkan Edo entah sampai kapan.

Gintoki membenci dunia.


Si laki-laki itu, Hijikata Toshirou.

Toshirou.

Seandainya si rambut perak punya hak memanggil nama kecil si pria tampan, ia tanpa ragu akan terus merapalnya. Ia membayangkan berat nama itu dalam lidahnya, berimajinasi akan raut yang bermain di air muka lawan bicaranya. Mungkin akan ada dengusan. Mungkin ada sebuah tinju. Keduanya tidak buruk. Gintoki sanggup menerima respon apapun.

Karena pria itu adalah Toshirou.

Hubungan mereka berdua bak kedua belah kutub magnet. Saling berlawanan. Terlihat berbeda. Namun secara tidak sadar selalu tarik menarik.

Atraksi itu ada.

Gintoki bukan tidak sadar, namun ia terlalu nyaman dengan rutinitas yang mereka jalani. Hubungannya dengan Toshirou tidak lebih dari sekedar rival. Sesosok pesaing sempurna yang kelewat cocok dengan dirinya. Jalan pikiran mereka nyaris serupa. Berbeda namun melengkapi satu sama lain layaknya dua sisi mata koin.

Gintoki tidak berani melangkahi batas itu. Ia masih tahu diri.

Ia bukan apa-apa dibanding pria tampan tersebut. Toshirou yang dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin. Toshirou yang tegas. Toshirou yang disegani.

Toshirou yang adalah seorang Alpha.

Alpha. Kaum yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Penghuni singgasana pada tangga tertinggi di sana. Calon pendekar-pendekar bahkan sejak lahir. Menempati puncak strata tertinggi di atas kaum Beta dan Omega.

Terlalu sulit dijangkau oleh Gintoki.

Jabatan wakil komandan Shinsengumi yang pernah disandang Toshirou seakan mempertegas status laki-laki dengan mata berwarna biru redup itu. Ia adalah Alpha di antara Alpha. Gen dengan aura luar biasa kuat yang akan menghantarkan siapapun pada lutut mereka saat berhadapan dengannya. Terpesona. Haus akan perhatiannya.

Fakta yang menyakitkan, bahwa Toshirou tanpa sadar telah melakukan itu pada setiap orang. Termasuk sang protagonis bodoh. Si rambut keriting perak pemalas bernama Sakata Gintoki.

(Walau Gin akan lebih memilih untuk membunuh dirinya sendiri daripada mengutarakan itu keras-keras di hadapan makhluk bernyawa manapun.)

Toshirou sudah sejak lama dengan seenaknya meringsek masuk ke dalam pikiran Gintoki. Membuat dirinya nyaman dengan mengambil alih tempat penting di satu sisi otak si rambut perak. Menyeruak ke antara sudut terdalam hatinya.

Menyebalkan.

Tidak butuh waktu lama bagi Gintoki untuk menyadari bahwa ia telah jatuh cinta.

Gintoki, sebagai seseorang dengan harga diri setinggi langit, selalu menyalahkan hormon-nya, tentu saja. Tak dapat ia melakukan apapun selain melawan desiran itu kuat-kuat.

Cekcok dengan si pria bersangkutan diam-diam jadi obat penenangnya. Jantungnya selalu jungkir balik setiap saat ia berhasil memancing reaksi yang ditujukan Toshirou hanya untuk dirinya seorang. Walau kadang hanya sebuah kedutan di pelipisnya. Ataupun pelototan penuh murka.

(Sepertinya, menggoda Toshirou dan membuatnya marah telah menjadi candu sendiri bagi Gintoki.)

Lalu, di akhir hari, saat ia terbaring dengan bayangan wajah Hijikata Toshirou di setiap sudut langit-langit kelopak matanya, Gintoki selalu tahu siapa yang harus disalahkan. Tidak salah lagi.

Bukan dirinya. Bukan Toshirou. Tapi si hormon bodoh dalam tubuhnya.

Hal yang membuatnya semakin benci dengan takdirnya sendiri. Karena si hormon datang dari status tersembunyi yang selalu ia coba untuk benam dalam-dalam…

(Dimana, batinnya, merupakan hal yang sangat wajar jika ia tertarik dengan Alpha yang memiliki aura kuat. Lebih mudah bagi Gintoki untuk menyalahkan sisi natural dalam dirinya tersebut, bukan?)

Gintoki sama sekali tidak menyukai statusnya sebagai seorang Omega.

Oh. Apakah Gintoki sudah menyebutkan bahwa ia membenci dunia sebagaimana dunia tampak selalu membencinya?

Omega. Hanya kurang dari dua persen populasi di dunia menyandang gender kedua itu. Tujuh puluh persen manusia adalah Beta, sedangkan sisanya adalah si penyandang status terkuat, Alpha. Dari dua persen Omega di dunia, sembilan puluh sembilan persen dari populasinya sendiri adalah wanita. Pria berstatus Omega adalah hal yang sangat langka. Hanya satu dari sepuluh juta.

Gintoki adalah satu dari jutaan itu.

Mati-matian ia menyembunyikan fakta yang diketahuinya saat ia menginjak usia tigabelas tahun itu. Kebanyakan samurai di sekitarnya adalah Alpha. Mereka punya hak dan kesempatan penuh untuk bertarung di medan penuh darah. Hal-hal yang seharusnya tidak dimiliki oleh Omega seperti Gintoki.

Gintoki tahu. Ia tahu bahwa Omega seharusnya dikunci rapat-rapat. Mereka dianggap harta karun, kebanyakan dijual dengan harga fantastis ke para bangsawan untuk dirawat seperti porselen rapuh. Dibesarkan sebagai bakal indung yang akan melahirkan anak-anak unggulan dengan gen paling kuat. Diberikan tanggung jawab untuk merawat aroma natural memabukkan yang dicintai oleh Alpha paling beruntung yang berhasil meng-klaim mereka. Menghabiskan sisa hidup mereka sebagai objek kelas dua.

Gintoki tahu. Karena itu ia berusaha mati-matian. Lebih keras dari siapapun. Ingin lebih tangguh dari Alpha manapun. Ia tak sudi kalah hanya karena dirinya adalah Omega. Tidak seorang pun bahkan boleh tahu dirinya memiliki status tersebut.

Status yang selalu dipandang sebagai obyek pemuas pandang semata.

Beruntung saat itu, Shouyou membantunya. Sang guru berwajah teduh itu menyelinapkan kotak ramuan kecil untuk mempermudah masa subur Gintoki(satu hal yang menurut Gintoki paling menyiksa dari takdirnya sebagai Omega), serta mengajarkannya untuk membuat ramuan itu sendiri. Ia juga memberi tahu remaja berambut ikal tersebut mengenai tumbuhan-tumbuhan yang dapat menyembunyikan aroma natural-nya sebagai seorang Omega, hingga Gintoki dapat mengelabui siapa pun.

Tidak hanya itu saja, Shouyo juga membuat Gintoki yakin. Membuat si rambut perak percaya bahwa dirinya dapat hidup sebagai seorang samurai yang dapat disegani seakan seorang Alpha. Tak seorang pun perlu tahu mengenai statusnya sebagai Omega. Bahkan temannya Katsura. Atau Sakamoto. Atau Takasugi.

Gintoki menutupi segalanya dengan sempurna. Julukan Shiroyasha diraihnya dan orang-orang di medan perang mengakuinya sebagai Alpha yang mengerikan. Ia tidak pernah lengah dan membiarkan topengnya jatuh. Status asli yang disembunyikannya jauh berbanding terbalik dengan apa yang orang pikirkan, dan ia tahu betapa berbahayanya rahasia yang tengah ia emban.

Mati-matian ia menyembunyikan gender kedua-nya tersebut. Hidup bersama dugaan orang-orang yang mengenalnya sebagai seorang Alpha dan secara bersamaan membohongi seluruh orang di sekitarnya. Bahkan Kagura dan Shinpachi, dua remaja yang ia sayangi bagaikan anaknya sendiri.

Segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Rahasia Gintoki terkunci aman, walau hidup mereka tidak pernah benar-benar lurus. Banyak intrik dan drama. Banyak kejadian yang nyaris merenggut nyawa. Walau begitu topeng yang dikenakan Gintoki tidak pernah sedikit pun tersingkap. Ia yakin rahasianya akan terjaga hingga ia mati.

Setidaknya itulah yang dahulu ia pikirkan.

Sampai suatu saat seorang maniak muncul di kehidupannya dengan seenaknya. Mengacaukannya.

Hijikata Toshirou datang dengan rokok yang terselip di antara kedua bibir tipisnya. Ia tampak bodoh dengan rambut hitam kelam dan poni berbentuk segitiga sama sisi dan seragam khas Shinsengumi yang dikenakannya. Sepasang mata tajamnya yang menghipnotis, ataupun temperamen-nya yang selalu berada di ambang titik tertinggi sama sekali tidak membantu menaikkan image-nya. Gintoki bahkan makin yakin akan kebodohan pria yang kadamg dipanggilnya dengan julukan Oogushi-kun tersebut ketika ia mengetahui betapa parah kecanduannya pada mayonnaise, atau kecenderungan bawahannya, Okita Sougo, untuk mengambil nyawa si Alpha tampan tersebut setiap ia menemukan kesempatan.

Tanpa Gintoki awalnya sadari, Toshirou adalah satu-satunya Alpha yang ia ijinkan untuk berdiri sama tinggi dengan dirinya. Ia kini mengetahui eksistensi kemungkinan itu. Mereka terlalu cocok dan itu mengerikan. Gintoki jatuh lebih dalam ke perasaan yang berbahaya, dan hal itu dapat mengancamnya.

Toshirou sanggup membawa sisi Omega dalam diri Gintoki untuk menyeruak keluar.

Sebuah bencana.

(Seakan dunia belum puas untuk bermain-main dengan kehidupannya.)

Gintoki mencintai Toshirou. Dan itu menyakitinya.

"Diam sepertinya tidak cocok untuk kita."

Alpha di sebelahnya membelalakkan matanya, ada sirat berbau tantangan dalam tatapan yang di arahkan pada si samurai berambut perak. Gintoki tersenyum miring. Ia akhirnya kembali mendapatkan perhatian Toshirou.

"Ini akan menjadi saat terakhir kita bersama sebelum aku pergi jauh. Apa pada saat seperti ini pun kau mau berseteru denganku?" derau Toshirou seraya mengangkat sebelah alisnya.

Gintoki tentu menerimanya sebagai sebuah ajakan berdebat.

"Tidak tahu, rasanya lidahku masih kaku gara-gara makanan anjing tadi. Tingkat intelijensiku sepertinya berkurang drastis."

"Huh?! Maksudmu Hijikata Special yang kau makan tadi? Asal kau tahu itu makanan terbaik sepanjang masa! Tidak seperti makanan kucing yang rasanya abstrak tadi!"

"Uji Gintoki hanyalah makanan untuk para jenius. Aku ngga heran kalau orang bodoh sepertimu ngga mengerti citarasa-nya!" Gintoki mendengus keras.

"Itu tumpukan kalori di atas nasi! Bukan makin jenius, makanan itu akan membuat semua orang jadi idiot sepertimu!"

"Coba katakan itu pada mayonnaise-mu tersayang! Tanyakan berapa kalori yang ia punya!"

Perdebatan tanpa arah itu lalu berlangsung kira-kira lima belas menit sampai mereka beranjak untuk meninggalkan warung makan. Sang nenek pemilik terkikik geli, mencondongkan tubuhnya untuk menepuk pundak dua pemuda itu dari seberang counter sesaat sebelum keduanya membalikkan punggung dan benar-benar pergi.

"Kembali lagi ya. Aku akan merindukan celotehan kalian berdua."

Toshirou dan Gintoki menghentikan cekcok mereka. Menatap balik si nenek dengan pandangan kaget sebelum dengan kompak mengajukan jempol tangannya di hadapan sang perempuan tua.

"Tentu. Kami janji."

Sang nenek tersenyum.

"Kalian tahu? Aku akan merindukan kalian berdua. Kalian selalu menjadi pasangan favoritku."

Gintoki merasa deruan darah naik hingga ke ubun-ubun kepalanya sesaat setelah sang pemilik warung mengatakan kalimat terakhir.

'Pasangan'.

Gintoki tidak berani menatap Toshirou. Pada saat seperti ini lebih baik ia menyembunyikan rasa malunya dengan menolak keras-keras pernyataan dari si ne-

"Terimakasih telah mengatakan bahwa kami telah menjadi pasangan favoritmu, nek", Toshirou berkata tiba-tiba, sebelum kemudian ia menempatkan jeda.

"...aku juga akan segera kembali ke sini setelah kondisi terkendali, untuk Gintoki."

Detik itu juga Gintoki merasa rahangnya jatuh dan akan segera copot. Lehernya segera memutar ke arah Toshirou, matanya terbuka lebar-lebar, berniat menginspeksi segala jenis emosi yang mungkin sedang menghiasi wajah sang Alpha pada saat ini.

"Aku pamit dulu, nek."

Sayangnya Toshirou selangkah lebih cepat dari diri Gintoki. Pria itu kini telah membalikkan punggungnya, dengan sempurna menyembunyikan entah-ekspresi-apapun yang tengah muncul di wajahnya. Ia berjalan ke pintu keluar.

"Kau-", Gintoki mengikutinya sesaat setelah mereka berada di luar. Hujan telah berhenti.

"Yorozuya."

Gintoki menghentikan langkahnya. Sang (mantan) wakil komandan Shinsengumi yang ada di hadapannya membalikkan tubuhnya hingga Gintoki sekarang dapat melihat seluruh sudut wajahnya. Walau begitu, sang Alpha mengenakan ekspresi yang tidak dapat ia baca.

"Aku-"

Gintoki menunggu. Toshirou menelan ludah.

"-aku dahulu, pernah menyesal."

"Huh?"

Mata Toshirou mendelik ke samping. Sepertinya tong sampah di ujung jalan tiba-tiba jadi sangat menarik bagi dirinya. Aneh. Karena pria berambut hitam itu biasanya selalu menatap lurus-lurus ke mata Gintoki setiap ia bicara.

"Mitsuba."

"Oh."

Untuk pertama kalinya Gintoki tidak dapat menerka ke arah mana pembicaraan ini akan dibawa.

"Um. Kenapa dengan dia?" tanya Gintoki saat ia menyadari bahwa Toshirou tetap mengunci mulutnya. Tampaknya si rambut hitam tersebut sedang berdebat dengan dirinya sendiri mengenai kata-kata apa yang harus ia luncurkan selanjutnya.

Toshirou membuka mulutnya. Setelah kemudian menutupnya lagi. Gintoki tidak pernah melihatnya salah tingkah seperti ini. Setidaknya, bukan di hadapannya. Pria Alpha di depannya memiliki ego sekeras baja. Ia tidak pernah mau menunjukkan kelemahannya di hadapan siapapun. Termasuk di depan pria dengan rambut perak ikal yang sedang bersamanya.

(Walau Toshirou pernah satu kali membiarkan Gintoki mendengar dirinya menangis saat Mitsuba meninggal dahulu. Gintoki tidak akan pernah bisa melupakannya.)

Tiga menit berlalu. Toshirou tampaknya masih setengah mati berusaha mengucapkan entah apa yang ada di pikirannya. Gintoki tahu waktu mereka terbatas. Hanya dalam dua-tiga jam lagi, si pria tampan di hadapannya harus pergi bersama para samurai kepercayaannya. Ia menghitung sampai sepuluh detik, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengalah dan memberi langkah lebih dulu.

"Hei Hijikata-kun."

"Yoro-"

"Ingin pergi ke tempat yang lebih sepi?"


Gintoki membawa Toshirou ke atap sebuah gedung tua yang telah terbengkalai.

Si rambut perak tersebut mengawasi saat sang Alpha memejamkan matanya erat-erat. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Beberapa helai rambutnya tersibak. Ia seperti sedang menghela nafas.

Gintoki kembali menunggu.

Toshirou membuka matanya. Ia sempat mengalihkan pandangannya lagi. Namun kali ini, ia hanya melakukannya sepersekian detik. Seakan membulatkan tekad, si pria rambut hitam tersebut kini menatap Gintoki lekat-lekat.

"Gintoki, aku-", Toshirou mengeluarkan batuk kecil. "- aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama."

"Kesalahan?"

"Ya. Seperti yang aku lakukan pada Mitsuba dahulu. Aku-", Toshirou memejamkan matanya lagi dan menarik sebuah nafas pendek.

"Dahulu aku pergi dari hadapannya tanpa mengatakan apapun. Aku membuatnya terus menunggu. Aku menyesal, tidak mengutarakan hal yang seharusnya kusampaikan padanya…"

Ah, seru Gintoki dalam hati.

Jadi, mengenai ini.

Toshirou tentu masih mencintai gadis Beta lembut yang tidak pernah bisa ia raih lagi tersebut kan? Apa yang ia maksud dengan kesalahan? Tentu Toshirou tidak mungkin menempatkan Gintoki dalam posisi yang sama penting dengan Mitsuba -

"Kau, Gintoki."

Jantung Gintoki sesaat berhenti berdetak. Ia tidak pernah mendengar Toshirou menyebutkan nama kecilnya-

"-Adalah salah satu orang terpenting bagiku di dunia. Dan aku ingin kau yang bodoh ini mengetahui hal itu."

Gintoki merasa seakan ia sedang tersambar petir. Seluruh tubuhnya kaku dan ia hanya menatap Toshirou dengan pandangan kosong. Bibirnya merapat dan tidak dapat bergerak.

Pada saat itu, si maniak mayonnaise brengsek yang dicintainya itu malah memutuskan untuk mengambil satu langkah maju dan mendekati Gintoki. Satu lengannya terangkat sebelum dengan tangan bergetar - mengelus pelan rambut perak pria di hadapannya.

Mata merah marun dan biru redup itu bertemu.

Dan saat itu, mereka berdua seakan mengerti.

"Rambut gimbalmu ini memang selalu susah diatur," Toshirou tersenyum meledek. "Saat kita bertukar tubuh waktu itu, aku sampai harus menghabiskan tiga botol gel rambut untuk mengaturnya, kau tahu."

"Kalau kau sampai mencabut satu helai saja rambut perak Gin-san yang berharga, dia akan memotong tanganmu, mayora bodoh."

"Hei kau mengingatkanku bahwa uang yang kugunakan untuk membayar gaji anak-anakmu waktu itu belum kau kembalikan. Sepertinya kalau kepalamu ini kugunduli, aku bisa menjual rambutmu sebagai bahan sapu ijuk. Anggap saja untuk melunasi hutang-hutangmu."

"Ck! Kau harusnya berterimakasih karena aku tidak jadi memangkas poni berbentuk V anehmu itu! Aku menghabiskan berjam-jam dengan sia-sia hanya untuk merombak model rambutmu itu, tahu! Dan jangan lupa, aku pernah kehilangan hadiah lotre sebesar tiga ratus juta yen karenamu!"

"Hei, itu bukan gara-gara aku. Siapa suruh kau menjatuhkan nomor lotre-mu itu? Otakmu itu yang selalu tidak fokus! Kalau saja kau bisa menggunakan kepalamu dengan benar, dulu Sougo tidak akan punya kesempatan untuk memborgol kita berdua!"

"Kau lupa siapa yang membuatku ikut sembelit karena mayonnaise yang hinggap di parfait-ku?!"

"Pencernaanmu memang selalu bermasalah kan? Siapa suruh kau makan terlalu banyak gula."

"Kau sendiri sudah terjangkiti oleh kadar nikotin berlebihan."

"Dasar gimbal maniak gula bodoh."

"Kau pencuri-pajak idiot."

"Aku akan merindukanmu, brengsek."

"Aku ju-"

Gintoki tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena ada sesuatu yang tiba-tiba telah mengunci bibirnya. Sesuatu yang hangat.

Lembut, namun juga sedikit kasar.

Bau rokok yang kuat meliputinya saat Hijikata Toshirou, sang Alpha yang diam-diam ia dambakan, mengecupnya dengan lembut.

Ciuman itu terpaut singkat. Beberapa detik kemudian Toshirou telah menjauhkan wajahnya lagi. Dari ekspresinya yang kini setengah abstrak (Gintoki tidak bisa mengidentifikasi apakah Toshirou tengah meringis, tersenyum, menangis, atau bahkan panik), si pria rambut perak kini paham.

Toshirou tak ingin menyesali apapun lagi.

Mungkin dunia tidak terlalu membenci Gintoki.

"Kapan kapalnya akan pergi?" tanya Gintoki, diam-diam menikmati jari-jari berbau tembakau yang kini sedang mengusap rambut peraknya. Jarak antara wajah mereka tidak lebih dari tiga sentimeter. Gintoki dalam hati bersyukur karena ia diberi kesempatan untuk menikmati kedekatan ini tanpa salah satu dari mereka berusaha mematahkan leher rival di hadapannya.

Sepertinya, pada saat terakhir ini, tidak seorang pun dari mereka yang peduli dengan permainan anjing-kucing yang sudah terlanjur lekat dengan definisi hubungan mereka. Tidak Gintoki, tidak juga dengan Toshirou.

"Saat matahari terbenam. Kira-kira dua jam lagi."

"Oh."

Gintoki juga sama dengan Toshirou. Ia tidak ingin menyesali apapun. Waktu mereka singkat.

Kali ini, ia yang bergerak duluan. Memejamkan mata lambat-lambat, ia membawa wajahnya hingga bibirnya kini dapat bertemu dengan bibir milik Alpha di hadapannya. Seluruh sisi Omega dalam diri Gintoki ikut berteriak. Ia tidak pernah mencium seorang Alpha sebelumnya.

Gintoki dapat mencium feromon Alpha yang kental, mulai berepavorasi pada udara di sekitarnya. Ia merasakan seluruh hormon di tubuhnya sedang memohon, meminta untuk sang Alpha kuat untuk segera meng-klaim dirinya. Namun Gintoki mati-matian menahannya. Ia boleh mencintai Toshirou, ataupun mengharapkan akan sebaliknya, tapi pria tersebut tidak perlu tahu bahwa Gintoki adalah Omega.

Walaupun begitu, semakin sulit mempertahankan barier tersebut saat sang Alpha memutuskan untuk memperdalam cumbuan mereka. Perlahan, tidak ada lagi kata 'lembut' dalam kecupan-kecupan yang mereka lakukan. Gintoki dapat merasakan lidah Toshirou meminta izin untuk mengeksplorasi mulutnya, suatu hal yang tanpa ia pikir lebih lanjut, segera ia izinkan. Ia mulai dapat merasakan tangan-tangan itu kini turun dari posisi mereka yang sebelumnya masih ada mencengkeram rambut dan sisi kepalanya. Kini menjelajah seakan mencari lebih banyak kehangatan dari tubuh Gintoki.

Gintoki telah hanyut oleh gelombang raksasa ini. Persetan dengan barier. Toshirou dapat memperoleh apapun yang ia inginkan dari si rambut perak yang terlanjur tergila-gila padanya.

Gintoki tidak ingin kalah. Mendadak insting bertarungnya muncul saat Toshirou berhasil membuat mereka berdua jatuh terbaring dengan Gintoki berada di bawah beban tubuh si Alpha. Di tengah proses itu, bahkan Toshirou telah menurunkan resleting baju hitam Gintoki hingga terbuka sempurna, dan membuat bagian atas yukata yang dikenakannya kini hanya bergantung di ujung lengan kirinya. Gintoki menggenggam erat dua belah sisi kerah yukata biru tua yang Toshirou kenakan, sebelum dengan paksa ia hentakkan hingga jatuh terbuka.

"Gintoki-", Toshirou kembali menyebutkan nama kecilnya seakan mantra, di tengah-tengah lenguhan nafasnya yang seakan terus memendek detik kian detik. Feromon Alpha miliknya makin menebal. Menenggelamkan Gintoki dalam pikiran irrasional.

Mereka kembali mengunci mulut dengan satu sama lain dengan penuh gairah. Seakan ciuman tersebut adalah hal terakhir yang dapat mereka lakukan di dunia. Gintoki merasakan tangan-tangan Toshirou merayap ke balik baju yang dikenakannya. Membuat si rambut perak merasa seakan sang Alpha ada dimana-mana. Dan tidak ada hal lain dalam hidupnya yang lebih ia inginkan.

Si Omega rambut perak melanjutkan eksplorasinya. Menyentuh setiap inci kulit dari dada Toshirou yang kini terpampang di depan hidungnya dengan kedua telapak tangannya. Menurun menuju perut atletis yang dihiasi beberapa perban dan bekas luka. Hingga berhenti untuk bertemu obi yang masih menutupi setengah bagian privat sang Alpha.

Gintoki menutup matanya. Merasakan sengatan tiba-tiba ketika Toshirou memutuskan untuk menyerang tengkuk di lehernya kini. Gigitan dan jilatan yang akan meninggalkan bekas sementara. Tubuh di atasnya itu menempel semakin dekat dengan dirinya.

Tak lama ketika Gintoki kemudian dapat merasakan sesuatu yang keras dan padat bergesekkan dengan pahanya yang entah kapan telah terbebas dari celana hitam yang beberapa menit lalu masih ia kenakan. Menyisakan pakaian dalam berwarna murah muda dengan corak stroberi kebanggaan Gintoki.

"...baumu…", di tengah-tengah kabut kenikmatan yang makin menebal di kedua pelupuk mata si pria rambut perak, ia mendengar suara sang Alpha berkata dengan nafas yang terputus.

"...aku benar. Baumu sangat enak, Gintoki. Aku tidak bisa- menahannya lagi."

"Hijika-", namun Gintoki tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Karena Toushiro telah memutuskan untuk melanjutkan kembali kegiatannya, menelan kalimat apapun yang akan keluar dari mulut Gintoki dengan sebuah ciuman panas.

Di tengah-tengah suasana yang makin intim tersebut, entah mengapa pikiran rasional Gintoki masih dapat sesekali muncul untuk menyuarakan kekhawatirannya. Apakah mereka benar-benar akan melakukannya di sini? Gintoki tentu tahu bahwa saat ini tidak satu pun dari mereka yang punya niat untuk berhenti, dan ia paham kemana hal ini akan berlanjut...

Gintoki mencintai Toshirou. Ia akan berbohong jika ia mengatakan bahwa ia tidak pernah berimajinasi mengenai hal ini. Namun di sisi lain, Gintoki tidak pernah berhubungan intim dengan laki-laki sebelumnya (ia menganggap insiden dengan Madao tidak pernah ada), apalagi dengan seorang Alpha. Ia hanya pernah melakukan seks dengan beberapa wanita Beta, itu pun tidak pernah dengan orang yang sama.

Yang ia tahu, bagi seorang Omega, bercinta dengan seorang Alpha adalah hal yang berbahaya. Bukan, Gintoki tidak terlalu khawatir bahwa ia akan hamil (ia sedang tidak berada dalam masa suburnya, dan seorang Omega laki-laki biasanya hanya mengalami heat sekali dalam tiga bulan). Resiko hamil memang ada, namun dengan probabilitas luar biasa kecil.

Tidak, hal lain yang lebih mengkhawatirkannya adalah fakta bahwa ia mengetahui tentang klaim yang hanya dapat dilakukan oleh para Alpha. Klaim tersebut dapat mengikat sang Omega selamanya pada sang Alpha jika ikatan mereka cocok. Sang Omega tidak dapat lagi melakukan hubungan intim dengan siapa pun selain Alpha-nya lagi setelah itu, karena ikatan itu akan menyiksanya.

Jika Gintoki boleh jujur - terikat pada Toshirou dibanding Alpha lain merupakan satu-satunya hal paling baik yang bisa diterimanya sebagai seorang Omega. Alpha tersebut tidak perlu tahu. Ikatan yang kaum Alpha lakukan pada para Omega tidak akan berpengaruh apapun pada pemegang strata paling kuat tersebut. Seorang Alpha tetaplah seorang Alpha. Toshirou tetap dapat melakukan apapun yang ia inginkan setelah segalanya selesai.

Gintoki adalah pria yang egois. Ia ingin dirinya selamanya hanya ditautkan dengan satu orang. Ia telah mengizinkan Toshirou untuk melakukan hal ini. Karena itulah, Gintoki membiarkan dirinya larut dalam balutan kenikmatan yang sang Alpha tengah berikan.

Ia akan membiarkan Toushiro meng-klaim dirinya.

Setelah kecupan, erangan, tangan-tangan yang saling menjamah, gesekan-gesekan, posisi yang beberapa kali berganti saat mereka saling tumpang tindih - rasa nikmat luar biasa kemudian menyerang Gintoki saat akhirnya, ia merasakan Toshirou berada di dalam dirinya. Sang Alpha kini terhimpit dalam kehangatan yang tidak pernah Gintoki berikan pada siapapun.

(Toshirou tampaknya tidak sadar bahwa pelumas yang membantunya di bawah sana adalah cairan natural yang dimiliki para Omega. Mungkin ia berpikir bahwa Gintoki menyiapkan dirinya sendiri saat ia masih sibuk menyicipi hal lain.)

Gelombang demi gelombang menyapu si rambut perak seiring dengan gerakan yang Toshirou berikan. Air mata dan liur membasahi seluruh wajah sang Omega, bersamaan dengan erangan dan desahan yang terlepas dari bibir merahnya yang kini agak bengkak. Ia mencengkeram punggung Toshirou dengan kuku-kukunya. Meneriakkan nama sang Alpha dalam kenikmatan tiada tara.

(Gintoki yakin setelah ini, ia tidak dapat berhubungan intim seperti sedia kala lagi. Ini adalah seks paling hebat yang pernah ia rasakan dalam hidupnya.)

"Gin-"

Gintoki dapat merasakan benda milik Toshirou yang ada dalam dirinya tersebut membesar, dan ada beberapa ulir cairan keluar seiring gerakan sang Alpha yang makin kasar. Gintoki hanya dapat melihat percikan-percikan kembang api yang memekar, berpesta pora di dalam kelopak matanya. Suara Toshirou terdengar samar di tengah-tengah kenikmatan tersebut.

"Sialan- Kau sungguh manis- Baik aroma maupun segalanya- Gintoki-"

Gintoki mengeratkan rengkuhan kedua kakinya ke belakang punggung Toshirou. Membawa sang Alpha kian dalam ke kehangatan dirinya. Punggungnya melengkung saat sengatan itu menyerang tiada henti kini. Ia sudah nyaris ada di penghujung.

"Hijikata-"

"Panggil namaku, Gin-"

"Toshi-", sebuah erangan lagi. "Toshirou!"

Gintoki tidak ingin hal ini segera berakhir. Ia berjuang untuk menahan orgasme-nya dan merekam setiap detik senggama yang sedang mereka lakukan dalam memorinya. Usaha yang akhirnya percuma karena sang Alpha kemudian memutuskan untuk menyerang titik paling sensitif dalam tubuhnya dengan dorongan yang lebih kuat. Dan Gintoki pun menyerah.

Pekikan nama sang Alpha merupakan mantra yang Gintoki gaungkan ke langit sore di atasnya saat pandangannya dikuasai oleh warna putih. Ia tidak pernah merasakan sesuatu yang begitu hebat seperti ini sebelumnya. Terlebih dengan orang yang ia sangat cintai.

Toshirou mengikutinya beberapa menit kemudian. Mengunci mulutnya pada bibir Gintoki untuk membenam teriakan yang nyaris keluar dari pangkal lidahnya. Gintoki menenggelamkan jari-jarinya pada rambut hitam sang Alpha saat lidah mereka kembali bertautan. Menunggu indera mereka kembali mendarat dari puncak kenikmatan.

Saat Toshirou menjauhkan wajahnya yang penuh peluh dari depan hidung Gintoki, si rambut perak kemudian nyaris memekik karena sakit yang menyengat saat ia merasa seperti ada satu benda besar yang sedang mencoba menerobos dinding di dalam perutnya. Ah. Inikah ikatan Alpha itu?

"Uh, maaf Yorozuya. Aku tahu rasanya aneh di-ikat oleh sesama Alpha. Tapi kau tahu biasanya ini baru akan selesai setelah sepuluh hingga lima belas menit. Kau tidak apa-apa kan?"

Gintoki tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawahnya. Rasanya menyakitkan dan sangat tidak nyaman. Tapi ia agak sedikit lega saat mendengar bahwa Toshirou masih berpikir bahwa Gintoki adalah seorang Alpha sama seperti dirinya. Setidaknya itu akan membebaskan Toshirou dari rasa bersalah karena telah (tanpa sengaja) meng-klaim seorang Omega...

"Berisik. Ini sakit tahu. Saat kita bertemu lagi nanti, pokoknya kau harus menebusnya dengan sepuluh gelas parfait."

Toshirou mendengus dan tertawa kecil. Ia membenamkan kepalanya ke satu sisi pundak Gintoki. Berusaha membuat posisi mereka senyaman mungkin dengan dirinya yang masih ada di dalam tubuh Gintoki. Toshirou memeluk kekasih berambut perak-nya tersebut erat-erat dan mencium lembut kulit yang kini dipenuhi jejak kemerahan tersebut.

"Sial…", gumam si rambut hitam tersebut dengan bibir yang masih bersentuhan dengan kulit sisi leher Gintoki. "...Kini aku jadi merasa tidak ingin pergi sama sekali..."

Aku ingin berada di sisimu selamanya, seperti kalimat yang ingin Toshirou luncurkan setelahnya. Namun tidak ada kata yang ia lanjut ucapkan lagi.

"...jangan bodoh. Kau melakukan ini demi masa depan Edo", Gintoki meletakkan kedua telapak tangannya pada tiap sisi wajah Toshirou, membawa mata biru itu untuk menatap lurus dirinya.

"Aku akan menunggumu. Bimbing seluruh anak buahmu yang liar itu. Semua akan baik-baik saja jika kau ada di sana bersama mereka."

Ia juga tidak ingin Toshirou pergi dari hadapannya. Namun ada hal-hal yang harus mereka lakukan. Ada misteri yang menunggu untuk dipecahkan. Ada bahaya yang tengah menunggu untuk dikalahkan. Dan mereka tidak punya pilihan lain.

Gintoki mengecup lembut bibir pria di atasnya. Seakan memberikannya kekuatan.

Toshirou. Kekasihnya itu kini menatapnya dengan pandangan paling lembut yang pernah Gintoki lihat dari dirinya.

"Aku merasa bodoh karena baru melakukan hal ini saat waktu kita bersama tinggal beberapa jam. Seandainya aku lebih jujur sebelumnya."

"Hm? Kau baru sadar kau ini bodoh?"

"Tutup mulutmu, ikal alami brengsek. Kau juga sama saja."

"Salahmu punya temperamen kelewat tinggi. Semoga saat kembali nanti kau sudah sedikit lebih berkembang ya."

"Kau juga. Semoga sifat malasmu sedikit terobati."

Mereka berdua mendengus. Sebelum kemudian keduanya tenggelam dalam tawa kecil. Memang begini bentuk hubungan yang mengikat mereka. Sebuah kenyamanan yang orang lain belum tentu dapat mengerti.

Toshirou, masih tersenyum, mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Gintoki. Ia mengistirahatkan kepalanya di dada bidang si pria berambut perak dan memejamkan matanya, tampak damai.

Tidak butuh beberapa menit bagi Gintoki untuk kemudian merasakan lelah yang amat sangat tiba-tiba mulai menyerang dirinya. Toshirou masih ada di dalam sana dan sepertinya ia masih butuh beberapa menit lagi untuk bisa keluar. Namun Gintoki tidak dapat menahan rasa kantuk luar biasa yang makin mendominasi kesadarannya. Kelopak matanya mulai tertutup perlahan.

Mungkin pengaruh ikatan ini…, batin Gintoki sebelum kegelapan dan tidur yang lelap akhirnya melandanya.

Ia tidak pernah merasa lebih damai lagi…


Gintoki tidak kaget saat ia mendapati dirinya terbangun dengan menatap atap kayu reyot yang tidak dikenalnya. Ia mengenakan baju lengkap. Dan ada seorang pria berambut panjang tengah mengawasi dirinya.

"Hijikata-san tadi mengantarkanmu ke sini. Aku kira terjadi sesuatu karena kau tak sadarkan diri. Tapi ia bilang kau hanya terlalu mabuk sampai jatuh pingsan," jelas Katsura saat Gintoki memberikan tatapan penuh tanya.

"Dan ia-?"

"Sudah pergi. Kapal mantan anggota Shinsengumi dan Mimawarigumi telah berangkat kuranglebih satu jam lalu. Kau tidur seperti orang mati ngomong-ngomong."

Gintoki hanya mengangguk. Tidak ada lagi yang perlu ia ketahui. Ia kembali merebahkan kepalanya pada tatami tanpa alas tempatnya terbaring saat ini.

Seketika sesuatu yang menyakitkan seperti menyerang dadanya.

Toshirou telah pergi.

Ia telah pergi. Walau berjanji akan kembali. Entah kapan dan bagaimana.

Sama seperti Shouyou, yang pernah pergi dan kemudian kembali sebagai seorang monster. Hadir sebagai seseorang bernama Utsuro, sosok menyeramkan yang tidak pernah Gintoki kenal sebelumnya.

Gintoki memejamkan matanya erat-erat. Berdoa agar dirinya bisa kembali tertidur. Berusaha mengubur kenangan-kenangan buruk itu dalam ingatannya.

Sayangnya, ia tahu bahwa hanya mimpi buruk yang akan menjumpainya kelak.


To be Continued

Hi All, this is my first fic for this fandom. Persembahan untuk para penggemar HijiGin sekalian. Been years since I wrote fiction, yikes!

Untuk yang masih belum pernah dengar tentang Omegaverse, bisa baca selengkapnya di sini! /wiki/Alpha/Beta/Omega

Udah lama pengen banget nulis omegaverse fic untuk Hijigin, akhirnya tercapai juga. Semoga pembaca semua bisa menikmati ya!

Versi Inggris akan menyusul nanti dan akan saya publish di AO3. RnR will be appreciated! ^o^/