PROLOG


Insane Affection

Disclaimer: Harry Potter milik JK Rowling

Pair: Tom M. Riddle (Voldemort) & Hermione Riddle

Rate: M for Lemon I think…


Telah menjadi fakta yang sukar disangkal olehku, kenyataan bahwa aku menikahi Tom Marvollo Riddle, musuh abadiku sejak di Hogwarts Senior Highschool. Salah satu sekolah paling terkemuka seantaro Inggris raya. Selain karena penghuninya orang-orang berkelas dari keluarga terpandang, sekolah ini juga memberlakukan sistem ketat dalam menyeleksi siswa-siswa yang hendak masuk ke sekolah ini. Kau harus mempunyai kecerdasan diatas rata-rata atau membayar uang sekolah setinggi langit.

Aku tidaklah terlahir dari rahim keluarga terpandang, tapi sejak kecil aku memang diberkati bakat memaksimalkan kemampuan otakku. Hingga akhirnya aku menjadi satu-satunya siswi yang dapat meraih beasiswa di sekolah paling bergengsi itu.

Rasanya kebahagiaan hidupku berada di puncak tatkala menerima undangan resmi dari Hogwarts. Di ubun-ubun kepalaku sudah melekat mantra yang kurapal berulang-ulang; kalau aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memperbaiki kehidupanku selanjutnya.

Tak serta merta aku menjadi sukarela menikahi Tom, melainkan orang itu telah merampas segalanya dariku. Seluruh angan-anganku kala aku belum resmi menjadi siswi Hogwarts. Tidak pernah terbesit dihatiku kalau aku sanggup merubah pandanganku terhadap dirinya, bahkan hingga detik ini, hatiku terlanjur muak.

Sekelumit penyesalan bersarang dibenakku, kalau saja aku tidak terlalu terobsesi sekolah di tempat seperti ini. Semua tidak akan berujung begini. Memang sih selama aku bersekolah disana, aku dapat memuaskan hasrat haus ilmuku tanpa batas, guru-guru Hogwarts dibekali gelar-gelar tinggi dari universitas ternama.

Tapi sayang semua harus ternodai.

Tepat di tahun terakhirku di Hogwarts. Tom, anak pemegang saham tertinggi Hogwarts menghamiliku, ia memperkosaku, aku terpaksa membungkam mulutku dengan kenyataan yang ada karena aku berada dibawah ancamannya, salahku juga karena dulu aku sempat berurusan dengannya dulu, meludahinya ketika ia menyatakan cintanya padaku di tahun pertama kami. Padahal aku tak semestinya mengambil sikap berlebihan seperti itu.

Awalnya aku hanya tak menyukai perwatakannya yang semena-mena di lingkungan sekolah, mulai dari menghajar dan mengintimidasi Neville Longbottom setiap hari, dan mengolok-olok kedua sahabatku. Tidak sampai disitu saja, sejak kami mengobarkan sikap permusuhan, ia sering kali menyampaikan kabar bohong menyakitkan ke telinga para guru Hogwarts. Sampai suatu saat hubunganku dengan guru-guru merengang, terutama Professor Snape. Setelahnya sulit bagiku mendapat nilai bagus di banyak mata pelajaran.

Dari sekian banyak gadis di Hogwarts, kenapa ia harus menyatakan cintanya padaku? Kenapa ia harrus menyiksaku? Aku hanyalah perempuan dari keluarga sederhana, tak pantas menjadi kekasih dari anak salah satu orang paling berpengaruh di Inggris Raya.

Tapi ia malah memilihku!

Apa jadinya seorang gadis yang sedang memuaskan hasrat haus akan ilmu dan mengejar cita-citanya, harus menelan semua mimpinya akibat kedatangan lelaki urakan penuh intimidasi dan kekerasan sepertinya sementara gadis itu dipaksa menikahinya?

Tidak itu bukan hidupku! Aku tak mau menghabiskan sisa waktuku dengannya! Mengubur semua mimpiku menuntut ilmu di perguruan tinggi karena sekarang aku tengah mengandung anaknya..

Tapi aku tidak bisa menyangkalnya lagi,

'

'

'

Bunyi gemerisik air mengusik tidur lelahku. Perlahan aku membuka kelopak mataku yang entah mengapa terasa berat. Kurasakan samar-samar hangatnya sinar matahari menerpa tubuhku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menghilangkan pandangan kabur sisa-sisa dari tidurku. Kulirikan mataku sekilas ke ranjang yang kusinggahi. Ada bekas-bekas basah disampingku. Aku habis menangis?

Bangkit dari posisi meringkuk, aku duduk ditepian ranjang. Membenarkan helai-helai rambutku dengan menyisir paksa surai coklatku kebelakang.

Uh.. Pusing sekali. Berapa lama aku tertidur?

Kupedarkan pandanganku ke seantaro ruangan. Ini bukan kamarku, kamarku tidak semegah ini. Ruangan ini bernuansa putih keperakan di setiap furnitur dan segala perabotannya. Bergaya maskulin ketimbang feminim seperti kamarku. Dimana aku?

Suara gemiricik air kembali terdengar di telingaku.

Ah aku baru ingat…

.. Aku benar-benar sudah menikah sekarang.

Lihat saja cincin kurang ajar yang tersemat di jari manisku tanpa restu dari hati ini. Ingin aku membuangnya jauh dariku. Melihatnya hanya menyulut emosiku hingga mendidih dikepala.

Aku membuang napas resahku, lebih baik aku tetap berada di dunia mimpiku daripada harus menghadapi kenyataan ini kembali.

Tiba-tiba suara percikan air itu menghilang, tak beberapa lama berselang, suara pintu berderit menandakan bahwa seseorang telah tuntas membilas tubuhnya.

Tom keluar dengan sehelai handuk tebal yang menutupi daerah selankangannya. Ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri, sisa butiran air yang bersarang dikepalanya sontak berjatuhan dengan ramainya.

"Entah kenapa aku punya firasat kau sudah terbangun dari tidurmu, dan benar saja." Ia memandangku dengan sorot mata dingin.

"…" Aku tak menjawab, lebih memilih memalingkan mukaku dari sosoknya, memandang kebun keluarga Riddle dari balik bingkai kaca.

"Suka atau tidak suka, kau harus cepat berbenah diri dan turun kebawah, ayah sudah menunggu kita untuk sarapan pagi."

"Pergi saja sendiri." Kataku ketus.

Kudengar derap langkahnya mendekat, langkahnya terdengar sangat mengintimidasi. Tapi tidak sedikitpun aku bergeming untuk menghentikannya. Aku tahu apa yang ingin ia lakukan, hal baru yang dia sukai sejak dua hari silam, yah sejak malam pertama kami..

"Hermione.."

PLAK!

Satu tamparan keras lewat punggung tangan Tom menghantam kulit pipiku, kepalaku terhempas kesamping berlawanan arah dengan posisinya berdiri. Aku tetap tak bergeming, namun demikian tangisanku sudah berada di ujung pangkal tenggorokanku. Kalau saja tanganku tidak terkepal erat mencengkram sprei kasur, tangisku bisa pecah kapanpun juga.

Inilah Tom sesungguhnya, pria yang amat mencintai kekerasan lebih dari siapapun. Alasan mengapa aku dulu amat menghindarinya walaupun ia tampak mendambakanku saat dulu sekolah.

Meskipun aku kecipratan harta yang berlimpah dari keluarganya, aku yakin, yakin sekali, kalau kedepannya aku tidak akan pernah dapat menikmati hidup seperti sedia kala lagi. Tidak sedikitpun kukira.

Yang kulakukan saat ini hanyalah mempertahankan nama baik kedua orang tuaku, aku tidak ingin mereka dicap orang tua yang gagal karena aku kedapatan hamil diluar nikah. Aku tidak mau menarik mereka dalam perkara ini.

Pilihanku sendiri memilih Hogwarts waktu itu, tempat yang bukan menjadi habitatku sehingga aku menjadi pusat perhatian orang-orang kala itu, pilihanku juga bersikap congkak ke pemuda ganas ini. Sekarang aku lah yang menuai hasilnya.

TBC