Disclaimer : Meitantei Conan © Aoyama Gosho. Yu Yu Hakusho © Yoshihiro Togashi. The Five People You Meet in Heaven © Mitch Albom. Christmas Carol © Charles Dickens.
A/N : Bukan sebuah cross-over! Cuma minjem beberapa konsep gaib : Ferry girl (Yu Yu Hakusho… Surprise, surprise, blue haired ferry girl fans!) dan tiga roh-nya Uncle Scrooge. Takes after series. I assure you it's a fluff. Disgustingly fluff. Emm... Sebenarnya general genre termasuk. Depends from what kind point of view you see it.
Come What May
(Apapun yang Terjadi)
Aku ingat pernah membaca sebuah buku, judulnya The Five People You Meet in Heaven. Di buku itu, protagonisnya yang bernama Eddie mati karena sebuah kecelakaan.
Disebutkan pula, Eddie tidak melayang-layang di atas jasadnya seperti orang-orang yang baru saja meninggal dalam film-film. Karena roh yang melayang-layang itu adalah roh yang diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki urusan yang belum selesai dalam hidupnya. Pasti urusannya sangat krusial.
Si Eddie ini, begitu ia terbangun, sudah berada di alam baka. Yang suasananya justru mirip sekali dengan lingkungan masa lalunya. Di sana ia bertemu satu per satu dengan lima orang yang mempunyai friksi dengan kehidupannya baik langsung maupun tidak langsung.
Sebagai orang yang setengah hidupnya bergolak dengan logisme, deskriptifme, dan detektifisme, sebenarnya aku tidak pernah terlalu memikirkan fase kehidupan kedua.
Mati ya mati. Hidup ya hidup.
Tapi rasa penasaran tetap ada. Dari semua buku fiksi yang pernah kubaca, karya Mitch Albom itulah yang paling membentuk persepsiku tentang alam baka.
Seperti Eddie, aku tidak begitu tahu bagaimana jalannya milidetik terakhir hidupku. Yang kuingat hanyalah… melihat lampu mobil yang datang berlawanan arah di satu jalur jalan yang sama. Aku membanting setir. Bunyi decitan. Benturan keras yang berulang. Lalu…
Gelap.
Aku tidak merasakan apa-apa. Tapi suara di otak mengatakan berulang, "Apa aku sudah mati? Apa aku sudah di alam baka? Mana 'lima orang' ku?"
Tidak bercanda.
Begitu membuka mata, di sinilah aku berada. Melayang-layang di atas tempat lokasi kejadian. Bekas tabrakanku sangat mengenaskan. Kawasan hutan yang kulewati penuh dengan jurang terjal dan tikungan tajam. Hari itu juga hujan rintik-rintik. Jalanan licin dan gelap. Kalau mobilku sampai penyok total dan sekarang sedang terlunta-lunta di ujung tebing, hanya tersangkut pada ujung dahan sebuah pohon, asap mengepul dari kap mesinnya, aku tidak heran. Aku sendiri tidak nyali melihat keadaan jasadku di dalam mobil.
Untung saja aku pengemudi tunggal. Tidak ada korban lain.
Intinya, aku sudah mati.
Setidaknya, begitulah kata malaikat kematian yang ada di sampingku tadi. Ia mendatangiku ketika aku sedang gelagapan melesat ke sana kemari di angkasa, belum bisa memanuver kondisi baruku.
Aku baru tahu kalau mereka, malaikat kematian maksudku, adalah wanita manis yang memakai kimono ringan dan – menunggang – sebilah dayung boat. Itu tidak logis. Maksudku, dari segala benda yang lebih bagus di dunia… Dayung boat? Memangnya boat itu eksis di surga neraka?
Tapi kurasa aku sudah cukup shock melihat dengan mata kepala sendiri lokasi kematianku sehingga tidak mencoba berargumen tentang logis tidak logisnya lingkunganku sekarang.
Siapa tahu ini mimpi.
Lagipula, konsep alam baka memang selalu penuh kejutan kan? Belum ada yang tahu seratus persen. Misteri yang belum terpecahkan bahkan oleh sains. Siapa yang tahu kalau pekerja-pekerja alam baka tingkat atas memakai transportasi berupa UFO?
Jadi penasaran, kira-kira malaikat kematian luar negeri seragamnya apa ya?
"…jadi begitulah, Heiji Hattori. Bagaimana menurutmu?" ujar malaikat berambut biru yang dikuncir itu, menoleh padaku seraya tersenyum.
Ups. Apa tadi katanya? Aku tidak mendengarkan sama sekali. Memang ada bunyi bla bla bla bla berdengung di telingaku tadi tapi aku tidak menggubrisnya.
Melihat ekspresi kosongku, dia melengos lelah. "Syoknya belum hilang juga ya?"
"Uhm… sepertinya." Fokus, Heiji, fokus. "Maaf, tadi pikiranku melayang entah kemana. Bisa diulang, Botan?" Kalau tidak salah, tadi dia bilang namanya itu.
Sepertinya ia sudah fasih menghadapi roh-roh yang blengki sepertiku. Lantas, setelah berdehem beberapa kali, Botan memulai lagi. Nadanya penuh kesabaran.
"Mungkin tadi aku terlalu melewati banyak detil. Baiklah, akan kujelaskan semuanya dari awal, benar-benar awal. Bagaimana kalau dimulai dari catatan kehidupanmu saja?"
Ia jelas tidak menunggu aku menyetujui atau tidak. Karena tanpa melihatku lebih lanjut ia sudah keburu mengambil sebuah buku kecil bersampul kulit hijau dari dalam ikat pinggangnya, menyibak beberapa halaman. Menemukan entah tulisan apa itu yang ia cari.
"Heiji Hattori, hmm-hmm… ah ini dia. Lahir di Kyoto, dua puluh dua tahun yang lalu… Menurut buku catatan amal dan dosa ini… Kau cukup baik. Sering membantu orang yang kesulitan, terutama dalam memecahkan kasus pembunuhan terselubung. Pekerjaanmu detektif, bersih dari korupsi. Kau juga adil, suka menjunjung kebenaran, yak… kadang tidak patuh pada orang tua – tapi masih bisa ditolerir, belum termasuk kategori anak durhaka. Dasar-dasar sifat terpujimu bagus kok," ujarnya, sibuk membaca buku kecil tersebut. "Sebenarnya kau bisa mulus pergi ke surga sekarang juga."
Menurutmu, mendengar catatan amal dan dosa yang dikumpulkan seumur hidup dibacakan dengan cablak seperti itu, aku harus menangis atau tertawa? Hm?
"Hanya saja ada satu yang mengganggu. Seputar kejujuran hati dan… Hmm…" Botan mengangkat kepalanya, menatapku bulat-bulat. "Sebenarnya kau dengan gadis yang bernama Kazuha Toyama itu kenapa sih?"
"Hah!"
"Ada masalah apa dengannya? Karena menurut catatan ini, garis nasibmu dan dia seharusnya sudah tersambung sejak, kurang lebih, enam tahun yang lalu," kata Botan, "tapi sayangnya setiap detik-detik terakhir, garis kalian selalu bertolak kembali."
"Tunggu, tunggu!" seruku frustasi. "Apa maksudmu 'tersambung'? 'Bertolak'? 'Garis nasib'? Aku tidak mengerti, dan kenapa harus ada hubungannya dengan Kazuha!"
Oke. Jangankan Botan yang kini menatapku aneh, aku sendiri merasa terlalu berlebihan menanggapinya. Yah. Akhir-akhir ini aku memang sangat sensitif mendengar nama Kazuha. Si Ahou itu.
Kenapa seperti baru saja ada bunyi debam dalam perutku?
Botan berdecak seraya berkacak pinggang, "Masih saja menyangkal. Sebenarnya aku tidak boleh membuka rahasia langit, tapi sudahlah. Lagian kau kan sudah mati. Tidak kusangka manusia yang katanya cerdas sepertimu bisa lamban menangkap sinyal takdir."
Kalau ada urat berbentuk plus menyembul di dahiku, karena aku merasa uratku menegang di sana, Botan tidak melihatnya.
Dia melanjutkan, "Kazuha adalah cinta sejatimu. Dan vice versa. Kalian – sebenarnya – ditakdirkan untuk bersatu. Menyokong satu sama lain sampai tua. Sepasang belahan jiwa."
Hening.
Sunyi.
Senyap.
Orang mati tidak bisa pingsan ya?
"Oy?" Botan melambaikan tangannya di depan wajahku. "Halo… Bumi memanggil Heiji. Aduh, kagetnya jangan sampai seperti itu dong. Coba ikuti aku ya. Tarik napas… Hembuskan… Tarik napas… Hembuskan…"
Anehnya, aku menuruti instruksi Botan. Tunggu. Logisme tidak berjalan selaras di sini. Memangnya orang mati butuh oksigen? Kudengar roh itu adalah senyawa oktoplasma yang…—cukup. Kan aku sudah janji barusan kalau tidak mau menghubungkan semua peristiwa ini dengan logisme.
Karena dalam dunia logisme, tidak mungkin aku baru saja mendengar kalau Kazuha… adalah belahan jiwaku.
Tidak. No. Nay. Nada. Nil. Iie.
Tapi kenapa degup di dada ini seperti mau meledak keluar, menyambut gempita pernyataan Botan barusan?
"Ka-Kazuha… adalah…" Seseorang, tolong, aku tercekik! "…Cinta sejatiku?"
"Yap. Heiji, di catatan ini kau memang ada sedikit masalah dengan yang namanya 'penyangkalan hati nurani'. Ini masalah klasik manusia. Sedikit saja salah, selalu berujung ke jalan nasib yang sangat berbeda dari sebelumnya."
Botan menutup bukunya hingga menimbulkan bunyi 'tep' yang khas. Ia memasukkan catatannya kembali ke dalam. Lalu tersenyum lebar.
"Baiklah, aku sudah memberikanmu pembuka. Sekarang dengar. Aku, Botan, adalah penghubungmu antara alam baka dan alam fana. Kau ini sebenarnya sudah mati, dan tugasku seharusnya mengantarmu ke gerbang kehidupan selanjutnya. Tapi ya… itu tadi…" Botan mengangkat bahu. "Ada sesuatu yang menahan kita untuk berangkat."
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Kalau kau pergi sekarang, ada kebahagian seseorang yang…" tiba-tiba Botan membelalak. Lalu tertawa gugup sembari menempelkan telunjuknya ke bibir. "Ups. Aku tidak boleh mengatakannya sekarang. Pokoknya, Heiji, si takdir, masih sangat amat mencintaimu. Dia juga tidak puas akan kalau kau harus meninggalkan segala kehidupan duniawi, apalagi Kazuha, sekarang."
Kalimat Botan yang terakhir, entah mengapa, serasa membuatku ditampar kenyataan.
Aku telah mati.
Dan itu artinya aku harus… berpisah dengan semua isi dunia ini?
Kenapa sekarang hatiku pedih?
Aku tidak akan bisa memecahkan kasus lagi.
Oh tidak. Kudo akan merebut semua kejayaanku!
Aku juga belum sempat menangkap Kid si Pencuri!
Dan… dan… masih banyak lagi, yang belum kuraih di dunia!
Aku bahkan baru lulus universitas enam bulan yang lalu dan aku sudah harus mati!
Tapi di atas itu semua…
Aku…
Aku harus meninggalkan Kazuha?
…….Tunggu.
Memangnya kenapa? Sama seperti aku harus meninggalkan kedua orang tuaku. Sama seperti aku harus meninggalkan Kudo. Sama seperti aku harus meninggalkan kasus-kasus pembunuhan. Aku juga akan meninggalkan Kazuha.
Kenapa yang terakhir itu…
…Aku tidak mau.
Aku dan dia…
Aku dan dia…
Sebenarnya aku dan dia ini apa?
"Aku mengerti," sahutku, mengangguk cepat. "Bisa aku ke tempat Kazuha sekarang, untuk melihatnya… terakhir kali?"
Mungkin dengan menjahilinya terakhir kali sebagai hantu bisa menenangkan hatiku yang entah kenapa memanas ini. Mungkin setelah melihatnya, plus orang tuaku –berhubung rumah kami dekat, dan Kudo – malaikat kematian tidak masalah kan bepergian ke Tokyo sebentar, aku bisa puas.
Benarkah?
"Oh, itu tidak perlu," jawab Botan enteng. Giliranku yang membelalak. Menurutku permintaan tadi kan sangat ringan. Aku bahkan belum minta yang terakhir – yang ke Tokyo untuk menghantui Kudo? Melihat ekspresiku, Botan buru-buru melanjutkan. "Karena... Wah, Heiji Hattori, kamu kok cepat sekali menyerah sih? Seperti bukan kamu saja. Roh-roh lain selalu merengek-rengek dan memelas sepenuh hati, susah payah meminta kesempatan kedua jika bertemu denganku."
"Kesempatan kedua?"
"Aduuhh…! Kamu dari tadi tidak menyimak – err – menangkap maksudku yang tersirat ya? Kamu itu belum bisa ke gerbang kematian karena mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali! Memangnya kau tidak mau menyatakan perasaanmu pada Kazuha?"
Aku tidak mencerna kalimat Botan yang terakhir. Yang kutahu, detik berikutnya aku melonjak girang ke udara. Oh, Mitch Albom, betapa tepat bukumu. Aku adalah roh yang mendapat kesempatan kedua.
Dan urusanku?
Apa urusanku yang krusial?
Krusial…
Terpenting dalam hidupku…
Oh.
Oh tidak.
Urusanku yang belum terselesaikan di dunia…
Dengan seseorang…
Kenapa dia lagi yang muncul di kepalaku? Hilangkan bayangan gadis berkuncir kuda yang menyebalkan itu, hilangkan bayangan cewek pemarah yang suka menjitakku itu… Suara cemprengnya yang selalu mengataiku 'Ahou'… Oh ya! Tentu saja aku ada urusan dengan seseorang! Kudo! Kasus terakhir yang kemarin itu kan belum terpecahkan… Bayangan gadis berkuncir kuda… Kudo… Ahou… Kudo… Ahou…
Kepalaku sakit…
"Kazuha…?"
Tanpa sadar nama itu sudah meluncur keluar dari mulutku.
Botan, tidak menggubris ekspresiku yang membeku, mendecit gembira mendengar gumaman tadi. "Akhirnya…! Jreng jreng jreng. Tepat sekali. Susah juga ya kalau efek benturan di kepala pas kecelakaan tadi terbawa sampai mati."
Seperti ada orang yang memencet tombol ON dalam kepalaku, seperti mesin yang semakin memanas, seperti komputer yang baru bisa mengakses semua folder rahasianya, aku kembali tersadar.
Sial. Sial. Sial. Sial. Sial.
Sialan.
Memang ADA yang harus kukatakan pada si Ahou itu.
Aku harus melihatnya. Aku HARUS bertemu dengannya sekarang.
Realita bahwa aku akan terpisah selamanya dengan Kazuha mulai menggerayangi kepalaku, dan dadaku tiba-tiba sesak. Semuanya sempit.
Tunggu. Aku kan punya kesempatan kedua.
"Botan, kembalikan aku pada tubuhku! Cepat!"
Aku tidak mau mati. Sama sekali tidak mau. Dan itu baru kusadari… sekarang?
Syukurlah aku punya kesempatan kedua kalau begitu. Aku beruntung.
Tapi malaikat kematian itu hanya menatapku datar.
"Dengan senang hati, kami akan membuatmu kembali hidup, Heiji. Hanya saja sebelumnya kami perlu memastikan apa kau benar-benar pantas mendapat kesempatan kedua itu," ujarnya.
"Tentu saja aku pantas!" Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak menyerapahnya. Kebiasaan buruk itu perlu dibuang. "Kau yang bilang sendiri aku masih punya urusan yang belum terselesaikan! Memang ada, selain kasus-kasus yang belum kupecahkan, aku… sesuatu yang harus pada seseorang… Kazuha…" Aku terhenti. "…adalah…"
"Kenapa berhenti?" pancing Botan.
Aku terdiam. Adalah apa, bagiku?
Botan berdecak lagi. "Benar-benar penyangkalan nurani sampai lubuk terdalam, kau ini. Sampai mati pun masih. Kau mencintai Kazuha?"
"Apa?"
"Jawab, Heiji."
Apa itu cinta?
Jangan menatapku seperti itu, hei. Aku benar-benar tidak tahu. Memangnya kapan aku ada waktu untuk mempelajari sesuatu yang menggelikan itu?
Aku tidak mengerti.
Aku membayangkan Kudo dan Neechan. Bagaimana Neechan dengan sabar menunggu Kudo kembali ke wujud asal. Bagaimana Kudo brengsek itu begitu peduli pada Neechan, begitu melindunginya. Mereka jatuh cinta, jelas sekali. Kalau tidak, mana mungkin mereka berbuntut dengan bertunangan setahun yang lalu?
Tapi… apakah aku dan Kazuha seperti mereka?
Selama ini aku menganggapnya tidak lebih sebagai adik yang harus dijaga. Aku tidak akan membiarkan apapun, atau siapapun, melukainya.
Tapi…
Bukan cinta sejati. JELAS bukan cinta sejati. Pengurus alam baka – siapa pun itu yang menulis bahwa Kazuha seharusnya – aku tidak bisa untuk tidak mengucapkannya tanpa bersendawa, ugh – adalah cinta sejatiku harus ditembak. Atau digantung terbalik.
Ahou—Kazuha, maksudku lagi, sudah lebih seperti saudara bagiku.
"Aku tidak tahu," jawabku. Aku bingung. Benar-benar bingung, dan itu murni dari dalam lubuk hati. Menatap Botan, aku berharap ia membantu mencari jawaban yang benar.
Botan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Tidak apa-apa, Heiji. Kami akan membantu menemukan kebenaran sejati di dalam hatimu," katanya. "Karena kebenaran sejati, adalah tiket masuk pintu 'kesempatan kedua'."
"Tiket masuk pintu 'kesempatan kedua'?" aku bingung.
"Hey, kau kira kami bagi-bagi kesempatan berharga itu dengan gratis dan membiarkan orang-orang tumpul seperti kalian mati lagi tanpa meraih gol apapun?" respon Botan jengkel. "Maksud dari kesempatan kedua itu kan, selain memperbaiki urusan yang belum selesai, adalah membuat hidupmu lebih berarti bagi orang lain, selain bagimu sendiri. Karena kematian dan kelahiran itu seperti kunci rantai, Heiji. Selalu berhubungan satu sama lain, tanpa kita sadari."
"Dan kami ingin, agar kau membenarkan trek kunci rantaimu yang agak kacau, terutama dengan Kazuha, orang yang paling penting dalam hidupmu" suara Botan mengecil, ia nyengir. "Dan orang yang paling memiliki tautan nasib paling krusial, dalam takdirmu."
"Oh… hentikan!" sahutku, menekan kepalaku yang mulai berdenyut. "Jangan membuatku tambah bingung!"
"Engga kok! Okelah! Sudah siap, Heiji?" Botan meraih tanganku, seiring dengan itu dayungnya mulai bergerak, menanjak ke atas. Kubiarkan tubuhku mengikuti. Melayang. "Sebentar lagi akan ada tiga instruktur yang akan membawamu… berputar-putar… pindah dari satu dimensi ke dimensi lain…"
"Untuk apa?"
"Duh! Untuk memberimu pelajaran tentang kebenaran sejati, tentu saja! Kau benar-benar mau dapat kesempatan kedua engga sih!" seru Botan, menahan diri untuk tidak menggetokku dengan ujung dayung.
Aku diam saja. Dongkol. Seratus persen aku mau. Siapa juga yang mau mati muda?
"Persiapkan hatimu."
Sebelum aku bertanya macam-macam lagi, kami sudah melaju dengan sangat kencang. Melesat, bagai mengejar bulan purnama di atas sana. Menoleh ke bawah, lokasi kematianku semakin kecil… dan mengecil.
Melintas di pikiranku bagaimana ekspresi Kazuha ketika mendengar aku tewas dalam kecelakaan.
Aku tidak mau membayangkan. Karena aku akan hidup. Hidup, dan akan kembali untuknya…
Emm…
Maksudku, kembali pada urusan duniawiku yang lebih penting lainnya.
Tapi sebelum itu, entah pelajaran macam yang akan diberikan instruktur-instruktur yang tadi dikatakan malaikat kematianku.
Aku baru mau mulai menjerit padanya untuk mengurangi kecepatan sebelum yang bisa kudengar hanya gesekan angin. Ini terlalu cepat. Ouch. Lalu semuanya gelap.
