::surperrese::

Chapter 1

By archiella

[Woojin x Hyeongseob]

Romance, Fantasy, Vamp! YAOI OOC

Saya hanya meminjam para karakter disini, I just own the whole story

Sedari tadi Hyeongseob sama sekali tak bisa tenang. Matanya terus-terusan berputar-mengedarkan pandangan sembari mengigit bibir, menandakan ia begitu panik. Pikirannya juga bercabang-cabang tak karuan, Hyeongseob tak bisa berpikir jernih.

Ponsel miliknya sedari tadi hanya diputar-putar bimbang. Ia benci saat-saat seperti ini. Saat ketika ia ceroboh dan saat ketika ia kehilangan kalung kesayangannya. Sebenarnya itu bukan kalung kesayangan, hanya saja kalung dengan penuh amanat karena itu kalung turun-menurut dari kakek buyutnya entah urutan berapa. Maka dari itu Hyeongseob harus menjaganya baik-baik.

Salah Hyeongseob juga, saat tadi sesi menjelajah hutan bersama tour guide ia malah menggenggam kalungnya lantaran kerah baju seragam kemah sangat tak nyaman. Dan ketika sampai ke area perkemahan, Hyeongseob baru sadar kalungnya sudah tak ada ditangannya lagi.

Dan buruknya Hyeongseob telah melakukan hal yang dibencinya sekaligus. Jika ia melakukannya dirumah atau dilingkungan sekolah, Hyeongseob masih bisa tenang. Namun sepertinya situasi tak berpihak padanya sama sekali. Yah, kenapa harus disaat acara tahunan kamping sekolah seperti ini. Ugh, Hyeongseob benar-benar membenci dirinya.

Kemudian, mata Hyeongseob menangkapan sesosok bayangan dari luar tenda yang hendak mendekat. Tetapi sepertinya Hyeongseob sama sekali tak memperdulikannya.

"Kau kenapa sih? sudah hampir makan malam, tapi tak segera keluar." Ujar pemilik sosok bayangan tersebut. Kepalanya menyumbul masuk tenda.

Hyeongseob menghembuskan nafasnya dengan begitu berat. "Tak apa-apa, hanya sedang unmood saja Hoon."

Lawan bicaranya sekaligus teman satu tendanya-Park Jihoon menampilkan wajah yang tak puas. Sepertinya ia curiga dengan sikap Hyeongseob yang tak seperti biasanya. Ahn Hyeongseob yang ia kenal adalah laki-laki cerewet yang selalu membuat telinga Jihoon panas. Namun melihat Hyeongseob yang tak bersemangat ini membuat Jihoon penasaran.

"Ayolah cerita padaku, tak biasanya kau seperti ini Seob. Tak biasanya sikapmu berubah 180 derajat seperti ini." Jihoon kemudian masuk tenda dan duduk disebelah Hyeongseob.

"Ah, lagipula jika aku bercerita memangnya kau mau membantuku?" Kata Hyeongseob lalu merendahkan kepalanya.

"Ya selama aku bisa membantumu kenapa tidak? kecuali kalau kau meminta hal-hal yang tak masuk akal." Balas Jihoon sembari meraih botol air mineral dan langsung meneguknya hingga hampir habis. "Memangnya kau mau minta bantuan apa sih? aku penasaran."

"Itu," Jawab Hyeongseob menggantung, lagi-lagi ia mengigit bibirnya. "Itu...,"

"Ya itu apa Seob? Aku tak mengerti."

"Bantu aku mencari kalungku malem ini ya, ditempat tadi pas tour guide, please please."

Jihoon langsung membeserkan matanya, raut wajah remaja laki-laki itu sudah menjawab semua. Gila, mau cari mati? hutan ini bukan pusat perbelanjaan myeongdong yang jika tersesat ada plang arah dan bisa bertanya pada satpam.

"AHN HYEONGSEOB JANGAN PERNAH MENGAJAK DIRIKU UNTUK MATI!"

"SIAPA YANG MENGAJAKMU MATI SIH." Balas Hyeongseob sembari menghela nafas panjang kemudian mengerucutkan bibirnya. "Aku tak tau lagi kalo sampai kalung itu benar-benar hilang, apa yang harus ku katakan pada mama."

"Jangan seperti itu, aku jadi ikut sedih." Ujar Jihoon lagi menatap Hyeongseob yang tengah menunduk.

Sekarang gantian Jihoon yang tampaknya berkali-kali menghela nafas dengan berat dan panjang. Duduk disamping Hyeongseob serta sesekali melirik Hyeongseob membuat Jihoon tak tenang. Jihoon ingin membantu tapi sekaligus takut.

"Aku sebenarnya ingin membantumu Seob. Tapi jangan malam-malam seperti ini, apalagi tanpa pendamping."

"Besok pagi kita harus segera meninggalkan tempat perkemahan Hoon, mau tak mau harus sekarang. Lagipula aku tak mau merepotkan para panitia, kasihan mereka pasti lelah."

Hyeongseob kemudian keluar dari tenda, meninggalkan Jihoon yang masih duduk terdiam di dalam tenda. Ia berdiri sembari meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku sebelum akhirnya mengambil langkah baru untuk pergi. Tangan kanannya menggengam ponsel dan tangan kirinya menggenggam senter dengan kualitas cahaya super terang. Dan tentu saja Hyeongseob membawa ransel kecil.

Kali ini ia mantap nekat pergi ke dalam hutan. Seingat Hyeongseob selama tour tadi tidak terlalu masuk ke dalam dan ada beberapa plang arah. Ia benar-benar ingin kalung itu kembali padanya. Ia tak mau membuat mamahnya marah dan kecewa, Hyeongseob sudah terlalu sering membuat mamanya marah.

Hingga akhirnya posisi Hyeongseob sekarang tepat berada di pagar tali perbatasan antara kawasan aman dan tidak aman. Aman menandakan kawasan kemah yang sekarang tengah diadakan, sementara tidak aman merupakan kawasan yang jika dilewati harus ada izin karena berbahaya. Itu berarti Hyeongseob telah melanggar peraturan tersebut. Dan secara illegal.

Sementara Jihoon yang awalnya mengira Hyeongseob keluar tenda hendak makan malam langsung melompat keluar tenda ketika menyadari arah Hyeongseob berjalan berbanding balik. Oh astaga, laki-laki itu benar-benar nekat. Jihoon tak bisa membiarkan Hyeongseob pergi sendirian.

Dengan sekuat tenaga Jihoon lari meninggalkan area tenda-tenda dan mengejar Hyeongseob yang sepertinya akan melompat melewati pagar. Pintu masuk menuju kawasan berbahaya hutan dijaga oleh beberapa panitia. Namun pagar yang hanya sebatas pinggang Jihoon itu terlihat aman dilewati.

"Seob sudahlah lupakan saja," Hyeongseob menatap wajah Jihoon dengan tatapan datar.

"Aku ini kan pergi sendiri Hoon. Sudahlah lebih baik kau pergi makan malam saja, yang lain sudah berkumpul."

"Hyeongseob—,"

Baru saja Jihoon ingin kembali membujuk Hyeongseob untuk kembali ke tenda kemudian mengajaknya makan namun Hyeongseob sudah melompat pagar.

"ASTAGA AHN HYEONGSEOB!"

Entah mengapa Jihoon malah ikut-ikutan melompati pagar pembatas dan mengikuti Hyeongseob masuk ke dalam hutan. Jihoon kemudian lari menyamakan posisinya melangkah dengan Hyeongseob.

Sementara dari jauh tepat di dalam area perkemahan ada sosok yang menatap mereka begitu tajam. Setelah memastikan Hyeongseob dan Jihoon sudah jauh, kakinya melangkah ikut memasuki hutan.


Kini mereka sudah lumayan jauh dari area perkemahan. Dan menurut Jihoon ia sepertinya sudah berjalan sekitar 3 kilometer? entahlah ia hanya menebak-nebak saja. Ia merasa sudah jalan begitu jauh, namun Hyeongseob masih terus saja berjalan tanpa lelah.

Jujur saja sebenarnya Jihoon tak mau ikut tapi ia tak bisa membiarkan sahabatnya itu pergi sendirian. Ia tak mau kejadian yang dialami orang yang ia sayang terjadi kembali. Ia memiliki kenangan buruk yang sangat ia benci.

"Pegang ini." Ujar Hyeongseob memberikan Jihoon ponselnya yang flashlightnya sudah menyala. Lumayan terang dan cukup untuk penerangan. Sementara Hyeongseob memakai senter dengan kualitas lampu yang lebih terang untuk mencari kalungnya.

Hyeongseob tak perlu bertanya mengapa Jihoon malah justru mengekorinya sekarang. Ia tahu betul temannya ini tak akan tega membiarkan Hyeongseob menyusuri hutan malam-malam seperti ini. Apalagi suasananya terkesan creepy. Jujur saja mereka berdua sebenarnya sudah sangat merinding hingga bulu kuduk mereka berdiri semua.

Sudah hampir 2 jam lebih mereka berkutat di area yang Hyeongseob pastikan tempat tadi kelompoknya melakukan tour. Jihoon bahkan tampak kelelahan namun Hyeongseob masih saja bersikeras mencari. Hyeongseob benar-benar tak seperti biasanya, ia tak pernah sampai seserius ini. Bahkan Jihoon sampai heran mengapa sahabatnya ini bisa begitu sangat serius, entah apa yang merasuki dirinya.

"Seob ini sudah jam 11 malam, ayo kembali. Aku takut mereka tau kita pergi diam-diam seperti ini."

"Nanti dulu Park Jihoon, aku masih penasaran kenapa masih belum ketemu." Balas Hyeongseob yang masih sibuk mengarahkan senter ke objek yang ia lihat.

Jihoon kemudian duduk disebuah batang pohon yang sudah tumbang. Kakinya tampak kelelahan karena terus berdiri dan membungkuk. Matanya kini melihat Hyeongseob yang masih saja berpendirian untuk mencari kalung miliknya. Padahal sudah hampir memasuki tengah malam, suasananya benar-benar sunyi dan gelap. Pikiran Jihoon menjadi bercabang-cabang memikirkan hal-hal mistis yang tak realistis.

Sampai akhirnya Hyeongseob berada di pinggir jurang. Posisi mereka sekarang memang berada dipinggir jurang, namun masih batas aman karena tidak mendekati pinggiran.

15 menit Jihoon duduk di batang pohon tumbang itu namun sepertinya tak ada kemajuan pada Hyeongseob. Sahabatnya sangat fokus mencari kalung itu, Jihoon bahkan sampai heran. Karena Jihoon jenuh menunggu akhirnya ia berjalan mendekati Hyeongseob yang berdiri dan hanya bermodalkan penerangan secukupnya.

"Seob—,"

"PARK JIHOON AKU MENEMUKAN KALUNGKU!" Hyeongseob memekik dengan suara yang lumayan keras. Tangan kanannya menunjuk sebuah objek yang terlihat berwarna merah pada sebuah ranting liar turunan.

Senyuman terunggah pada wajah manis Hyeongseob. Kakinya mulai melangkah hendak mendekati objek yang ia bilang kalung miliknya. Namun baru 5 langkah berjalan, ia berehenti.

"Kenapa berhenti? cepatlah ambil agar kita lebih cepat kembali ke perkemahan." Ujar Jihoon kemudian berjalan mendekati Hyeongseob.

Hyeongseob kemudian menunjuk kearah bawah. Mendadak jantung mereka berdegup begitu kencang. Kalungnya berada di ujung ranting dan rantingnya terhitung panjang.

"Jurang? sejak kapan ada? tour guide bilang disini sama sekali tak ada yang namanya jurang." Jihoon berkomentar namun nada suaranya terdengar bergetar.

Hyeongseob menggeleng. Senyumannya tadi mendadak luntur. Hyeongseob lagi-lagi menghembuskan nafas dengan berat. Apa ia harus mengikhlaskan kalung itu dan kembali ke area kamping?

Namun beberapa menit ia berdiam, tiba-tiba ia mengepalkan tangannya. Lalu ia berbalik dan mengeluarkan sebuah tali tambang dari tas kecilnya. Dengan cepat ia melilitkan pada pohon besar tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.

"Hoon tolong pegang tali ini, aku akan mencoba turun."

Baru saja Jihoon kembali ingin berkomentar namun Hyeongseob sudah terlanjur turun. Jihoon hanya bisa menuruti apa kata Hyeongseob agar rencananya lancar.

Sementara Hyeongseob yang turun benar-benar mencoba dengan susah payah. Ia mulai menyadari bahwa talinya tak cukup panjang untuk meraih kalungnya yang berada di ujung ranting. Sebenarnya ia bingung mengapa kalungnya bisa berada disana. Dan ia merasa selama tourtadi hanya ada daratan saja tak ada jurang. Apa Hyeongseob salah arah? entahlah.

Jihoon mendekat hingga ke pinggiran, ia bisa melihat Hyeongseob berusaha meraih kalungnya dengan keterbatasan panjang tali. Manapula rantingnya terlihat rapuh apabila Hyeongseob hinggap dan menaiki ranting itu. Ia merasa putus asa sekarang

Hyeongseob kembali ceroboh. Ia kehilangan keseimbangan dan tangannya terasa panas serta perih karena cukup lama menahan bobot beban.

"HYEONGSEOB!"

Jihoon dengan cepat merendah dan berjongkok kemudian mengulurkan tangan untuk Hyeongseob. Masih belum telat, Hyeongseob masih bisa berpegangan pada tangan Jihoon. Namun tangan Hyeongseob masih terasa begitu perih. Ia yakin sekali tangannya lecet dan luka.

Jihoon pula terlihat sama sekali tak bisa berlama-lama menahan Hyeongseob, ia juga tak bisa mengangkat Hyeongseob keatas. Menahan beban tubuhnya sendiri dan bahkan tubuh orang lain menjadi satu sangatlah berat.

"Tanganku sakit," Cicit Hyeongseob meringis.

Lama kelamaan tubuh Jihoon merosot, apalagi bentuk permukaannya cenderung miring kebawah. Ia benar-benar tak bisa menahannya lagi. Masa ini akhir dari kehidupannya yang tenang? Tidak, Hyeongseob dan Jihoon tak mau. Hyeongseob berusaha memanjat keatas dengan menginjak dinding jurang. Namun tubuhnya terasa begitu lelah, bahkan berpegangan tangan pada Jihoon seperti ini rasanya sudah diambang batas hidup.

Antara hidup dan mati.

KRAK

Jihoon terlalu ceroboh, kedua kakinya salah menginjak permukaan. Permukaan yang ia injak kini sudah hancur jatuh ke dalam jurang. Dan sudah pasti Jihoon jatuh. Bersyukur karena Jihoon masih sempat memegang permukaan tanah meskipun hanya dengan satu tangan. Kini Jihoon dan Hyeongseob bergelantungan diatas jurang yang entah berapa meter kedalamannya.

"Park Jihoon," Hyeongseob menjeda perkataannya sembari menelan salivanya dengan begitu kasar. "Aku benar-benar minta maaf atas segalanya." Ungkapnya dengan nada bergetar. Bisa dipastikan Hyeongseob mulai meneteskan air mata.

"HYEONGSEOB BODOH, APA-APAAN SIH," Jihoon mulai berucap kembali. "Kita gelantungan diatas jurang gini antara hidup dan mati, tapi kau malah berkata seperti itu seolah-olah dirimu pasrah. Bosan hidup? Kalau memang bosan untuk hidup tak usah meminta bantuanku tadi." Jihoon merendam emosinya. Ia harus bisa mengontrol emosi disaat-saat genting seperti ini.

Sekarang mereka berdua hanya bisa diam agar posisi stabil, Jihoon juga terlihat kesakitan menahan tubuh Hyeongseob dan tubuhnya sendiri hanya dengan satu lengan tangan saja. Telapak tangan mereka masing-masing sudah berkeringat pula.

Wajah Jihoon dan Hyeongseob begitu merah padam tak karuan lantaran menahan rasa perih. Dan akhirnya Hyeongseob sadar. Bahwa ia mencari kalung malam-malam seperti ini adalah tindakan bodoh yang pernah Hyeongseob lakukan. Lebih bodoh dari saat ketika Hyeongseob menghilangkan kalungnya.

Dan benar saja, Jihoon sudah tak sanggup menopang berat badannya sendiri serta Hyeongseob hanya dengan satu tangan. Ia hanya bisa pasrah tubuhnya terjun bebas hingga membentur permukaan di bawah sana entah berapa meter dasarnya.

SRET

Keduanya hanya dapat memejamkan matanya dan menunggu kapan tiba tubuhnya membentur permukaan. Namun mereka salah. Mereka berdua masih merasakan bergelantungan.

Hyeongseob kemudian membuka matanya perlahan dan melihat kebawah, benar ia masih berada di posisi yang sama. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan mendapati hal baru disana.

"Guanlin?!" Rupanya Jihoon dan Hyeongseob mengucapkannya secara bersamaan.

Sosok yang dipanggil Guanlin tersebut tak memberi respon. Hyeongseob dan Jihoon masih bisa berada diposisi seperti ini karena barusan ada yang menggengam tangan Jihoon dari atas, memberikan bantuan untuk naik keatas. Tentu saja mereka senang bukan main, kesempatan untuk hidup lebih lama pada detik ini semakin besar.

"Kalian berdua gangguan mental atau memang tak waras? malam-malam berani sekali kesini?!" Ucap Guanlin disela-sela ia berusaha mengangkat Jihoon dan Hyeongseob keatas.

"I.. itu,"

"Kalian kan tahu peraturan saat perkemahan tidak memperbolehkan masuk keluar hutan tanpa tour guide. Apalagi malem-malem gini?!" Nada bicara Guanlin semakin naik.

Hyeongseob serta Jihoon hanya diam-tak dapat mengatakan apapun. Mereka salah dan mereka mengakui hal itu. Mereka bisa bernafas lega karena berkat adanya Guanlin, perlahan tubuh mereka terangkat keatas karena Guanlin menarik mereka.

Dan sebenarnya mereka berpikir. Mengapa ada Guanlin tiba-tiba? apakah Hyeongseob dan Jihoon dipasangi alat pelacak? konyol. Apa Guanlin menguntit mereka berdua? bisa jadi.

KRAK

Hingga akhirnya lagi-lagi ceroboh, namun kali ini Guanlin. Disaat separuh tubuh Jihoon sudah mulai terangkat keatas, ia salah melangkah dan tak memperhatikan sekitar. Dan buruknya lagi, permukaan yang ia injak kini runtuh tak berbentuk. Sepertinya bukan keberuntungan mereka.

Nasib mereka?

"AAAAAAAAAAAAAAA,"

Guanlin jatuh otomatis Hyeongseob dan Jihoon bernasib sama. Entah hidup atau mati yang akan mereka temui ketika mereka sadar nanti. Entah sadar ia sudah mati atau masih bernyawa.

.

.

.

.

.

To Be Contiuned

SORRY FOR TYPO

A/N :

Haloo, ini kali pertama saya post ff disini. Ff ini masih percobaan dan entah dilanjut dengan cepat atau lambat atau bahkan sama sekali tidak dilanjut. Ini semua hanya tumpahan dari khayalanku jadi maaf kalo tijel. Woojin akan muncul di part selanjutnya. I hope you guys enjoy the story^^