Minna, apa kabar?
Sudah tahun 2016, ya. Dan fanfiction-fanfiction author yang lama masih on hold untuk beberapa alasan. You can hate me,tapi sekarang author memutuskan untuk fokus menulis fanfiksi-fanfiksi yang baru. Nothing big,tapi cukup untuk sekedar mengatasi keinginan author untuk menulis sesuatu. Author harap kalian juga menikmati fanfiksi-fanfiksi pendek author yang akan datang :)
Dan ya, serial kali ini bakal berbentuk mini yang author akan coba update daily. Karena mini itu, author berani update daily. Paling lama hanya akan sekitar seminggu. Di notes hape author juga sudah ada beberapa chapter siap publish. Semoga ficlet kecil ini bisa berjalan lancar untuk urusan update-nya ya ^^
Akhir kata, Read and Review please :)
Ayah, Ibu, kakak, adik.
Resep sederhana, bukan?
Oh, tambahkanlah satu lagi. Jadi dua kakak.
Fugaku dan Mikoto.
Aku, Sasuke dan Itachi.
"Lagi-lagi kamu membuat ekspresi seperti itu."
Itachi dan Sasuke menoleh. Pandangan Ibu pun ikut tersetir ke arahku.
"Anak Ayah tidak boleh cemberut seperti itu." timpal Fugaku.
Sarapan pagi seperti biasanya. Aroma masakan Ibu yang seperti biasanya.
"Tenten merajuk karena Ayah merencanakan perjalanan ke luar negeri tanpa sepengetahuannya." tutur Itachi dengan senyum terhibur. Senyumannya selalu terasa setengah-setengah, seolah dia tidak benar-benar niat untuk tersenyum. Tapi semua anggota keluarga yang ada di meja waktu itu sepakat Itachi memang tengah merasa senang.
"Heh. Bukankah itu sudah jadi kebiasaan buat ayah." timpal Sasuke dengan wajah acuh tidak acuh. Makanannya tidak tersentuh di atas piring. Matanya masih mengawasi gerak gerikku. Lagi-lagi dia berusaha bersikap sok dewasa. Padahal dia masih berusiaーberapa? 8 tahun? Sama sepertiku.
"Bukannya kau juga kesal karena Ayah sibuk keluar negeri terus, Sasuke?" tanya Itachi. Beda dengan Itachi, dia selalu bersikap lebih dewasa dari umurnya tanpa tampak dipaksakan. Masih jelas kuingat, ia berusia 12 tahun.
"Apa? Jangan samakan aku dengan Tenten." sahutnya dengan pipi bersemu. Dasar sok dewasa.
Ibu hanya tertawa kecil sambil sibuk berkutat di dapur yang hanya berjarak beberapa meter dari meja makan. Memang, Ibu tidak terlalu banyak bicara kecuali diperlukan. Dan dalam urusan pekerjaan Ayah, tidak banyak yang bisa dilakukan. Aku boleh merajuk semauku, bahkan sampai aku SMA nanti, tapi kewajiban Ayah sebagai orang nomor tiga perusahaan lebih besar daripada ego-ku, dan terlalu banyak faktor hidup kami yang bergantung pada keberhasilan proyek bilateral Uchiha Corporate hingga perasaan seorang anak sepertiku dinomorsekiankan. Meskipun kami bertiga terhitung masih muda, tapi Mikoto berhasil mendidik kami hingga paham betul untuk tidak merengek manja di depan Ayah. Lagipula, kami yang keturunannya akan mewarisi perusahaan bernilai multimilyar; jiwa kuat penuh kepemimpinan yang diperlukan, bukan perengek.
Air mataku menetes. Itachi dan Sasuke langsung kehilangan sikap santainya. Ayah tampak termangu.
"Akuーmau ke toilet!"
Dapat kudengar namaku dipanggil, tapi kaki-kaki pendekku sudah membawaku ke lantai dua. Tubuhku terasa lemas saat empuknya kasur menyambut.
Memalukan. Sasuke akan mengejekku dan Itachi akan membahas kejadian barusan untuk menggodaku. Ibu mungkin akan menasehatiku dan Ayahー
Ah. Ia akan pergi selama dua bulan ke Austria. Mana ada waktu untuk mengurus kekeraskepalaanku? Meski tahu begitu, aku selalu merajuk di saat sarapan pagi di mana kami semua berkumpul, berharap Ayah akan mengalah sesekali. Tentu saja dia tidak pernah melakukannya.
"Tapi...bulan depan..."
Ulang tahunku.
Tenten, Tenten! Kenapa kau tidak pernah belajar? Ayah tidak pernah ada di sana saat anak-anaknya berulang tahun. Ia memang mengirimkan hadiah, tapi dilihat saja kau bisa tahu itu pilihan sekretarisnya.
"Kami akan ada di sana kok, merayakannya."
Jantungku melompat. Lengan hangat Itachi mengelus lembut rambutku.
"Ayah barusan bingung melihat sikapmu, tahu. Tapi dia langsung berangkat karena Range Rover-nya sudah datang." nada bicara Sasuke terdengar pahit seperti biasa. Terlebih ini Fugaku yang sedang kita bahas. Jadi jangan heran.
Aku memejamkan mataku lelah. Harapan yang tidak akan pernah bisa terkabul. Rasa-rasanya seperti sia-sia saja, tapi aku selalu melakukannya setiap tahun.
"Tidur, ya?" tanya Itachi entah pada siapa. Tapi dugaannya tidak salah, di tengah isakanku, aku terbawa rasa penat dan terlelap. Kalau Ayah terus melakukan hal ini setiap mendekati tanggal ulang tahunku, maka tiga Uchiha kecil berkumpul bersama di kamar si Bungsu akan jadi kebiasaan tahunan. Mungkin tidak terlalu buruk...
"Tiba-tiba aku juga jadi ngantuk."
Itachi memandangi Sasuke yang mencari posisi di dekat tubuhku yang sudah tidur nyenyak. Tentu saja yang barusan itu bohong, tapi Sasuke adalah orang yang paling mengerti perasaanku karena kami sepantaran. Ia menunjukkan kepeduliannya dengan cara yang kadang tidak diduga dan tidak biasa.
Itachi memejamkan matanya dan tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku juga."
Begitulah. Di kurun waktu kurang dari sebulan menjelang ulang tahunku yang ke sembilan, kebiasaan baru lahir. Kami bertiga akan berkumpul bersama di kamarku. Tidur. Melupakan rasa sakit hati yang disebabkan Ayah sendiri. Tapi itu tidak masalah. Karena kami punya satu sama lain. Kemudian kebiasaan yang sama juga kami lakukan menjelang ulang tahun Itachi. Kemudian ulang tahun Sasuke.
Selama aku punya mereka berduaーselama aku punya Itachi dan Sasuke, semua akan baik-baik saja.
