"Ah, Minhyun? Kalo ada apa-apa minta tolong sama unit di depan lo aja, dia asisten pribadi gue kok."

"Noted, Mas."


"Jinyoung nanti yang buka pintunya ya," ucap seorang pria tampan di kursi kemudi. Kedua matanya masih terpacu pada lampu merah di depan sana yang tak kunjung mati.

Anak di kursi penumpang yang tadinya menatap jalanan pun ikut menoleh menatap lampu merah yang kini mati sebelum bertanya, "kenapa kita pindah, Yah?"

"Hm? Kenapa memangnya? Rumah baru kita nanti deket pantai lho, Jinyoung katanya suka pantai," sahut laki-laki yang dipanggil Ayah itu setelah perhatiannya teralihkan sejenak untuk menginjak pedal gas mobil.

Ketika memasuki jalanan yang agak sepi di detik berikutnya, terlihat sesekali laki-laki itu melirik ke arah anaknya waspada, takut mendapat respon yang tidak diharapkan.

"Tapi 'kan lebih enak di rumah Nenek, Yah. Jinyoung juga bisa main bareng Kakek sama Tante," si Jinyoung merengut. Alisnya bertaut dan bibir mungilnya mengerucut.

Mendengarnya, lelaki yang dipanggil Ayah pun meringis. Sejujurnya, itulah respon yang tidak ia harapkan datang dari anaknya. Memang hal yang wajar sih kalau anak laki-lakinya lebih nyaman di rumah Neneknya yang ramai. Sedikit banyak juga ia merasa itu adalah salahnya yang sering meninggalkan Jinyoung sendirian karena pekerjaan. Namun tetap saja, keputusannya sudah bulat. Maka si Ayah pun mencoba mencari celah, "eh, 'kan sekalian Jinyoung udah mau masuk SD juga. Ayah denger-denger SD di sana bagus-bagus."

"Di deket rumah Nenekjuga bagus kata Kakek. Jinyoung juga jadi bisa berangkat sekolah bareng bang Haknyeon, Yah. Tapi kalo pindah gini-" kata-katanya terputus oleh helaan nafas. Mukanya pun kini berpaling, kembali menatap ke luar jendela mobil.

Diam-diam si Ayah ikut menghela nafas. Kalau sudah begini, akan sulit untuk merayu kembali jagoan kecilnya. Merasa habis akal, sembari memutar kemudi untuk mengarahkan mobilnya menuju sebuah daerah komplek apartemen sederhana, si Ayah lekas melancarkan rayuan terakhirnya yang ia sendiri tak yakin akan berhasil.

"Hmmm, Jinyoung tau ga kalo di Busan itu ada komunitas terkenal yang khusus buat nyanyi sama nari?"

Alih-alih Jinyoung, dengungan AC mobil lah yang menjawab pertanyaan Ayah.

"Kalo Jinyoung mau, Ayah daftarin deh di dua-duanya. Gimana?"

Secepat Ayah menyelesaikan kalimatnya, secepat itu pula atensi Jinyoung terfokus pada laki-laki dewasa di sampingnya. Tangannya yang tadinya dilipat di depan dada kini sudah beralih ke pinggiran kemeja Ayahnya yang jelas-jelas tidak disetrika.

"Janji nih ya?" tegasnya.

Seketika Ayah tergelak mendengar Jinyoung dan tangan kanannya dengan pelan mengusap rambut mangkok si anak.

"Ya ampun anak Ayah,"

"Ayaaaaaah"

"Iya, iya, Ayah janji. Ayo kalo gitu giliran Jinyoung janji dong senyum yang ramah, nih kita sampai di apartemennya."

Mengangguk semangat karena berhasil mengantongi janji Ayahnya, Jinyoung buru-buru melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Baru saja ia mau berlari menaiki tangga menuju unit yang akan mereka tinggali, tiba-tiba tubuhnya oleng ke belakang karena ujung kaki kanannya tersandung pijakan anak tangga.

"Eh hampir aja," celetukan pelan terdengar tepat di kuping kiri Jinyoung. Tapi bukannya segera membuka mata dan melepaskan diri, Jinyoung malah makin merapatkan kelopak matanya takut mendengar marahan Ayah. Ia tahu betul kalo Ayah tidak suka melihatnya berlari seperti itu, tapi apa daya, Jinyoung hanya kelewat senang setelah dijanjikan komunitas.

"Jinyoung! Coba Ayah bilang apa soal lari-lari?" tuh kan, batin hati anak kecil itu.

Ia pun hanya bisa meringis ketika pelukannya dengan si penolong terlepas dan ia kembali ke sisi sang Ayah yang mengucap, "maaf ya, merepotkan."

"Eh gapapa kok mas, adek lain kali yang lebih hati-hati ya," ujar si penolong sebelum tersadar, "oh! penghuni baru ya?"

Uh oh, gawat, Jinyoung baru sadar akan sesuatu tentang penolongnya. Bodohnya ia tadi memilih tidak segera membuka mata saat dipeluk oleh si penolong. Dengan mata menyipit tak suka, iya menatap wajah penolongnya yang memberi fokus penuh pada Ayah Jinyoung.

"Ah iya, saya Minhyun, penghuni baru Unit. 109. Ini Jinyoung, anak saya," tak bisa Jinyoung cegah, tangan Ayahnya sudah terulur untuk menjabat lawan bicaranya.

"Oh. Saya Sooyoung, saya tinggalnya di apartemen sebelah sih sebenernya, Apartemen Mawar. Cuma ini kebetulan dari unit temen saya di Matahari." Penolong Jinyoung, yang baru Jinyoung tahu bergender perempuan, dengan sopan merespon tangan Minhyun.

Kalau tatapan mata Jinyoung bisa membakar, mungkin tangan dua orang yang ia tatap ini sudah terbakar gosong.

Seakan bisa membaca pikiran anak kecil di antara mereka, jabatan tangan itupun berlangsung sangat singkat, tidak lebih dari 1 detik bisa dibilang.

"Omong-omong, mas di Unit. 109 'kan? Temen saya tetangga mas persis kalo gituă…ˇeeeeh akhirnya baginda raja yang ditunggu turun juga."

"Minhyun?!" tepat selesai deretan kalimat panjang Mbak Hani, ketiga kepala yang hadir di depan apartemen dikejutkan dengan pekikan seorang lelaki.

Lelaki yang Minhyun kenal karena mereka pun sempat satu sekolah saat tingkat menengah pertama.

"Mas Jisung?" Oke, ini jelas-jelas sedikit mendramatisir. Jinyoung hanya bisa menatap bosan adegan menyapa klise yang sering muncul di drama kesukaan Neneknya. Demi wajah kecilnya, ia tak percaya kalau Ayahnya juga akan melakukan hal yang sama.

"Akhirnya sampe sini juga. Gue kira kemarin pindahannya, Hyun," sambil menuruni tangga, yang dipanggil Jisung pun menyadari entitas lain di samping tubuh Minhyun. "Eh siapa ini? Anak lo? Ih gantengnya," celetuk Jisung dengan tangannya yang kini mencolek dagu lancip Jinyoung.

Merasa canggung dengan orang asing, Jinyoung buru-buru merapatkan diri ke sisi Minhyun. Ujung-ujung jari tangan kanan miliknya turut serta memilin celana bahan Minhyun.

"Ah iya, ini Jinyoung. Agak pemalu emang anaknya."

"Haloooo Jinong." Dengan mata yang menyipit dan senyum yang lebar, Jisung menyapa Jinyoung. Sengaja memang, Jisung suka sekali mengubah panggilannya pada orang lain menjadi sesuatu yang menurutnya lucu. Anehnya, hal ini lah yang membuat Jinyoung merasa sedikit lebih nyaman pada teman Ayahnya. Dengan gerakan yang agak kaku, ia pun memberikan salamnya pada Jisung.

Minhyun yang melihat itu tersenyum kecil. Bukan sebuah rahasia umum memang jika Jinyoung terbiasa dipanggil Jinong di rumah Neneknya. Meski kelihatannya di awal Jinyoung merasa kesal mendengar namanya diplesetkan, tapi lama kelamaan ia terlihat lebih suka dengan panggilan itu.

"Eh omong-omong ini gue harus berangkat kerja. Heh, Han, buru gue udah telat nih." Seakan baru saja ingat apa yang seharusnya ia lakukan, Jisung dengan panik menyeret Hani yang entah sejak kapan sudah berkutat dengan ponsel pintar di genggamannya.

"Maaf banget ya, Hyun, gue ga bisa bantu beres-beres," ucap Jisung masih dengan tangan yang sibuk. Tepatnya, sibuk menarik Sooyoung yang entah kenapa sangat sulit dipindahkan dari tempatnya berdiri.

"Gapapa mas, udah beres juga kok," senyum maklum Minhyun berikan pada seniornya semasa SMP.

"Gue duluan deh ya, daa Jinong."

Baru saja Jinyoung akan membalas lambaian teman si Ayah sebelumă…ˇ

"Duluan ya Mas Minhyun. Sampai ketemu lagi, dek Jinyoung," niatnya dihancurkan oleh sepasang bibir yang dihias lipstik warna merah terang itu. Alhasil, muka mengerut pun kembali menjadi pilihannya untuk ia pasang sebagai tameng.

Sedikit jauh Jisung kembali berpesan, "ah, Minhyun? Kalo ada apa-apa minta tolong sama unit di depan lo aja, dia asisten pribadi gue kok."

"Noted, Mas."

Agak lama mereka menatap kepergian dua orang itu, sepasang Ayah dan anak pun terdiam sampai suara terdengar dari perut kecil si anak.

"Laper ya? Ayo sarapan dulu," ajak duda anak satu itu pada anaknya sebelum melanjutkan, "untung kemarin Ayah sekalian belanja sepulang dari kantor. Nasi goreng oke?"

"Okay, let's get it!"