Erel Ra present
My first rate M Drarry fanfiction..
"Once Upon a Time"
Disclaimer: Harry Potter belong to J.K. Rowling
Well, let's begin...
Biar kita mulai cerita ini dengan kata-kata,"Pada suatu masa..."
Entah masa yang mana, tidak akan kalian perlu tahu kapan tepatnya. Lalu biarkan narasi ini menambahkan "ada suatu tempat". Jadi jangan berharap sampai cerita ini berakhir, akan ada yang memberitahu dimana tepatnya letak tempat ini.
Tapi biar kuberitahu satu nama, Logos City.
Dengarkan deskripsi singkat tempat ini.
Ia ibukota indah dari sebuah negara adidaya yang begitu banyak taman dengan percampuran keeksotikan dunia timur dengan eleganitas dunia barat. Gedung-gedung pemerintahan yang menjulang bagai istana. Dan sebuah balai kota yang di bangun di atas 3 tiang. Meniru konsepsi taman gantung babylon di masa lalu. Warna putih adalah warna yang mendominasi. Melambangkan kesucian para penghuni ibukota ini.
Mereka adalah para cendikiawan, orang-orang suci yang tak pernah beranjak tua. Penuh kecerdasan dan kebijaksanaan. Kota dengan angka kriminalitas yang mencapai titik nol. Tempat tekhnologi termodern ada. Peradaban yang diimpi-impikan manusia, sejak milyaran tahun lalu.
Adalah The Legend Dragon, gelar dari pemimpin terkemuka mereka. Seorang pria blondie yang bertahan dengan pembawaan 30 tahunan, di usianya yang akan dirayakan dalam hari raya besar tahun ini untuk ke-121 kalinya. Jangan salah paham. Hitungan ulangtahunnya dimulai di usia 30 tahun, artinya ditambah dengan 121 tahun, usianya kini adalah 151.
Logos City, awalnya hanya sekolah dengan taman yang cukup luas, cukup asri. Dengan laboratorium-laboratorium standart pada zaman dahulu. Millenium ke 21 sudah terlewat 21 tahun, saat sang pemimpin terkemuka menemukan obat dari segala racun. Campuran berharga dari berbagai rempah dan mineral unik dari batu bulan yang NASA datangkan khusus sesuai permintaan sang Pemimpin. Obat inilah alasan mengapa ia bisa mencapai usia sejauh ini, dengan kebugaran yang tetap terjaga.
Mulailah pemerintah saat itu berusaha menjilat The Legend Dragon, ia menerima berhektar- hektar tanah hingga seluas Logos City saat ini. Namun Pria itu menolak rencana komersialitas obat ini yang hanya menguntungkan pemeritahan negri ini. Tidak mendapatkan dengan cara baik-baik, Pemerintah mulai bertindak keras. Semakin keras sang Pemimpin berbicara soal penolakan, semakin keras pemerintah memakai berbagai upaya yang tak terbayangkan jahanamnya.
Hingga pada satu waktu istri dari sang Pemimpin Terkemuka, diculik. Rasa cinta pria itu membuatnya menyerah. Namun wanita itu bunuh diri. Menolak menyerahnya sang suami pada para pemimpin lalim itu. Perjanjian batal. Dan ketololan pemerintah yang terakhir adalah tak memperhitungkan dukungan rakyat.
Negara itu habis dibabat revolusi, dengan sang Pemimpin Terkemuka yang sebelumnya bukan Pemimpin, sebagai tokoh yang diagung-agungkan para jenderal pemimpin revolusi. Maka berubahlah wajah negara itu, dengan dasar-dasar falsafah baru. Dan Logos City sebagai ibukota yang merepresentasikan peradaban dari potensi kecerdasan manusia.
Dan kita sampai ke bagian paling menarik mengenai Logos City. The Trinity of Law. Sang Cendikiawan menafsirkan cara kematian istrinya dalam sebuah pesan sederhana. Bahwa cinta itu melemahkan. Tafsir singkat itu menimbulkan penyesalan berkepanjangan. Ia menyesali kekurangbijaksanaannya, dan berharap tidak akan ada manusia lain yang mengalami penyesalan yang sama.
Maka dirumuskanlah 3 hukum, The Trinity of Law milik Logos city :
Kota ini dihalalkan hanya bagi para pecinta kebijaksanaan dan para pengabdi ilmu pengetahuan.
Kota ini diharamkan dari segala bentuk nafsu kebinatangan serta bentuk-bentuk pengelolaan ilmu yang fana.
Kota ini mengizinkan hak-hak manusiawi apapun, kecuali pernikahan. Atas dasar apapun terlebih cinta.
Kita akan berhenti bicara soal Logos City. Di ujung utara Logos City, jika kau telah melewati 3 dinding besar pemeriksaan kelayakan bagi mereka yang ingin masuk atau keluar dari Logos City, ada sebuah kota kecil kumuh. Sisa-sisa antek-antek pemerintahan sebelumnya yang terkubur. Dan mereka yang membentuk perlawanan untuk meruntuhkan 3 hukum yang penuh diskriminasi strata, yang penuh pengekangan terhadap kebebasan. Kami memberinya nama Hedon City.
Ini adalah satu-satunya tempat dimana ketiga hukum sama sekali tidak ditegakan. Kota dengan tingkat kriminalitas yang selalu berada di rangking teratas. Lingkungan bobrok yang penuh polusi, jalanan yang dipenuhi para pencuri dan pengemis. Dan tempat dilegalkannya 'cinta', berbentuk prostitusi-dalam bentuk yang sangat eksterm malah-. Akan kami simpan cerita itu nanti.
Namun kontradiksi kedua kota ini dihubungkan oleh satu isu. Rahasia umum, jika bahkan para cedikiawan bijaksana itu sering berkunjung kemari. Untuk 'mengontrak pengantin', tidak ada usia atau gender yang membatasi pilihan. Tidak perlu ada prikemanusiaan. Selama harga dengan para penjual pengantin ini cocok dan dibayar dimuka. Para cedikiawan itu dipersilahkan menjadi binatang untuk beberapa malam.
Merasakan cinta yang katanya melemahkan.
Harry POV
"Aaaaaah..."aku tak bisa menahan jeritan. Sedikit ku ubah posisiku, kakiku makin membuka lebar. Seakan menunggu sesuatu lain yang kuharap segera memasukiku.Daging itu..
Pikiranku mengelabu, pandanganku mengabur tiap kali menolak kuasa tubuhku yang diambil alih nafsu. Pria blondie itu tersenyum tipis, mengoleskan lagi sedikit wewangian memabukan itu pada hidungku.
Sebulir air mata menggenang. Kenyataan bahwa senyum pria itulah alasan kenapa aku benar-benar berhasil ia rangsang. Membuatku ketakutan.
"Shuuu.. Jangan menangis.. aku akan menyentuhmu perlahan", aku melenguh tertahan. Ia benar-benar meraba begitu pelan. Kejantananku tersengat.
Ia tersenyum dalam seringaian,dibalik topeng phantom of the opera yang menutupi sebagian wajahnya.,"hmm.. begitu saja emeraldmu bisa langsung berbinar? Bagaimana kalau kau sentuh aku sedikit..?"ia arahkan lenganku pada setumpuk daging. Bukti kelelakian yang menyembul angkuh dibalik kain celananya.
"Aku suka gelambir kecil ini.."Jemari jenjangnya ia mainkan di dalam anusku. Sementara ibu jarinya menyentuh buah pelirku. Dua bulir daging ku kurasakan mengeras.
Ia menjilat bagian bibir bawahnya. Bibir merah muda yang sering mengeluarkan kata-kata kasar untukku, terutama setiap kali ia baru saja menawar 'hargaku'. Setelah itu kulihat dua belahan bibir itu menyampir senyum.
Ekspresi teranyarnya, pengetahuan baru yang hanya bisa ku observasi lewat raga kami yang bersetubuh.
"cairan pertamamu.."ia berbisik. Menginformasikan pre-cumku yang sudah mulai membanjir. Di tubuhku hanya tinggal bersisa selembar kain. Tergantung di perutku. Sebelumnya ia memintaku hanya memakai selembar kain itu untuk menutupi alat vitalku. Ah.. dan juga lubang kecil di bawah sana yang kadar keketatannya selalu ia puji.
"ck.. ikatanku terlalu kuat.."sekarang ia sedang membiarkanku mengambil nafas. Ia senang memanipulasi 'lawan main'nya. Menaik turunkan ritme sesuka hatinya. 'Cincin pernikahan' darinya mengekang kejantananku.
"Kurasa hari ini kau sudah terlalu banyak keluar.."ia melepaskannya sebentar, lalu mengatur ulang diameternya. Memperketat ukurannya.
"Arggh..."kutahan jeritanku. Rasanya nyeri saat cincin bertahtakan batu emerald hijau itu menekan batangku dan kemudian ia lesakan ke pangkal penisku.
Perlahan-lahan lidahnya menjilati ujung-ujung jariku. Dan mencium lebih lama di bekas tali yang ia gunakan untuk mengikatku. Berbekas. Pada detik itu, aku mempertanyakan wajah sedih yang ia tampakan.
"Lanjutkan.."bisikku, setengah tak berdaya. Kuhayati jari-jarinya yang perlahan mengelus bagian luar anusku. Matanya nampak meneduh. Seperti menatap sesuatu yang berharga miliknya, utuh.
"kau mau membantuku membuka baju?"ia berkata begitu sambil kembali meraih tambang untuk mengikat lenganku. Ini salah satu sesi favoritnya setiap kami berhubungan intim. Aku yang berupaya menelanjanginya menggunakan mulut.
Dia memang tidak adil. Ia selalu membuatku telanjang terlebih dahulu. Sementara pakaiannya masih tetap utuh. Bahkan jika memang sedang terburu-buru, ia tidak merasa perlu untuk membuka seluruh celananya. Senjatanya akan menusukku begitu saja. Ia akan menyuruhku menungging, sementara aku menjilati daging kejantanannya yang mengacung perkasa. Jika aku nampak ragu-ragu, ia akan menarik 'buntutku'-vibrator ukuran large yang dihiasi gantungan buntut asli anjing siberian yang diawetkan-. Aku akan melenguh, lalu ia akan memasukannya lagi dalam sekali sentak.
Aku mengartikan kode itu dengan mematuhi permintaannya untuk menelan lebih jauh 'daging perkasanya' lebih dalam ke tenggorokanku. Dan lebih liar lagi melumatnya. Tapi hari ini ia memainkan permainan yang sangat santai. Ia banyak bicara dan banyak memanjakan. Sesuatu yang biasanya mustahil kurasakan jika bersama 'suami' lain. Aku bukan pilihan primadona disini. Dengan badan kurus yang tak begitu terawat, tidak begitu banyak yang tertarik denganku meskipun wajahku dikatakan cukup menjual.
Tiba-tiba saja anusku terasa penuh. Sesuatu yang besar dan licin, tapi tidak hangat. Vibrator?
"Kau melamun.. Aku tidak suka 'pengantin'ku memikirkan hal lain ketika aku menyetubuhinya.."ia menjilat cuping telingaku, menggigitnya sedikit keras. Aku kehabisan daya menahan masa tubuh. Detik itu kurasa seakan langit-langit putih berukir cerita-cerita kuno mahabrata di atasku akan rubuh.
Aku sudah terbiasa disiksa di luar nalar. Tapi sentuhan kecil dari seseorang yang membuat hatimu bergetar? Bagaimana kau bisa melawan?
"Tuan.. Ah..",kuperhatikan ia beranjak. Bukankah kami belum selesai..?
Punggungnya yang bisa kutatap kini. Matanya nampak bergulir mencari-cari. Komunikasi abad ini mengandalkan telephati. Mengembangkan teori a-tom dari filsuf yunani kuno Democritus. Salah seorang sarjana cedekiawan dari Logos City bersama tim penelitiannya yang menemukan gelombang yang dapat dikaitkan sesuai kebutuhan lewat medan magnetik otak.
Aku tidak mengerti soal itu.
Bahkan sama sekali tidak tahu metode macam apa itu? Tapi Tuanku malam ini, adalah laki-laki yang tak hanya memenuhi anusku dengan cairannya. Ia menysisipkan sedikit-sedikit pengetahuan pada kepalaku yang kosong dan bodoh. Ia bercerita soal tuhan-tuhan agama-agama kuno yang sudah punah satu abad lalu. Ia bercerita bahwa pada waktu yang begitu jauh dulu, ada banyak orang-orang bijaksana, para sophis di Yunani. Daratan yang sudah tenggelam sekitar setengah abad ini. Bercerita bahwa dulu manusia tinggal berpencar di daratan-daratan besar yang disebut benua, semuanya berjumlah 5. Dan sekarang hanya bersisa tiga.
Aku tidak bisa mengingat sisanya. Dan diakhir perbincangan, Tuanku akan memberiku pertanyaan, "siapa aku?". Siapa diriku? Aku menjawab nama lengkapku, dan Tuan kubuat terbahak hingga hampir terjungkang.
Aku belum pernah menemui seorang cendikiawan Logos City yang bisa berekspresi sekaya itu. Kaum cendikiawan biasanya adalah mahluk – mahluk stoic.
"Ya?"sepertinya Tuanku sudah menemukan gelombangnya. Ia berbalik menatapku yang tengah menahan sensasi menyengat dari benda elektrik yang bergetar di dalam hole-ku. Aku mengkerut, dahi Tuanku berkerut. Ia bertanya dengan gerak bibir,"sakit?" begitu ujarnya. Aku buru-buru menggeleng.
Ia menyeringai, sambil mencari-cari dua jarinya memasuki anusku perlahan. Menekan satu dua kali dan getaran vibrator itu bertambah hebat di dalam sana.
"Aaaah... akh...Tuaaanh.."kupanggil ia pelan dnegan suara bergetar. Aku butuh daging itu bukan benda tiruan. Ia masih dengan seringai yang sama. Gerak bibirnya mengulang tanya yang serupa,"sakit?"
Kali ini aku mengangguk. Tuanku sambil berdiskusi dengan lawan bicaranya di ujung sana, tangannya meraih handle laci. Aku tak tahu nama alat itu, tapi tuanku pernah menggunakannya padaku beberapa kali. Itu seperti tiruan vagina atau mungkin anus pria. Dengan kulit yang terasa nyata, dan yang paling mutakhir menambahkan gerak pijat pada benda yang memasukinya. Dan kali ini, itu adalah kejantananku.
"Ahhhh~" makin tak karuan aku dibuatnya. Dengan dua impuls kuat dan jalan keluar yang disendat. Aku makin tidak berdaya.
Seorang pengantin Kontrak harus bersedia menerima perlakuan apapun yang diberikan oleh tuannya.
"Tentu, kita sudah membicarakan masalah ketersediaan air pada musim panas tahun ini. Namun masih ada beberapa evaluasi resmi yang belum didiskusikan lagi."kupaksakan sisa tenagaku. Menyeret massa tubuhku ke pinggir ranjang. Aku turun perlahan, berjongkok di depan selangkangannya yang tak ia rencanakan duduk membuka.
Ketakutan itu, pikiran bahwa mungkin saja Tuanku harus segera pergi dari sini jauh lebih melemahkanku. Aku ingin merasakan daging kejantanan itu melesak dalam di tubuhku. Saat-saat itu adalah dimana kubiarkan pikiran egois menguasaiku. Bahwa aku memiliki Tuanku, raga kami bersatu. Dalam batasan yang tak sekedar kebutuhan tubuh. Aku berharap sesuatu yang orang-orang sebut jiwa terhubung.
Walau aku tak berharap ia jatuh cinta padaku.
Karna cinta, setulus apapun, bagi para cendikiawan itu sama menghancurkannya dengan sembilu.
"Baik.. Akan kita bicarakan nanti.."aku tahu ia memutus pembicaraan, saat aku hampir selesai menurunkan resleting celana putihnya. Ia mendiamkanku, tersenyum dingin pada kegiatan yang sedag kulakukan. Tonjolan itu menyembul angkuh dibalik cawat yang ia gunakan sebagai celana dalam. Aku menggigit cawat itu, menyengajakan agar gigiku bersinggungan dengan ujung penisnya. Mata kiri Tuanku sedikit memejam menahan ringisan nikmat.
"Kau semakin terlatih,hmm..? kemari biar kulihat lidahmu.."dengan satu tangan ia mencengkram leherku. Ia mendekatkan wajahku ke detik penuh ia memandangiku dengan kilau abunya yang yang tertutupi topeng jsutru menambah kesan menggoda yang ia tampilkan.
Dengan sebanyak mungkin kenekatan yang kumiliki, kucondongkan wajahku. Mendekatkan bibir kami. "kau ingin menciumku?"
Aku bodoh. Buru-buru aku menggeleng sebelum membuat Tuanku marah. Para cedikiawan tidak pernah mencium 'pengantin' mereka. Tidak dengan siapapun. Karena ciumana adalah ekspresi cinta yang sangat jelas. Menunjukan kebutuhan dan saling menginginkan. Karena itu mereka tak pernah berciuman.
"Hmm.. Jangan karna aku memanjakanmu kau berfikir bisa memanfaatkan itu.."Aku bisa merasakan kuku panjangnya hampir menggores wajahku yang dicengkramnya begitu keras.
"Keluarkan lidahmu seperti anjing!"ia memerintah. Aku melakukannya. Ia berdiri, dengan isyarat ia menyuruhku menungging. Sesaat tadi kupikir ia akan mengajakku melakukan doggystyle favoritnya.
"Kau ingin melakukannya dengan cepat bukan? Menggonggonglah jika ya.."aku menggongong. Ia tersenyum puas. Beranjak ke bagian belakangku. Ia mencabut 'buntutku' dalam sekali tarikan. Aku menjerit untuk mengekspresikan kesakitan. Seseuatu robek fikirku. Aku bisa merasakan darah yang merembes, dan turun perlahan meluncur di paha bagian dalamku. Nyeri itu menekanku untuk menyembunyikan ekspresi, 'pengantin kontrak' sepertiku adalah mahluk hina yang bahkan untuk menampilkan kesakitan adalah sebuah larangan.
"Aaaagh... Tuan?"ia mengangkat kaki kananku.
"Kau bisa bertahan?", bisiknya setelah selesai mengikat kakiku di tiang mengangguk.
Aku mendengar desah nafasnya yang semakin berat terangsang,"Aku menyukai pemandangan lubangmu yang penuh darah.." Kalimat pujiannya. Sekasar apapun itu, selalu berhasil membuat rongga dadaku menghangat.
"Tapi, aku tidak bisa membiarkan kau terkena infeksi, bukan?"Ia melepas ikatan cawat yang menggantung di perutku. Menggunakannya untuk mengelap darah yang mengucur keluar dan juga bagian dalam, pada bagian ini sentuhan jemarinya berhasil membuatku mendesah.
"Apa kau suka puisi?"ia mengangkat kaki kiriku. Sekarang aku benar-benar hanya bertumpu pada kekuatan ke dua tanganku. Perlahan kurasakan tangannya meraba menuju selangkanganku. Jari telunjuknya ikut masuk ke dalam alat yang tengah memanjakan kejantananku. Aku hampir klimaks kering saat dalam sekejapan ia menarik keluar alat itu dan menjauhkan jemarinya dari daging itu.
"Hah..hah..hah... puissss..haaah... Akh..."aku bisa merasakan seringaiannya ketika kejantanannya melesak begitu saja. Tubuhku melengkung menahan kenikmatan dan kesakitan di saat bersamaan.
"Apa aku sudah mengatakan bahwa kau memiliki wajah yang puitis?"ujarnya tenang sambil menahan pinggulku. Membantu gerakan in-out-nya yang terkesan terburu-buru.
"Ah.. eungh...ah.. ah..ah... Tuan..."nada memohon itu. Aku membencinya saat keluar untuk orang lain. Untuk pengontrak ku yang lain. Tapi untuk pria ini..?
"Apa kau mau mendengar satu? Ini dari sandiwara machbet milik Shakespeare di sekitar tahun 1600.."aku tidak mengerti bagaimana ia menghafal puisi, nama-nama unsur kimia atau galaksi-galakasi di luar BimaSakti bersamaan dengan gerakan kejantanannya yang begitu terarah di dalam sana.
"Sentuuuhhh...haaaa... Aaakhk.. khuuumohooon"penisku berkedut, berdenyut kesepian tanpa sentuhan. Aku butuh jemari jenjang miliknya meraba bagian itu.
"Eungh.. jika kau mau mendengarku.. Aku akan melepas cincin mu?"barusan saja saat ia melenguh nikmat. Sejujurnya aku sudha cukup bahagia walaupun tak bisa klimaks. Jemari kakiku menjepit sprei. Berusaha menahan tubuhku yang makin limbung.
"Macbeth pernah berkata: Hidup ini hanyalah bayangan yang berjalan, seorang aktor yang gagal melagak dan merepet di atas panggung. Dan kemudian tidak tersengar lagi; hidup adalah kisah yang dituturkan olehs eorang bodoh, penuh bising dan kemarahan.."setitik air mataku terjatuh menahan sensasi. Lalu gerakannya terhenti kurang dari sedetik saat kurasakan daging kelelakiannya berkedut hebat. Ia membuka secepat mungkin 'cincin pernikahan'ku. Dan kami mencapainya dalam detik yang nyaris sama.
Ia mengelus kejantananku pelan,"Aku sama pesimistisnya seperti yang Macbeth katakan.."
Aku tidak mengerti kalimat itu. Nada angkuh miliknya yang tiba-tiba gugur. Saat ia melepaskan semua ikatanku. Aku, dengan sisa-sisa tenagaku bertekad untuk menatap sang kemilau abu.
"Bibirku tidak beracun.." aku berucap lemah. "sekali saja, satu ciuman saja.."aku memohon dengan mata berair, sisa kesakitan dan kenikmatan tadi.
Ia tersenyum lemah,"kau mau mendengar yang Hamlet katakan?" ia bertanya sembari tangannya membuka ikatan topeng yang menutupi wajahnya. Ada luka bakar yang menghanguskan sebagian besar wajahnya.
Ia sudah memperlihatkan kulit gosong dan bernanah kemerahan itu padaku sejak pertama kali kami menghabiskan malam bersama. Sebelum ia memulai apapun. Aku ingat ia melepas topengnya terlebih dahulu. Ia bilang.
"Para gadis yang ku'nikahi' biasanya menjerit dan pingsan. Para lelaki genit yang sok menggoda akan terdiam lama lama sekuat tenaga berlari menuju pintu keluar. Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan?"wajahnya menantang. Tapi sinar abu di matanya menyilet kesakitan.
Aku tidak berkata apa-apa sampai lima menit. Tidak bergerak, dan sejujurnya menahan nafas.
"Aku ingin menciumnya.."itu yang kukatakan." Dan aku mencium luka bakar mengerikan itu perlahan-lahan. Dari dahi hingga pipi kanan di samping bibir. Setelah itu ia memakai topengnya lagi. Dan kami bersetubuh dengan sangat elegan malam itu. Pikiran egoisku berkembang liar saat itu. Bahwa malam itu, aku disentuh, karna ia mencintaiku.
Kini kami duduk di pinggir ranjang, ia menyelimutiku dengan mantelnya. Ia sudah memasangkan kembali 'buntutku', karna menurut peraturan aku harus tetap menggunakannya setelah kami selesai bersetubuh, dengan frekuensi getaran minimum. Membantuku mengelap selangkangan dan holeku.
"Apa yang dikatkan Hamlet..?"aku lelah untuk sekedar mendesah. Atau bertanya nama darimana itu Hamlet? Aneh sekali terdengarnya?
Ia membuang nafas. Lalu bangkit dan merapikan tampilannya. Ia bersiap untuk bergegas menghilang dari pandanganku.
"Ada atau tiada—itulah soalnya. Suatu hari kita berjalan-jalan di atas bumi—lalu pada hari berikutnya kita mati dan hilang."
"Apa kau merasa mirip Hamlet, Tuan?"aku menutup mata untuk menghayati getaran benda elektrik itu di dalam anusku yang terasa seperti terbakar.
"Aku juga seorang pangeran, apa kau percaya?" aku mengangguk cepat. Kecerdasannya dan ketenangannya dapat menjadi masuk akal jika ia memang bangsawan.
"Apa kau ingin berkunjung ke logos city suatu hari nanti? Dan meninggalkan kota suram ini?"aku berhenti tersenyum. Pertanyaan bodoh yang dilontarkan kepada orang bodoh.
"apa anda sedang berusaha menjebakku, Tuan?"jika aku berkata 'ya' bukankah terdengar sangat tidak tahu diri? Jika aku berkata 'tidak' aku benci ketiadaan harapan itu.
"Katakan... Apa kau percaya Tuhan?"agama-agama telah tiada. Manusia menyembah sesuai dengan keyakinan yang hatinya ingin percaya. Mereka tak ingin lagi repot-repot membuat komunitas.
"Tuhan adalah harapan untukku. Ketika aku berharap hari itu tidak bertemu dengan 'suami' yang memukuliku. Atau 'istri' yang memintaku memukulinya agar ia mendapat kenikmatan. Aku percaya Tuhan. Lalu saat kenyataan menamparku dengan kebalikan dari yang kuminta. Aku akan berusaha tersenyum dan menerimanya. Berkata dengan rendah diri bahwa mungkin aku layak menanggungnya. Kerendahan inilah keimananku."
Ia mendekatiku, merunduk. Bibirnya hampir mengecup keningku. Tapi ia tak melakukan apapun di sana selama hampir 2 menit. Akhirnya bibirnya turun ke cuping telingaku. Mengigitnya kecil.
"Tuhan tetap Tuhan meskipun semua negeri dihancurkan. Tuhan tetap Tuhan meskipun semua manusia telah mati..."jeda beberapa detik. Jantungku dibuatnya berdegup tenang dan hangat.
"Petter Dass.. seorang penyair Norwegia.. negara yang dibumihanguskan oleh militer negeri ini 138 tahun yang lalu"
Aku tidak menjawab apapun. Langkahnya mantap menjauh. Aku merogoh sesuatu dari saku mantelnya. Beberapa lembar uang dan kertas kecil yang memuat sebuah alamat yang terletak di Logos City. Dan dibaliknya ada sebuah nama..."Draco.."
A/N: Ini memang hasil dari tingkat stres saya sebagai mahsiswa baru yang masih setia terkena bully. Jadi rada kacau, ngomong kesana-sini. Saya gak yakin bakal lanjut. Kalau ada yang mau ini dilanjut ya bakal saya lanjut... Mungkin itu juga..
Terima kasih sudah membaca sampai ujung sini... Kalau bisa sih Review ok? Gak susah kan itu?
