Distance

Pairing: Chanbaek / Baekyeol

Genre: Romance, Friendship

Shonen-ai / BL / AU / OC / OOC / School-life

.

Sorry for typo(s)

.

.

.

.


Akhir-akhir ini, Chanyeol sering meperhatikan seseorang. Seorang siswa yang—entah takdir atau kebetulan—membuatnya sedikit penasaran. Hanya sedikit.

Kisahnya, sekitar seminggu yang lalu, Chanyeol mendatangi vending machine untuk membeli teh oolong saat istirahat, ia meminta teman-temannya berjalan duluan ke kelas. Dalam jarak tujuh langkah kakinya, seorang siswa terlihat mengambil minuman yang baru saja dibelinya di mesin tersebut kemudian melangkah pergi. Ketika Chanyeol ingin memasukkan uang koin ke dalam mesin, ia menyadari ada beberapa koin yang tergeletak di tempat kembalian uang. Refleks, ia mengambil uang kembalian dan melihat ke arah siswa tadi pergi, menghela napas lega ketika mendapati orang yang dicarinya masih berada dalam jarak pandang.

"Hei—" kebingungan menetap sepersekian detik di pikirannya, bingung akan memanggilnya apa, "—kau yang baru membeli minuman tadi." Kedengaran aneh, tapi hanya itu yang terlintas di otaknya.

Siswa dengan tinggi badan yang lebih pendek satu kepala dibandingkan Chanyeol itu memutar badannya ke belakang, memandangi orang asing yang baru memanggilnya.

Chanyeol mengangkat tangan kanannya yang mengepal, berisi tiga keping koin, "Kau melupakan kembaliannya."

Siswa dengan rambut hitam itu melihat botol teh yang ia beli tadi dengan alis bertaut, "Hah? Oh.." ia berjalan mendekati Chanyeol, "Terima kasih."

Chanyeol mengangguk dan tersenyum. Iseng, dalam jarak dekat seperti itu, matanya menangkap detail tidak penting seperti siswa itu menggunakan jam tangan hitam, jemarinya lentik, dan pandangan matanya yang lebih redup dari orang lain. Dia berbalik pergi sebelum Chanyeol benar-benar melihat keseluruhan wajahnya.

Sebenarnya hanya satu hal yang mengganggu Chanyeol setelah kejadian itu, seharian—tidak, bahkan lebih dari sehari ia melamunkan kenapa sorot mata itu lebih redup dan agak suram daripada yang lainnya. Yang bisa ditebak sejauh imajinasinya, mungkin siswa itu memiliki masalah yang berefek buruk. Cemas adalah hal yang pertama kali ia rasakan setelah menyimpulkan itu. Chanyeol terlalu baik sampai mengkhawatirkan orang asing sedalam itu.

Di hari lain, masih minggu lalu, Chanyeol berniat menuju lokernya yang berada di gedung sekolah tepat di depan parkiran sepeda. Melewati sebuah lapangan yang dipagari kawat, sekolah mereka memiliki tiga lapangan, satu lapangan adalah lapangan utama yang biasa digunakan untuk apel pagi, eskul basket, voli, dan futsal; lapangan kedua terletak di belakang gedung sekolah digunakan untuk eskul badminton dan tenis, persis bersebelahan dengan tempat parkir; dan lapangan ketiga adalah lapangan indoor yang terletak di samping gedung sekolah. Di sisi lapangan kedua, Chanyeol melihat siswa itu lagi tengah berjongkok dengan mata yang menatap lurus ke permukaan bumi—mengabaikan siswa lain yang menjalani kegiatan klub tenis. Siswa itu mengenakan seragam sekolah, sudah pasti ia di sana bukan untuk berolahraga, jadi Chanyeol tertegun di tempatnya hanya untuk mengamatinya beberapa detik lebih lama. Hanya iseng.

Detail lain tertangkap lagi oleh mata bulat Chanyeol, siswa itu mendekap buku novel dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menyentuh permukaan lapangan seolah dia menopang berat badannya di sana, dengan lengan kanan blazernya menutupi setengah dari jemari lentiknya seolah-olah kebesaran. Tetap diam di sana selama beberapa detik sampai Chanyeol menyadari apa yang dilakukan siswa itu berjongkok di pinggir lapangan tanpa teman.

Oh.

OOOOOHHH.

Demi Tuhan, ini pertama kalinya Chanyeol melihat ada orang dengan sukarela membuang waktu untuk memandangi rombongan semut yang berjalan di permukaan bumi. Siswa itu diam tak berkutik dengan begitu seriusnya hanya untuk memandangi semut-semut yang membawa makanan di punggung mereka—tunggu, semut itu punya punggung tidak?—maaf, abaikan. Bola tenis memantul keras di hadapan siswa itu, menghancurkan barisan semut-semut dalam sekejap, kecepatannya membuat siswa itu terkejut dan berjengit ke belakang sampai menjatuhkan novel dari dekapannya.

"Ah, maaf," seorang siswa berseragam olahraga mendekati objek pandangan Chanyeol.

Objek pandangan Chanyeol akhirnya bergerak juga dari posisinya menjadi berdiri, "Kenapa minta maaf padaku?"

"Hah? Itu, tentu saja karena pantulan bolaku mengejutkanmu." Siswa berseragam olahraga itu bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan padanya. Ia membungkuk untuk mengambil bola tenisnya dan novel milik korban.

"Ah, ya, penjelasan logis. Tidak mungkin kau akan meminta maaf pada makhluk kecil seperti semut." Gumam lelaki berambut hitam itu dengan suara kecil.

"Kau mengatakan sesuatu?"

"Tidak, bukan apa-apa."

Chanyeol ingin tertawa betapa siswa itu mengkhawatirkan barisan semut yang entah sudah bagaimana nasibnya. Ketika siswa itu sudah mendekap novelnya kembali, ia pergi meninggalkan lapangan, Chanyeol juga melangkah lagi menuju gedung sekolah sambil senyum-senyum sendiri mengingat kejadian yang menurutnya menghibur itu. Setelah hari itu dan seterusnya, Chanyeol selalu menyadari keberadaan siswa itu di setiap tempat. Entah ketika mereka tidak sengaja berpapasan di koridor atau gerbang sekolah, atau Chanyeol yang memandanginya dalam diam ketika tak sengaja melihat. Satu kesimpulan Chanyeol ambil—

—bukankah sikapnya itu bisa disamakan dengan stalker?

Oke, Chanyeol memang tidak menguntit, dia hanya tak sengaja bertemu dan ingin memandanginya lama. Hanya itu. Tadinya sih begitu. Berawal dari iseng, menjadi hobi, mungkin. Chanyeol sendiri tidak tahu. Baginya, ia hanya iseng dan sedikit penasaran. Meskipun harus diakui, ia suka memandanginya.

Di hari lain minggu ini, ketika Chanyeol kembali ke kelas setelah membeli minum di vending machine dekat lapangan kedua, ia melewati tempat parkir sepeda yang juga terletak di belakang gedung sekolahnya. Di ujung parkiran tersebut, berhadapan dengan koridor gedung sekolah yang biasa disebut pintu belakang. Chanyeol berniat kembali ke kelasnya melalui koridor itu karena hanya itu jalan terdekat. Baru setengah jalan, dengan sedotan menempel di mulut, Chanyeol menghentikan langkahnya dan berdiri diam. Ia melepas sedotan kotak susu dari mulutnya dan berfokus menatap atensi yang mengalihkan perhatiannya seratus persen.

Ia memandangi siswa itu—untuk yang kesekian kalinya tidak sengaja bertemu. Angin musim gugur membawa helaian rambut hitam ikut menari, sepasang headset berwarna putih tersemat di kedua telinga, tangan kanan menyuap roti dan tangan kiri menggenggam novel di pangkuan. Siswa itu duduk di undakan tangga koridor, tidak menghalangi jalan dan menikmati makan siangnya sendirian.

Diulang, dia tidak menghalangi jalan, tapi Chanyeol agak maju mundur untuk melalui koridor itu. Karena memang hanya ada dia dan siswa itu saja, entah kenapa Chanyeol merasa canggung sendiri. Menghela napas, frustasi sendiri, ia berbalik dan memilih jalan memutar dibandingkan melalui koridor tadi.

.

.


.

.

Hari ini, kelas Chanyeol, 2-F, sedang merundingkan tentang dua orang yang akan diwakilkan dari kelas mereka menjadi panitia pelaksanaan festival sekolah. Festival untuk ulang tahun sekolah mereka yang sudah menjadi tradisi. Menurut pihak OSIS sekolah mereka, supaya adil, diputuskan bahwa panitia setiap kelas 2 harus laki-laki dan perempuan. Chanyeol—dengan berat hati—harus menerima keputusan bersama dari kelasnya sebagai perwakilan laki-laki. Ketika Chanyeol bertanya sebabnya, semua anak kelas menyetujui bahwa Chanyeol itu memenuhi kriteria. Kriteria yang dimaksud adalah populer dan memiliki kualitas kepemimpinan yang bagus.

Chanyeol agak ragu dengan kriteria kedua.

Niat memprotes hangus ketika wali kelas dan pengurus kelasnya mengabaikan Chanyeol. Berpegang teguh dengan prinsip 'tidak ada penolakan' yang merugikan korban. Sepulang sekolah, Chanyeol mengikuti rapat panitia di ruang klub yang tidak terpakai dengan enggan.

Tapi ada sesuatu yang mengembalikan semangatnya.

Chanyeol tidak tahu harus menyebutnya takdir atau apa, tapi siswa itu ada di sana, terlihat sedang melepas headset dan memasukkannya ke dalam saku blazer. Dari tempat duduk yang disusun membentuk huruf U—dengan bagian kosongnya diisi oleh ketua OSIS beserta wakilnya dan kursi kosong untuk ketua panitia dan wakilnya—di sayap kiri ia melihat siswa itu sedangkan Chanyeol berhadapan dengannya di sayap kanan.

OSIS ikut membantu panitia pelaksanaan, sebagian anggota OSIS sudah kelas 3 sementara sebagiannya lagi masih kelas 2. OSIS kelas 3 sangat bersemangat menjalankan event ini karena itu adalah proyek terakhir mereka sebelum lepas jabatan.

Ketua OSIS berdiri dari kursinya, "Rapat Panitia Festival Budaya akan dimulai sekarang. Aku Kim Minseok, ketua OSIS. Kita mulai dengan pemilihan ketua panitia terlebih dahulu. Apa ada kandidat? "

Ruang klub yang disulap menjadi tempat rapat itu seketika hening. Tidak ada yang berkenan dengan senang hati menjadi ketua panitia. Minseok mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mengamati satu persatu wajah adik kelasnya dan berhenti pada seorang siswa di sayap kiri.

"Sebelumnya maaf, kau Kim Baekhyun, kan?" tanya Minseok ragu-ragu.

Chanyeol melihat objek pandangannya akhir-akhir ini mengangkat wajah dan memandang balik ketua OSIS. Semua orang memandangi siswa bernama Baekhyun itu, membuatnya sedikit menunduk lagi menatap meja.

"Iya, itu namaku." Siswa berambut hitam dengan poni yang menyentuh alis mata itu mengangguk.

Chanyeol mencatat namanya dalam hati, setidaknya dia tidak akan begitu penasaran lagi.

Minseok tersenyum, "Sudah kuduga! Kau adiknya Kim Joonmyeon, kan? Dia adalah ketua panitia empat tahun yang lalu dan hasil festivalnya menjadi salah satu yang terbaik. Jadi, bagaimana? Kalau berkenan apa kau mau menjadi ketua panitia? Kupikir karena kau adiknya Kak Joonmyeon jadi—"

"Aku menolak." Jawab Baekhyun.

"Oh, begitu ya." ekspresi kecewa sempat melintas di wajah ketua OSIS.

"Ehm, maaf,"

Seorang siswi di belakang Baekhyun mengangkat tangan kanannya dengan ragu. Terlihat sedikit salah tingkah ketika mata semua orang memandang ke arahnya, kecuali Baekhyun yang masih fokus membaca selembar kertas berisi panduan rapat. "Kalau tidak ada lagi yang mau melakukannya, kurasa aku bisa.."

Chanyeol menaikkan sebelah alisnya, baru menyadari kalau siswi itu adalah perwakilan dari kelasnya, Lee Minra.

Minseok tersenyum, "Terima kasih, ehm.."

Minra menyadari kalau Minseok tidak mengenalnya. Maka ia berdiri, bermaksud memperkenalkan diri dengan senyum percaya diri. "Lee Minra, dari kelas 2-F. Aku tidak begitu baik dalam menangani hal ini, tapi aku lumayan tertarik. Karena itu, aku ingin mengembangkan diri melalui festival budaya ini."

Chanyeol menatapnya agak sinis, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Minra. Pasalnya, siswi itu termasuk siswi populer yang cuma suka cari perhatian.

"Baiklah, karena tidak ada yang mau melakukannya. Apa Minra terpilih menjadi ketua panitia?" Minseok bertanya pada seluruh anggota yang lain.

Respon positif didapatkan, mengiyakan dan tepuk tangan menyemangati diberikan. Hanya Chanyeol dan Baekhyun yang tidak melakukannya. Beberapa menit kemudian rapat selesai, Chanyeol bangkit dari kursinya. Ketika berjalan, ia terpaksa mendengarkan apa yang dibicarakan Minra dan teman dari kelas lainnya itu karena mereka bicara dengan suara keras tak kenal tempat sekaligus berjalan di depannya.

"Astaga, aku menjadi ketua panitia! Aku merasa telah mengatakan sesuatu yang memalukan tadi." Seru Minra dengan heboh.

"Tenang saja. Semua menyetujui, kau dipandang semua orang. Kau pasti bisa melakukannya!" sahut temannya memberi semangat.

Chanyeol berdecih pelan. Tidak mengerti kenapa wakil ketua kelasnya memilih siswi itu menjadi perwakilan.

"Ah, ya, Baekhyun, apa aku boleh minta tolong padamu?"

Seperti ingsting hewan, telinga Chanyeol menajam, kedua matanya melihat Minra dan temannya menghampiri Baekhyun.

Baekhyun membenarkan tali tas di bahunya, dan menjawab dengan tidak minat, "Kenapa aku harus membantumu?"

"Itu karena aku kurang yakin jadi aku meminta tolong padamu. Lagipula kakakmu berhasil membuat festival sukses, kupikir adiknya juga begitu."

Baekhyun hendak membuka mulut ketika suara lain menyambar percakapan itu.

"Aku yakin itu akan bertentangan dengan tujuanmu mengembangkan diri, Minra."

Tiga kepala menoleh sumber suara. Chanyeol berdiri di depan pintu ruangan dengan pose paling mengintimidasi Minra. Ia berjalan mendekati mereka. "Dan apa itu? Kau kurang yakin sehingga meminta bantuan orang lain? Kalau memang begitu, kenapa dari awal kau mengajukan dirimu sendiri untuk menjadi ketua panitia?"

Minra sedikit memalingkan wajah karena agak malu, "Aku hanya tidak mau menyebabkan masalah pada semua anggota, karena itu aku minta bantuan. Aku tidak ingin menjadi yang terburuk, kurasa."

"Jadi, singkatnya, kau hanya ingin aku membantu, kan?" Baekhyun menyimpulkannya.

"Itu dia, benar sekali." Minra menjawab dengan wajah cerah, memiliki pikiran positif bahwa Baekhyun akan membantunya.

"Kalau begitu, aku tidak keberatan. Aku juga menjadi anggota panitia, selama permintaan tolongmu itu tidak menganggu tugasku, aku baik-baik saja." Meskipun jawaban positif dilontarkan, wajah Baekhyun tetap tidak minat.

"Benarkah? Terima kasih, Baekhyun." Dan kalimat itu mengakhiri kesepakatan mereka.

Baekhyun menyusupkan tangannya ke saku blazer, berniat mengambil headset putihnya ketika suara orang lain membatalkan niatnya.

"Kau menerima permintaannya begitu saja?"

Baekhyun menoleh, memandang Chanyeol yang tidak ia kenal. Chanyeol menyamakan langkahnya, berjalan berdampingan dengan Baekhyun. "Kau mau membantunya melaksanakan tugas ketua panitia, tapi kenapa kau tidak mau menjadi ketua panitia itu sendiri? Aku pikir dia meminta tolong padamu begitu seperti ingin menyerahkan kewajibannya." Ucap Chanyeol dengan perasaan tidak suka.

"Kalau tidak suka, kau bisa menganggap aku hanya berpura-pura baik. Aku hanya membantu, melengkapi bagian yang hilang dari puzzle, sekiranya begitulah. Intinya, bukan aku yang mengerjakan keseluruhan."

"Aku anggota panitia juga, dari kelas yang sama dengan Minra. Aku memang tidak begitu tahu kebenarannya, tapi Minra cuma siswi yang peduli dengan kepopuleran. Pasti sekarang dia dengan bangga berpikir betapa orang-orang akan memujinya jika ia menjadi ketua panitia. Karena itu dia mengajukan dirinya sendiri. Kau harus hati-hati atau kau akan menjadi korban permainannya saja." Chanyeol memberi saran dengan sangat niat.

"Oh, begitu? Terima kasih sarannya."

Chanyeol melangkah ke depan Baekhyun, menghadang jalannya. "Namaku Park Chanyeol, kelas 2-F. Kalau kau butuh bantuan, katakan saja, aku akan membantumu."

"Terima kasih, Chanyeol. Dan kau sudah pasti tahu namaku setelah identitasku disebut oleh ketua OSIS tadi. Tapi, biar aku memperkenalkan diriku lagi. Kim Baekhyun, kelas 2-B. Kalau kau tidak keberatan, aku akan pulang duluan karena ada urusan."

Chanyeol menyingkir dari jalannya, "Maaf menahanmu di sini, sampai jumpa besok."

Baekhyun mengangguk, "Sampai jumpa."

Ketika Baekhyun sudah menuruni tangga menuju lantai satu, Chanyeol menutup mata dengan kedua tangannya, pose antara frustasi atau terlalu gembira.

"Aku tidak percaya! Aku baru saja berkenalan dengannya. Apa yang kupikirkan sampai mencampuri urusannya seperti tadi? Impression-nya pasti buruk, dia akan melabelkan diriku sebagai orang yang suka ikut campur," kemudian Chanyeol menunduk dalam, "haaaaah, tapi aku juga senang bisa menjadi kenalannya."

Chanyeol berjalan menuju tangga, berniat melupakan masalah dalam pikirannya dan pulang dengan damai.

Aku ini kenapa..?

.

.


.

.

Beberapa hari kemudian, ada banyak jam pelajaran kosong karena semua kelas mempersiapkan festival sekolah. Chanyeol bersemangat melangkahkan kakinya masuk ke ruang rapat kemarin. Termotivasi karena keberadaan Baekhyun.

"Mari kita mulai rapatnya. Kita mulai dengan humas dan periklanan." Ucap Minra dengan senyum percaya dirinya yang biasa. Ia duduk tempat ketua OSIS kemarin, bersama temannya yang menjadi wakil dan juga Baekhyun, duduk di sebelah kanannya. Terpisah empat meja dari sana adalah tempat duduk Chanyeol.

"Poster-posternya sudah hampir selesai." Ucap ketua dari seksi periklanan sambil berdiri.

"Begitukah? Kerja bagus." Puji Minra.

"Tidak, itu sedikit terlambat dari jadwal." Sahut Baekhyun sambil melihat lembaran kertas berisi tenggat waktu tugas. Minra kelihatan agak bingung dan menatapnya. Baekhyun melanjutkan, "Apa kau sudah selesai bernegosiasi untuk ruang poster? Apa sudah ada yang diunggah ke website?"

"Belum selesai..."

"Tolong segera di selesaikan, anak-anak SMP yang akan ujian masuk sekolah, serta wali mereka, akan sering mengunjungi situs web sekolah kita."

"D-Dimengerti, maaf atas keterlambatannya." Kemudian ketua seksi periklanan itu duduk kembali.

"Kau bisa melanjutkannya lagi, Minra." Ucap Baekhyun.

"Ah, ya," Minra gugup menanggapinya, "lalu kita dengar dari manajemen sukarelawan."

Seorang siswi berdiri dan melaporkan tugasnya, "Ada sekitar sepuluh kelompok sukarelawan yang berpartisipasi."

Minra tersenyum, bersiap memuji, "Jumlah itu meningkat, mungkin karena penghargaan setempat. Kalau begitu, selanjutnya—"

"Apa jumlah itu hanya dari sekolah?" sela Baekhyun dengan pertanyaan kritis, "Apa kau sudah mencari orang di tempat lain? Seperti yang setiap tahun dilakukan, kita hanya harus menghindari pengurangan kelompok yang berpartisipasi. Lebih baik lagi jika meningkatkan jumlahnya. Dan juga, belum ada laporan jadwal panggung dengan rincian staf pembukaan. Harus segera diselesaikan untuk diserahkan kepada sponsor lain."

"Baik, akan segera diselesaikan." Siswi itu duduk kembali.

Minra menatap sekilas wajah Baekhyun yang masih tanpa minat seperti hari-hari sebelumnya. Baekhyun yang kelihatan tidak minat begitu jauh lebih baik dibandingkan dirinya. Bisik-bisik anggota lain terdengar sampai ke telinga ketua panitia.

"Baekhyun itu hebat."

"Dia seperti ketua yang sebenarnya."

"Seharusnya dia yang jadi ketua."

"Seperti yang diharapkan dari adiknya Kak Joonmyeon." Suara pelan Minseok paling menohok Minra.

Baekhyun mengabaikan bisikan-bisikan itu dan melanjutkan rapatnya. Tanpa menyadari ekspresi iri yang terpampang di wajah Minra.

.


.

"Baiklah semuanya, jeda dulu pekerjaan kita. Istirahat tigapuluh menit dan lanjutkan lagi nanti." Minra mengumumkan setelah mengecek jam tangan.

Semua orang mematikan laptop dan membereskan dokumen yang berserakan di atas meja masing-masing. Chanyeol melirik Baekhyun yang sedang menumpuk kertas dengan cekatan. Tangan kanannya meraih tas kecil yang digantung di sisi meja dan melangkah keluar ruangan. Chanyeol memegang kotak bekalnya, ragu-ragu dengan pikirannya sendiri yang ingin makan siang bersama dengan Baekhyun. Di hari biasa, Chanyeol akan melangkah keluar kelas dengan semangat menuju kantin bersama teman-temannya.

Tapi ini bukan di kelas, ini ruang panitia. Meskipun begitu, bisa saja ia hanya perlu menyusul teman-temannya ke kantin. Karena dorongan lain dari hatinya, ia berpikir dua kali untuk menjalani rutinitasnya seperti biasa.

Chanyeol menyadari bahwa beberapa anggota panitia memilih untuk memakan bekal mereka di dalam ruangan sambil mengecek laporan bersama rekan kerja. Makan, bekerja, dan mengobrol berjalan beriringan. Chanyeol menyerah dengan perdebatan batinnya dan memilih mengikuti rekan kerjanya yang lain. Baru dua suapan, ponsel di saku blazer bergetar.

1 pesan diterima.

From: Jongin

[Hey, makan bersama kami di kantin atau dengan gebetan?]

Chanyeol mendelik, bersyukur ia tidak tersedak nasi yang sedang dikunyah. Dalam hati menyesal karena ia menceritakan tentang objek yang menarik perhatiannya pada teman sekelasnya itu.

[Sudah kubilang siswa itu bukan gebetanku. Sibuk, makan disini dan mengerjakan tugas, tidak sepertimu, pengangguran]

Chanyeol menyalakan laptopnya lagi dan menyusun laporan. Satu suap, mengetik beberapa kalimat, satu suap lagi, mengetik beberapa kalimat—

Ponsel pintar bergetar di samping laptop.

From: Jongin

[Whoa, whoa, santai saja, bung. Meskipun tugasmu banyak, tapi jadi anggota panitia tidak sepenuhnya rugi, kan? Contohnya kau lebih leluasa memandangi gebetan dari dekat. Ow, seharusnya kau berterimakasih padaku karena aku mengajukanmu sebagai panitia perwakilan]

Chanyeol menggenggam erat ponselnya, menyalurkan kekesalan. Ia mengetik balasan dengan tekanan emosi.

[Dia bukan gebetanku, BERAPA KALI HARUS KUULANG?!]

Tidak sampai satu menit, balasan sudah datang.

From: Jongin

[Kalau dia bukan gebetanmu, lantas maksud terselubung apa yang kau miliki sampai segitu tertariknya dengan siswa itu? Kau hanya belum menyadarinya]

Chanyeol memutuskan untuk tidak membalas. Memakan bekalnya dengan cepat dan membereskan meja kerja. Ketika memasukkan kotak bekal ke dalam tas, alisnya bertaut, seingatnya sisa air minum di dalam botol miliknya masih banyak. Seingatnya. Menghela napas, ia bangkit dan pergi mencari vending machine untuk membeli teh oolong favorite-nya.

Entah sial atau apa, vending machine di samping gedung sekolah—tempat pertama ia bertemu Baekhyun—kehabisan stok minuman yang dicarinya. Chanyeol menuju lapangan kedua, tempat adanya vending machine langganan kedua. Selesai dengan masalahnya, Chanyeol harus melalui koridor belakang, satu-satunya jalan terdekat menuju tangga lantai dua. Seperti deja vu, ia melihat Baekhyun memakan roti, headset di telinga, dan novel di pangkuan—persis seperti tempo hari.

Chanyeol membersihkan kerongkongan, meneguk teh sekali dan menyiapkan mental. Ia berjalan normal dan dengan segenap keberanian yang telah dikumpulkan, menyapa Baekhyun.

"Hai, Baekhyun, tidak makan siang di ruang panitia?"

Baekhyun mengangkat wajah, harus lebih mendongak dari biasanya karena tinggi Chanyeol yang tidak sopan itu. "Oh, hai, Chanyeol. Hanya mencari udara segar untuk refreshing. Akan suntuk jika kulakukan disana."

"Boleh aku duduk disini?" Chanyeol menunjuk tempat kosong di samping Baekhyun.

"Tentu saja," Baekhyun menutup novelnya, melepas headset dari telinga, dan melanjutkan menggigit roti rasa kopi di tangannya. Hanya suapan kecil supaya ia masih bisa bicara dengan mudah.

Chanyeol duduk disampingnya, tidak terlalu dekat, masih ada jarak. "Dari kemarin aku ingin bertanya, kenapa kau menolak jabatan ketua panitia? Maksudku, dirapat tadi saja kau sudah menunjukkan sikap seorang ketua, kau lebih pantas."

"Bukan masalah pantas atau apa, jika menjadi ketua panitia bisa membuat orang lain berkembang, kenapa harus aku yang sudah terlatih? Mungkin memang lebih efisien jika aku yang memegang peran itu, tapi Kak Minseok menginginkanku sebagai ketua panitia karena keberhasilan kakakku dulu." Baekhyun menelan kunyahannya dengan agak terpaksa, "Aku tidak mau menyandang jabatan itu hanya karena kakakku yang diakui, bukan aku."

Chanyeol memandangnya dari samping, berusaha memahami perasaan seorang adik yang tertutupi keberadaan kakaknya. "Kau selalu makan siang disini?" tanya Chanyeol basa basi, padahal dalam hati sudah tahu.

"Iya. Selain mencari udara, suasananya juga tenang. Aku tidak tahan berada di kantin yang super ramai. Apa yang kau lakukan sampai kesini?"

"Oh, habis dari vending machine," ibu jarinya menunjuk arah lapangan kedua, "stok habis, jadi aku membelinya disana." Chanyeol memandang lekat Baekhyun, memberanikan diri menanyakan hal yang lebih pribadi, "Kenapa kau tidak makan bersama teman? Maksudku, meskipun kau membutuhkan suasana tenang ataupun mencari udara segar, tidak selalu harus sendirian, kan?"

Baekhyun meremas bungkus roti dengan satu tangan dan menelan kunyahan terakhirnya. Ia menekuk kaki, merapat sampai dada dan menumpu dagu disana, "Aku tidak punya teman."

Suara gesekan dahan pohon di sekitar mereka terdengar lebih keras ketika angin kencang berhembus.

Chanyeol menatapnya tak percaya, "Teman sekelas?"

"Kau menyebutnya teman sekelas karena orang sekelas denganmu. Sama saja seperti kau menyebut teman-temanmu di sekolah dengan sebutan teman sekolah. Apa itu disebut teman? Kupikir teman memiliki definisi yang lebih dari itu."

Tunggu sebentar, jadi maksudnya dia tidak menganggap Chanyeol sebagai temannya, begitu? Cuma kenalan atau rekan kerja?

Oke, entah kenapa Chanyeol sakit hati.

"Baekhyun!"

Yang disebut namanya menoleh ke sumber suara. Melihat ketua OSIS berjalan cepat ke arahnya.

"Akhirnya ketemu, kau dan ketua panitia dicari oleh guru pembina."

Baekhyun berdiri, tas kecil di genggaman tangan, "Kenapa aku dicari juga? Aku kan bukan wakil ketua panitia."

Minseok menarik napas, "Aku juga menanyakan hal yang sama. Tapi kata Minra, dia membutuhkanmu dibandingkan wakilnya. Hanya menyampaikan laporan tentang pekerjaan kita saja kok, tapi Minra sepertinya harus bergantung padamu."

"Aku akan membantunya," Baekhyun beralih menatap Chanyeol yang masih duduk di undakan tangga, "duluan ya, Chanyeol."

Chanyeol mengangguk. Baekhyun dan Minseok pergi bersamaan. Meninggalkan Chanyeol merenung di undakan tangga.

.

.


.

.

Hari berikutnya, ketika semua anggota mengerjakan kewajiban mereka masing-masing, Minra masuk ke ruangan dengan santai. Seolah mengabaikan fakta bahwa ia terlambat datang.

"Semuanya, bisa minta perhatiannya sebentar?" seru Minra.

Ketika semua orang memandangnya, Minra berjalan ke tengah ruangan, "Aku sedikit memikirkan hal ini dan meyimpulkan bahwa anggota panitia pelaksana harus menikmati festival juga. Maksudku, kita tidak bisa membuat orang lain menikmatinya jika kita sendiri tidak menikmatinya. Kita sedang dalam jadwal, dan aku yakin bekerja sama dengan kelas masing-masing itu penting juga untuk mempersiapkan pentas. Jadi bagaimana kalau kita sedikit meringankan pekerjaan panitia?"

Baekhyun menghentikan ketikan jemarinya di atas keyboard laptop. Mengangkat wajah dan menatap ketua panitia tepat di mata. "Itu ide yang buruk, Minra. Dilihat dari manapun tetap begitu. Kita bekerja sekeras ini karena kita mempersiapkan penanggulangan jika terjadi kesalahan—"

"Jangan egois begitu, Baekhyun." sela Minra dan membalas tatapan Baekhyun dengan merendahkan, "Biarkan orang lain menjadi pertimbangan juga. Apa kau tidak membantu kelasmu mempersiapkan pentas untuk festival, hm?" Minra bertanya dengan nada yang begitu menyalahkan pendapat Baekhyun.

Bahu Baekhyun menegang sesaat. Atmosfer tak mengenakkan muncul karena argumen mereka berdua. Tanpa pikir panjang atau kalimat lain, Baekhyun memutus kontak mata dan melanjutkan tugasnya mengecek segala jadwal.

Minra tersenyum puas, menganggap bahwa kali ini adalah kemenangannya.


Seorang siswa meletakkan pekerjaan setengah selesai di samping laptop Baekhyun. "Tolong selesaikan yang ini," ucapnya.

Baekhyun menatap tumpukan dokumen di samping laptopnya yang bertambah banyak dari sebelumnya. Beberapa seksi bidang menyerahkan begitu saja tugas yang baru selesai setengah kepadanya. Ia menghela napas dan melanjutkan tugasnya tanpa berkata apapun.

Minseok menghampiri meja Chanyeol dan menyerahkan tumpukan dokumen. "Mungkin seharusnya aku menjatuhkan ide Minra tadi. Sebagian anggota terlalu santai sampai mereka melempar tugasnya pada orang di sebelah mereka begitu saja. Maaf ya menambahkan dokumen lain, tapi tugasku juga sudah banyak dan kelas 3 tidak bisa terlalu dibebani dengan hal ini."

Chanyeol mengangguk mengerti. "Yah, tidak masalah."

"Tapi jika memang tidak bisa, apa kau butuh tambahan rekan untuk membantu?" tanya Minseok memberi pilihan.

"Aku tidak tahu tentang ini secara keseluruhan, sebenarnya. Menjadi pengganti orang lain, tapi tanganku juga penuh dengan tanggung jawab sendiri. Karena aku yang bertanggung jawab atas laporan dan dokumen, tugasku sudah banyak."

Minseok menolehkan kepalanya untuk menatap Baekhyun, "Tapi sepertinya, Baekhyun lah yang mengerjakan hampir semuanya." Menatap cemas tumpukan dokumen di meja itu.

Baekhyun mendengarnya, ia menjawab tanpa ekspresi. "Lebih efisien seperti itu. Dibandingkan dibiarkan begitu saja menunda pekerjaan."

"Tapi itu semua akan segera hancur berantakan. Kau harus mengandalkan orang lain sebelum itu terjadi." Kalimat terakhir mencerminkan kekhawatiran Minseok.

"Aku akan membantu. Setidaknya, biarkan aku mengurus pengumpulan dan penyusunan informasi relawan." Ucap wakil ketua OSIS, Xi Luhan, dengan tiba-tiba dari sayap kiri. Ia mengangkat wajah dari layar laptop dan memandangi Baekhyun. "Bagaimana?"

Baekhyun tidak menjawab, tapi tangannya berhenti mengetik, menandakan ia sedang mempertimbangkan tawaran itu. Minseok berjalan mendekat dan menepuk bahunya. "Baekhyun, penting untuk mengandalkan orang lain. Bahkan Kak Joonmyeon juga melakukan itu pada saat-saat seperti ini."

Sunyi beberapa detik sebelum Baekhyun mengeluarkan suara, "Apa buruk untuk melakukan sesuatu sendiri? Kenapa orang yang bekerja keras, bahkan bekerja sendiri, harus ditolak seperti itu?" tanya Baekhyun tanpa menoleh.

Sunyi sejenak karena tidak ada yang tahu harus menanggapi pertanyaan itu dengan jawaban apa.

"Ketua OSIS," panggil Baekhyun tiba-tiba.

"Ya?"

Baekhyun mengangkat wajahnya, menatap Minseok, "Saat kau bermain baseball, berapa banyak orang yang bermain denganmu?"

Minseok menautkan alisnya karena bingung kenapa Baekhyun bertanya seperti itu. "Satu tim sedikitnya sembilan orang... jadi kalau bermain sekitar delapanbelas orang, kan?"

"Itu benar, tapi aku sering main sendirian. Dan aku tidak mendapatkan masalah. Jadi tidak salah kan kalau saat ini aku bekerja sendirian."

Hening yang tidak mengenakkan muncul di ruangan yang berisi setengah anggota panitia. Atmosfer menyublim jadi padat, memberatkan semua pihak.

Baekhyun itu penyendiri. Chanyeol bisa membuktikannya, setiap ia bertemu atau berpapasan, Baekhyun selalu sendirian. Entah ketika dia membeli minum di vending machine, atau makan siang, bahkan ketika pulang sekolah sekali pun tidak terlihat menyapa seseorang. Intinya, Baekhyun itu penyendiri dan sudah pasti lebih suka bekerja sendiri.

Mengumpulkan keberanian, Chanyeol memecah keheningan, "Seperti apa katamu, Kak Minseok, mengandalkan orang lain memang penting. Tapi, semua orang di sini sudah mengandalkan orang lain dengan segala keinginan yang mereka peroleh. Maksudku, orang-orang yang memindahkan pekerjaan mereka padaku juga disebut mengandalkan orang lain, kan?"

"Begitu?" sahut Baekhyun, "Artinya panitia bagian laporan dan dokumen juga sudah bekerja keras. Aku akan mengevaluasi kembali penugasan kerja. Selain itu, apa yang ketua OSIS dan wakilnya katakan masuk akal. Mengenai tawarannya, aku dengan senang hati menerima itu." Ucap Baekhyun.

"Maaf aku terlambat," Minra masuk ke ruangan dengan temannya yang selalu mengikutinya, Min Seyoung.

Luhan menatap agak sinis ke arahnya. "Apa kau dari kelas, Minra?"

"Ah ya, aku membantu latihan pementasan kelasku tadi." Jawab ketua panitia dengan santai.

Baekhyun berdiri dan berjalan mendekatinya. "Minra, tolong tandatangani ini." Baekhyun menyerahkan beberapa lembar laporan dan stempel padanya. "Aku memperbaiki masalah laporan ini sendiri."

"Terima kasih, Baekhyun." Minra menempelkan stempelnya di tempat yang tertera, "Sebenarnya, aku akan menyerahkan stempel-ku. Jadi gunakan saja saat kau perlu. Apa ini bisa disebut penyerahan kuasa? Bukankah lebih mudah begitu?"

Semua orang menatapnya tidak percaya.

"Ini, stempelnya." Minra menyerahkannya ke tangan Baekhyun.

"Baiklah. Aku akan menyetujui hal ini sendiri mulai sekarang." Baekhyun kembali duduk ke tempatnya.

Minra menambahkan satu hal, "Dan juga, tolong perbaiki kesalahan pada beberapa laporan. Pasti ada di salah satu tumpukan dokumen di samping laptopmu itu. Baiklah, kerja bagus semuanya. Kalian boleh pulang."

Chanyeol memperhatikan Baekhyun yang memasukkan sebagian dokumen dan laptop ke dalam tasnya sedangkan sebagian lagi ia dekap dengan tangan karena tidak muat di dalam tas. Chanyeol ingin sekali membantu mengerjakan tugas Baekhyun, tapi dia sendiri tidak bisa meninggalkan tugasnya yang juga menumpuk.

.

.


.

.

Hari berikutnya, jam pelajaran pertama, Chanyeol mendatangi ruang rapat seperti biasa. Beberapa orang bekerja dengan serius, tapi jumlahnya berkurang dari kemarin. Dokumen evaluasi bertambah di atas meja Baekhyun yang masih kosong. Pemilik kursi itu belum datang. Chanyeol duduk di tempatnya dan melanjutkan tugasnya yang masih menumpuk.

Di jam pelajaran kedua, Baekhyun masih tidak muncul juga. Tidak ada tanda-tanda bahwa siswa itu akan datang. Chanyeol cemas tentu saja. Luhan di sebrang meja Chanyeol, bertanya kepada semua orang, "Dimana Baekhyun? Dia masih di kelas atau apa?"

Saling pandang sesaat dan menggeleng serempak, tidak ada yang tahu.

"Percayalah, aku mempertanyakan hal yang sama denganmu." Sahut Chanyeol.

Kemudian ketua OSIS masuk, membawa dokumen di tangannya. Ia menatap meja Baekhyun yang sudah ada tumpukan dokumen menunggu untuk dievaluasi dan berjalan ke tengah ruangan. "Baekhyun sakit, dia mengambil izin satu hari." Pengumuman dari Minseok seolah mendengar petir di hari yang cerah.

Semuanya terkejut, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan keterkejutan Chanyeol. Ia sampai tidak sengaja menjatuhkan dokumen karena tersenggol sikunya.

"Karena Baekhyun tidak ada hari ini, kuharap kita bisa lebih bekerja keras untuk mengejar tenggat waktu." Lanjut Minseok sambil berjalan ke tempat duduknya.

Luhan berdiri, menghampiri kursi di sebelah Chanyeol yang kosong dan duduk di sana. Luhan menopang kepalanya dengan tangan di atas meja. "Heh, responmu itu tidak kurang dramatis, ya? Apa kau begitu mengkhawatirkan Baekhyun?"

Telinga Chanyeol memerah, "W-Wajar saja kan kalau aku mengkhawatirkan rekan kerjaku sendiri." Agak gugup di awal kalimat.

"Apa kau temannya Baekhyun? Kau bahkan menolongnya kemarin, memecahkan keheningan suram yang dibuat oleh Baekhyun." tanya Luhan penasaran.

Chanyeol merasa tertohok, faktanya dia tahu bahwa dia hanya dianggap rekan kerja oleh Baekhyun. "Kenapa bertanya begitu?"

Luhan beralih menopang dagunya di atas meja dengan tangan yang saling meremas di atas pangkuan. "Aku ini teman sekelas Baekhyun, kau tahu? Kelas 2-B. Dia selalu sendirian di kelasnya, hampir tak pernah kelihatan mengobrol dengan orang lain. Dia selalu membaca novel sendirian sambil mendengarkan musik melalui headset-nya. Bahkan ketika istirahat pun ia pergi keluar kelas sendirian, aku tak sengaja pernah melihatnya memakan bekal sendirian di undakan tangga depan parkiran sepeda—"

"Maaf memotong ceritamu, tapi bukankah perwakilan setiap kelas diharuskan laki-laki dan perempuan? Lantas kenapa kau dan Baekhyun menjadi perwakilan?"

Luhan tertawa, "Bodoh, aku ini anggota OSIS, bukan perwakilan." Luhan mengubah tatapannya menjadi begitu serius, "jangan mengajukan pertanyaan yang tidak penting. Sampai mana tadi—nah, intinya, karena dia selalu sendirian kupikir dia tidak memiliki seseorang yang pantas disebut teman untuknya. Aku agak kaget dengan aksimu kemarin, memecah keheningan itu membantunya tahu. Tidak seorang pun melakukan hal seperti itu untuknya."

"Aku hanya mengutarakan pendapatku."

"Bukan hanya itu, aku tahu, jadi kau tidak perlu mengelak. Apa kau penasaran dengannya, Chanyeol? Apa kau ingin menjadi temannya?"

Sangat—tapi dia tidak mengutarakannya terang-terangan. "Mungkin sedikit penasaran dengannya," jawab Chanyeol setengah-setengah.

Luhan menendang kakinya di bawah meja, "Kalau kau memang ingin menjadi temannya, aku punya jalan lain untuk mewujudkan itu. Baekhyun sepertinya kesepian tanpa teman, karena itu aku ingin menolongnya. Dibandingkan aku, mungkin jika kau yang mendekatinya akan lebih seru."

"Maksudnya aku ini barang percobaan untuk eksperimenmu?" protes Chanyeol.

Luhan pura-pura tak mendengar. "Baekhyun itu baik, jika tidak, mana mungkin ia mau membantu orang asing seperti Minra dan mengemban tugas itu sampai sekarang? Pasti dia sudah melempar kembali tugas Minra. Tapi dia itu baik sekali, makanya sering dimanfaatkan. Apa kau mau menolongnya? Cukup menjadi orang yang selalu ada di sampingnya sudah sangat berarti, pasti."

Chanyeol diam beberapa detik sebelum menatap Luhan dengan serius. "Aku ingin menolongnya."

Luhan tersenyum lebar. "Sepulang sekolah, kita ke kelasku, hanya sebentar." Tanpa persetujuan Chanyeol, wakil ketua OSIS kembali ke tempat duduknya.

"Hah?"

.


...

Chanyeol menarik dan membuang napasnya berkali-kali. Entah meditasi menenangkan batin atau sudah refleks. Chanyeol hanya tidak menyangka, kenapa dia bisa berani datang ke sini. Dia bahkan tidak tahu alasannya.

Tapi sudah terlanjur, daripada putar balik lebih baik diteruskan.

Ia menatap bangunan tepat di depannya, jaraknya hanya dua blok dari rumahnya sendiri. Dengan beberapa map berisi dokumen dan laporan didekap di ketiaknya, Chanyeol membawa tugas Baekhyun. Menyemangati dirinya sendiri dalam hati kemudian menekan tombol yang berfungsi sebagai bel di samping pagar besi cat hitam.

Chanyeol semakin ragu sendiri, kenapa juga ia mau menuruti saran Luhan untuk datang ke rumah Baekhyun setelah wakil ketua OSIS itu memperlihatkan data siswa kelas yang berisi alamat rumah.

Sudah terlanjur.

.

.

.

.

.


tbc


a/n: jadi, garis besarnya adalah, saya cuma mau buat cerita dimana Baekhyun yang penyendiri dan akhirnya Chanyeol jadi orang yang pertama kali ada buat dia. Ha.

klise, emang.

Masih school-life, seperti fic sebelum-sebelumnya. Ga bisa lepas dari setting itu, duh. Dengan tambahan OC, cuma buat karakter antagonis doang kok, nggak lebih. Niatnya sih dibuat dua atau tiga chapter, tapi kalau ada tambahan ide... mungkin bisa lebih.

Akhirnya lepas dari segala tugas belajar untuk UN (libur panjang, woosh), tapi malah stress gara2 mikirin hasilnya /curhat/

FYI, kenapa judulnya distance? nggak tahu, saya aja bingung mau kasih judul apa. Barangkali, Baekhyun yang tertutup membuat jarak sama orang-orang disekitarnya dan akhirnya menghapus jarak itu dan memutuskan untuk lebih terbuka. Gitu aja sih.

...

Terima kasih sudah membaca :)

review please?