Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei
.
Warn : OOC, Typo(s), etc.
.
MaeOka Fanfiction
Happy reading!
.
Tujuh tahun yang tenang. Tujuh tahun yang damai. Tanpa ada suara berisik yang menggodanya, tanpa ada gangguan rayuan-rayuan gombal. Okano sudah merasakannya tujuh tahun terakhir ini.
Gadis itu memandang ke langit. "Aku berharap ketenangan ini berlanjut."
Sayang sekali, mungkin harapannya tidak akan terkabulkan. Tidak ada satu bintang pun yang jatuh saat ia mengucapkannya.
.
.
.
Okano memandang kagum tempatnya berada saat ini. Ini adalah pusat pelatihan kebugaran, semua fasilitasnya lengkap. Gadis itu berkeliling.
"Benar-benar tempat kerja yang kuinginkan. Ini sempurna!"
"Terima kasih. Aku merasa senang kau nyaman dengan tempat kerjamu."
"Ah, aku pelatih aerobik yang baru. Okano Hinata, yoroshiku onegaishimasu!"
"Okano-san, selamat bergabung dengan kami. Semoga kau bekerja keras."
"Aku akan melakukan yang terbaik!"
Okano terus membungkuk sampai manajer itu meninggalkannya. Ia beralih ke ruang staff yang sudah diberitahukan sebelumnya dan Okano merasa puas.
"Tempat kerja yang menyenangkan!"
.
.
.
"Tempat kerja yang tidak menyenangkan..." gumam Okano lesu setelah ia melihat orang paling menyebalkan baginya kembali muncul di hadapannya. Apalagi ia diberi tahu kalau pemuda itu adalah pelanggan tetap di tempat mereka.
Tujuh tahun yang tenang bagi Okano bertransformasi seperti dulu dalam sehari. Semua itu karena satu orang.
Maehara Hiroto.
"Woa Okano! Jadi kau pelatih baru di sini? Menakjubkan, kita bisa kembali di satu tempat lagi."
"Itu dinamakan musibah."
"Kenapa kau lesu begitu? Apa kau tidak senang bertemu denganku lagi?"
"Apakah wajahku kelihatan senang hah?"
"Wow, kau galak sekali. Benar-benar tidak berubah, bahkan tinggi dan dadamu juga tidak ada pertumbuhan berarti—"
BUGH!
"Aw! Ittai!"
"Aku memang belum berubah, termasuk sifat kasarku. Masih sama seperti dulu," ucap Okano ketus. Ia melangkah menjauh dari pemuda yang masih meringis kesakitan sambil memegangi perutnya itu.
"Kenapa dia harus muncul lagi setelah aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku tanpa memikirkannya? Buruk, buruk, ini tidak baik. Kenapa aku merasa senang bisa melihatnya lagi? Ini sungguh tidak baik."
.
.
.
Okano menatap tajam pemuda yang tersenyum cerah di hadapannya. "Kenapa kau di sini?"
"Tentu saja untuk berlatih. Aku pelanggan tetap di sini."
"Kau tidak ada jadwal hari ini. Kau juga tidak memiliki kelas aerobik."
"Oh... jadi kau mencari tahu tentangku Okano? Apakah kau sangat menyukaiku eh?"
"Ba-baka! Aku hanya jaga-jaga kalau saja kau tiba-tiba datang kemari hanya untuk menggangguku. Seperti sekarang ini."
Maehara mengacak surai coklat gadis yang jauh lebih pendek darinya itu. "Kau percaya diri sekali."
"Lalu apa yang kau lakukan di sini? Sekarang ini?"
"Aku sedang bingung memutuskan untuk bergabung ke kelas aerobik atau tidak, tapi tiba-tiba kau menjadi pelatih di sini. Jadi kuputuskan untuk bergabung. Berlatih dengan orang yang kau kenal itu lebih menyenangkan dibanding dengan orang asing."
"Apa maksudmu?"
"Berlatih denganmu lebih menyenangkan Okano," ujar Maehara.
Gadis itu memalingkan wajahnya. Ia tahu benar apa yang dirasakannya, ia berdebar dan tersipu. Tanda kalau ia mulai—
"Okano?"
"Kenapa kau memutuskannya setelah tahu aku yang jadi pelatih?"
"Kenapa ya? Banyak yang menyarankan untuk ikut aerobik, jadi kucoba saja. Dan kebetulan pelatihnya adalah kau," jawab Maehara. "Karena kau orang baru di sini, kuberitahu sesuatu."
"Apa?"
"Banyak teman sekelas kita yang mengikuti pelatihan di sini juga lho. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu di sini."
.
.
.
"Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu di sini."
Okano berguling di kasurnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal.
"Baka, baka! Kita yang dimaksud adalah teman-teman sekelas, jangan berpikiran aneh Okano!"
Gadis dengan rambut pendek itu menurunkan bantalnya dari wajah, ia memandang ke langit-langit kamarnya yang gelap gulita.
"Hinata... jangan jatuh cinta lagi pada Maehara."
.
.
.
Okano duduk santai di salah satu sofa yang ada di ruangan gym. Ia baru saja selesai melakukan pemanasan pada tubuhnya sendiri. Ia masih menunggu beberapa puluh menit sebelum jam kerjanya mulai.
Gadis itu melirik Maehara yang sedang jogging. Meskipun Maehara sudah cukup banyak berkeringat dan membuat rambut pemuda itu sedikit lepek nafasnya masih tetap tenang dan teratur.
"Sepertinya dia masih sering melatih tubuhnya. Stamina bagusnya pasti didapat dari latihan pembunuhan dulu."
Maehara sempat menoleh dan melambaikan tangannya pada Okano sebelum ia mengatur kecepatannya lebih tinggi. Ia masih terlihat santai dibandingkan orang-orang lain yang juga melakukan aktivitas yang sama.
'Ugh, kenapa dia tambah keren saja?'
"Dia memang tambah keren."
Okano menoleh. Orang yang sangat dikenalnya berdiri di sana.
"Dan dewasa."
"Isogai. Kataoka."
"Yo Okano!"
"Hisashiburi Okano."
Kedua teman semasa SMP-nya tubuh duduk di samping kanan kiri Okano. Kataoka di sebelah kirinya.
"Kau pasti tadi berpikir begitu kan?" bisik mantan wakil ketua kelas itu di telinga Okano.
"Ti-tidak! Apa yang kau katakan?"
"Kudengar dari Maehara kalau kau bekerja ke sini. Kami memutuskan untuk menemuimu, maaf tidak sesegera mungkin. Baru hari ini kami ada jadwal latihan."
"Tidak apa-apa Isogai. Kalian juga berlatih di sini?"
"Hampir setengah dari kelas kita berlatih di sini. Ritsu yang memberikan informasinya, menurutnya ini tempat terbaik di kota ini."
"Kalau Ritsu yang merekomendasikannya itu pasti yang terbaik."
"Dia juga menjadi bintang iklan untuk gym ini," ucap Kataoka.
"Sepertinya kalian membicarakan banyak hal."
"Maehara," sapa Kataoka yang dibalas anggukan pemuda itu.
"Kau sudah selesai?" tanya Isogai.
"Ya. Isogai airnya."
Ikemen berpucuk itu melemparkan sebotol mineral yang dibawanya pada Maehara dan langsung ditengguk habis sampai setengahnya.
Okano berdiri. "Aku permisi. Sekarang sudah masuk jam kerjaku."
"Semangat Okano!"
Gadis itu mengangguk ringan menanggapi Maehara. Ia berlalu dan tempat duduknya langsung digantikan oleh Maehara.
"Dan dewasa."
Dua kata dari Kataoka Megu kembali terngiang di telinga Okano. Gadis itu tidak menyangkal apa yang dikatakannya, perkataan sepasang pengurus kelas itu memang benar.
Tapi kenapa ia berdebar-debar saat membayangkan Maehara yang menyemangatinya?
Jangan jatuh cinta lagi.
.
.
.
"Okano."
Okano terperangah saat di belakangnya sudah berdiri Maehara dengan pakaian kerjanya. Kemeja dengan kancing atas yang terbuka dan jas biru tua yang sengaja tidak dikancingkan. Kenapa ia kelihatan keren dan dewasa secara bersamaan dengan penampilan yang biasa itu?
"Are? Kau memakai one piece? Kau kelihatan lebih perempuan."
"Aku memang perempuan!" sengaknya. "Kenapa kau duduk di situ? Aku tidak memperbolehkanmu."
"Aku bosan duduk di sampingmu. Aku ingin mencoba duduk di depanmu," balas Maehara. "Seperti yang kuduga, wajahmu terlihat lebih cantik jika dilihat dari depan, tapi dari samping tetap manis."
Okano tersipu. Tidak ada nada flamboyan dalam cara bicaranya. Maehara mengatakannya dengan biasa saja, tapi itu justru membuatnya berdebar-debar.
"Apa itu cara menggodamu sekarang eh?"
"Aku juga berkembang. Menggoda gadis dengan rayuan gombal seperti dulu sudah bukan gayaku."
"Barusan kau mengakui dulu kau adalah perayu gombal."
"Memang benar."
"Jadi yang kau lakukan tadi bukan rayuan? Lalu apa?"
"Aku serius."
Okano tidak menanggapinya. Ia memilih menyeruput es cappucino yang ada di depannya untuk menetralisir detak jantungnya yang menggebu.
"Bagaimana menurutmu?"
"Tentang?"
"Aku."
"Menurutku ya..."
"Apa masih tampak seperti playboy cassanova?"
"Bukan seperti. Tapi memang."
"Penilaianmu tidak berubah ya?"
"Tentu saja berubah. Kau lebih dewasa sekarang."
"Terima kasih."
Okano memandang Maehara dengan heran. Keningnya berkerut tajam.
"Ada apa?"
"Jawabanmu terdengar seperti bukan seorang Maehara. Kau harusnya bilang, tentu saja, aku memang seperti itu."
Maehara berdiam diri sejenak. "Aku memutuskan berubah dengan pikiran kau akan menganggapku keren."
"Kau memang keren, kau juga sudah membuatku jatuh cinta lagi."
Maehara terkejut.
Okano lebih terkejut lagi. Ia membekap mulutnya sendiri. "Aku keceplosan! Bukan itu maksudku."
"Maksudmu itu juga tidak apa-apa," cengir Maehara.
"Pokoknya bukan itu maksudku! Bukan!"
Okano pergi begitu saja meninggalkan Maehara yang tersenyum kelewat lebar di kafe itu. Seorang pelayan memanggilnya karena ia belum membayar.
"Aku yang akan membayarnya," ucapnya. "Okano, kau masih ceroboh seperti dulu. Sikapmu itu manis."
.
.
.
Okano sudah cukup tertekan dengan kenyataan bahwa ia mengajar kelas aerobik dengan Maehara menjadi salah satu muridnya. Kenapa sekarang pemuda itu malah tidak segera pergi dan terus menerus memandanginya?
"Okano."
Gadis itu bergidik saat namanya disebut. Ia menoleh ke arah Maehara dengan sangat lambat, terkesan enggan.
"Ayo pulang bersama."
"Tida—"
"Aku akan menunggumu."
"Kau keras kepala Maehara."
"Itu memang aku."
"Menyebalkan."
Pilihan terbaik adalah segera mengakhiri kegiatan hari itu dan bergegas pulang. Kalau tidak Mahara hanya akan mengganggunya terus, semakin lama ia pulang maka semakin lama pula ia memberikan Maehara waktu untuk menggodanya.
Mereka jalan dalam diam. Maehara sesekali melirik, sedangkan Okano tetap lurus memandang ke depan.
"Perasaanku masih sama seperti saat hari valentine dulu."
Okano tidak menanggapinya.
"Itu balasan untuk pernyataanmu kemarin."
"Aku tidak menyatakan perasaanku."
"Kalau begitu pengakuanmu."
"Aku tidak mengaku."
"Perasaanmu yang sebenarnya."
"Kau menyebalkan Maehara."
"Aku mencintaimu Okano."
"Itu tidak nyambung."
"Aku mencintaimu."
"Kau menyebalkan."
"Aku jatuh cinta padamu."
"Dasar. Kau mengganggu."
"Kau mencintaiku."
"Benar."
"Yappari, kau memang mencintaiku."
Okano memalingkan wajah dari Maehara. 'Damn! Dia berhasil menjebakku.'
Maehara tiba-tiba berdiri di hadapan Okano. "Kau mencintaiku. Aku mencintaimu. Kita sepasang kekasih sekarang."
Okano melebarkan matanya. "Mana mungkin? Jangan seenaknya. Aku tidak mau!"
"Aku paham, jadi kau ingin yang lebih serius. Kita saling mencintai. Kau akan jadi istriku. Kita akan menikah."
Mulut gadis itu membentuk huruf o, ia tidak bereaksi lagi karena terkejut. Maehara tertawa melihatnya.
"Satu, dua, tiga. Tidak ada penolakan, berarti kau bersedia. Selamat Okan—ah bukan, Maehara Hinata, selamat akhir musim panas nanti kita akan menikah. Tolong jaga tubuhmu agar kelihatan cantik sebagai istriku."
Harusnya aku jangan jatuh cinta lagi pada Maehara, karena aku tahu aku tidak bisa menolaknya.
Harusnya aku jangan jatuh cinta lagi padanya.
Tapi jatuh cinta padanya lagi sangat menyenangkan.
"Ya."
