Matahari sudah mulai mencapai titik di mana akan membuat bayangan kita 'tak tampak. Namun, para penduduk desa tetap ceria dan bersemangat menjalani aktivitas mereka. Seperti orang-orang yang sekarang sedang berada di dalam gubuk yang kokoh namun sederhana ini.
Orang-orang yang sedang duduk di lantai—para remaja dan anak-anak—sedang menundukkan kepala: berdoa dalam hati. Lalu, salah seorang remaja bangkit, memimpin teman-temannya untuk memberi salam pada seorang gadis yang sedang berdiri di hadapan mereka dengan senyum tulus.
"Beri salam kepada Sensei!"
"Terima kasih untuk hari ini, Sensei!" semua berucap serentak sembari membungkukkan badan sembilan puluh derajat.
"Terima kasih kembali untuk kalian!" sang gadis membalas, lalu semua yang membungkuk kembali menegakkan badan.
Setelahnya, semua bubar. Beberapa ada yang langsung pergi keluar dari tempat itu. Tetapi, ada juga yang tetap di ruang itu, menghampiri si gadis yang sedang merapikan barangnya.
"Sensei! Besok kita belajar matematika, ya!" seorang bocah perempuan dengan cepat menghampirinya dan berbicara dengan semangat.
"Tidak! Sensei, besok sejarah saja! Tanggung sekali kita belajar di Era Edo!" bocah lelaki yang berhasil menyusul si bocah perempuan dengan cepat menyahut.
Mendengar sahutan itu, bocah perempuan langsung menatap si pelaku dengan sengit. Sebuah perdebatan kecil yang 'tak terelakkan pun terjadi.
"Sudahlah kalian! Merepotkan Akira-nee-chan saja!"
Seorang anak perempuan tahu-tahu berada di antara mereka, lalu dengan cepat memberi geplakan ringan pada kedua bocah berbeda gender yang asyik berdebat tersebut, mengundang kata "aduh" dari keduanya.
"Kalau boleh memberi usul, besok aku ingin belajar sains saja," tiba-tiba seorang anak laki-laki ikut menimbrung, berucap dengan wajah datarnya.
Mendengar semua itu, si gadis hanya bisa tersenyum maklum sambil sweatdrop imajiner, "Masalahnya, besok giliran tingkat D yang belajar. Jadi, kalian yang tingkat B tidak belajar. Apa kalian tidak ingat jadwal belajar kalian?"
"EEEHH!? NANI!? IIEEE!" kedua bocah yang tadi asyik berdebat seketika mengerang serentak saat mendengar penuturan dari sang guru.
Melihat hal itu, kedua anak yang ada di sana menatap mereka dengan heran sambil sweatdrop imajiner, sedangkan sang guru hanya terkekeh geli melihat reaksi dua dari sekian muridnya itu.
"Maa, maa. Tak apa. Lagipula, Nee-san pikir kalian pasti punya hal yang harus dikerjakan. Membantu orangtua kalian, misalnya?" hibur sang guru.
"Tuh, dengar! Kalian tak lupa dengan orangtua kalian, kan? Jangan mentang-mentang dibolehkan ikut bergabung oleh Akira-nee-chan, kalian malah lupa diri!" si anak perempuan kembali berucap dengan pedasnya, menceramahi kedua bocah itu.
"Yui, ini masih di lingkungan KMB. Dan, kau sudah memanggil Sensei dengan namanya sebanyak dua kali. Apa kau lupa dengan peraturan 'memanggil nama'?" si anak laki-laki mengingatkan dengan wajah datarnya (lagi).
"Nah! Yui-nee sendiri lupa dengan peraturannya, tapi malah menceramahi kami!" bocah laki-laki berucap dengan wajah menuduh sambil berkacak pinggang.
Lalu, disetujui dengan bocah perempuan, "Hayo! Sekali lagi mengucapkan, Yui-nee akan dapat hukuman!" ia berucap sambil mengacungkan jari telunjuknya pada remaja perempuan yang dipanggil "Yui-nee".
Yui seketika merasa terpojok sekaligus naik darah, "Hei, kalian! Jangan mentang-mentang ada peraturan, kalian malah memojokkan aku! Dan, jangan lupa, kalau usiaku sudah sepuluh tahun! Itu berarti, kalian yang tiga tahun lebih muda dariku harus hormat!" marahnya sambil mengapit kedua kepala bocah itu, lalu menjitak lama dengan kedua kepalan tangannya.
"Ho-Hoi! Berhentilah kalian!" sang guru kalap, "Lagipula, jam KMB sudah berakhir, jadi tidak apa-apa memanggilku dengan nama panggilan Nee-san," jelas sang guru yang dipanggil "Akira-nee-chan", "Omong-omong, siapa yang membuat peraturan itu, sih?"
"Entah. Tiba-tiba, sudah ada peraturan seperti itu," Yui menjawab dengan berhenti menjitak, walau ia masih mengapit kepala mereka, "Apa kau tahu tentang itu, Nato-kun?" Yui bertanya pada anak laki-laki.
Yang dipanggil "Nato-kun" langsung mengubah raut wajahnya yang datar menjadi sebal, "Tidak, aku tidak tahu. Dan juga, berhenti memanggilku seperti itu! Kau seperti memanggilku sebagai 'makanan', bukan sebagai 'seseorang'," lalu ia menambahi, "Sepertinya, teman-teman lain yang membuat peraturan itu."
"Oooh…" sang guru alias Akira mengangguk paham, "Tapi, bukankah itu panggilan akrab Yui-chan untukmu, Minato-kun? Yaah, walau pendapatmu ada benarnya juga, sih," komentar Akira yang ditanggapi dengan anggukan kecil dari Minato, si anak laki-laki.
"Baiklah, Nee-san mau pulang dulu, ya! Mio-chan, Rui-kun, langsung pulang, oke? Ingat, jangan berkeliaran ke mana-mana!" perintah Akira pada kedua bocah itu.
Yang diperintah langsung berdiri tegap, lalu memberi salam hormat ala prajurit dengan semangat 45, "Ha'i yo, Akira-nee-chan!"
Tingkah mereka membuat Akira dan Yui terkekeh, sedangkan Minato menyinggung seulas senyum.
Tatapan Akira beralih ke Yui dan Minato, "Minato-kun, Yui-chan, tolong jaga dan antarkan mereka pulang, ya!"
"Yoke, Akira-nee-chan!"
"Ha'i, Akira-nee-san!"
Tanpa mereka bertiga sadari, Mio dan Rui—kedua bocah tadi—sudah di luar, menunggu mereka sambil beradu argumen tentang hal-hal lain. Setelah mengunci pintu gubuk tersebut, Akira pamit pada mereka berempat. "Yosh! Sampai jumpa lagi! Untuk Yui-chan dan Minato-kun, mata ashita, ne!"
"Mata, mo, Akira-nee-chan!" balas Rui dan Mio.
"Mata ashita, Nee-chan/san!" balas Yui dan Minato.
"Kalau begitu, Mio, ayo kita lomba lari sampai toko Kazuma-ji-san!" tantang Rui tiba-tiba.
"Ayo! Yang kalah membuat es krim untuk yang menang!" balas Mio.
"ICHI…
NI…
SAN!"
Mereka langsung berlari saat hitungan terakhir (yang mereka hitung sendiri). Melihat hal itu, Minato dan Yui cengok sambil sweatdrop imajiner. Sementara, Akira spontan berteriak kesal, "HOI, KALIAN! JANGAN LARI-LARI!"
Akira bergumam kesal sambil berkacak pinggang saat teriakannya diabaikan. Mereka mungkin 'tak mendengarnya.
Melihat Akira yang sedang kesal, Minato mengajak Yui untuk mengejar kedua bocah itu. "Kalau begitu, kami akan mengejar mereka, Nee-san. Yui, iku o!" ajaknya sambil berlari duluan.
Dengan kikuk, Yui mengikuti jejak Minato setelah berucap, "J-Jaa, mata na, Nee-chan!"
Akira mengangguk, lalu berucap, "Kalau kalian berhasil menangkap mereka, tolong wakilkan jitakan Nee-san, ya?"
Yui membalas dengan acungan jempol dan teriakan "oke" sambil berlari mengejar mereka.
Dari kejauhan, Akira masih bisa mendengar suara tawa Rui dan Mio, serta Yui yang meneriaki Minato agar menunggu dirinya. Masih memangku kedua tangannya di pinggang, Akira menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum. "Haaaaahhh… Dasar mereka."
Menjuntaikan kedua lengannya, ia mendongak ke atas—menatap langit musim panas. Sedikit menyipitkan matanya, ia bergumam, "Hari ini pun terasa menyenangkan…" Ia lalu mengambil langkah ke arah yang berlawanan dengan para anak muridnya tadi. Senyum riang yang terpatri di wajahnya berubah menjadi senyum kecut… kala rasa kalut tiba-tiba menghinggap di hatinya.
"Sayangnya, aku tidak bisa melihat masa depan."
.
Akira sampai di sebuah bangunan bertingkat dua yang ia sebut "rumah". Tangannya yang terjulur ke pagar rumah terhenti kala matanya 'tak sengaja menangkap sesuatu berada di dalam kotak pos rumahnya. Ia mendekati kotak pos tersebut, membukanya, lalu mengambil benda itu.
"Ooh… paket untuk Ojii-san dan Obaa-san rupanya," ia bergumam kala melihat nama kakek dan neneknya tertulis di sampul paket tersebut untuk orang yang ditujukan sebagai penerima kiriman.
Sambil membawa paketan itu, ia memasuki wilayah rumahnya. Membuka dan menutup pagar, lalu melintasi halaman depan rumahnya yang cukup luas. Ia sempat melirik ke arah tanaman-tanaman yang ada di sana, memastikan bahwa tanaman tersebut masih dirawat. Pintu rumah terbuka setelah sesaat ia mengetuknya.
"Tadaima!"
"Okaerinasai, Nona Akira!"
Tampak beberapa pelayan menyambut kedatangan Akira dengan gembira. Akira segera masuk dengan sebelumnya mengganti sepatunya dengan sandal rumah.
"Otsukaresama deshita!" ucap Akira saat benar-benar menginjakkan kakinya ke dalam rumah. Belum sempat para pelayan itu membalas, Akira langsung menyambung kalimatnya, "Souyeba, apa kalian sudah memasak sesuatu? Kalau belum, tolong siapkan bahan-bahannya, ya! Aku ingin membersihkan diri, dan memberikan paket ini pada Ojii-san dan Obaa-san dulu."
Sebelum Akira benar-benar melenggang pergi, salah seorang pelayan bertanya padanya, "Apa yang ingin Anda buat, Nona Akira?"
Mendengar pertanyaan itu, Akira memiringkan kepalanya, berpikir.
"Apa kita punya bahan yang cukup untuk membuat okonomiyaki? Aku sedang ingin memakan itu."
"Ya, semua bahan untuk membuat okonomiyaki ada, kecuali gurita dan cumi-cumi yang tak Anda sukai," jawab si pelayan, "tapi, kita punya ikan sebagai penggantinya," sambungnya.
Mendengar hal itu, Akira menjawab dengan antusias, "Oke! Tolong persiapkan semua bahannya! Jangan lupa untuk memanggang ikannya, onegai, ne!" Akira langsung melenggang pergi setelah para pelayan itu menjawab, "Ha'i, Nona Akira."
Setelah Akira 'tak tampak, salah seorang pelayan menghela nafas.
"Aku masih heran mengapa Nona Akira ingin memasak sendiri. Padahal, dia sudah punya kita sebagai pelayan keluarganya," ucap si pelayan.
"Kupikir, itu karena ia terbiasa hidup mandiri. Dia bahkan melarangku membersihkan kamarnya dengan alasan itu adalah hal privasi. Walau itu ada benarnya, sih," seorang pelayan perempuan membalas perkataan rekan kerjanya tadi.
"Shikashi," tiba-tiba seorang wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahunan muncul, "kalian juga sudah terbiasa dengan sifatnya, kan?" Wajahnya yang terlihat tegas mematri senyum seorang petuah.
Para pelayan yang kaget dengan kemunculan kepala pelayan mereka refleks memekik, "Yuzuki-sachou!"
"Baiklah, kembali bekerja! Cucu majikan kita sudah memberi perintah, jadi cepat dilaksanakan!" ia berkata dengan tegas—sifat dasarnya yang kontras dengan wajahnya. Para pelayan segera mengerjakan tugas mereka setelah memberi hormat pada Yuzuki yang nyatanya adalah senior sekaligus pimpinan mereka.
Yuzuki memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya berjalan menuju pintu. Membukanya, lalu keluar. Salah seorang pelayan yang menjadi penjaga kebun yang 'tak sengaja berada di dekatnya memberi salam. Yuzuki membalas dengan sopan sebagaimana seorang kepala pelayan.
"Apa kau sudah mengecek kotak pos?" ia bertanya pada si penjaga kebun.
Si penjaga kebun membalas dengan raut khawatir, "Saya baru saja mengeceknya, tetapi tak ada apa-apa di sana. Saya jadi berpikir, apa seseorang telah mengambilnya, atau—"
"Tak mungkin orang luar dengan sengaja mengambil sesuatu dari Kediaman Miyamura tanpa izin. Hanya orang bodoh yang tak mengenal Keluarga Miyamura yang berani berbuat seperti itu," ia berpikir dengan memangku dagunya pada salah satu kepalan tangannya.
"Apa mungkin pelayan lain yang mengambilnya?" si penjaga kebun bergumam.
"Bisa jadi. Aku akan mencoba bertanya pada mereka. Aku permisi," ia berbalik dan langsung mengambil langkah.
Si penjaga kebun yang merasa bersalah karena telah lalai segera meminta maaf walau ia tahu atasannya itu 'tak melihatnya, "Ma-Maafkan saya! Andai saya lebih—"
"Tak apa, lanjutkan saja pekerjaanmu."
"H-Ha'i!"
.
Yuzuki mendatangi para pelayan yang sedang bekerja di dapur. Ia mendekati salah satunya, lalu bertanya, "Tomoe, apa tadi Nona Akira membawa sesuatu? Seperti paketan, misalnya?"
"Maaf, Yuzuki-sachou. Saya tidak terlalu memerhatikan apa saja yang dia bawa tadi. Saya akan mencoba bertanya pada yang lain," pelayan yang dipanggil Tomoe menoleh, mencoba melihat siapa rekan kerjanya yang berada di jarak yang cukup dekat untuk menghampiri mereka, "Ah, Hana-chan! Kemari sebentar!" ia berucap sambil memberi isyarat agar rekan kerjanya—yang ia panggil Hana—menuju tempat keduanya.
Yang dipanggil segera menghampiri, lalu bertanya, "Ada apa, Tomoe-chan?"
"Apa kamu tadi melihat Nona Akira membawa sesuatu seperti sebuah paket?"
"Oh, iya! Tadi dia membawa sebuah paket—katanya, mau diberikan kepada Miyamura-sama. Sepertinya, itu paketan yang biasanya ditujukan kepada Miyamura-sama," jawab Hana.
"Apa saja yang akan dilakukan Nona Akira? Apa dia mengatakannya?" Yuzuki bertanya dengan desak, namun ia tetap mencoba memertahankan ketenangannya.
"Ada, dia ingin membersihkan diri dulu. Setelahnya, baru mengantarkan paketan itu," Tomoe menjawab, lalu menoleh ke Hana, "Kalau tidak salah seperti itu, kan, Hana-chan?"
"Ya, memang begitu," Hana membalas, menyetujui pernyataan yang dilontarkan Tomoe.
"Masalahnya, cucu dari majikan kita ini adalah seorang gadis yang plin-plan," ucapan Yuzuki mengundang tatapan penuh tanya dari kedua pelayan tersebut.
"Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian. Aku pergi dulu," ia langsung berbalik dan melangkah meninggalkan dapur.
"Kuharap, ia memang bertindak sesuai dengan ucapannya kali ini."
.
Akira 'tak berbuat seperti perkataannya. Tanpa mengingat bahwa tadi ia ingin membersihkan diri dahulu, ia langsung pergi melewati seluk-beluk rumahnya sambil bersenandung—Oh, tentu saja yang ia prioritaskan adalah paket untuk kakek dan neneknya itu.
Awalnya, ia ingin menanyakan keberadaan keduanya pada salah seorang pelayan. Tetapi, ketika teringat bahwa dirinya memiliki sesuatu yang 'tak biasa, ia tidak jadi menanyakannya.
Sambil bersenandung, kakinya melangkah mengikuti arahan dari indra penciumannya. Mencari, dan mengikuti bau khas dari kedua orang tersayangnya. Ia mulai berhenti bersenandung ketika menaiki anak tangga terakhir menuju ruang kerja keduanya.
Kakinya berhenti melangkah ketika sampai di depan sebuah ruangan dengan dua daun pintu. Tangannya bergerak perlahan ke salah satu gagang pintu. Namun, ketika tangan telah sepenuhnya membungkus gagang itu, ia jadi 'tak ingin bahkan berniat membuka pintu itu. Dan, hal yang 'tak sengaja ia dengar menjadi penyebabnya. Kemampuan 'tak biasa miliknya tanpa sadar turut memerkuat indra pendengarannya.
"—tapi, ia juga berhak tinggal dan hidup bersama kita. Memang telah terlalu lama, tetapi jika kita mencoba—"
"Apa kau tidak berpikir ada kemungkinan bahwa ia akan menolak kita?"
Ucapan neneknya diputus dengan sebuah pertanyaan dari kakeknya.
"Menolak atau menerima adalah urusan belakang. Kita hanya perlu bertanya apakah ia ingin memulai hidup baru dengan kita atau tidak."
Hening kemudian, sampai neneknya berucap, "Aku memang sependapat denganmu, dia tak mungkin bisa menjalani hidup dengan kita seperti Akira—(Akira menegang saat namanya disebut)—Kita juga tidak bertanggung jawab atas dirinya, tetapi apa kau tidak berpikir bahwa ini tidak adil?"
Kakeknya menghela nafas panjang. Akira tetap setia menguping bagaikan patung yang 'tak dapat bergerak. Bukan keinginannya untuk menguping seperti ini. Ia bahkan sudah berniat akan pergi ke kamarnya sampai kakek dan neneknya selesai berdebat. Tapi, hei, barusan namanya disebut! Orang mana yang tidak penasaran saat tanpa sengaja menguping, dan ternyata hal itu ada sangkut pautnya dengan dirinya? Walau memang belum pasti hal ini ada atau tidak berhubungan dengannya, namun Akira mempunyai firasat yang kuat akan hal ini.
"Aku berpikir," kakeknya memberi jeda, "kalau keadaan yang berlangsung seperti ini saja sudah cukup. Aku juga yakin dia pasti sudah memiliki hidup yang lebih cerah dibanding sebelumnya."
Akira mulai membuat otaknya kembali bekerja dengan memikirkan siapa "nya" yang dibicarakan kakek dan neneknya ini. Dan, apa hubungan orang yang dimaksud dengan dirinya.
"Tetapi, kau benar. Kalau seperti itu, kita bersikap tidak adil kepadanya, juga kepada Akira. Masing-masing dari mereka berhak tahu, bahwa mereka saling memiliki sebagai keluarga, walaupun dia bukan tanggung jawab kita. Tetapi, aku juga takut dengan apa yang akan terjadi ke depannya."
"Selain itu, orang itu juga makin gencar mengirim paketan tak berguna itu. Andai abilitynya bukan seperti itu, sudah pasti ia menjadi sebuah boneka di tanganku."
"Kau—Anata, tenanglah. Jangan berpikir untuk melawannya sendirian, apalagi secara sembrono. Kau sendiri tahu, kan, kalau dia—"
Akira 'tak lagi fokus menguping setelah neneknya mulai berkata dengan geram dan kakeknya mencoba menenangkan sang istri. Ia kembali memutar otaknya sambil melihat paketan yang ada di genggamannya. Poin yang berhasil ia ambil adalah: pertama, ia punya seorang kerabat, akan tetapi entah kenapa kakek dan neneknya ragu untuk memberitahukan hal ini kepadanya. Kedua, ada seseorang yang gemar mengirim paketan aneh pada mereka, dan kemungkinan besar paketan yang sedang ia genggam saat ini adalah dari orang itu.
Akira memejamkan kelopak mata dengan rapat, lalu membukanya dengan penuh keyakinan.
Dari dalam ruangan, tampak kakek dan nenek Akira masih beradu argumen. Sampai sebuah pertanyaan dari nenek Akira membuat atmosfir di antara keduanya menjadi lebih tertekan.
"Jadi, pilihan mana yang harus kita ambil? Menyembunyikan semuanya dari Akira dan membiarkan keadaan berjalan apa adanya? Atau—"
"—Ataukah kita memberitahukan segalanya kepada Akira dan membiarkan anak itu mengambil keputusannya sendiri?" sambung kakek Akira.
Hening melanda ruangan beraksen abu-abu itu, sampai—
"Kalau boleh memilih, aku akan memilih pilihan kedua."
Suara jernih itu membuat keduanya tersentak. Serentak mereka menoleh ke arah pintu yang telah terbuka setengah, menampilkan seorang gadis bersurai abu-abu keputihan berdiri di sana. Sebelah tangannya memegang gagang pintu, dan sebelahnya lagi menggenggam benda berbentuk balok—yang keduanya sudah hafal bahwa itu sebuah paketan. Cucu mereka, Akira, mengulas senyum bersahaja di wajahnya, menatap keduanya lurus dan lembut dengan netra hitamnya.
"Maaf karena telah menguping pembicaraan kalian. Tapi, aku tidak bisa tinggal diam saja," ia berjalan mendekati keduanya yang masih terpaku. Sorot matanya yang tadi lembut berubah menjadi penuh keyakinan.
"Tolong beritahu aku segalanya, Ojii-san, Obaa-san!"
=====Bungo Stray Dogs: The Lost Relatives=====
Chapter 1
Seorang Gadis Sederhana yang Mencari Kerabatnya (Bagian Pertama)
=====Bungo Stray Dogs: The Lost Relatives=====
Teriknya matahari musim panas menjadi hal yang menyenangkan dengan adanya suara jangkrik dan cicitan burung, serta semilir angin sebagai pengiring. Namun, bising dan sesaknya stasiun membuat hal itu sedikit memudar.
Tampak Akira sedang duduk di kursi tunggu—menunggu kereta yang akan ia naiki berhenti di peron yang sedang ia tempati bersama dengan para penumpang lainnya.
'Padahal baru memasuki Bulan Juni, tapi sudah sepanas ini…' Akira membatin sambil menyeka keringat di dahinya.
Yah, sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah cuaca yang sedang tidak stabil. Tubuh Akira sendiri lebih tahan dengan cuaca dingin. Namun, Akira pribadi lebih menyukai cuaca di musim gugur dan semi, walau di musim semi ia lebih rentan terkena flu gara-gara serbuk sari tanaman.
Lagipula, ia memang sengaja datang ke stasiun sejam lebih awal. Jadi, ia masih harus menunggu sekitar dua puluh menit lagi.
Menerawang memandang langit yang terlihat menyembul di balik atap stasiun, ia kembali teringat kejadian di mana ia membuat sebuah keputusan yang mengantarnya pada keadaan sekarang.
= Flashback =
"Tolong beritahu aku segalanya, Ojii-san, Obaa-san!"
Kedua pasangan paruh baya itu diam bergeming kala mendengar permintaan itu. Menatap 'tak percaya kepada cucu mereka yang menatap diri keduanya penuh tuntut dan keyakinan.
Kakek Akira menghela nafas, "Mau bagaimana lagi, Anata. Ia sudah mendengar tentang hal ini, lebih baik kita beritahu dia dan—"
"Dan, membiarkannya mengambil sebuah keputusan bodoh? Aku tak seperti kau yang masih bisa lemah lembut, kau tahu itu." Nenek Akira memejamkan mata dengan lelah. Ia kembali menatap Akira yang masih menunggu jawaban dari mereka. "Tolong jangan bertanya apa-apa lagi, dan lupakan apa saja yang tadi kau dengar. Jangan berbuat hal-hal bodoh seperti seorang boc—"
"Obaa-san," Akira memanggil neneknya, "aku bukan lagi seorang bocah. Aku sudah berusia sembilan belas tahun. Secara fisik, aku sudah bisa dipanggil orang dewasa. Dan, kalian sendiri tahu bagaimana diriku."
"Justru karena kami mengetahui sifatmu itu, kami menghawatirkanmu," neneknya segera menyahut disertai helaan nafasnya yang terdengar kasar, "Lagipula, usia tidak menentukan apakah kau pantas menyandang status dewasa atau tidak," lanjutnya.
"Kalau begitu, aku akan berbuat nekad."
Ucapan Akira terdengar seperti ancaman di telinga keduanya.
"Kumohon, jika aku memang memunyai anggota keluarga yang lain, sudah menjadi kewajibanku untuk memberitahukannya yang sebenarnya—Bagaimana ikatan yang terjalin di antara kami," jelas Akira dengan tersurat sebuah permohonan.
Kakek dan neneknya saling memandang, lalu menatap Akira.
"Kalau dia menolak ajakanmu, apa yang akan kau lakukan?" kakeknya bertanya.
"Apapun jawaban darinya, aku akan berusaha untuk terlebih dahulu menjelaskan apa yang sedang terjadi. Aku tak kan memaksanya. Karena, itu memang konsenkuensinya. Telah selama itu, wajar saja jika dia sudah punya tempat untuk pulang yang baru."
Keduanya tersentak mendengar jawaban dari Akira. Merasa 'tak percaya akan jawaban yang keluar dari mulutnya. Keduanya kembali saling memandang, saling bertukar pikiran bahwa cucu mereka memang telah mampu tanpa mereka sadari selama ini.
"Baiklah, kami akan menceritakannya padamu. Kau juga setuju, kan, Anata?" kakek Akira berkata dengan memasang senyum ringan sambil menatap istrinya.
Nenek Akira hanya menghela nafas, dengan sangat jelas kali ini, "Sebelumnya, aku akan memeringatkan satu hal padamu," ia memberi tatapan serius pada Akira, "Jika ada pertanyaan yang tak kami jawab, itu artinya masih belum waktunya kau mengetahui hal itu. Jangan memaksa, atau kami akan membatalkan keputusan kami."
Alis Akira bertaut, namun ia memasang senyum sumringah—merasa tertantang, "Baiklah! Aku setuju!"
Mereka lalu mengambil tempat di sofa panjang berwarna biru malam. Cahaya mentari siang menyinari ruang itu yang masuk melalui jendela-jendela besar berukir. Kakek Akira yang teringat sesuatu kembali bergerak: berjalan menuju meja kerjanya, lalu mengambil sebuah dokumen. Ia kembali ke sofa, lalu menyodorkan dokumen itu pada Akira.
"Itu adalah informasi yang kami dapatkan tentang dia. Kau bisa membacanya nanti," ucap kakeknya sembari mendudukkan diri, "Untuk sekarang, kau cukup mendengarkan kami."
"Ha'i!"
"Kerabatmu itu, bisa dibilang dia adalah adik sepupumu—dia lebih muda setahun darimu. Salah satu orangtuanya bersaudara dengan salah satu orangtuamu."
Mendengar penjelasan pertama neneknya, Akira refleks bertanya, "Siapa? Ayah atau Ibu? Dengan ayahnya atau ibunya?"
Pasangan lanjut usia itu saling bertatapan, lalu kakek Akira menjawab, "Maaf, kami belum bisa memberitahukannya padamu."
Akira mengerti, "Ya, tak apa."
"Dulunya, dia tinggal di sebuah panti asuhan. Namun, karena suatu peristiwa ia sekarang tinggal di Yokohama. Bekerja sebagai salah satu agen Buso Tantei-sha."
"Buso Tantei-sha?" ulang Akira dengan alis bertaut—bingung.
"Salah satu organisasi di Yokohama," jawab neneknya, membuat Akira manggut-manggut—mengerti.
"Yah, sebenarnya, di kota itu ada beberapa organisasi yang mempunyai anggota sepertimu," ucap kakek Akira berbasa-basi, namun sukses mengambil perhatian dan rasa penasaran Akira.
"Seperti aku? Maksudnya?" tanya Akira.
"Anggota yang memunyai ability," nenek Akira menatap cucunya yang sedikit kaget, "Karena itu, kau harus berhati-hati saat berada di Yokohama. Salah satu organisasi di sana adalah organisasi gelap. Beberapa anggota mereka mempunyai ability yang berbahaya. Dikabarkan, sepupumu itu pernah menjadi buruan mereka untuk dijual di pasar gelap."
Akira terdiam, lalu bertanya, "Mengapa?"
Hening sejenak. Sampai kakeknya menjawab, "Karena ability yang ia miliki." Jawaban singkat itu mampu membuat Akira menegang. Namun, ia berhasil mengendalikan rasa cemas dan kalut pada dirinya.
"Kau masih mau melakukannya? Walau ada kemungkinan hal yang kau lakukan ini sia-sia, tak membuahkan hasil?" tanya nenek Akira—Keduanya menatap Akira, menunggu jawaban Akira.
Akira menajamkan matanya, mencoba meyakinkan keduanya, "Ya, aku tetap akan melakukannya," Akira memejamkan matanya sejenak, "Terlebih, tak ada yang sia-sia, Obaa-san. Di balik segala hal, pasti ada sesuatu yang dapat kita syukuri," Akira kembali menatap keduanya. Detik berikutnya, ia memasang senyum riang, "Setidaknya, itulah hal yang aku yakini."
"Kalian… akan memberiku izin?" tanya Akira dengan seutas senyum. Padahal, tanpa bertanya pun, Akira sudah tahu jawabannya. Tapi, ia ingin mendengar langsung jawabannya dari mereka berdua.
Kakek dan nenek Akira saling bertatapan, lalu beralih kembali ke cucu mereka: kakeknya dengan senyum ringan khasnya, dan neneknya dengan dengusan kecil—memaklumi sifat suami dan cucunya ini.
"Tentu kami memberi izin!"
= Flashback end =
Akira masih setia larut dalam lamunannya. Ia mematri senyum kecil tanpa sadar. Sampai suara pemberitahuan dari stasiun menyadarkannya.
"PERHATIAN, PERHATIAN! KEPADA PENUMPANG DENGAN TUJUAN KOTA YOKOHAMA DIHARAP SEGERA BERSIAP! KERETA AKAN SEGERA SAMPAI DALAM WAKTU SEPULUH MENIT LAGI! SEKALI LAGI—"
BRUUUK!
Suara itu membuat Akira 'tak fokus mendengarkan pemberitahuan tadi. Sekarang, di hadapannya terpampang seorang remaja laki-laki yang tersungkur—dengan tidak elitnya—dan seorang pria yang terduduk di lantai. Barang-barang mereka berserakan. Sepertinya, mereka berdua bertubrukan, lalu terjatuh. Karena kejadian itu, mereka menjadi bahan tontonan orang.
Akira langsung bangkit dari duduknya untuk membantu si remaja berdiri, sedangkan si pria sudah dibantu oleh seorang wanita.
"Ayo, kubantu berdiri. Kau tak apa?" tanya Akira sembari mengulurkan tangannya ke si pemuda.
Si pemuda menyambut uluran tangan Akira dan berdiri. Sambil memberi senyum ramah dengan kelopak mata yang menutup netranya, ia berterima kasih pada Akira, "Terima kasih atas bantuannya! Yah, sebenarnya aku sedang dalam keadaan lapar, jadi aku tak apa-apa!"
"Heh?" Akira bingung, 'Bukannya kalau sedang lapar, maka keadaanmu malah sebaliknya?' batin Akira speechless plus sweatdrop.
"Eh? Atsushi-san? Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" ketika si pemuda membuka kelopak matanya, refleks ia bertanya.
"Hah? Siapa itu 'Atsushi-san'?" Akira spontan bersuara.
"Eeehh? Suaramu pun jadi seperti perempuan! Bagaimana caranya?!" si pemuda bertanya dengan mata yang berbinar-binar, seolah-olah Akira adalah hal baru yang menakjubkan.
"Matte, matte… Chotto matte! Maaf, mungkin kau salah mengira aku sebagai orang yang kau panggil Atsushi itu!" Akira meluruskan keadaan sambil menggerakkan ke kanan-kiri kedua telapak tangannya di depan dada—berusaha menyanggah.
"Heee… Begitukah. Maafkan aku kalau begitu. Kupikir kamu adalah rekan kerjaku. Kamu tahu, kalian benar-benar sangat mirip! Kamu terlihat seperti kembarannya!"
"Be-begitukah…?" balas Akira dengan kaku, 'Rekan kerja? Remaja ini sudah bekerja?'
Detik berikutnya, Akira teringat akan sesuatu, "Ah, yang mana barangmu? Biar kubantu," tawar Akira.
"Arigatou gozaimasu! Sebenarnya, kamu tak perlu repot-repot, tapi terima kasih! Barang-barang Yosano-sensei yang kubawa, semua yang bertas kecil berwarna hitam. Ah, contohnya seperti ini!" ia menerangkan sambil mengangkat sebuah tas kecil berbentuk persegi berwarna hitam. Akira mengangguk, lalu mulai mengumpulkan tas-tas tersebut.
"Berarti, ini bukan barang pribadimu? Lalu, em… siapa tadi?" tanya Akira—sebenarnya mencoba mencari bahan obrolan.
"Ya. Ini bukan barang-barangku, tapi barangnya Yosano-sensei. Orangnya yang itu," ia menjawab sambil mengarahkan tatapannya pada seorang wanita bersurai ungu gelap, dengan model rambut bob yang memakai aksesoris—semacam jepit rambutkah itu?—berbentuk kupu-kupu berwarna emas.
'Oh, rupanya wanita yang menolong paman tadi.'
Tak lama, semua barang mereka telah terkumpul. Si pemuda dan si pria saling meminta maaf. Si wanita yang dipanggil "Yosano-sensei" tadi pun turut meminta maaf.
Setelahnya, semua kembali seperti sedia kala. Dari kejauhan, tampak dan terdengar suara kereta api menuju stasiun peron itu. Akira segera mengambil tas dan kopernya, lalu segera berdiri menunggu kereta api itu sampai.
"Terima kasih karena tadi turut membantu," suara seorang wanita membuat fokus Akira teralihkan. Ia menoleh ke samping, dan mendapati wanita serta remaja tadi telah berdiri di sampingnya.
"Ah, ya, daijoubu. Douitashimashite!" balas Akira sambil tersenyum ramah, "Oh, iya! Sebelumnya, perkenalkan, watashi o namae wa Miyamura Akira desu! Yoroshiku onegashimasu!" Akira memerkenalkan dirinya sambil menunduk sembilan puluh derajat. Sesaat setelahnya, ia kembali menegakkan badan dengan senyum sumringah.
"Miyazawa Kenji desu! Yoroshiku mo, Akira-san!"
Mendengar Kenji yang langsung memanggil dirinya dengan namanya—bukan marga—Akira menyimpulkan bahwa Kenji adalah seorang pemuda yang memiliki sifat terbuka. Jadi, ia memutuskan turut memanggil namanya, "Ha'i, Kenji-san!"
Namun, Kenji langsung menyahut dengan senyum ramahnya, " 'Kun' de ii desu yo."
"Sore wa, Kenji-kun… tte," ulang Akira dengan kikuk, masih belum terbiasa.
"Dan, ini adalah Yosano-sensei. Dia sebagai dokter di Agensi."
"Yosano Akiko desu," ujar Yosano memerkenalkan diri.
"Yoroshiku mo, Yosano-sensei," balas Akira sambil kembali berojigi.
"Yah, apa yang dikatakan Kenji benar. Kau terlihat seperti Atsushi. Aku juga tadi sempat mengira bahwa kau adalah Atsushi yang sedang crossdress," komentar Yosano, "Rasanya, aku masih tidak percaya kalau kau bukan Atsushi."
"Apa… aku semirip itu dengan si 'Atsushi' itu?" gumam Akira speechless.
"Ya, sangat mirip. Mungkin, jika kalian saling bertemu, kalian seperti merasa bercermin—seolah-olah melihat versi transgender diri masing-masing," Yosano membalas gumaman Akira yang terdengar jelas.
'Merasa… bercermin, ya?' batin Akira.
Karena terlalu asyik berbincang, mereka baru menyadari bahwa sedari tadi kereta yang ditunggu-tunggu sudah berhenti—menunggu para penumpang untuk masuk.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita duduk di dalam dan melanjutkan percakapan kita?" usul Yosano, yang langsung disetujui keduanya.
.
"Jadi, kalian habis menyelesaikan pekerjaan kalian, lalu kembali ke Yokohama?"
"Ya, begitulah."
Setelah selesai mencari tempat duduk dan menaruh barang, mereka kembali berbincang.
"Kau sendiri? Apa kau ada suatu urusan datang ke Yokohama, Akira?" tanya Yosano.
"Ya, aku ke Yokohama untuk mencari seseorang—mencari kerabatku lebih tepatnya," jawab Akira.
"Kerabat…" gumam Yosano dan Kenji bersamaan, lalu saling berpandangan.
"Ah, benar juga. Kenji-kun, tadi kau bilang bahwa kalian bekerja di suatu agensi. Itu artinya, kalian adalah rekan kerja?"
"Ya, benar!" jawab Kenji riang.
"Atsushi yang kami bilang tadi juga rekan kerja kami," tambah Yosano.
Akira ber-oh ria, "Aku tak menyangka Kenji-kun sudah bekerja. Kupikir, kau masih anak sekolahan, yang sedang liburan musim panas," aku Akira.
"Yah, usianya memang masih anak sekolahan, sih," ujar Yosano sambil melirik ke Kenji. Yang dilirik 'tak sadar.
"Kalau begitu, selama menetap di Yokohama, kau tinggal di mana?" tanya Yosano.
"Oh, kalau itu, kakek dan nenekku yang mengurusnya. Kata mereka, aku tinggal pergi saja ke tempat yang sudah diberi tanda di peta yang kubawa. Kuharap, yang mereka pilih sebagai tempat tinggalku adalah sebuah apartemen. Yah, walau kemungkinan besar aku hanya sebentar berada di Yokohama," Akira menjawab dengan mengulum sebuah senyum sambil menutup kedua kelopaknya membentuk bulan sabit.
"Eeeh? Kenapa hanya sebentar? Padahal, kupikir kita akan melakukan hal yang menyenangkan di Yokohama. Aku tadi sudah berniat akan mengenalkanmu pada rekan kerja kami yang lainnya," ujar Kenji.
"Ya, khususnya dengan si Atsushi. Kupikir, akan ada hal yang menarik saat kalian berkenalan nanti," tambah Yosano.
Mendengar reaksi yang mereka berikan, Akira jadi merasa 'tak enak hati, "Maaf karena membuat kalian kecewa. Tapi, aku berjanji, jika keadaan memungkinkan, aku akan melakukan hal yang menyenangkan bersama kalian dan berkenalan dengan rekan kerja kalian," Akira mengulas senyum, "Terutama dengan si Atsushi itu. Aku sendiri jadi penasaran dengannya. Entah reaksi seperti apa yang akan saling kami tunjukkan."
Yosano dan Kenji tersenyum. "Janji kami pegang," ucap Yosano. Kenji menyetujui dengan berseru, "YA!"
Mereka bertiga tertawa bersama. Lalu, mengobrol tentang berbagai hal. Sampai tubuh Akira 'tak lagi kuat menahan mabuk daratnya, ia memutuskan untuk beristirahat setelah dipaksa oleh Yosano.
.
"—ra, Akira! Ayo bangun, kita sudah sampai!"
Mendengar ada yang memanggil namanya, Akira melenguh. Kesadarannya setengah terkumpul. Ia mengerjapkan matanya, dan melihat Yosano serta Kenji yang sudah bersiap-siap.
"Yosano-sensei? Kenji-kun?" gumam Akira sambil mengucek kedua matanya.
"Akhirnya kau bangun. Ternyata perkataan nenekmu itu memang benar. Kau itu susah dibangunkan, Akira," ujar Yosano sambil berkacak pinggang.
Akira hanya memberi respon dengan ber-hehe ria.
"Kita sudah sampai, Akira-san!" ucap Kenji dengan sikap riang khasnya.
"Sampai?" tanya Akira.
Ia masih belum konek, sampai Kenji menyambung, "Yokohama desu yo."
Akira membelalakkan mata. Ia refleks berdiri dan melihat ke jendela kereta. "Para penumpang sudah turun…" gumamnya.
"Akh! Sudah berapa lama kita sampai? Aku akan mengambil barangku dulu!" Akira mengambil koper dan tasnya dengan tergesa-gesa. Hal itu menyebabkan kepalanya terantuk kecil dengan barangnya. Melihat hal itu, Yosano hanya bisa geleng-geleng kepala dan Kenji hanya tersenyum maklum.
"Kore wa… Yokohama ka?" tanya Akira pada dirinya sendiri setelah keluar dari stasiun, dan melihat pemandangan Kota Yokohama yang terpampang dari depan stasiun.
"Yokohama adalah kota pelabuhan. Kuharap, kau bisa menyesuaikan diri dengan keadaan kota ini," ucap Yosano yang tahu-tahu sudah ada di sisi Akira.
Akira menjawab dengan anggukkan dan gumaman.
"Kalau begitu, Akira-san," panggil Kenji yang berada di sisi Yosano, "Apa kamu mau kami mengantar ke tempat bermalammu?" tawar Kenji.
Akira menjawab dengan gelengan kecil disertai senyum tulus, "Tak apa, terima kasih atas tawarannya. Tapi, aku bisa, kok. Lagipula, aku cukup lihai untuk mencari lokasi sebuah tempat. Jadi, kalian tak perlu mencemaskan aku!" Akira meyakinkan dengan mengepalkan sebelah tangan dan meletakkannya di dada.
"Baiklah kalau begitu," Yosano mengambil sesuatu dari sakunya, lalu memberikan secarik kertas pada Akira, "Ini alamat tempat kerja kami. Datanglah berkunjung jika ada kesempatan. Dan, aku juga ingin menunjukkanmu apartemen-apartemen yang ada di kota ini. Yah, siapa tahu kau akan menetap di sini untuk waktu yang lama," ujar Yosano, "Mungkin, kita juga bisa pergi berbelanja bersama," tambahnya.
"Ee! Hontou ni arigatou gozaimasu!"
"Sore ha mata na, Akira-san!" pamit Kenji yang membawa barang Yosano, disertai Yosano yang melambaikan tangannya.
Akira membalas lambaian dan salam itu, "Mm! Mata mo, Kenji-kun, Yosano-sensei!"
Perlahan, punggung mereka menjauh, sampai akhirnya 'tak lagi tertangkap matanya.
Akira mengedarkan pandangannya, lalu segera menghampiri sebuah taksi yang berhenti. Setelah duduk di dalam taksi tersebut, ia mengeluarkan peta tentang Kota Yokohama dan meneliti tanda-tanda yang telah dibuat kakek dan neneknya. Akira melihat sekilas ada sebuah bangunan yang dilingkari dengan tulisan "tempat menginap". Namun, matanya beralih ke tempat yang digarisbawahi dan diberi tanda panah. Tempat itu ditulisi "tempat persinggahan pertama". Akira mengerti maksud dari tulisan itu.
"Tolong antar saya ke tempat ini," pinta Akira dengan menunjuk tempat yang diberi tanda panah tadi.
"Ha'i."
.
Akira sekarang sedang berjalan-jalan di sebuah pusat pertokoan kota itu. Matanya jelalatan ke mana-mana, meneliti tempat asing yang membuatnya kagum itu.
Setelah sampai ke tempat tadi (yang ternyata sebuah taman kota) Akira langsung pergi mencari tempat menginapnya malam ini—dan, mungkin untuk beberapa hari ke depan. Mencari jalan tercepat, ia melintasi sebuah jalur yang ternyata membawanya ke tempat ini.
Mata Akira berbinar-binar. Ia selalu merasakan perasaan ini saat pergi ke tempat baru. Rasa penasaran, kagum, juga senang akan pemandangan dan suasana dari sebuah tempat baru kala ia mengobservasinya.
Ia memerhatikan warga yang masih beraktivitas di jam tujuh malam itu. Akira menyingkir ketika ada seorang bocah yang berlari. Tak lama, ada seorang anak yang tampak lebih tua menghampirinya—meminta maaf atas kelakuan adiknya, lalu kembali mengejar bocah tadi. Akira tersenyum maklum, namun tertawa dalam hati ketika mengingat hal itu. Ia juga pernah merasakan hal yang sama saat di desanya.
Kakinya yang terus melangkah membawanya keluar dari pusat pertokoan tadi. Kali ini, ia sudah berada di sebuah jalan setapak yang di sisinya mengalir sebuah anak sungai. Akira masih betah memandangi sekitarnya. Dengan iseng, ia berjalan ke tengah jembatan yang menghubungkan tepi sungai itu. Ia memejamkan matanya sambil tersenyum, menikmati hembusan angin malam yang sesaat. Mendongakkan kepalanya ke atas, ia memandangi langit malam yang berkelap-kelip.
"Jadi… ini rasanya langit malam Yokohama?" gumam Akira tanpa sadar.
Akira meletakkan tas di samping koper, lalu melepaskan jaket toskanya dan meletakkannya di atas koper. Ia merenggangkan badan, lalu memangku diri di pegangan jembatan. Akira enggan langsung pergi ke tempat menginapnya. Ia sedikit kaget dan kesal saat tahu kakek dan neneknya memesan hotel untuk tempatnya menginap. Namun, ia hanya pasrah dengan keputusan keduanya, karena Akira yakin mereka pasti sudah memertimbangkan segalanya.
Akira masih memandangi sekitarnya, mencoba lebih merasakan kenyamanan Yokohama saat malam hari. Inginnya begitu, sih. Andai dia 'tak melihat sesuatu di sungai dari kejauhan. Ia membangkitkan kemampuannya, menajamkan indra penglihatannya. Dan, apa yang dilihatnya benar-benar mengejutkan, membuat jantungnya berasa mau meloncat keluar.
Objek itu makin mendekati jembatan karena arus sungai. Sekarang, tanpa mengaktifkan kemampuannya, Akira dapat melihat dengan jelas seseorang tengah mengambang di sungai dengan kedua kaki berada di atas permukaan air. Tentu saja Akira jadi keheranan.
'E-Eeeh? Itu mayat atau orang yang tenggelam?' batin Akira sambil mengedutkan sebelah matanya, 'Ya ampun! Benar juga! Aku harus membawanya ke daratan!'
Dengan cepat, Akira melompat ke sungai, dan mulai menggapai sosok itu.
.
"Haah… Haah… Haah…"
Akira berhasil membawa orang tadi ke daratan. Sekarang, ia sedang mencoba mengatur dan mengambil nafas, sedangkan orang yang ia—em, bawa atau selamatkan? Orang itu terbaring di tanah berumput di tepi sungai.
'Astaga! Apa yang tadi kulakukan!? Aku tak tahu caranya berenang, tapi tadi aku refleks meloncat!'
Perlahan, orang tadi membuka kelopak matanya, dan mulai bangkit dari baringnya—coba mendudukkan diri. Ia melihat Akira yang masih coba menstabilkan nafasnya dengan menumpu badan dengan kedua tangan.
"Are? Yaaah… kau lagi-lagi menyelamatkanku," orang tadi menoleh sambil memandangi Akira, "Tokoro de, apa kau sedang cosplay, Atsushi-kun? Siapa yang membuatmu melakukan ini?" tanyanya heran.
Akira mendudukkan dirinya yang masih mencari udara, walau kali ini sudah stabil. Mendengar ucapan yang barusan dilontarkan, Akira menoleh dengan kesal plus bingung. Ketika mata orang itu bersirobok dengan manik hitam Akira, ia sedikit membelalakkan matanya.
"Atsushi? Apa yang Anda maksud dengan 'sedang cosplay', Tuan? Nada bicaramu terdengar seolah-olah kau kecewa karena aku telah menolongmu!" ucap Akira dengan mata berkedut kesal, tak lupa dengan perempatan imajiner yang muncul di kepalanya.
Akira jadi terdiam kala ia menyadari bahwa laki-laki di depannya ini memandanginya intens—namun, ia dapat menangkap bahwa ada rasa keterkejutan dari mata laki-laki ini yang menatap balik matanya.
WUUUSH!
Angin berhembus dengan agak kencang, membuat surai burnette si laki-laki dan surai platinum Akira bergerak.
Mereka saling memandang, sampai si laki-laki berucap, "Kimi…"
Opening theme: Parabola – by Luck Life
Preview
Akira: Tuan, Anda bilang tadi 'Atsushi-kun', itu artinya Anda juga rekan kerja Yosano-sensei dan Kenji-kun, daro!?
Dazai: Eh? Kamu mengenal mereka? Tokoro de, jangan memanggilku 'Tuan'! Seperti aku sudah tua sekali.
Akira: Eh? Sore ja—
Dazai: Watashi wa Dazai Osamu yo.
Akira: Ha-Ha'i! Dazai-san tte…
Yosano: Ara? Akhirnya kau datang, Akira. Hora, ayo kita pergi melihat apartemen di sekitar sini.
Akira: Ha-ha'i… Eh? Eh?
Akira & Atsushi:EEEEEEHHH!? SIAPA DIA!?
Selanjutnya, Bungou Stray Dogs: The Lost Relatives Chapter 2,
Seorang Gadis Sederhana yang Mencari Kerabatnya (Bagian Terakhir)
Kunikida: Hoi, Kozo. Kenapa kau berpenampilan seperti perempuan?
Akira: Chigau, chigau! Aku memang seorang perempuan, kok!
Ending Theme: Hanabi – by ClariS
~ Author ground ~
Author: Ha'i, ha'i! Minna, hajimemashite~! ^_^ Oke, kali ini saya come back dengan nongol di fandom lain, yaitu Bungo Stray Dogs! *nyalain kembang api* Yah, maaf-maaf-maaf-maaaaafff banget untuk segala hal. Khususnya yang udah kenal saya. Saya ngileng gak ngasih kabar, terus tiba-tiba muncul lagi dengan sebuah karya baru. Fanfic yg dulu aja gak diselesein, malah bikin baru… -_- Mohon maafkan diri ini… _|| *bungkuk sembilan puluh derajat* Tapi, saya gereget mau ngepublish di fandom satu ini. Jadi, untuk sekarang mari abaikan sejenak karya saya yg dulu /PLAK
Untuk soundtrack di fanfic ini, AMVnya silahkan imajinasikan sendiri~! /OI!
Yah, kalau boleh jujur, saya sebenarnya gak terlalu tau arti lirik lagunya itu. Apalagi yang Parabola oleh Luck Life. Saya cari di Mbah Gugel mana ada yg nongol. Cuma link buat download lagunya doank -_- Jadi, kalau ada yg tau lirik lagunya, tolong beritahu saya, ya! Walaupun itu cuma romaji ato kanjinya doank. Gak papa, kok. Asal ada, saya ambil! Jadi, saya bisa merevisi, apakah lagu ini memang cocok ato gak dengan fanfic saya ini.
Nah, kalau lagu openingnya memang gak cocok ama ide cerita fanficnya, kalian bisa sarankan saya lagu-lagu yg kemungkinan cocok. Tapi, saya gak jamin bakalan saya pakai atau gak.
Kalo untuk lagu ending, liriknya ada, tapi gak ada terjemahan. Jadi, kebiasaan saya kalo udah ngebet banget, ya, saya terjemahin sendiri. Acuan utama dari Gugel Translet, trus untuk menyempurnakan dari literatur lain. Pas pertama denger lagunya, saya langsung berpikir gini, "Wah, cucok dah ni lagu!" trus, yah, saya jadiin deh untuk ending themenya. Saya juga udah mengkhayalkan gimana videonya. Tapi, setelah akhirnya saya berusaha menerjemahkan liriknya… ternyata di luar bayangan saya 0_0 Saya jadi berpikir, 'Oi, oi. Kok, malah jadi gak nyambung, sih…?' Ya udah. Saya cuma bisa bersabar. Gak ada niatan juga, sih, buat ngeganti lagu endingnya. Jadi, supaya lebih masuk akal, saya ngambil bagian yg lebih sesuai, dan mengabaikan yg membuatnya jadi melenceng.
Kan, lirik awal lagunya kek gini,
Deatte nan nen da kke
Hatsu deeto wa doko ni itta kke
Yak, stop sampai situ dulu. Lihat kata yg saya garis bawahi? Nah, sebenarnya itu kata "Date" yg kalo kita sebut itu "Kencan" dalam pelafalan Jepang. Dari situ saya udah berpikir keras, 'Aduh… ganti kagak endingnya nih?' Tapi, saya berusaha mengendalikan diri dan terus menerjemahkan sampai akhir lagu. Dan, saya bersyukur karena telah menerjemahkannya sampai akhir (walau artinya rada-rada gaje… tapi, saya tetep bisa nangkap maksudnya).
Ternyata, di ada bagian lain dari lagu itu yang arti liriknya gak terlalu melenceng dari ide fanfic saya. Nah, dari situ saya putuskan, kalo lagu endingnya tetep ini, tapi ngambil bagian yg sesuai ama isi cerita saya.
Dan, untuk kedua kalinya akan saya akui, jujur saya 98% gak nangkap arti lirik lagu openingnya.
Yak! Pembahasan tentang soundtracknya udah. Dan, sekarang adalah pembahasan seiyuu untuk sang tokoh utama! *Jeng jeng jeng~!*
Nah, saya cuma kepincut ama dua seiyuu (yg mungkin sebagian orang tahu). Sebelumnya, saya akan beritahukan dahulu, kalau saya gak tau yg mana marga yg mana nama depan mereka. Soalnya, di internet infonya simpang siur. Saya jadi bingung sendiri. Makanya, kalau saya salah menempatkan nama mereka, mohon dimaafkan karena ketidaktahuan saya ini. *bungkuk sembilan puluh derajat*
Tomatsu Haruka atau Hikasa Yoko?
Saya minta polling dari readers sekalian, ya! ^_^ Bagi yg gak tau, saya kasih gambaran, deh. Contoh karakter yg disuarakan oleh Tomatsu Haruka itu Asuna dari Sword Art Online. Kalo Hikasa Yoko, seperti Mio dari K-ON!
Maaf kalau gambarannya dikit banget. Habis, kalau menurut saya, pasti ada yg tau dua karakter itu. Untuk lebih lengkapnya, silahkan bertanya pada Mbah Gugel dan Mang Yutub :D ^_^
Dark Sarah: Ingat-ingat, donk, Bro… -_- Nanti hujan lokal lagi
Rasio Sarah: Istirahat, ya, Sarah ^_^ Mulutmu udah berbusa, ya
Author: Inget, kok, inget. Ane nyadar, kok… _|| Oke, segini dulu, minna! Maafkan daku yg newbie plus gaje ini _|| Raha, Sawa?
Rasio Sarah & Dark Sarah: Mohon responnya dalam bentuk apapun! Terima kasih karena telah menyempatkan diri dan mau berkunjung! ^_^
RnR (?) :)
