Tittle : Haunted House *Prolog*
Author: Jeruk Mandarin
Pair : Eren x Levi
Cast : Levi Ackerman, Eren Yaeger, Mikasa Ackerman, Hanji, Shasa dll
Genre : Horror, Family, Shounen ai, Friendship, romance, AU
Semua karakter milik Hajime Isayama sensei.
Saya hanya pinjam untuk bahan delusi saya :v wkwkwk
-_- Eren bocah 7 tahun vs levi 35 tahun. Ini bukan pure romance aku lebih demen ke family. Tapi akhirnya romance jg karena aku suka couple Eren x Revaille :v
Semua karater mungkin OOC :v author mengalami masalah dalam mempertahankan eksistensi kekhas'an masing-masing karakter.
.
.
.
Levi—Pria single 35 tahun membeli rumah baru yang membawanya bertemu dengan Eren (7 Tahun) hantu penghuni rumah baru Levi. Bagaimana jadinya jika Levi yang tidak suka anak-anak harus serumah dengan hantu berisik dan menyebalkan seperti Eren?
.
.
.
"Jadi bagaimana? Apa kau suka rumah ini?"Tanya seorang wanita nyentrik dengan kacamata pada pria berwajah datar disampingnya. Pria itu—namanya Levi terlihat tak acuh dengan pertanyaan temanya dan masih fokus pada kegiatanya mengamati bangunan rumah dihadapanya dengan pandangan menilai membuat Hanji—sang wanita nyentrik—menghela napas dalam.
"Bagaimana tuan?" Cicit wanita muda yang sejak tadi diam samping Hanji. Ia merupakan sales dari rumah yang saat ini mereka kunjungi.
Sama seperti pertanyaan Hanji sebelumnya, pertanyaan wanita muda yang hanji ketahui bernama Shasa itu juga diabaikan oleh mahluk super datar disampingnya. Hanji menghela napas berat. Ia menatap Shasa dengan pandangan minta maaf yang dibalas dengan senyuman kaku dari wanita muda itu. Shasa telah bekerja keras hari ini—pikir Hanji kasihan. Wanita muda itu sudah mengantar dia dan Levi berkeliling 5 rumah seharian ini hanya untuk memastikan bahwa Levi merasa puas dan jika kali ini berakhir sia-sia maka Hanji memastikan dia tidak akan bisa memejamkan mata nanti malam karena dihinggapi perasaan bersalah dan tidak! dia tidak seperti itu! Sudah cukup dia kelelahan seharian ini karena Levi dan dia tidak mau juga memikirkan pusing karena telah membuat seseorang wanita muda bermasalah dalam karinya. Tentu tidak! dan Hanji akan memastikan kali ini Levi akan membuat kesepakatan! Harus!
Hanji menghela napas sesaat—mendorong bingkai kacamatanya untuk naik, kemudian dia menatap rumah dihadapanya dengan raut seolah-olah itu hal luar biasa yang penah dia lihat seumur hidunya. "Levi, bukankah rumah ini tampak sangat hebat? Lihat lantainya begitu kuno dan klasik! Lihat temboknya dari batu-batu alam yang indah! Fantastis! Kau tidak akan menemukan rumah seperti ini di tempat lain! Levi kau benar-benar tidak boleh melewatkanya!"
Great! Mendengar ucapan itu Levi berpaling pada Hanji untuk memberinya tatapan tajam dan alis yang saling bertaut. Diam-diam hanji merasakan keringat dingin mulai meluncur dari pelilisnya tetapi ia coba mengabaikanya. Saat Levi membuka mulutnya Hanji merasa bahwa dia akan mati didetik berikutnya.
"Ubinya sudah diganti." Gumam Levi datar membuat Hanji secara semunyi menghela napas lega.
Hanji mendengar suara seperti tercekik disebelahnya yang ia yakin itu berasal dari Shasa. Melalui ekor matanya dia melihat Shasa yang menunduk dalam—sungguh gadis muda yang malang.
"Itu hanya ubin Levi, kau bisa mendekornya ulang nanti." Balas Hanji memutar bola matanya jengah.
Levi menggeleng dengan wajah tak puas, "Itu akan memakan banyak biaya."
Hanji menghela napas lagi, sekarang kepalanya mulai berdenyut menyakitkan. Ia melepaskan kacamatanya untuk memijit pada pangkal hidungnya sedangkan Levi berjalan maju untuk mengamati beranda depan sekali lagi.
Hanji memakai lagi kacamatanya, ia menatap sebentar pada Shasa yang masih saja menunduk dalam. Ditepuknya bahu kecil itu hingga tersentak.
"Aku akan bicara denganya." Ujar Hanji yang dibalas dengan anggukan patuh. Wanita yang sudah seusia dengan Levi itu berlari kecil menghampiri temanya yang terlihat sedang mengamati kusen jendela.
"Levi dengar—" Hanji menarik napas panjang berusaha agar dia tidak meledak-ledak dan membuat Levi marah—"Bukankah kita sudah sepakat?"
"Sepakat soal apa?" Tanya Levi balik dengan acuh membuat Hanji harus menghitung berapa sisa kesabaran yang dia miliki sekarang. Bicara dengan Levi selalu membuat kantung kesabaranya cepat habis.
"Soal hal terakhir yang kita bahas kemarin." Jawab Hanji mengingatkan.
Levi terlihat membeku sesaat tapi kemudian surai eboni itu mengangguk-angguk mengerti.
"Soal ini terakhir kalinya kau mengantarku melihat-lihat rumah?"
"Mm-mm" Hanji mengangguk puas.
"Aku pikir aku juga sudah mengatakanya kemarin jika kau memang keberatan kau seharusnya tidak ikut."
"Kapan aku bilang aku keberatan?" Tanya Hanji tiba-tiba terdengar marah.
Levi memutar kepalanya pada Hanji yang tengah menatapnya tak percaya.
"Aku tidak bermaksud kasar Hanji." Kata Levi kalem.
Hanji menghela napas panjang, "Dengar Levi aku tidak pernah merasa keberatan membantumu. Kita ini teman!"
"Hm."
"—Kita ini saudara. Ketika ayahku pertama kali membawamu kerumahku aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku. Kau mengerti?"
"Hm." Hanya itu balasan Levi tapi Hanji tau bahwa Levi benar-benar mendengarkanya kali ini.
"Jadi Levi aku mohon pertimbangkan ini dengan baik. Ini rumah terbaik sejauh yang aku lihat. Ini sempurna untukmu, aku akan membantumu merenovasinya jika kau ingin." Ujar Hanji lelah.
"Aku tidak ingin merepotkanmu dan lagi kenapa kau ngotot sekali ingin aku membeli rumah ini?"
Hanji merasa ingin menjedotkan kepalanya ketembok sekarang. Bagaimana bisa ada orang yang tidak peka dan bermulut pedas seperti Levi? Tidak bisakah Levi melihat kondisi Hanji sekarang? Dia tampak seperti orang gila! Dengan wajah berminyak dan rambut yang sudah kusut kesana kemari karena seharian ini dia bahkan tidak sempat membenarkan make upnya karena harus terus mengekori Levi kesana kemari. Setelah semua yang dia lakukan hari ini Hanji merasa dia pantas mendapat keadilan sekarang.
"Levi dengar! Jika kau tidak membeli rumah ini aku benar-benar tidak akan mau bicara denganmu lagi selamanya." Ancam Hanji galak. Itu mungkin ancaman yang terdengar sangat konyol tapi Hanji sungguh-sungguh kali ini. Dia merasa benar-benar harus membuat Levi sekali saja menghormatinya dan bukan bertindak seenak jidatnya sendiri. Kalau kali ini dia tidak menang maka Hanji merasa dia tidak akan pernah menang selamanya dari temanya. Ini akan membuktikan apakah Levi juga menganggapnya teman seperti Hanji menganggapnya begitu. Ia benar-benar ingin tahu.
Kening levi terlihat mengernyit beberapa saat, ekspresinya aneh menatap Hanji tapi yang ditatap terlihat tak goyah sedikitpun.
Levi menghela napas pendek, "Baiklah, aku akan beli rumah ini." Ujar Levi diluar dugaan.
Hanji langsung bersorak ketika Levi akhirnya berjalan menghampiri Shasa yang sejak tadi mengamati mereka.
"Yey! Levi aku mencintaimu!" Seru Hanji girang dengan wajah berseri-seri yang langsung mendapatkan tatapan jijik dari Levi dan tatapan penuh tanda tanya dari Shasa yang sejak tadi mengamati keduanya dari jauh.
.
.
.
"Tanda tangan disini tuan." Pinta Shasa. Levi menurut, membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas yang dia yakini adalah surat kepemilikan tanah dan bangunan barunya. Setelah selesai dia mendorong lagi kertasnya pada Shasa, wanita muda itu terlihat tersenyum tipis kemudian mencoret-coret lembaran-lembaran kertas dimejanya lagi. Levi dalam diam mengamati bagaimana wanita muda itu bekerja. Jika boleh bilang Levi akan mengatakan bahwa Shasa lebih hidup sekarang. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih tampak seperti wanita muda yang besok akan menemui ajal. Tapi lihat sekarang, dia tampak seperti wanita muda pekerja keras yang akan hidup untuk esok dan seterusnya. Levi jadi heran apakah keputusanya bisa berpengaruh besar pada hidup orang lain sejauh itu?
"Pssstttt…" Levi merasakan senggolan dilenganya dari Hanji disampingnya.
Ia menoleh, menatap tajam pada mahluk yang tengah tersenyum lebar disampingnya.
"Levi—"
"Diam." Desis Levi tajam.
Tepat ketika itu Shasa ternyata telah selesai dengan tugasnya.
"Sudah selesai tuan. Ini surat kepemilikan tanah dan bangunan milik anda, dan ini kunci rumah itu." Ujar Shasa seraya mendorong map dengan kunci diatasnya.
"Hm." Gumam Levi sebagai jawaban. Ia mengambil map dan kunci itu kemudian beranjak dari kursi diikuti Hanji yang bersalaman dengan Shasa. Keduanya lantas segera pergi dari kantor Shasa menuju parkiran depan dimana mobil Hanji diparkir.
"Jadi kau akan pindah besok?" Tanya Hanji dengan hentakan kaki riang.
"Tidak. Aku akan pindah hari ini juga." Jawab Levi singkat membuat Hanji langsung menghentikan langkahnya tiba-tiba.
"Kau bercanda kan? Kau baru saja membeli rumah itu. Bahkan perabotanmu belum kau pindahkan."
"Sebenarnya aku sudah menelpon jasa pengiriman hari ini dan mereka bilang akan siap memindahkan barangku kapan saja."
"Kau bercanda? Ini sudah terlalu sore untuk menata barang-barang." Protes Hanji tidak sependapat.
"Itu bukan masalah, barangku tidak banyak kau ingat?"
Hanji menghela napas, dia memang tidak akan pernah bisa menang dari Levi.
"Jadi, kita langsung ke rumahmu?"
"Hm."
"Apa truknya sudah sampai?"
"Aku akan menelpon mereka lagi." Ujar Levi seraya mengeluarkan ponselnya sedangkan Hanji hanya mengangguk kemudian membuka pintu mobil.
.
.
.
"Terimakasih atas bantuanya." Kata Hanji dengan membungkukan badan pada orang-orang dari jasa pengiriman barang yang hari ini membantu Levi berbenah.
Terdengar suara mesin truk yang di starter kemudian truk dengan box besar dibagian belakang itu meninggalkan halaman rumah Levi.
Hanji menghela napas, bahunya merosot kelelahan. Wanita 35 tahun itu kemudian berjalan memasuki rumah yang kini walaupun masih kotor tapi sudah berisi perabotan jadi terlihat lebih hidup. Barang Levi tidak banyak jadi hanya sedikit ruang yang terisi. Mereka hanya mengisi bagian depan yaitu ruang tamu dan kamar dilantai bawah sedangkan sisanya entahlah akan Levi apakan. Itu benar-benar rumah yang terlalu besar untuk ditinggali sendiri.
"Leviiiiiiii….." Rengek Hanji seperti bocah. Dihempaskanya tubuhnya yang lelah pada satu-satunya sofa diruangan itu.
Tak ada sahutan. Hanji yakin Levi bukanya tidak dengar, dia hanya diabaikan. Hanji menghela napas, ia menyapukan matanya pada ruangan bagian atas. Ia penasaran apa yang akan Levi lakukan pada ruangan diatas nantinya. Jika mungkin Levi punya anak atau istri itu akan berguna tapi oh ayolah… menikah? Bahkan calon saja Levi tidak punya dan Hanji heran kenapa tiba-tiba Levi ingin membeli rumah sebesar itu untuk dirinya sendiri bukankah itu pemborosan?
Hanji bergelut dengan pikiranya seraya mengamati ruangan bagian atas. Tepat ketika itu tanpa sengaja matanya melihat pada sebuah kamar yang pintunya tiba-tiba terbuka dengan sendirinya kemudian tertutup lagi seolah-olah ada yang baru masuk.
"Levi?" Gumam Hanji bingung. Penasaran, dia beranjak dari sofa untuk melihat apakah itu benar Levi atau bukan?
"Levi?!" Teriak Hanji menggema keseluruh penjuru rumah ketika dia sampai ke tangga.
"Ada apa?" Balas Levi yang keluar dari kamar bawah—kamar barunya. Kening pria berambut ebony itu mengernyit heran melihat Hanji yang terlihat pucat didekat tangga.
"Kau disana?" Tanya Hanji bingung.
"Ya?"
"Sejak kapan?"
Levi mengernyit, "Sejak kita datang."
"Ohhh… ahaha…" Hanji tertawa kering.
"Apa ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Levi memastikan.
Hanji menghirup napas dalam kemudian menggeleng,
"Semuanya baik. Hanya saja… Oh sudah lupakan saja mungkin aku hanya berdelusi."
"Delusi?" gumam Levi ikutan bingung.
"Yep! Seperti berdelusi karena kelelahan."
Levi mengangguk, "Kau harus pulang. Erwin pasti mencemaskanmu."
Hanji mengangguk menyetujui. Levi lantas mengantar teman yang sudah seperti saudaranya itu ke pintu depan.
"Levi, kau yakin benar-benar akan tinggal sendirian disini?" Tanya Hanji tak yakin ketika mereka sampai ke beranda depan.
"Jika aku tidak tinggal disini lalu dimana aku akan tinggal?"
"Dirumahku?" Jawb Hanji nyengir. yang langsung mendapat gelengan kepala dari Levi.
"Lalu bagaimana dengan Erwin suamimu?"
"Oh apakah kita sedang berbicara soal hubungan gelap atau semacamnya? Kenapa kau harus membawa-bawa dia?" Ujar Hanji seraya tertawa.
"Hm-mm, aku pikir dia tidak akan merasa nyaman jika aku disana."
"Omong kosong. Aku akan bicara padanya. Lagi pula Armin akan suka jika pamanya tinggal bersamanya."
"Aku akan sering-sering mengunjunginya mulai sekarang kau tidak perlu bertindak sejauh itu."
Hanji menghela napas dalam, entah bagaimana setelah melihat satu kejanggalan tadi dia rasanya tidak tega membiarkan Levi tinggal disana sendirian.
"Apa yang sebenarnya mengganggumu?" Tanya Levi terdengar heran. Mereka telah berdebat sepanjang waktu tentang Levi yang tinggal sendiri di rumah yang besar. Hanji telah berlaku seperti ibu yang overprotective pada anaknya walau pada nyatanya begitu tapi hei… Levi itu bukan anaknya Hanji jadi kenapa temanya itu harus seoverprotective itu padanya? Levi adalah pria matang 35 tahun. Walaupun tubuhnya kecil tapi Levi sudah membekali dirinya dengan segala keterampilan yang dia butuhkan untuk tinggal sendiri seperti memasak, bela diri, keterampilan bersih-bersih yang tidak diragukan dan juga sekarang dia punya pekerjaan baru sebagai dosen yang akan menopang hidupnya. Jadi apa lagi yang perlu ditakutkan?
"Aku hanya uhm… " Hanji menggigit bibirnya seraya berpikir tapi belum sempat dia berujar lagi Levi sudah mendorongnya ke mobilnya.
"Pulanglah.. aku akan baik-baik saja. Kau bisa kesini lagi besok pagi menjemputku kerja."
Hanji terlihat tidak puas dan ingin protes tapi tak ayal mengangguk juga.
"Baiklah…" Ujarnya menyerah.
"Telpon aku kalau sesuatu terjadi key?" pesanya yang langsung dijawab anggukan singkat dari Levi.
Hanji tersenyum tipis kemudian membuka pintu mobilnya. Hanji sempat melambai pada Levi yang dibalas anggukan singkat oleh pria ebony itu. Setelah mobil Hanji pergi Levi kembali melangkahkan kaki memasuki rumah barunya tanpa menyadari sesosok bocah mengamatinya dari jendela lantai 2.
.
.
.
Levi yakin itu masihlah dini hari mungkin sekitar setengah tiga ketika dia terbangun oleh suara berisik dari kamar tepat diatasnya. Seperti suara-suara benda yang berjatuhan—mungkin itu ulah tikus, pikir Levi positif. Ia hendak kembali menyelam tidur tapi berikutnya telinganya malah menangkap kejanggalan—sekarang suara anak yang menangis.
Siapa itu? apa mungkin ada anak gelandangan yang dengan kurang ajar numpang tinggal dirumahnya tanpa seijinya?
Pikir Levi heran. Dia beranjak dari tempat tidurnya untuk meraih bendelan kunci rumahnya dilaci dan sebuah senter. Kemudian dengan mata masih berat dan rasa kantuk Levi berjalan terseok-seok keluar dari kamarnya. Levi menyalakan lampu ruang tamu membuat sekitarnya menjadi terang benderang. Kakinya melangkah perlahan menaiki tangga menuju lantai 2 dimana berisi beberapa ruang kosong.
Setelah sampai di lantai atas Levi langsung menuju saklar lampu didekat tangga. Ditekanya saklar tapi lampu bagian atas tak satupun menyala. Aneh, seingatnya sewaktu dia dan Shasa pertama datang kesini dia sudah memastikan semua lampu berfungsi dengan baik? Tapi kenapa ini?—ah mungkin saja kongslet, besok Levi akan menelpon tukang untuk memperbaikinya pikir Levi positif.
Kembali ke tujuan semula. Levi berjalan menyusuri lorong lantai 2 dengan bantuan senter ditanganya—dibukanya satu persatu pintu yang ada disana tapi nihil. Tak ada satupun barang didalamnya jadi bagaimana mungkin ada barang yang jatuh? Mustahil kan? Levi menggeleng—mungkin tadi dia salah dengar, pikirnya kemudian menutup pintu ruangan yang baru saja dia cek. Angin dingin entah bagaimana berhembus disekitarnya membuat Levi sempat merasa kakinya membeku menapak lantai. Ia berpikir untuk kembali ke kamarnya yang hangat tapi baru berbalik, sebuah suara benda jatuh dari ruangan disebelah menarik perhatian Levi. Merasa ganjil, levi berjalan perlahan menghampiri pintu dengan warna hijau itu. Diputarnya knop pintu ruangan itu tak tak bisa. Levi tiba-tiba ingat kalau dia membawa kunci rumah, ia mengeluarkan bendelan kunci dari sakunya dan mencocokan satu persatu kunci dengan pintu ruangan itu. Beberapa kali mencocokan sampai akhirnya terdengar bunyi ceklek tanda pintu sudah bisa dibuka. Udara berhembus semakin dingin, tapi Levi terlihat tak gentar sedikitpun. Pria 35 tahun itu memutar knop tanpa rasa takut. Pintu hijau berderit terbuka, menampakkan ruangan yang tampak seperti sebuah kamar anak-anak dengan banyak mainan mobil-mobilan dan robot serta lukisan dinding khas anak-anak.
Entah bagaimana kaki Levi bergerak sendiri melangkah memasuki ruang kamar itu. Ia mengamati ruang sekitarnya dengan heran. Ini aneh, kenapa rasanya ini pertama kalinya dia melihat ruangan ini? Dia telah memastikan memeriksa semua ruangan sebelum membeli rumah tapi kenapa yang satu ini terlewat? Ahh~ Levi baru ingat ketika tadi siang dia hendak membuka pintu ini Shasa mencegahnya dan malah mengganti topic sehingga Levi bisa lupa dengan kamar ini. Tapi kenapa wanita itu tidak ingin Levi melihat ruangan kamar ini?
Blam!
Tubuh Levi berputar cepat mendengar pintu berdebam menutup dibelakangnya. Ia melangkah lebar menghampiri pintu mencoba memutar knopnya tapi tak bisa membukanya. Levi merogoh sakunya tapi kuncinya tak ada disana. Shit! Dia lupa kalau kuncinya masih menggantung dipintu tadi.
"Ya hei! Buka pintunya!" Teriak Levi menggedor pintu tapi tak ada yang menyahut. Siapa yang berani melakukan hal ini padanya? Awas saja jika ini ulah seseorang Levi akan memastikan orang itu tidak akan pernah selamat!
Levi merasa luar bisa dongkol, walaupun wajahnya datar tapi siapapun pasti bisa mersakan aura membunuh yang kental dari pria enoby itu. Merasa tak berguna meminta tolong Levi memutuskan untuk mengabaikan kondisinya sekarang. Dia berjalan menghampiri ranjang satu-satunya yang ada disana dan membaringkan tubuhnya disana dan menarik selimut penuh debu disana untuk membungkus tubuhnya. Entah bagaimana udara ruangan itu terlalu dingin sampai membuat Levi menggigil jadi menghindari resiko mati kedinginan selimut penuh debu bukanlah apa-apa untuknya. Levi memejamkan matanya rasa kantuk langsung membawanya terbang kealam mimpi.
Tepat beberapa menit setelah Levi terlelap entah bagaimana kumpulan asap putih tiba-tiba berkumpul di satu titik membentuk sosok seorang bocah laki-laki bermata hijau yang berdiri disamping tempat tidur. Bocah yang berusia sekitar 7 tahun itu menatap Levi lama kemudian seulas senyuman manis terlukis dibibir mungilnya.
'Aku tidak sendirian lagi.'
.
.
.
TBC
