Naruto © Masashi Kishimoto

(I don't take credit for the original content)

AR/Fanon

Threeshots

SasuHina

Decided

-Chapter I-


"Kau dan Sasuke akan menjalankan misi ini."

Sebagai seorang ninja, Hyuuga Hinata harus siap dengan misi apa pun. Misi bukanlah hal opsional, dia tak bisa memilah mana misi yang ingin dan tidak ingin diambilnya. Misi tidak sesederhana itu. Tidak sebebas itu. Tak peduli dengan statusnya sebagai istri hokage atau apa pun, seorang ninja harus melakukan kewajibannya. Oleh karena itu, ketika sang hokage yang tak lain adalah suaminya sendiri memberikan misi, tak ada keinginan sedikit pun di hati Hinata untuk menolak, andaikan misi tersebut bukanlah misi yang kompleks seperti ini.

"Kau dan Sasuke akan pergi ke dimensi lain untuk meraih buah chakra dan menangkap buronan. Kalian akan berperan sebagai suami-istri di dimensi tersebut. Kemampuan matamu dan Sasuke dibutuhkan. Kalian berdua sudah lebih dari cukup untuk menunaikan misi ini."

Hinata meremas bajunya sendiri. "Bagaimana dengan Boruto dan Himawari? Siapa yang akan menjaga mereka?"

"Aku akan meminta tolong pada Sakura-chan untuk merawat mereka berdua selama beberapa hari."

Lavandula terpejam cukup lama. Sebagian dari dirinya berkata 'jangan'. Naruto bisa saja semakin dekat dengan Sakura saat dia dan Sasuke menjalankan misi. Lagipula, ibu macam apa yang tega menelantarkan anak ketika tahu sang suami tidak bisa ikut turun tangan menggantikan perannya? Apakah dia berhak menolak? Lantas, sebagai apa dia harus menolak? Dia tak bisa menggadaikan status sebagai istri hokage untuk mendapatkan privilege. Dia tidak boleh melakukannya. Haruskah dia menerima misi ini meski dengan setengah hati?

"Aku sendiri merasa bimbang untuk memutuskan siapa orang yang tepat untuk menjalankan misi ini. Aku bermaksud untuk ikut serta, tapi tidak bisa. Aku hokage di sini. Aku tidak boleh meninggalkan desa. Namun, aku rasa, aku bisa mempercayakanmu pada Sasuke. Aku percaya … aku percaya di antara kalian tidak akan ada apa pun yang terjadi."

Nada suara Naruto bahkan terdengar tak yakin, seolah sang pria pirang mempertimbangkan kemungkinan yang juga ada di benak Hinata.

Apakah Naruto bisa duduk tenang ketika tahu sang istri berduaan bersama lelaki lain (sekalipun dengan sahabatnya sendiri) di bawah atap yang sama? Bisakah Naruto berpikiran jernih ketika keduanya harus berperan sebagai sepasang suami-istri? Bisakah Naruto terus meyakinkan dirinya bahwa mereka berdua hanya akan berperan …?

Hingga waktu keberangkatan keduanya, Naruto terus mengulang-ulang. Benarkah keputusannya?


"Ibu!"

Boruto dan Himawari mendekap sosok sang ibu. Lubang dimensi telah tampak. Sasuke tidak bisa terlalu lama membiarkan lubang dimensi itu terbuka. Hinata masih berusaha memberikan pelukan perpisahan bagi kedua buah hatinya. Sasuke sendiri hanya memberikan usapan singkat di rambut Sarada. Anak wanitanya terbiasa ditinggalkan, tak ada perlakuan khusus bahkan untuk misi kali ini.

"Jaga ibumu," pesan Sasuke pada wanita berkacamata, membiarkan sebuah anggukan menjawabnya.

"Jangan melibatkan dirimu dalam bahaya. Peranmu adalah pemantau. Serahkan urusan bertarung pada Sasuke, Hinata." Naruto meletakkan dua telapak tangannya di atas bahu Hinata. Keraguan tampak sarat di kedua kelereng safir. Namun, misi yang telah disepakati tidak bisa ditarik kembali. Jika bukan mereka, siapa lagi yang bisa menunaikan misi ini?

"Baiklah, Naruto-kun." Hinata menjawab singkat sebelum kembali mengalihkan pehatian pada kedua anaknya. "Kalian tidak boleh nakal dan harus ikut membantu Sakura-san, mengerti?"

"Mengerti, Bu!"

"Hinata," panggil Sasuke. pria berambut hitam telah berada di belakang tubuhnya.

Hinata masih tidak rela. Tubuhnya tak ingin beranjak dari sana. Namun, mengulur waktu pun tiada guna. Semakin lama dia berada di sini, semakin lama dia berada di dimensi lain. Hinata ingin menuntaskan misi itu, bahkan jika bisa, dalam sekejap mata.

Mengabaikan pertikaian batinnya, Hinata melepaskan rengkuhan, tubuh sang wanita menyusul sosok di depan yang telah melangkah melewati lubang dimensi. Dalam sekian detik, lubang tersebut telah mengkonsumsi keduanya dan sosok mereka tak ada lagi di Konoha.


Hinata mengerjap berkali-kali. Sesaat tadi, tubuhnya nyaris menyapa lantai gedung tertinggi apartemen yang menjadi lokasi landasan dia dan Sasuke. Beruntung, sepasang tangan merengkuh tubuh sang wanita terlebih dahulu, membuatnya terhindar dari benturan. Tak ingin berada dalam posisi demikian, Hinata sedikit meronta, membiarkan dua lengan Sasuke kendur melingkari tubuhnya sehingga sang Hyuuga bisa memijak tanah sendiri.

"Jangan bertindak ceroboh. Berhati-hatilah. Aku bukan babysitter-mu, Hinata."

"B-baik."

Sasuke berjalan mendahului Hinata, menimbulkan tanda tanya. Kenapa Sasuke tidak terlihat kebingungan dengan kondisi dimensi yang serba berbeda dari Konoha ini? Hinata sendiri bahkan harus menghabiskan beberapa waktu untuk mengerling ke sana-sini, mengagumi bangunan-bangunan menjulang tinggi yang tidak bisa disandingkan dengan perkembangan zaman di Konoha. Bangunan tinggi di sana menutupi nyaris seluruh pandangan.

Seakan bisa membaca pikiran Hinata, sang Uchiha angkat bicara.

"Aku terbiasa mengembara bahkan dari dimensi satu ke dimensi lainnya. Aku pernah meninggali dimensi ini dua kali walaupun bukan berarti aku sudah bisa beradaptasi dengan baik di sini."

Sasuke menggerakan lima jemarinya, menyuruh Hinata untuk bergegas menuruni tangga. Sang pria Uchiha itu menceritakan bahwa dia sering berkeliling dimensi untuk melacak beberapa monster yang tanpa sadar sang pria lemparkan. Tepat di dimensi ini, sang pria pernah melemparkan monster kelelawar raksasa. Hal itu membuatnya harus menetap berminggu-minggu seorang diri dan mendiami salah satu kamar di apartemen yang tengah mereka masuki. Dari mana Sasuke memperoleh mata uang yang dapat digunakan di dimensi lain merupakan tanda tanya bagi Hinata. Sang pria terlalu bergengsi tinggi untuk menjadi pengemis. Apakah pria Uchiha itu melonggarkan harga dirinya dan menjadi seniman jalanan? Ataukah dia bekerja di sebuah toko? Atau justru tante-tante kaya-raya yang tergoda ketampanan sang pria memberikan uang secara cuma-cuma?

"Tempat ini tidak lebih baik dari Konoha. Sama ganasnya. Jangan terbujuk iming-iming apa pun di sini."

Kaki Hinata seketika terlupa untuk melangkah. Beberapa bayangan imajiner serentak memenuhi pikiran sang wanita. Apakah Sasuke pernah menjadi korban kejahatan di dimensi lain? Hinata tahu Sasuke terlalu kuat untuk dikalahkan, tapi tetap saja, Sasuke adalah manusia. Dia memiliki kelemahan. "Sasu—"

"—Aku memperoleh banyak uang dari beberapa wanita yang mengajakku kencan buta. Aku ditarik ke dalam klub malam, menemani mereka sampai mabuk, dan mereka mengantongiku sejumlah uang. Kutinggalkan mereka saat tidak sadarkan diri."

"Aku pernah merampas harta beberapa preman untuk bertahan hidup di beberapa dimensi."

Sasuke berjalan menuju sebuah pintu sebelum mengeluarkan kunci yang entah sejak kapan berada di dalam saku sang pria.

"Karena itulah, aku ingin kita berdua memikirkan cara yang lebih baik untuk bertahan hidup di sini. Aku akan bekerja paruh waktu di minimarket. Terserah padamu apakah kau ingin bekerja atau menjaga rumah."


Hinata duduk di sofa dengan canggung. Sasuke duduk berseberangan dengannya. Sang pria duduk bersandar, mengangkat rahangnya tinggi-tinggi. Membuka dan menutup lubang dimensi seperti perkara sepele, tapi tidak demikian baginya. Dia merasa luar biasa lelah. Chakra-nya terkuras banyak. Sigap, Hinata melangkah ke dapur, mengambilkan segelas air untuk sang pria. Sontak, tindakan Hinata membuat Sasuke nyaris tercengang. Hanya saja, seorang Uchiha Sasuke tidak tercengang. Nyaris.

"Silakan diminum. Maaf karena aku mengambil air minum dari dapur tanpa seizinmu."

"Apartemen ini milik kita berdua, jadi tidak perlu meminta izin dariku untuk melakukan apa pun di sini." Sang pria berucap sebelum meraih segelas air yang Hinata sodorkan.

"Apartemen ini hanya memiliki satu kamar. Kau akan tidur di dalam kamar dan aku akan tidur di sini."

Posisi tubuh Hinata yang semula lebih tenang kembali menegap. "T-tidak perlu. Aku akan tidur di sini. Ini apartemenmu, jadi seharusnya kau yang tidur di dalam kamar, Sasuke-kun."

Bunyi berdenting terdengar ketika Sasuke meletakkan gelas kosong ke atas meja. Sang pria melirik Hinata sebelum membuka mulut. "Kau perempuan. Aku tidak mungkin membiarkan seorang perempuan tidur di sofa."

"T-tapi—"

"—Atau kau memilih kita berdua tidur di ranjang yang sama?"

Hinata, seratus persen, sadar betul bahwa Sasuke hanya bercanda. Hinata tahu itu dari seringai yang terpampang di wajah putihnya. Namun, tetap, kalimat barusan tidak bisa tidak membuat jantung Hinata berdegup kencang. Saat itulah, Hinata sadar bahwa mulai saat ini dia akan hidup bersama dengan Sasuke, setidaknya sampai mereka bisa menemukan sang target dan membawanya kembali ke Konoha.

'Ini belum apa-apa, tapi jantungku sudah berdebar sekencang ini!' Panik sang wanita.

To be Continued


Thanks for reading!

(Grey Cho, 2017)