Bleach © Tite Kubo
Jadi, ini adalah pintasan kebingunganku soal wanita. Benar-benar membuatku bingung. Soal perasaan mereka yang kadang terlihat seperti kenyataan, tetapi perkiraan itu kandas dan membuat hal tersebut menjadi seonggok bualan semata.
Entah mengapa sikap mereka benar-benar membuat semua perkiraan dan perhitungan eksak itu rasanya seperti salah. Kalau diibaratkan sebuah lukisan. Wanita itu abstrak. Aneh tapi memikat, dengan warna dan kasarnya gerakan yang digunakan pelukis untuk memoles media di lukisannya. Iya, aku paham kalian bingung. Anggap saja, ini angin lalu. Aku memakluminya.
Baiklah, di siang itu SMA Karakura sedang istarahat makan siang untuk menghilangkan penat setiap warganya, kecuali petugas kantin yang sibuk pada saat itu. Jadi, sesosok pemudi berambut hitam pendek di atap sekolah sedang dikerumuni siswa-siswi yang berteriak; "Terima, Rukia." "Terima saja, Rukia." "Habis ini, makan-makan gratis." Ya, biasa. Ironinya seseorang yang berhasil menyatakan cintanya dan diterima oleh target, maka hukumnya sangat disarankan atau dipaksa untuk mentraktir atau memberikan makan orang secara percuma atau gratis.
Memang seperti beramal, tapi sedikit gila, karena katanya kebahagiaan itu harus dibagi-bagi. Ya, tapi 'kan jadi rugi. Karena ini bukan pergelatan pesta pernikahan, saudara-saudara. Jadi, sikapilah dengan bijak teman-teman Anda yang baru saja menjalin kasih dan ditodong rengekan makan gratis.
Tapi tunggu, pemuda berambut merah jabrik menatap pemudi yang di hadapannya dengan penuh harap—pemudi yang disoraki dengan nama, Rukia.
Pemudi itu akhirnya memecah keriuhan dari segerombolan anak-anak di sekitarnya, mencoba mengumpulkan suara untuk sekadar mengheningkan momentum yang menurutnya akan menjadi sebuah hal yang akan menjadi sebuah main frame klimaks pada sebuah adegan film.
Iya, maafkan aku yang telah membuat Rukia seperti ratu drama. Tidak, bukan itu maksudku.
"Aku juga menyukaimu."
Ucapan Rukia benar-benar mengeheningkan lingkungan di sekitarnya secepat kedipan mata. Yang mana, orang-orang di sekitarnya semua terkejut, bahkan pemuda yang ada di hadapannya. Bahkan menarik perhatian orang yang awalnya tidak memerdulikan situasi tersebut—ikut terkejut dengan kata-kata pemudi bertubuh semampai itu. Rasanya seperti mustahil, kata-kata tersebut keluar dari mulut Rukia.
Iya, pemuda di hadapannya dan orang-orang-yang-berharap-mendapat-traktir-makan-gratis terkejut dengan senang. Meski, sangat amat senang, tapi rasanya itu hanya kesenangan semu.
Rukia mengetahui tindakan dan ucapannya, ia seperti seseorang yang telah memprediksi akibat dari perbuatannya. Hasilnya? Tentu sesuai keinginannya. Ia menarik perhatian semua orang di atap sekolah pada dirinya kini.
"Tapi, aku menyukaimu dengan caraku. Bukan caramu."
Lalu, ia memainkan peran seperti ratu drama dan membuat bingung semua orang dalam sekejap.
Pemuda di depannya pun angkat bicara, mencoba untuk menjadi wali dari orang-orang yang mulai berbisik seperti virus menyebar.
"Ergh, … maksudmu?"
Pertanyaan tersebut hanya membuat lawan bicara pemuda tersebut tersenyum.
"Ya, Renji aku menyukaimu. Tapi … tidak seperti kau menyukaiku. Atau lebih tepatnya, aku tidak memiliki perasaan yang sama seperti yang kau rasakan terhadapku."
Momentum ini mengingatkanku pada sebuah kutipan, yang menyatakan bahwa kata yang paling menyakitkan adalah kata 'hampir'.
Seperti suasana yang diciptakan Rukia kini. Ia membuat pemuda yang disapa Renji, hampir bahagia tak tertolong. Lalu hampir membuat orang-orang kelaparan mendapatkan imbalan di perutnya. Juga hampir membuat beberapa yang-tidak-tertarik-lalu-tertarik tersenyum sepah, entah untuk mengejek pemuda yang sedang berjuang untuk mendapatkan seorang wanita di sekolah atau hanya ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam benaknya, "Rukia tetaplah Rukia." Karena sebagian orang yang mengetahui karakter Rukia, ia bukan seseorang yang akan memberitahukan perasaannya secara terang-terangan. Maksudku, bukan terang seperti cara matahari menyinari bumi. Bukan, mengertilah.
Pemuda itu menunduk dan orang-orang yang mengelilingi dua sejoli seperti lingkaran merah pusat poin tertinggi dalam memanah mulai mengeluh, dan berkata "Yah, … sayang sekali." Serta mulai menepuk pundak pemuda—yang disebut Renji perlahan, seolah tepukan itu berbunyi; "Sabarlah, Renji."
Renji pun tersenyum pahit. "Lalu ... apa maksudmu dengan tingkah lakumu tadi, Rukia? Sengaja membuatku berharap?" Ya, kalian bisa bayangkan, bagaimana perasaan Renji untuk membingkai kata-kata setelah tahu harapannya pupus.
"Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan dan juga memberi jawaban apa yang kau mau dengar dan apa yang kalian inginkan secara bersamaan." Tidak, Rukia memang memiliki status sosial yang baik, tapi perkataannya barusan tidak bermaksud meremehkan orang lain, meski sangat terdengar sangat meremehkan dan terlalu sombong. Tidak, ia tidak sesombong itu.
Perkataan Rukia membuat lawan bicaranya terkekeh. Seperti seseorang yang tertawa tetapi hal yang membuatnya tertawa sangat tidak lucu atau tidak lucu sama sekali, dan tertawa tersebut nampak seperti ejekan. "Ya, seperti yang semua tahu. Rukia tetaplah Rukia."
Rukia pun tersenyum. "Kau mengenalku lebih baik dibandingkan diriku sendiri, Renji." Ia pun melangkah ke arah pemuda di hadapannya, mencoba untuk mendekatkan jarak mereka. "Terima kasih dan maaf."
Ketegangan pun mulai mencair, tingkah laku pemuda tersebut pun mulai hangat. "Apa kita benar-benar tidak bisa berhubungan lebih dari sekadar teman, Rukia? Kau benar-benar tidak mau memberiku sedikit kesempatan, ha?" Lalu ucapan Renji pun membuat sekelilingnya dipenuhi gelak tawa. Antara lucu dan miris, Rukia pun hanya tersenyum dan menggeleng.
Tetapi, apa kalian termasuk seseorang yang menyukai film yang memiliki credit adegan lanjutan setelah ending suatu film? Jadi, ketika kalian tahu film itu sudah berakhir tetapi masih ada lanjutan setelah lampiran tulisan pendukung film tersebut selesai dipaparkan. Kalau iya, berarti kalian sama denganku.
Karena pada saat itu, ada pertanyaan yang akhirnya lagi-lagi membuat hening suasana di atap sekolah Karakura tersebut.
"Lalu, Rukia ... apa kau benar-benar tidak menyukai siapa pun di sini? Maksudku, apa tidak ada seseorang yang membuatmu tertarik?"
Pertanyaan itu seperti adegan selipan setelah credit film yang habis dipaparkan, seolah mengucapkan mantra untuk memanggil déjà vu menyapa ingatan.
Dan ...
"Tentu."
Lalu pemudi itu tersenyum.
"Tentu, ada orang yang membuatku tertarik."
Selayaknya déjà vu, lagi-lagi ucapan Rukia membuat semua orang tertegun termasuk orang-yang-tidak-tertarik-lalu-tertarik-lalu-tersenyum-pahit-lalu-kembali-tertarik. Maafkan kebiasaan burukku dalam mendeskripsikan seseorang dengan cara yang sangat sampah seperti ini, maksudku terlalu berlebihan dalam menggunakan kata dan selalu me-majemuk-kan kalimat. Tapi, tolong biasakan dan maklumi sikapku.
"Benarkah?"
"Siapa?"
"Apa aku?"
"Ah, tidak mungkin."
"Ternyata Rukia masih menyukai lawan jenis, syukurlah."
Lalu kata-kata tersebut bermunculan saling bertabrakan satu sama lain. Yang mana Renji menatap Rukia penuh harap, lalu dibalas Rukia dengan tatapan yang mengisyaratkan; "Bukan kau, Renji. Percayalah." Setelahnya harapan Renji pun pupus kembali.
Dengan kondisi yang kurang kondusif, Rukia pun mencoba menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya dengan melihat ke sekitar lingkungannya, seolah seperti seorang pemburu yang mencari target buruannya lalu menggunakan telunjuknya seperti senapan yang siap untuk melumpuhkan target buruannya.
Iya, jari Rukia berhenti pada seseorang yang jauh dari kerumunan. Jari tersebut membuat semua mata tertuju pada sasaran tujuannya.
Tak kalah dengan semua mata yang tertuju pada target tujuannya, benar sekali, jari itu menunjuk seorang pemuda berambut oranye yang mana sangat heran dan terkejut bukan main atas perlakuan jari telunjuk Rukia terhadapnya. Karena sekarang ia merasa seperti santapan yang begitu menggiurkan untuk disantap.
"Dia," ucap Rukia seolah seperti pemburu yang sudah hampir keseluruhan menekan pelatuk senapannya dan kata-kata selanjutnya bagai peluru yang akan menembak target.
"Ichigo. Ichigo Kurosaki."
Apa kalian tahu? Benar, ia baru saja menyebut namaku. Kuulangi, benar-benar namaku.
Selanjutnya …
