Hai, minna-san...
Saya kembali dengan fic baru yang rencana mungkin hanya 3 atau 4 shoot.
Tanpa banyak bicara lagi
HAPPY READING
RnR
.
.
.
Genre. Family and Romance
Boboiboy milik Monsta Studio
Warn. AU, Typo(s), OOC(banget), alur kecepetan, gaje, abal, dan lainnya...
.
.
.
CONNECTION
GEMPA POV
Namaku Gempa. Aku memiliki seorang adik laki-laki bernama Halilintar. Umur kami berbeda 3 tahun. Saat ini aku berada di kelas 2 SMA dan tentu saja Halilintar—adikku, kelas 2 SMP. Walaupun kami bukan anak kembar tetapi wajah kami hampir mirip, hanya tinggi badan dan sifatlah yang dapat membedakan kami berdua. Selain itu ada hubungan lain yang terikat antara aku dan Halilintar.
Fisik kami saling terhubung. Aku menyadarinya saat Halilintar masih kelas 4 SD. Ketika dia terluka di bagian kaki dan disaat bersamaan bagian kakiku muncul kebiruan. Sejak saat itulah aku dan Halilintar menyadari hubungan kami. Oleh karena itu, aku mencoba menghindari sesuatu yang berbau kekerasan, namun tidak untuk Halilintar, dia lebih memilih masuk klub karate. Meskipun begitu aku harus menyembunyikan kalau aku dan Halilintar 'benar-benar' saling terhubung karena takut kalau ada seseorang yang mengincar kelemahan kami.
"Gempa, kulit kamu membiru lagi tuh." Ujar teman sebangkuku yang sekaligus sahabatku.
Aku sedikit terkejut mendengar gadis berkacamata di sampingku—Ying."Ng? Mana?"
"Di lengan kirimu. Apa benar tidak apa-apa?" Ying menunjuk lenganku yang terlihat membiru.
"Ah, iya. Aku baik kok. Kamu tahu kan kalau ada pembuluh darah yang pecah jadi seperti ini. Ga usah khawatir, ini kan sudah biasa." Jawabku enteng. Aku tidak ingin sahabatku tahu tentang hal ini.
"Hmm, baiklah kalau benar tidak apa-apa. Tapi bukankah lebih baik kamu periksa ke dokter, Gempa." Usul Ying padaku.
Aku tersenyum. "Sudah kok. Kata dokter tidak apa-apa, ini hal biasa." Kemudian aku sedikit menarik lengan bajuku untuk menutupi warna kebiruan.
'Tch, apa yang dilakukan Hali kali ini? Beruntung saja alasan pembuluh darah pecah masih ampuh untuk menutupi luka dalam ini. Dan lagi kali ini terasa lebih sakit dari biasanya. Apakah terjadi sesuatu dengan Hali?' Pikirku cemas terhadap adikku. Tetapi hal itu segera kutepis mengingat Halilintar tidak akan melakukan hal yang berbahaya. 'Pasti dia baik-baik saja.'
Pukul 2 siang, hari ini sekolah memulangkan murid-murid lebih awal. Setelah aku pamit pada Ying karena tidak bisa pulang bersama, aku bergegas ke kamar mandi untuk melihat keadaan tubuhku karena semenjak pelajaran berlangsung aku merasakan ngilu di sekujur tubuhku. Dan benar saja, setelah aku membuka kemeja seragam sekolahku, banyak luka membiru di dada, perut, dekat leher, lengan, bahu, punggung, pinggang dan mungkin masih banyak lagi.
'Sial! Apa Hali tidak pernah memikirkan diriku kalau sedang latihan karate? Setidaknya dia tidak perlu membuat luka sebanyak ini.' Aku segera merapikan seragamku dan mengganti jaketku yang tanpa lengan dengan berlengan panjang yang selalu ada di tasku agar warna kebiruan di tanganku tidak terlihat. Kemudian bergegas pulang atau mungkin pergi ke sekolah Halilintar untuk memastikan apa yang dia lakukan.
NORMAL POV
Bel tanda istirahat usai telah berbunyi sekitar lima menit lalu, tetapi pemuda bersurai coklat ini tiba-tiba dihadang oleh tiga orang pemuda yang telah diketahui adalah kakak kelasnya. Pemuda itu kemudian ditarik paksa oleh salah satu kakak kelasnya menuju belakang sekolah.
Pemuda itu—Halilintar, di dorong dengan kasar setelah mereka tiba di belakang sekolah. "Brengsek! Apa mau kalian, hah?! Aku ingin ke kelas bodoh! Jangan halangi aku." Umpatnya kesal.
Kakak kelas yang dati menariknya menyeringai. "Huh, kami ingin balas dendam padamu, Halilintar. Jangan harap kau bisa lepas dari kami. Kami akan membuatmu babak belur seperti apa yang kau lakukan pada kami." Ancamnya.
"Hh?! Cuma itu saja? Aku sedang tidak berminat untuk berkelahi saat ini, lebih baik pulang sekolah saja. Aku ingin kembali ke kel—" Belum selesai Halilintar berucap tiba-tiba sebuah hantaman keras di lengan kirinya.
—Duagh!
"Ukh…"
Halilintar segera ambruk setelah mendapat hantaman dari kakak kelasnya. Saat ini Halilintar memang sedang tidak ingin berkelahi karena akhir-akhir ini setelah latihan karate, ia selalu mendapat luka di tubuhnya dan itu pasti juga dimiliki oleh sang kakak. Ia benar-benar merasa iba melihat banyak warna kebiruan yang juga pasti terasa sakit di kulit putih kakaknya yang sama sekali tidak berbuat salah. Dialah yang bersalah tetapi mengapa kakaknya malah selalu terkena imbasnya.
'Brengsek!' Umpatnya dalam hati. Halilintar menatap tajam ke arah tiga kakak kelasnya yang juga membalasnya dengan tatapan bengis untuk menghabisinya.
"Sudah kubilang kau takkan bisa lepas dari kami sebelum kau 'hancur', mengerti?" Desis sang kakak kelas.
"Ya, ini baru saja dimulai. Bersiaplah." Tambah seorang kakak kelas yang bertubuh tinggi yang sedang menggeretak buku-buku jarinya.
Halilintar tidak bisa menghindari perkelahian ini lagi. Mau tidak mau ia harus melawannya, jika tidak tubuhnya akan penuh luka dan akan menyakiti Gempa, kakaknya. Halilintar berdiri dan bersiap dengan kuda-kudanya untuk menyerang. Namun apa daya lawannya tidak sebanding dengannya. Dari segi jumlah ia sudah kalah ditambah lagi ketiga kakak kelasnya ini tampak tidak memberi ampun padanya dan akan menyerang dengan membabi buta.
Saat Halilintar memukul ke depan maka salah satu kakak kelasnya akan menyerangnya dari belakang. Saat Halilintar memukul ke belakang, dari arah sampinglah sang kakak kelas menghantamnya, begitu seterusnya hingga pemuda itu kewalahan dan akhirnya ambruk kelelahan. Banyak luka lebam di tubuhnya, ada beberapa yang berdarah karena bergesekkan dengan aspal belakang sekolah.
"Huh! Cukup sampai di sini bocah! Kami rasa itu sudah cukup membuatmu sadar untuk bertingkah laku sopan terhadap kakak kelas. Ingat itu, Halilintar!" Halilintar sudah tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakan kakak kelasnya. Ia merasakan sakit dan perih di setiap bagian tubuhnya.
"Pelajaran selesai. Kelas bubar. Khu khu khu…"
"S-sial!" Desis Halilintar yang tak terima dengan kondisinya yang kalah telak dengan kakak kelasnya. Kemudian ia teringat wajah kakaknya—Gempa, yang pasti menerima warna kebiruan di kulit kakaknya.
'Maafkan aku, kak. Aku tidak mau berkelahi tapi mereka yang memaksaku. Maafkan aku telah membuatmu terluka. Maaf telah menyusahkanmu, kak.' Halilintar menangis dalam diam. Dia menyesali dirinya dan merasa tidak berguna. Mengingat setelah orang tuanya bercerai dan ibunya telah meninggal, hanya kakaknyalah yang selalu di sisinya, menemaninya dan menyayanginya. Kakaknya bersikap lembut pada orang-orang di sekitarnya dan itu membuatnya jauh dari masalah. Sedangkan Halilintar, sifat kasar dan suka menantang orang lain bahkan kakak kelas malah membuatnya berada dalam masalah yang juga berarti berimbas pada kakak tersayangnya.
Halilintar beranjak bangun lalu merapikan seragam dan topinya, kemudian menuju UKS untuk mengobati lukanya. Dengan langkah gontai ia memasuki ruangan yang dingin dengan aroma khas obat-obatan. Tak mampu bertahan, Halilintar tak sadarkan diri di ranjang UKS.
…connection…
"Engh…" Rintih pemuda bersurai coklat itu yang merasakan tubuhnya begitu ngilu dan kram saat akan menggerakkan tubuhnya.
"Ah, Hali. Kamu sudah sadar?"
'Suara ini… seperti kakak. Jangan-jangan kak Gempa…'
Halilintar segera membuka matanya lebar-lebar memastikan kalau suara yang didengarnya bukanlah suara kakaknya.
"Kak Gempa kok ke sini?" Halilintar terkejut melihat pemuda bersurai coklat gelap dengan memakai topi terbalik yang adalah kakaknya—Gempa, duduk tepat di sampingnya. Mengamatinya.
Gempa tersenyum melihat ekspresi adiknya yang terkejut dan khawatir seperti dirinya. "Kamu kenapa? Seingatku hari ini tidak ada jadwal latihan klub tapi kamu malah babak belur gini. Ada apa? Kamu berkelahi?"
Halilintar belum menjawab dan memilih diam. Ia memandang langit-langit ruang UKS. Pandangannya tampak sendu setelah mendengar suara tenang milik kakaknya itu. Kemudian melihat tubuh kakaknya yang berbalut jaket panjang.
"Tadi aku segera ke sekolahmu setelah pulang sekolah. Beruntung hari ini aku pulang lebih awal makanya setelah melihat begitu banyak luka di tubuhku jadi aku pikir kamu kenapa-kenapa." Gempa berhenti sejenak melihat tatapan adiknya yang penuh rasa bersalah itu. Dia tidak ingin adiknya merasa sedih mendengar dirinya yang kesakitan akibat adiknya sendiri. Tapi bukan berarti dia menerima atas luka di tubuhnya, dia hanya ingin adiknya sadar untuk menjauh dari masalah dan saling melindungi.
"Sudahlah, kamu jangan pikirkan luka ini. Aku tidak apa-apa." Gempa mengelus lengan kirinya yang terasa begitu ngilu untuk digerakkan. "Yang penting kamu harus menghindari perkelahian lagi. Aku tidak mau kamu terus seperti ini dan membahayakan hidup kita. Mengerti?"
Gempa melepas topi yang dikenakan Halilintar lalu mengelus rambut adiknya dan tersenyum. Halilintar merasa nyaman dengan perlakuan kakaknya padanya, walaupun begitu hatinya menyendu dengan sikap kakaknya yang selalu baik dan menyayanginya.
"Maaf, kak." Ucap Halilintar lirih sambil menatap kakaknya.
"Huh?"
"Maafkan aku yang menyusahkanmu." Halilintar mengulang permintamaafan pada Gempa.
Gempa tertawa kecil pada adiknya itu kemudian mengacak rambut adiknya. "Sudahlah, Halilintar."
"Tapi kak, aku—."
"—Oh ya, tadi seorang perempuan yang merawatmu sebelum aku datang. Hmm, siapa ya namanya? Aduh, aku lupa bertanya namanya. Tapi dia tampak manis dengan jilbab merah mudanya. Apa kamu mengenalnya?" Gempa mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia tak ingin adik tersayangnya merasa sangat terbebani.
"Eh? Perempuan berjilbab merah muda? Jangan-jangan Yaya yang merawatku." Jawab Halilintar dengan tangan kanan di dagunya seperti orang yang sedang berfikir.
"Yaya, ya? Dia manis dan selalu tersenyum. Dia juga yang membawakan tasmu ke sini. Kurasa dia menyukaimu, Hali." Gempa menunjuk tas milik adiknya yang berada di sudut ruangan.
"Jangan bercanda, kak. Ini sudah pukul 4 sore, aku ingin pulang."
"Baiklah baiklah. Sini aku bantu kamu berdiri."
Halilintar beranjak dari ranjang UKS dan berdiri dengan bantuan kakaknya. Karena jarak antara rumah dan sekolah Halilintar memang agak jauh, ia memilih untuk berjalan sendiri tanpa bantuan kakaknya karena ia tahu kakaknya juga pasti kesakitan.
…connection…
"Brengsek sekali kakak kelas itu beraninya keroyokkan. Jelas saja aku kalah. Dasar mereka memang pengecut! Lihat saja nanti, aku tidak akan kalah lagi!" Ujar Halilintar setelah memasuki kamarnya. Ia melempar tasnya asal di kasur kemudian pergi ke kamar mandi.
Halilintar membuka kancing kemeja seragam namun tidak menanggalkannya. Ia terkejut melihat banyak luka lebam di tubuhnya. Halilintar menyentuh luka di lengannya. "Terlalu banyak dan kak Gempa bilang tidak apa-apa? Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Aku membuatnya menjadi seperti ini tapi kak Gempa masih bisa tersenyum padaku."
Halilintar menyalakan showernya hingga membasahi sekujur tubuhnya. Tak peduli seragamnya menjadi basah, ia tetap berdiri dengan kepala tertunduk membiarkan air dingin mendinginkan kepalanya.
"Kau adik yang payah Hali! Dasar menyusahkan! Sial!" Halilintar meninju dinding kamar mandi dengan kerasnya. Dia lupa kalau ia terluka maka kakaknya juga akan merasakannya. Halilintar menyesal. Melukai diri sendiri sama saja akan melukai kakaknya juga. 'BODOOHH!'
"Hali, hari ini kamu tidak usah ke sekolah jadi ganti saja bajumu. Aku sudah menelpon wali kelasmu kalau kamu sakit. Istirahatlah." Ujar Gempa saat di ruang makan, menyantap sarapannya. Ia memandang adiknya serius agar dia tidak berulah untuk sehari ini saja.
"Tapi kak, aku tidak mungkin membiarkan me—."
"Hali, turuti saja ucapanku." Gempa menatap tajam ke adiknya. "Jangan membuat masalah lagi, Hali. Kalau kamu memang peduli dengan kakakmu ini, tolong untuk tenang dan tidak bermasalah."
"Ada apa denganmu, kak?! Apakah kamu tidak merasa kesal dengan mereka yang telah memukul adikmu, hah?! Kamu terlalu lembut, kak. Aku tidak bisa menerima kalau mereka melukaimu secara tidak langsung. Aku akan balas dendam dengan mereka." Sahut Halilintar. "Pokoknya hari ini aku akan masuk sekolah dan memberi mereka pelajaran karena telah—."
"Ehk?!" Mata Halilintar membulat ketika darah segar mengalir di punggung tangan kiri sang kakak. Sebuah pisau dengan sengaja Gempa tancapkan di sana dengan memandang sedih adiknya.
"A-apa yang kau lakukan, kak?!" Suara Halilintar bergetar setelah melihat kakaknya menyakiti dirinya sendiri. Ia mengangkat tangan kirinya dan melihat luka kebiruan muncul di punggung tangan kirinya. Halilintar dapat merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh kakaknya akibat tusukan pisau dapur.
"Aku tidak pernah menyakitimu, Hali. Aku tidak ingin menyakitimu. Aku bersikap biasa saja dan tidak menimbulkan kerusuhan demi kamu." Ujar sang kakak setelah mencabut pisau yang tertancap di tangannya. "Aku melindungimu dari rasa sakit yang berasal dari tubuhku. Tapi kali ini kamu merasakannya untuk pertama kalinya."
"Kakak…"
"Walaupun kita saling terhubung tapi kamu tetaplah Hali dan aku tetaplah aku. Aku hanya tidak ingin kamu terluka Hali, tapi kamu yang menginginkannya. Anggap saja aku tidak merasakan apapun saat kamu terluka. Sekarang lakukan sesukamu." Gempa beranjak dari kursinya dan menaruh piring kotornya di wastafel kemudian mencuci lukanya.
"Kak, aku…" Halilintar benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah melihat kakaknya bersikap sangat dingin kepadanya. Ia hanya melihat sang kakak mengambil tas sekolahnya dan memakai sepatu tanpa melihat ke dirinya.
Gempa melihat sekilas Halilintar yang masih mematung memandangnya."Aku berangkat sekolah dulu. Aku pergi."
'Blam...
'Kak Gempa marah padaku?'
Lanjut?
Yosh, gimana minna-san aneh ya? Dilanjut atau dis? Gomen atas banyak kesalahannya ya minna-san...
Di sini Boboiboy hanya ada Hali dan Gempa, gomen Taufan kamu ga ikutan #digerudi Taufan
Yap, sekian dulu ya minna-san...
See ya di next chapter^^~
Arigatou sudah membaca minna-san...
Mohon review nya... ^^~
