Naruto (c)Masasi Kishimoto
(c)2013
アイコ島崎present
サファイア
Warning : Out of Character(s), typo(s), Semi-Canon, AT, etc.
Second Fic of NaruHina
Dedicated for Nadine Kurnia S.
Special for all NaruHina Lovers
Uzumaki Naruto duduk termenung di ruang makan. Setelah ia menjadi Hokage dan menikah, Naruto memutuskan untuk membeli rumah. Bukan rumah yang besar, hanya rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah desa.
Naruto yang biasanya dikenal sebagai seseorang yang tak pernah serius itu kini memasang wajah serius. Rahangnya terlihat mengeras, pandangan matanya lurus ke depan, menatap meja makan yang terbuat dari kayu di depannya dengan tatapan berpikir.
Ia berpikir, apa saja yang telah ia lakukan sejauh ini?
Ia merasa sudah mendapatkan semuanya. Ia telah meraih mimpinya—menjadi Hokage. Dia sudah menjadi pahlawan di dunia ini. Dia sudah mendapatkan pujaan hatinya, Haruno Sakura—yang kini telah berganti nama menjadi Uzumaki Sakura.
Tapi… Naruto merasa ada yang hilang. Ada yang kurang di relung hatinya. Dan itu berdampak pada otaknya. Otaknya, mau tak mau, terus memikirkan 'apa yang kurang?'.
"Naruto, ada apa? Kau terlihat memikirkan sesuatu." Suara Sakura membuatnya terpaksa menghentikan segala pemikirannya. Ia menoleh dan mendapati Sakura tengah berdiri di sampingnya sambil meletakkan segelas ocha hangat di meja.
Naruto tidak langsung menjawab, ia menatap segelas ocha yang diletakkan Sakura lalu berpikir, andai saja Sasuke masih hidup… apa mungkin ia akan menikah dengan Sakura juga?
"Sakura." Untuk pertama kalinya, Naruto memanggil Sakura tanpa suffix 'chan' di belakangnya. "Bisakah kau biarkan aku sendiri sebentar?"
\(=w=)/
"Onigiri buatanmu enak, Hinata-chan!" Naruto berseru senang seraya memakan nasi kepal yang berbentuk seperti dirinya—tepatnya wajahnya.
Orang—atau tepatnya gadis—yang dipanggil 'Hinata-chan' oleh Naruto hanya menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya yang sudah terasa panas dan mungkin saja saat itu kepalanya bisa meledak.
Naruto melempar senyumannya, "Kau akan menjadi istri yang baik, Hinata-chan!"
Saat itu hanya ada langit biru, rumput dan onigiri buatan Hinata saja yang menjadi saksi bisu percakapan mereka—yang diakhiri dengan senyuman lembut Hinata dan cengiran lebar Naruto.
\(=w=)/
Banyak hal yang terjadi begitu saja. Semuanya terjadi sangat cepat, setidaknya itu yang dipikirkan Naruto. Seingatnya kemarin dia baru saja memakan onigiri buatan Hinata. Seingatnya baru kemarin ketika ia melempar cengiran lebar pada Hinata. Seingatnya baru kemarin saat ia melihat wajah merona Hinata yang tengah melempar senyuman lembut padanya.
Tapi mengapa sekarang semuanya berbeda. Mungkin ingatan Naruto memang dapat dikatakan payah, namun ia merasa terakhir kali bertemu dengan Hinata ia yang membalikkan punggungnya, membiarkan gadis itu menatap punggung tegapnya. Namun tidak untuk sekarang.
Naruto yang giliran melihat punggung Hinata di hadapannya. Berdiri kokoh melindunginya. Mengizinkannya untuk melihat perubahan yang diciptakan gadis Hyuga itu dalam jangka waktu tiga tahun ini—ah, apa benar sudah selama itu Naruto pergi? Bahkan ia sudah lupa.
Kata demi kata yang terucap dari bibir Hinata itu terserap masuk ke dalam telinga Naruto. Semuanya terasa sangat menyenangkan namun juga menyakitkan. Ia memang merindukan suara gadis itu, namun ia tidak suka menempatkan Hinata dalam bahaya seperti ini!
Sebenarnya apa yang ada di pikiran Hinata sekarang? Mengapa gadis itu memaksakan diri untuk menyelamatkannya? Mengapa? Apa dia tidak takut untuk mati?
"Watashi wa… Naruto-kun no… daisuki dakara…"
Dan Naruto merasa waktu seperti berhenti saat itu.
Inikah alasannya…?
\(=w=)/
Keadaan tidak semakin baik. Matahari memang bersinar terang, namun tidak panas. Suhu udara juga tidak begitu dingin. Ia tidak ingat ini bulan apa, tanggal berapa dan tahun berapa sekarang. Angin-angin yang seharusnya—atau memang—bertiup pelan itu terasa sangat menyakitkan ketika terkena kulitnya yang terlihat seperti terlindungi oleh chakra Kyuubi.
Ia menghawatirkan seseorang. Orang yang pernah menyelamatkannya. Ia terus melompat dari satu dahan pohon ke dahan yang lain. Matanya menatap fokus ke depan, giginya bergemeletuk tak karuan.
Hingga—
"Maaf, aku terlambat."
—ia menemukan seseorang yang sedari tadi memenuhi pikirannya dan kembali melempar senyumnya. Menghiraukan tatapan orang itu yang menatap punggungnya dengan kaget.
Naruto-kun?
Naruto tersenyum dengan tangan masih menahan serangan musuh yang sedari tadi menyerang orang itu. "Semua akan baik-baik saja sekarang."
Dan rasanya mereka berdua ingin waktu berhenti barang sebentar.
\(=w=)/
Saat itu Naruto merasa hatinya seperti ditekan oleh sebuah besi yang sangat berat. Kepalanya terasa begitu pusing, rasanya ia ingin ambruk saat itu juga ketika melihat Hyuga Neji terbujur kaku di depannya dengan darah tercecer dimana-mana.
"Bukankah kau tak mengizinkan kami untuk membunuh teman-temanmu?" Suara berat milik Uchiha Obito masuk ke dalam telinganya secara paksa dan terdengar sangat menyakitkan. "Lihatlah sekelilingmu."
Naruto memutar kepalanya, melihat beberapa—atau hampir setengahnya—orang yang masuk ke dalam aliansi pasukan shinobi itu tergeletak tak berdaya dengan reruntuhan batu berbentuk runcing tertancap di badan mereka, sama seperti hal yang terjadi pada Neji.
Perkataan Obito selanjutnya tidak bisa ia dengarkan dengan jelas. Ia hanya menatap syok sekumpulan tubuh tak bernyawa di sekelilingnya, berharap akan ada keajaiban datang seperti waktu ia melawan Pein waktu itu.
"Kesepian!"
Teriakan Juubi yang memekakkan telinga itu membuat Naruto semakin menunduk dalam. Dan saat itu juga telinganya langsung kembali berfungsi lagi. Setidaknya sekali lagi, Naruto ingin menulikan telinganya kembali.
"Kita tidak perlu berada di dalam kenyataan ini," ujar Obito seraya mengulurkan tangannya, "kemarilah, Naruto!"
Plak.
Entah sudah berapa kali mata biru safir itu membulat sempurna. Kali ini menatap kaget sepasang mata lavender pucat di hadapannya dengan tatapan tak percaya.
"Apakah kau mengerti maksud dari kata-kata Neji-niisan yang dia ucapkan sebelumnnya? Hidupmu tidak hanya satu… Naruto-kun." Hyuga Hinata menatap mata Naruto dalam, kata-katanya mengalir begitu saja.
"Kata-katamu dan keyakinanmu, dirimu yang tak membiarkan teman-temanmu mati… itu semua bukanlah kebohongan!" ucap Hinata penuh dengan keyakinan. Membiarkan Naruto yang masih diliputi kebingungan, Hinata kembali melanjutkan, "Karena kata-katamu itulah Neji -niisan sanggup pergi ke perang ini!"
"Bukan dirimu saja… semua orang menyimpan kata-kata itu dan merasakannya di dalam hati mereka, dan itu adalah cara bagaimana semua orang terhubung antara sat dengan yang lainnya. Itulah sebabnya mereka adalah teman.
"Jika semuanya menyerah pada kata-kata itu dan pikiran… maka apa yang dilakukan Neji-niisan akan menjadi hal yang sia-sia juga…" Hinata memberi jeda sebentar. "Itu adalah cara yang bisa membunuh teman-temanmu. Mereka tidak akan menjadi teman lagi. Itu yang aku pikirkan."
Hinata tersenyum lembut pada Naruto. "Jadi, ayo bangkit bersama, Naruto-kun. Selalu melangkah ke depan dan tidak akan menarik kembali kata-kataku… itu juga jalan ninjaku." Senyum Hinata semakin merekah. Namun detik selanjutnya ia menggigit bibir bawahnya, berharap kata-katanya barusan sedikit berguna bagi Naruto.
Dan tangan Naruto terangkat, menyentuh tangan Hinata yang sedari tadi memegang pipi kanannya. Dan ketika Naruto menggenggam tangan Hinata, segalanya terasa benar.
"Hinata… arigatou…" kata Naruto. "Terima kasih sudah berada di sisiku."
\(=w=)/
Naruto memejamkan matanya sekali lagi. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis ketika kembali mengingat pemikirannya tadi.
Benar. Yang hilang di hatinya adalah Hinata. Kemana gadis itu? Apa dia sudah menemukan sebagian jiwanya? Apa dia sudah berbahagia bersama orang lain? Naruto tersenyum kecut kemudian, ia baru sadar kalau ia tidak boleh mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Bukankah dia sudah memiliki Sakura?
Pintu ruangan hokage diketuk secara perlahan, membuyarkan lamunan Naruto dan ia langsung menggerutu kesal karenanya.
"Masuk!"
Kemudian rasa kesalnya langsung menguap ketika melihat siapa yang datang. Anggota tim 8. Inuzuka Kiba, Aburame Shino dan Hyuga Hinata. Ia mengangkat sebelah tangannya, "Bagaimana misi kalian?" Ia baru ingat kalau tiga hari yang lalu ia memberikan misi pada tim 8.
"Baik-baik saja," kata Kiba sambil memutar bola matanya. "Kau lihat sendiri, kan? Tidak ada yang terluka." Yang kemudian ucapannya ditanggapi oleh gonggongan Akamaru.
Naruto mengerucutkan bibirnya sebal. "Setidaknya bersikaplah lebih sopan! Aku ini Hokage!" katanya tidak terima diperlakukan acuh tak acuh oleh Kiba.
Kiba menjulurkan lidahnya, mengejek balik. Ia kemudian menyerahkah gulungan yang sedari tadi dia pegang dan melangkah ke pintu. "Aku pulang duluan ya? Shino! Ayo!" Kiba berkata seakan mengerti isi hati Naruto.
Dan mereka berdua meninggalkan Naruto dan Hinata di ruangan itu.
"Hinata…" Naruto tersenyum lembut. Ia berdiri dari duduknya dan melangkah mendekat, menghiraukan tatapan heran yang dilemparkan Hinata padanya. "Aku merindukanmu."
Hinata mematung di tempat. Mendengar suara Naruto yang mengaku bahwa sang pemilik suara itu merindukannya rasanya… hatinya bergetar. Bukan getaran pelan, getaran yang sangat kencang, bahkan bahunya pun ikut bergetar ketika batinnya kembali mengulang perkataan Naruto.
Dan ketika Naruto memeluk Hinata, semuanya terasa benar.
End.
A/N : Haloooo~ Hahaha... Kayaknya aku pernah bilang ke salah satu orang untuk membuat sequel tentang NH OS kemarin ya? Ini Sequel-nya. Sama-sama mak-jleb kan? #dihajar-rame-rame
Sebenarnya pingin banget buat ending NaruHina, tapi teman saya bilang, "ih, gak seru kalo Happy Ending." dan kemudian saya buat ending NaruSaku #dihajar
Yah, maaf banget kalau ending tidak sesuai harapan kalian.
Akhir kata, review please?
