Title : Outside of the Dream
Disclaimer : NARUTO belongs to Masashi Kishimoto
Rate : M
Genre : Romance, crime, yaoi, gender-bender
Warning : AU, miss typos, Don't Like Don't Read!
Summary : Di balik gemerlapnya kota besar ada tempat yang gelap bahkan lebih gelap dari kegelapan itu sendiri, tempat kotor dan hina. Sebuah tempat ilegal dengan sebutan penjualan manusia. Menunjukkan wajah asli di balik topeng mereka. Hasrat yang terpendam. Di sana semua manusia bukanlah manusia.
1st Dream : Nightmare in Reality
Malam semakin larut dengan hawa dingin mulai datang menyelinap kota kecil bernama Uzushi itu. Toko-toko yang tadi dibuka telah tertutup rapat. Pintu-pintu rumah yang tadi masih terkunci rapat. Terlihat tak ada seorangpun yang masih berada di luar rumah, kecuali sebuah bayangan hitam yang masih bergerak di bawah cahaya bulan. Di sebuah lorong kecil terlihat seorang pemuda berambut pirang berjalan sendiri berteman sepi. Sekelilingnya gelap, hanya ada beberapa cahaya bohlam kecil yang remang-remang, membuat kedua matanya harus waspada pada sekelilingnya.
Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Dengan cepat dia menoleh ke belakang. Tapi tak terlihat seorangpun di sana.
Degup jantungnya terasa semakin kencang. Cukup keras hingga menimbulkan irama seperti lagu dengan beat yang menghentak jika saja ada orang yang mampu mendengarnya. Nafasnya yang tercekat perlahan kembali normal. Pemuda berkaos putih itu masih memperhatikan sekelilingnya. Perlahan-lahan dia berbalik. Dia menghela nafas berat, mencoba mengusir segala pikiran buruk yang terlintas di benaknya.
Mungkin saja ada preman, penguntit, atau perampok yang diam-diam mengikutinya. Tapi siapa yang mau merampok dari seorang pemuda yang bahkan tidak memiliki cukup uang untuk membeli makan malam untuk dirinya sendiri? Hanya orang bodoh yang melakukannya. Atau...orang yang benar-benar lebih miskin dari dirinya. Dia tidak tahu. Dan dia hanya bisa berharap semua bayangan dan pikiran buruknya itu hanyalah khayalan belaka.
Perlahan kaki jenjang berbalut celana jeans belel itu kembali melangkah.
Srak...
Baru beberapa langkah pemuda itu berjalan tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Terdengar seperti suara sol sepatu bergesekan dengan lantai di jalan itu. Jantung pemuda itu kembali berdetak dengan cepat. Instingnya membawa pemuda itu mempercepat langkah kakinya. Dan suara itu tak terdengar lagi.
Tapi dia masih merasa tidak aman. Hanya satu harapannya saat ini, sampai di rumah dengan selamat. Tapi tiba-tiba bulu kuduknya kembali merinding. Dia merasakan adanya aura seseorang atau sesuatu tengah mengikutinya. Dia merasa di balik bayangan ada sepasang mata yang mengamati gerak-geriknya dengan aura yang lebih dingin dari udara malam.
Dengan cepat pemuda itu berlari menuju sebuah rumah kecil yang terlihat usang yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berada. Rumah itu gelap, sederhana, dan terlihat kumuh dengan pagar kayunya juga sudah lapuk perlu diperbaiki. Begitu sampai di teras rumah dia bergegas membuka pintu di hadapannya. Dikuncinya rapat-rapat pintu rumahnya itu dengan nafas yang memburu.
"Haah haah haah... Yokatta...," ucap pemuda itu penuh syukur.
Kedua kakinya terasa lemas. Diapun jatuh terduduk di lantai kayunya yang reot. Tersenyum kecil sembari menatap langit-langit rumahnya yang berlubang di sana-sini. Dia merasa lega tidak terjadi hal buruk padanya.
TRANG!
Tiba-tiba lampu di rumahnya padam. Kedua mata biru itu terbelalak. Terkejut dengan kegelapan yang tiba-tiba menyelimutinya.
Pemuda itu beranjak dari tempatnya terduduk. Kedua tangan tan-nya meraba-raba dinding. Dengan hati-hati dia berjalan menuju sebuah lemari di suut ruangan. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu seperti sebuah kayu. Dia mengenali apa yang disentuhnya, lemari yang dicarinya. Dengan cepat pemuda pirang itu membuka laci-laci lemari itu, mencari lilin, senter, benda bercahaya atau apapun itu yang bisa digunakannya untuk menghadapi kegelapan. Tangannya bersentuhan dengan dua benda yang dicarinya, sebatang lilin kecil dan sekotak korek api. Tanpa ragu lagi dinyalakannya lilin kecil berdiameter sekitar 0,8 cm itu.
Floop!
Cahaya kecil lilin itu menerangi ruangan. Setidaknya sekarang dia bisa melihat jalan di depannya. Pemuda itu berjalan menuju sebuah ruangan kecil berukuran 4x4 meter. Dalam ruangan itu terlihat sebuah tempat tidur single, sebuah meja belajar, sebuah kursi kayu, dan sebuah lemari pakaian. Ruangan sederhana ini adalah kamarnya.
Sang pemuda berjalan menghampiri meja belajarnya lalu meletakkan lilin kecil itu di sana. Terdengar helaan nafas lelah keluar dari mulut mungilnya.
Kurasa aku lupa membayar listrik. Apa boleh buat, sepertinya besok aku harus meminjam uang pada Boss.
Pemuda itu berbaring di tempat tidurnya. Kedua mata sapphire-nya memandangi langit-langit kamarnya yang catnya sudah mengelupas di beberapa bagian. Lalu perlahan-lahan kedua mata biru sapphire itu terpejam. Diapun tertidur lelap dalam kamarnya tanpa menyadari adanya sepasang mata yang mengawasinya dari balik jendela.
"Kita masuk," perintah seorang pemuda pada dua lelaki besar yang berpakaian serba hitam yang berdiri di belakangnya.
Dua lelaki itu mengangguk lalu mendobrak pintu rumah itu dengan kasar. Mereka berjalan cepat menuju kamar pemuda pirang itu dengan sebuah senter di tangan mereka sebagai penerang jalan. Mendengar suara gaduh, pemuda beriris biru sapphire itu terbangun dari tidurnya. Dia beranjak dari tempat tidurnya. Tiba-tiba dua lelaki bertubuh tinggi besar masuk ke dalam kamarnya.
"A, ada apa ini? Siapa kalian? Apa mau kalian?" tanya pemuda itu betubi-tubi dengan tubuh bergetar. Jantungnya berdetak dengan kencang. Kedua matanya terbelalak. Rasanya dia ingin lari sekarang juga.
"Kau tidak perlu tahu," jawab seorang pemuda.
Pemuda pirang itu mengalihkan kedua matanya pada sosok pemuda yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Salahkan cahaya lilin itu, dia tidak bisa melihat seperti apa wajah pemuda yang seenaknya masuk ke dalam rumahnya tanpa seizinnya. Terlalu gelap untuk melihat wajahnya.
DUK!
Tiba-tiba salah seorang lelaki besar itu memukul tengkuk belakang kepala pemuda pirang itu. Tubuhnya terhuyung ke depan, untunglah dengan sigap lelaki besar itu menangkap tubuhnya. Dalam sekejap pemuda itu jatuh tak sadarkan diri.
"Kerja bagus. Bawa dia dan kita pergi dari tempat kumuh ini," perintah pemuda itu dengan sombongnya.
"Baik, Boss!" jawab dua lelaki besar itu.
Pemuda itu berjalan cepat keluar dari rumah sederhana yang menurutnya kumuh itu. Sedangkan dua lelaki berbadan tinggi besar itu mengikuti langkahnya dari belakang dengan setia. Sebuah van hitam terparkir di depan rumah itu. Mereka memasukan pemuda pirang itu ke dalam van sebelum kendaraan itu meluncur di jalan raya.
.
.
.
Tap. Tap. Tap.
Langkah-langkah kaki terdengar di sepanjang lorong gelap. Bersembunyi dalam bayangan gumpalan awan kelabu yang menutupi bulan purnama. Wajah-wajah mereka tak terlihat. Tapi dari gaun indah dan tuxedo mewah yang mereka kenakan, siapapun sudah bisa menebak status sosial mereka. Dengan santai mereka berjalan menuju sebuah basement di bawah salah satu gedung pencakar langit di kota Konoha. Setangkai bunga putih cantik yang berbentuk seperti terompet tergenggam erat di tangan mereka. Moonflower, bunga yang dikenal sebagai bahan dari ramuan cinta.
Dua orang bodyguard terlihat berjaga di depan pintu masuk. Tubuh mereka tinggi-besar, terasa mengintimidasi siapapun yang ada di depan mereka.
"Perlihatkan undangannya," ucap salah seorang dari mereka.
Seorang pemuda berkulit pucat tersenyum kecil mendengarnya. Lalu dia mengeluarkan setangkai moonflower dari balik jas hitamnya. Dua bodyguard itu tersenyum kecil dan mempersilahkannya masuk. Begitu sampai di dalam, sebuah koridor panjang dengan karpet merah terhampar di depannya.
"Sepertinya mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya," ucap seorang pria yang tiba-tiba datang menghampirinya. "Kalau atasan mereka tahu pelanggannya diperlakukan seperti ini, mungkin mereka akan langsung kehilangan pekerjaan mereka."
"Tak apa. Mereka hanya menjalankan prosedur," sahut pemuda itu datar.
Dua lelaki itu berjalan santai menuju ruang pesta.
Ruangan itu gelap, tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Hanya terlihat bayang-bayang para pria dan wanita dengan usia yang bervariasi tengah duduk di kursi mereka. Walau berbeda, tapi alasan mereka semua berada di sana adalah sama. Para pelayan membagikan gelas-gelas minuman pada para tamu undangan. Aroma wine, dan minuman beralkohol lainnya terhidang di atas meja merekal. Dan mereka tersenyum ketika lampu di atas panggung melingkar berdiameter sekitar 2 meter itu menyala.
Puluhan pasang mata terfokus ke arah panggung kecil itu. Di sana terlihat seorang pemuda yang usianya tak lebih dari 16 tahun.
Pemuda bermahkota blonde indah itu membuka kedua matanya. Tengkuknya terasa sakit seperti baru kena pukulan dari benda tumpul. Dan di saat yang sama kepalanya bagian depan terasa berat. Sakit. Seperti diremas-remas dengan kasar dari bagian dalam. Kedua iris biru sapphire itu mencoba memandang ke segala penjuru. Tapi pandangannya tidak jelas, dia berkunang-kunang. Ruangan tempatnya berada gelap gulita membuatnya tidak tahu dimana keberadaannya saat ini. Hanya menyisakan sebuah spotlight yang tertuju ke arahnya, tepat di atas kepalanya.
Kedua sapphire itu terbelalak ketika menyadari keadaan tubuhnya saat ini. Tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh mulus berkulit tan itu. Dia telanjang! Dan entah kenapa dia merasa rasa panas menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dia mencoba menggerakkan kedua tangan maupun kedua kakinya. Tapi kedua tangannya terangkat ke atas dengan dua borgol di masing-masing pergelangan tangannya yang terhubung rantai. Sedangkan kedua kakinya terbuka lebar, dan dalam keadaan yang tak jauh beda.
Dada indah berkulit tan miliknya terekspose, dua nipple merah jambu itu terlihat, dan bahkan benda yang tergantung di antara dua pahanya itu tak dapat ditutupinya lagi. Setiap inchi dari seluruh tubuh mulusnya dapat dilihat siapapun. Wajah pemuda itu memerah. Walau kesadarannya belum kembali sepenuhnya tapi pemuda itu tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Tempat seperti ini adalah tempat terkotor, tempat ilegal, yakni tempat penjualan manusia.
Tap...tap...tap...
Terdengar suara langkah kaki seseorang. Pemuda itu menoleh ke arah suara itu berasal. Sepasang ujung sepatu pantofel terlihat, tapi lagi-lagi keadaan tak mendukungnya untuk melihat wajah sosok pemilik sepasang sepatu itu.
"Saatnya pertunjukkan utama kita malam ini!" ujar sang pembawa acara dengan menggunakan microphone-nya. "Kali ini kami mendapat 'barang' langka yang sulit didapat."
Terdengar bisik-bisik dari berbagai macam tempat di sana-sini. Pemuda itu menajamkan pendengarannya, dia menyadari suara-suara itu suara laki-laki dan perempuan. Mereka menatap seluruh tubuh telanjangnya. Entah apa yang mereka pikirkan ketika melihat lekukan tubuh indah itu, pemuda itu tak ingin mengetahuinya dan tak ingin memikirkannya.
Pemuda pirang itu mencoba memalingkan wajahnya ke samping kanan. Dia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia tak menyangka hidupnya akan berakhir di tempat seperti ini. Tubuhnya dipertontonkan dan dirinya akan dijual pada orang yang bahkan tak dikenalnya. Andai dia bisa, dia ingin mati saja saat ini juga.
"Lihatlah! Usianya sekitar 17 tahun, masih remaja. Wajahnya imut dan begitu menggoda. Ada tiga garis tipis di masing-masing pipinya, membuatnya terlihat semakin manis. Kulitnya halus mulus tanpa luka sedikitpun, warna kulitnya tan eksotis, kedua matanya biru sapphire yang indah. Dan yang terpenting...lihatlah! Manis bukan? Alat kelaminnya belum pernah 'tersentuh'. Dia masih fresh. Anda bisa mencobanya jika tidak percaya," jelas sang pembawa acara.
Terdengar suara bisik-bisik dari arah para tamu undangan. Beberapa wanita menjilat bibir mereka yang terpoles lipstik merah, tergoda dengan pemandangan indah di hadapan mereka. Dan beberapa pria merasakan kejantanan mereka menegang kala menatap sosok tubuh polos pemuda itu. Mereka mulai membayangkan hal-hal nakal yang bisa mereka lakukan pada pemuda itu, jika mereka berhasil mendapatkannya.
"Anda bisa bermain dengannya, atau mengambil organ dalamnya, atau hal nakal lainnya. Itu akan menjadi hak Anda yang membelinya dengan penawaran tertinggi. Siapa yang berminat? Kita buka dengan penawaran terendah 35 juta Yen!" seru sang pembawa acara.
"40 juta Yen!" tawar seseorang.
"Ada yang berani lebih tinggi?"
"50 juta Yen!" sahut laki-laki lainnya.
"70 juta Yen!" timpal seorang wanita.
"100 juta Yen!" tawar laki-laki yang tadi menawar 40 juta Yen. Merasa tak mau kalah.
"Ada yang berani menawar lebih tinggi lagi dari 100 juta Yen?" tanya sang pembawa acara dengan santainya.
Harga yang mereka tawarkan semakin tinggi saja. Tak ada yang mau mengalah di antara para penawar itu. Sepertinya mereka sangat berminat dengan pemuda pirang itu sampai membuat mereka harus mengeluarkan jutaan Yen demi mendapatkan apa yang mereka inginkan itu. Sementara pemuda blonde itu hanya bisa mendengar suara-suara itu dalam diam. Sekuat tenaga dia berusaha menulikan kedua telinganya tapi percuma. Semakin tidak ingin mendengar suara itu justru semakin terdengar.
"220 juta Yen!" sahut seorang pemuda tiba-tiba.
"350 juta Yen!" timpal laki-laki lain tak mau kalah.
"400 juta Yen!" seru penawar yang lainnya.
"440 juta Yen!"
Tiba-tiba semua orang yang berada di ruangan itu terdiam. Harga yang ditawarkan terlalu tinggi untuk mereka. Walau pemuda itu aset berharga, tapi tidakkah harga itu terlalu mahal untuknya? Itulah yang mereka pikirkan.
"440 juta Yen pertama. 440 juta Yen kedua. Tidak ada yang berani menawar lebih tinggi?" tanya sang pembawa acara mencoba meramaikan suasana.
"1 milyar Yen!" teriak seorang pemuda tiba-tiba.
Kedua mata sang pembawa acara itu terbelalak mendengar teriakan itu. Tak disangka ada harga yang lebih tinggi lagi. Dia menyeringai kecil.
"TERJUAL!"
1 milyar Yen? Siapa yang berani membeli dengan harga setinggi itu? Pikir sang pembawa acara.
Sepasang kaki jenjang bercelana hitam berjalan menuju ke atas panggung kecil dimana pemuda pirang itu berada. Pemuda bertopi fedora hitam itu menatapnya dengan tatapan angkuh. Dia berhenti tepat di bawah sinar spotlight yang tertuju pada pemuda pirang itu. Wajah pemuda yang menghampirinya itu tak dapat dilihatnya dengan jelas.
"Mulai sekarang, kau adalah milikku." gumam pemuda itu lirih tapi masih bisa terdengar jelas di kedua telinga pemuda pirang itu.
Tiba-tiba pemuda pirang itu kehilangan kesadarannya. Pemuda bertopi fedora itu menyambar tirai merah marun yang terpasang di belakang pemuda pirang itu. Dengan sigap ditutupinya tubuh pemuda pirang itu dengan tirai merah marun itu. Lalu menoleh ke arah sang pembawa acara.
"Hei, kau," panggil sang pemuda. "Cepat lepas borgolnya. Jika tidak, aku tidak segan-segan memporak-porandakan tempat kerjamu ini."
DEG!
Sang pembawa acara terdiam mendengarnya.
"Ba, baik. Kami akan segera membuka borgolnya. Maafkan kami."
"Hn."
.
.
.
TBC
Ciaossu!
Apa kabar semuanya? Aku Dark, salam kenal.
Mungkin waktu baca chapter ini ada yang teringat dengan anime/manga Okane ga Nai (No Money).
Ya, cerita chapter 1 ini sedikit terinpirasi dari episode 1 Okane ga Nai. Tapi bukan berarti keseluruhan ceritanya sama dengan anime itu. Cuma bagian pelelangan manusia itu saja yang mirip.
Buat para readers sekalian, jangan lupa review ya.
Jaa..
18/09/2013
