This fanfiction tells a story about six years awaiting of a little girl called Sakura to a man who used to work as part of assassinate troops in the city of Konoha. Gangster, mafia, familia, and yakuza are in.
Naruto © Kishimoto Masasshi
Six to Eighteen
by Leon
.
.
.
[prologue]
.
.
.
23 Maret.
Hari itu adalah hari di mana dokter Tsunade akan membelikan kue, menghiasi sebuah kamar kecil yang sering digunakannya untuk merawat pasien-pasien dalam klinik miliknya dengan balon dan kertas, lalu kami meniup lilin-lilin kecil.
Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke-sepuluh.
Aku tidak pernah tahu mengapa dokter Tsunade memilih tanggal itu sebagai hari peringatan di mana seseorang yang semestinya kupanggil ibu melahirkanku ke dunia. Sejauh yang masih teringat oleh memoriku sebagai bocah cilik, aku hanya paham bagaimana tetap bertahan hidup sebagai gelandangan di jalanan kota ini. Tak ada balon, kue ataupun kehangatan bersama mereka yang kau sayangi. Tidak hingga di suatu malam saat kedua kakiku dipecuti oleh sabuk milik lelaki jahat di luar sana membuatku terjatuh pingsan tepat di depan sebuah pintu bertuliskan Tsunade's Clinic. Semenjak hari itu—ah mungkin saja hari itu adalah tanggal 23 Maret. Hari di mana dokter Tsunade menemukanku. Kini, aku bukan lagi Sakura yang hidup dengan mengais sampah. Aku memiliki tugas besar di klinik dokter baik hati ini. Ia mengajariku banyak hal tentang penyakit dan cara merawatnya walau hanya sebagian dasarnya saja. Itu cukup membuatku merasa berguna di sini.
Hari itu adalah dua tahun yang lalu. Aku telah menjadi bagian dari klinik kecil ini untuk dua tahun sudah.
Di setiap malam penanggalan 23 Maret, kue akan dihias dengan lilin-lilin sejumlah usiaku saat ini. Dokter Tsunade terlihat sibuk di dapur dan aku menikmati pemandangan dari kerlipan sinar api di sumbu si lilin. Memain-mainkan kakiku dan tersenyum senang. Berdehem kecil seperti sedang menyanyikan sebuah lagu sakral di tiap perayaan ulang tahun. Rambut pendekku digerai namun terlihat berbeda dengan bandana yang kujahit dengan tanganku sendiri—dari sisa-sisa kain perca yang kudapatkan. Akupun mengenakan pakaian baru. Bukan lagi dress selutut putih yang sudah kucel oleh bau obat dan tetesan cairan infus.
Hanya, malam ini cukup berbeda dengan malam-malam di tahun-tahun sebelumnya. Hujan di awal musim semi merupakan pertanda buruk. Mengingatkanku di malam dua tahun lalu saat aku berusaha untuk kembali hidup dengan menyeret kedua kakiku. Petir terkadang membuat dentum di dalam dadaku berubah cepat. Aku membencinya.
Tiga puluh menit berlalu dan dokter Tsunade sudah terlalu lama hanya untuk mengambil sepasang piring dan cangkir untuk kami menikmati teh dan kue tart ini. Kakiku menapak ke dasar lantai dan melangkah menuju arah dapur. Namun, sekonyong-konyong petir itu menyambar jauh lebih keras dan menyeramkan. Sontak, yang kulakukan hanya berteriak sembari berjongkok dan menutup kuping sekuat-kuatnya. Baru kusadari jika sambaran petir tadi menyebabkan listrik di gedung berlantai tiga ini mati total. Sejujurnya, aku sudah terbiasa dengan kegelapan meski api di lilin-lilin kue ikut-ikutan padam. Setelah mengatur nafasku, aku melangkah lagi.
Lampu-lampu kembali bersinar.
Yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang tak kupahami dalam hidupku. Dokter Tsunade berdiri di penghujung pintu masuk gedung kliniknya ini. Pintu itu terbuka lebar seakan-akan ia berniat ingin meloloskan air hujan yang deras masuk ke dalamnya. Tanpa berpikir panjang, aku berbelok arah. Mengikuti sumber cahaya kecil akibat kilatan petir. Deru suara hujan oleh angin merusak panca inderaku sesaat. Aku mengekor dan membuntuti. Dokter Tsunade melihatku yang bersembunyi di balik jas putih yang dikenakannya. Ia tampak seperti sedang berbicara dengan seseorang di depan pintu.
Kala itu, warna hitam selalu tampak jelas jika dilihat di malam hari. Mataku justru menangkap bias putih keperakan seperti salju yang turun dari langit. Seorang lelaki berteriak-teriak ke arah dokter Tsunade dan aku tak sempat menangkap celotehannya. Di punggungnya ada sesosok lain yang tampak tersungkur tak sadarkan diri. Warna merah menetes di sela-sela rambutnya.
"Ia… berdarah. Ia terluka parah."
Aku berbisik. Kakiku yang lemas maju beberapa langkah. Berusaha untuk mendapatkan tanda-tanda kehidupan di balik warna putih perak itu.
"I-ia—Ia masih hidup!" pekikku kemudian. "Dokter Tsunade! Orang ini masih hidup! Kita harus segera menolongnya!"
Aku tak bisa menilai raut ekspresi yang tampak di wajah dokter Tsunade saat aku memekik kesetanan. Refleks, hal yang terjadi di luar kesadaranku sendiri saat seseorang yang terluka parah datang mengemis kesembuhan pada kami. Namun, dokter Tsunade hanya mengernyit. Bukan respon yang kerapkali kudapatkan di wajahnya. Ia tampak—enggan.
"Huh. Baiklah. Tenzou, bawa bocah itu masuk."
Menit-menit setelahnya adalah situasi yang sangat krusial. Aku berlari dan segera menyiapkan bed, tiang infus dan peralatan medikasi emergensi. Tak lupa aku mengambil dress putih kumal itu lagi. Tampaknya, inilah diriku yang sesungguhnya. Aku tersenyum pahit saat melihat pakaian ini. Bandanaku terlepas dan kupakai untuk mengikat rambutku yang berjatuhan. Lelaki lain yang menggopoh si pasien menurunkannya ke atas pembaringan. Selagi menunggu dokter Tsunade, aku menggunting pakaian yang masih menutupi sebagian tubuhnya.
Darah. Mewarnai seluruh pakaiannya. Wajahnya ikut terlumuri substansi berbau amis itu. Darah siapa, mungkin akan segera diketahui setelah aku menginspeksi keseluruhan luka di tubuhnya. Aku tidak berbicara selama bekerja walau ingin sekali rasanya menanyakan banyak hal tentang lelaki asing ini. Tentang luka-lukanya—yang sebagian besar adalah tebasan belati atau pisau. Di perutnya. Darah masih bercucuran. Spontan, aku mencari akses vena-nya. Terasa lemah dan sulit untuk dipunksi. Aku panik.
"Minggir Sakura. Biar aku yang kerjakan sisanya. Kau siapkan ruang steril. Kita akan mengoperasi laki-laki ini. Kemungkinan besar organ internalnya mengalami kerusakan—lien kurasa. Ia bisa mati jika perdarahan di dalam tidak dihentikan."
Dokter Tsunade muncul di belakangku. Ia mengambil alih bagian yang tampak sulit untuk kuhadapi. Aku segera mematuhi titahnya. Membungkus tubuhku dengan pakaian steril lalu memasuki ruangan operasi mini di lantai dua. Menyiapkan hal-hal penting secepat mungkin. Mengingat-ingat kembali dan mengulang-ulanginya hingga tak ada yang terlupakan. Aku pun menunggu hingga denting elevator berbunyi—menandakan jika pasien akan segera dimasukkan dan dikerja.
Bukan hal yang istimewa bisa mendapati kasus-kasus semacam ini di kota Konoha. Kota yang sebagian besar dikuasai oleh familia para gangster atau yakuza. Penegak hukum justru ketakutan oleh kehadiran mereka dan peraturan di kota ini adalah milik para familia. Kau bisa menemukan wanita-wanita yang dibuang harga dirinya seperti onggokan sampah di sudut-sudut lorong dan gang. Kehormatannya seperti tak ada lagi nilainya. Demi uang dan sebotol susu untuk bayi yang lahir dari hasil konsepsi terlarang mereka. Aku merasa beruntung.
Mataku tak pernah luput dari warna putih keperakan milik lelaki muda ini. Bahkan, aku melewati tanggal 23 Maret di tahun ini tanpa istirahat yang cukup.
Hujan telah reda dan telingaku menangkap suara tetesan lain. Mungkin cairan infus dan darah yang bersatu mengisi rongga-rongga kehidupannya. Operasi kali ini berjalan alot hingga fajar menyingsing.
"Tidurlah Sakura. Kau pasti sangat letih."
Biasanya, aku akan memarahi dokter Tsunade jika ia lagi-lagi menyalakan pemantik di atas rokoknya. Benda itu akan membunuhnya perlahan-lahan. Namun, aku sadar. Ia butuh nikotin selepas pekerjaan berat ini.
"Aku juga akan ambruk sebentar lagi." ucapnya yang diakhiri dengan satu kepulan asap dari bibirnya yang merah. "Dasar. Bahkan setelah ini aku tidak dibayar sama sekali. Hahh."
Senyum letih tersungging di bibirku begitu mendengar keluh kesal dokter Tsunade. Tetapi, aku selalu tahu jika tak ada dokter berhati mulia selain dokter Tsunade di kota Konoha yang rusak ini.
Mataku mencoba beristirahat, namun kepalaku masih menanyakan banyak hal. Bahkan, di samping lelaki asing ini, kurasa tak masalah untuk sekadar bersandar. Aku hanya akan… terlelap sebentar.
…
…
…
Jika ini adalah mimpi, mungkin aku sedang menggenggam sebuah tangan yang sangat hangat.
Lilin-lilin beserta kue yang semalam terabaikan terlihat seperti bersinar amat terang.
…
…
…
Mereka berkata jika percik-percik keanehan yang meminta untuk terbang bebas adalah hal pertama saat kau jatuh cinta. Tidak. Aku masih sepuluh tahun dan tak paham apapun soal itu. Beberapa pasien dokter Tsunade merupakan korban percintaan yang gagal. Ah, bukan romansa picisan seperti patah hati lalu depresi. Lebih dari itu. Kota Konoha memberi kesan garang terhadap hal-hal ini. Jika cinta yang dibicarakan oleh mereka, maka itu artinya mereka adalah korban pelecehan dan kekerasan yang mengatasnamakan cinta sesaat. Oleh karena itu, cinta seperti apa yang dipahami oleh para manusia yang hidup di kota ini—aku tidak mengerti. Kata dokter Tsunade, waktu yang akan menjawab pertanyaan itu untukku.
Tidak butuh seminggu untuk lelaki asing yang setiap malam tertidur lelap di sampingku ini untuk bangkit secara magis. Aku menjaganya setiap jam dan memastikan jumlah cairan infus dan obatnya menetes tepat sesuai kebutuhan tubuhnya. Padahal lien-nya sudah dicopot dan ia terlihat sudah sehat bugar. Aku curiga dia bukan manusia.
"Kyaaa!"
Tumpukan kain bersih yang menutupi arah pandangku ke depan bertanggung jawab saat samar-samar pengelihatanku menangkap sosok aneh yang tengah berdiri di samping jendela ruang perawatan. Kupikir itu hantu. Tetapi, ini masih siang. Sialnya, aku harus melipat kembali kain-kain ini.
Sebelum dokter Tsunade menegur hasil perbuatanku ini, aku cepat-cepat mengumpulkan kembali kain-kain itu dan melipatnya satu per satu.
"Eh?"
Dua buah tangan asing mengikuti gerak-gerik yang kulakukan. Suara derik roda reot dari tiang infusnya membuatku tertegun. Ia duduk berjongkok, terdiam lalu mengambil kain. Aku mengamatinya sesaat hingga kesadaran menarikku penuh.
"Ka-kau seharusnya tetap beristirahat di atas kasur. Tidak usah membantuku. Dan kau belum diperkenankan duduk seperti itu." ucapku bernada perintah. Tetapi, ia tidak menggubrisku dan tetap menekuni pekerjaannya. Bahkan, tak berbicara sepatah katapun. "Hei, aku bicara padamu."
"Kakashi."
"Huh?"
"Namaku. Kau?"
"E-eto… Sa-Sakura."
Lelaki itu mengangkat wajahnya. Tersenyum sayu padaku. "Terima kasih, Sakura. Berkat kau, aku masih bisa hidup."
Alisku meninggi. Terkejut dengan hal yang barusan dikatakannya padaku. Aku tidak mengenal lelaki ini. Satu hal yang cukup jelas adalah ia mungkin berusia jauh lebih tua dariku. Mungkin berbeda limabelas atau enambelas tahun. Semestinya kupanggil dia dengan kata paman, tetapi dokter Tsunade menyuruhku untuk tidak mengakrabkan diri dengan orang ini. Ia tahu orang ini cukup berbahaya dan ingin melindungiku. Bukti keengganan yang muncul sesaat setelah aku meneriakkan ingin menolong orang ini di awal pertemuan kami. Refleks, aku bergerak mundur perlahan begitu realita ini menghimpitku. Dan tanpa sadar, aku sudah berlari meninggalkannya. Ia tidak mengejarku.
Nafasku sengal. Aku berlari sejauh yang bisa kugapai. Bersembunyi di bawah kloset kamar di lantai tiga dan menguncinya. Membiarkan kegelapan menaungiku sementara yang kulakukan hanya memeluk kaki dan memaksa otakku untuk melupakan memoar-memoar buruk yang terjadi dua tahun sebelum aku kemari.
Perasaan aneh ini membuatku kebingungan. Dan, aku membencinya. Lebih dari auman petir.
.
.
.
[to be continued]
.
.
.
A/N : Making something for your late birthday is something. Haha. Rather than asking, I might wanna give. Another present for Amaya.
