Bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan.

Shikamaru sudah sering mendengar tentang ini sebelumnya. Ia juga sempat beberapa kali tak sengaja membacanya di artikel majalah koleksi Naruto—teman kuliahnya yang hobi mendramatisir suasana.

Hanya saja, Shikamaru tidak tahu akan semenyesakkan ini rasanya.

Hingga tak mampu dicerna oleh otak geniusnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

(IN)FINITE

Cinta; masihkah tak berbatas meski tak berbalas?

Naruto milik Masashi Kishimoto.
ditulis murni untuk hiburan dan fangirling-an, tidak mengambil keuntungan material apa pun

For ShikaIno Valentine Event 2016
Hanakotoba — Say It With Flower!

Keyword: SHADOW
Prompt: Tulip kuning ― bertepuk sebelah tangan

Mainstream! OOC! WB's attack!
Semoga tidak menyalahi tema, keyword, judul, dan prompt.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Konon, bunga tulip kuning adalah lambang persahabatan.

Naruto secara tidak sengaja memberi tahu soal ini padanya. Pemuda pirang itu tiba-tiba saja muncul menerobos kamar Shikamaru dan menunjukkan ponselnya dengan ekspresi pucat pasi layaknya zombie.

"Gawat! Sakura mengirimiku foto ini! Aku sudah tidak punya harapan, Shika! Tidak punya harapan! Ya Tuhan! Aku ingin bunuh diri saja!"

Shikamaru yang saat itu baru menyelesaikan paper ujian kuliahnya hanya melirik sekilas pada layar ponsel. Ia menguap malas. "Kau berlebihan, Naruto. Dia hanya mengirimimu foto bunga. Bukan sesuatu yang buruk lainnya."

Akan tetapi sial, Shikamaru sepertinya salah bicara. Alih-alih terhibur, Naruto justru terbelalak horor dan mengguncang-guncang tubuhnya dengan kalap. "Kukira kau genius, Brengsek! Kau tidak tahu foto bunga apa yang dia kirimkan padaku? Bagaimana bisa kaubilang itu bukan pertanda buruk?"

Alis hitam Shikamaru mengernyit tipis. "Bukankah itu hanya bunga tulip?"

"Bukan sembarang tulip!" sambar Naruto. "Ini tulip kuning! Lambang persahabatan yang sangat erat! Dan kalau Sakura mengirimiku tulip kuning setelah aku mengajaknya berkencan di hari valentine besok, artinya dia hanya menganggapku sebagai sahabat!"

Sahabat? Tulip kuning?

Tunggu sebentar.

Shikamaru tercekat di kursinya.

.

.

.

.

.

.

.

Tulip kuning adalah lambang persahabatan yang sangat erat.

Kalimat ini membuat Shikamaru seketika lupa berpikir jernih. Ia juga melupakan segala pemikiran tenangnya dan tidak menimpali Naruto dengan kalimat logis seperti biasa. Seharusnya mudah saja baginya untuk berkata, "Dia hanya mengirimu foto, Naruto. Bukan bunga sungguhan."

Akan tetapi tidak.

Logika Shikamaru sudah terlanjur berhenti.

Ia tercekat kala teringat kejadian satu tahun lalu saat hari kelulusan SMA-nya. Mana mungkin Shikamaru bisa melupakannya? Bunga berbentuk kuncup warna kuning yang diterimanya dari sosok yang sangat berharga. Ia masih sangat ingat dan berharap ingatannya salah.

Namun sayang, selembar foto telah menjadi bukti nyata.

.

.

.

.

.

.

.

Meski sempat terkejut, mulanya Shikamaru masih tidak ingin percaya. Namun keterkejutan yang berangsur pulih telah mengembalikan logika geniusnya untuk mulai berpikir kritis. Kata-kata Naruto soal tulip kuning bisa saja tidak benar. Mungkin temannya itu hanya terlalu panik.

Ini sudah akhir Januari.

Sebentar lagi kampus mereka akan libur panjang dan mereka bisa pulang ke Jepang setelah satu tahun di negara orang. Naruto sudah menanti-nantikan saat ini sejak lama. Ia berencana mengajak kencan gadis pujaannya saat valentine nanti. Wajar jika Naruto mudah berprasangka saat mendapatkan balasan foto seperti itu.

Ya, bisa saja Naruto salah.

Berusaha menghibur diri, Shikamaru berniat mencari tahu sendiri. Ia yang tadinya tidak begitu peduli soal tanaman mengingat kuliahnya di jurusan manajemen bisnis, kinimulai berburu berbagai jurnal bahasa bunga yang bisa ditemukannya di perpustakaan dan di internet.

Namun kemudian lidahnya terasa kelu. Semua sumber referensi yang ditemukannya menyatakan hal yang kurang lebih sama.

Tulip kuning adalah lambang persahabatan.

Sesuatu terasa menghantam dadanya. Tanpa diminta, ingatan tentang hari itu terputar ulang dalam benaknya.

.

.

.

.

.

.

.

Mereka sangat dekat.

Tumbuh besar bersama sedari bayi membuat Shikamaru hafal apa saja yang disukai dan dibenci sosok itu. Seperti apa reaksinya, bagaimana ekspresinya, apa saja pendapat dan pemikirannya, bahkan berapa ukuran sepatu dan pakaiannya pun Shikamaru hafal semuanya.

Ia merasa sudah sangat mengenal sosok cantik bernama Yamanaka Ino. Dan bagi Shikamaru, tak ada yang lebih mengenal dirinya pula selain gadis pirang itu.

Mereka sudah sangat saling kenal―selain karena ayah mereka yang bersahabat dekat. Bertahun-tahun lamanya Shikamaru merasa nyaman dengan hubungan mereka yang demikian. Namun saat ini, ia baru sadar jika kenyamanannya itu kesalahan fatal.

Ia terlalu nyaman hingga merasa tak perlu repot-repot mengambil langkah. Ia terlalu nyaman hingga tak memedulikan hal-hal semacam status atau pengakuan. Ia terlalu nyaman bahkan semenjak ia telah menyadari seberapa berharga sosok Yamanaka Ino di matanya.

Pun saat menjelang kelulusan SMA dan ia mendapat penawaran meneruskan pendidikan kuliahnya di Harvard. Ketika itu, yang ada dalam benak Shikamaru tidak banyak. Apa langit di sana menyenangkan? Apa awan-awan di sana enak dipandang? Apa di sana masih akan ada banyak hal merepotkan?

Shikamaru ingat reaksi Ino kala mendengar gerutuannya. Gadis itu tertawa merdu lalu menepuk-nepuk ganas pundaknya. Jangan berwajah suram begitu, Shikaa.

Ia pikir, seharusnya ada yang berbeda saat keesokan harinya Ino datang ke rumahnya dan membawakan rangkaian bunga. Ini bunga favoritku. Semoga bisa mengiburmu ya. Semangat dan selamat untuk beasiswamu! Awas kalau kau melupakan teman cantikmu!

Betapa Shikamaru ingin memaki kebodohan dirinya yang saat itu justru merasa senang. Andai ia tahu lebih awal arti bunga berkuncup kuning yang diberikan Ino.

.

.

.

.

.

.

.

Pria tegap itu merapatkan jaket tebalnya, menepis bayang-bayang kusut yang menghantuinya sejak lima tahun lalu. Mata hitamnya terpejam sebentar sebelum kembali terbuka.

Awal Februari yang tak menyenangkan di negeri sendiri.

Entah angin apa yang menggerakkan kakinya untuk mampir ke salah satu toko bunga dalam perjalanan pulangnya menuju rumah seusai dari kantor. Dan ada angin apa pula yang membuatnya berlama-lama terpaku di depan deretan bunga tulip.

Toko bunga dan toko cokelat memang selalu ramai menjelang hari valentine. Tak terhitung berapa kotak cokelat dan tangkai bunga yang terbeli di musim seperti ini. Yang akan diberikan pada sosok-sosok tersayang dalam hidup mereka.

Shikamaru menggeleng lagi lebih gusar. Selalu begini setiap kali netra gelapnya memaku bunga berkuncup kuning tersebut.

Normalnya, bunga tulip memang hanya akan mekar di musim semi. Namun beberapa toko dengan kecanggihan mereka mampu menyediakan bunga segala musim. Tentu saja, harganya juga sebanding.

Tapi toh, sedari awal Shikamaru tidak berniat membeli. Sungguh lucu jika hatinya masih selalu tersangkut di tempat ini.

Semenjak ia tahu, ia tak pernah berani bertatap muka dengan Ino. Ia bahkan perlahan-lahan mulai memutus kontak dengan gadis pirang itu. Prahara batin telah melumpuhkan logikanya.

Tidak, ia tidak ingin mendengar langsung tentang apa pun. Ia tidak ingin mendengar langsung satu kejelasan yang memusnahkan harapannya dalam sekejap.

Keluarga Yamanaka sudah pindah kota.

Shikamaru mengetahui berita itu dari ayahnya saat dirinya masih disibukkan dengan kelas matrikulasi di kampusnya. Mungkin lebih baik begitu, pikirnya.

Namun kenyataannya, tidak ada yang membaik. Perasaannya tidak kunjung membaik. Jiwa dan batinnya sempurna tersiksa.

Ia mengalihkan pandang ke luar jendela toko. Salju turun semakin deras dan Shikamaru merasa hatinya kian membeku. Musim dingin kali ini terasa seratus kali lebih dingin dibanding tahun-tahun sebelumnya―bagi tubuh, juga jiwanya.

Pemuda itu menatap bayangan gelap di bawah kakinya. Mungkin, selama ini ia memang hanya sebatas bayangan. Hidup di dalam angan-angan mengejar sang pemilik cahaya.

Benarkah?

Tapi setidaknya ia bisa memastikan. Cinta tak mengenal batas. Meski tahu tak berbalas.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, lima tahun, hingga bertahun-tahun ke depan, ia memastikan perasaan ini akan tetap sama. Selalu sama, sampai ia tidak mampu lagi menghitungnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

AN:

Omaygat webe ini betul-betul menyiksakuuuuuh :'(

I know it's kinda weird. Tapi semoga masih bisa dinikmati meski penuh kejanggalan dan pemaksaan di sana-sini xD

Happy SIVE 2016! Long live ShikaIno! :*

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Menyukai bunga ini?"

Shikamaru tersentak dari lamunannya. Ia menolehkan kepala dan menemukan sosok lelaki paruh baya―yang sepertinya pemilik toko bunga tersebut—berdiri tak jauh darinya.

"Tulip memang selalu indah," ujar pria tersebut seraya mengulurkan tangannya menyentuh kotak kaca. "Tidak begitu populer di Jepang, tapi anakku juga menyukainya."

Shikamaru menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Ia memaksa senyum dan mengiyakan. "Ya, tulip memang indah," ucapnya rendah.

"Dulu, ada gadis pirang yang rutin datang kemari."

Huh?

"Kelihatannya dia juga pecinta tulip, sama sepertimu. Dia sering terlihat termenung di antara deretan tulip putih."

Darah Shikamaru berdesir. Tanpa bisa ditahan, sosok pirang cantik muncul begitu saja di kepalanya. Ia bergeleng getir sebelum khayalannya berkembang semakin jauh. Namun sial, sel abu-abu di otaknya justru semakin kuat menampilkan figur tersebut.

Yamanaka Ino memang menyukai bunga.

"Dia cantik dan mudah sekali tersenyum," lelaki tua itu berkata lagi mengenang sosok pengunjung rutinnya.

Ya, Ino sangat cantik dan suka tersenyum.

"Dia juga gemar menguncir rambut panjangnya. Ah! Kunciran satu, sama sepertimu."

Ino memang sejak dulu gemar menguncir rambutnya jadi ekor ku—sebentar. Jantung Shikamaru mendadak berdetak kencang. Tidak mungkin.

"Mata birunya indah sekali. Seperti langit cerah di musim panas."

Shikamaru menoleh pada pemilik toko bunga tersebut dengan dada bertalu. Ia menyadari, selama ini dirinya hanya berspekulasi. Mungkin benar jika ia terlalu pengecut dan terlalu takut mendengar kenyataan secara langsung. Tapi terus-menerus dalam prasangka tak pernah memberinya kelegaan.

Lantas kenapa ia tidak memastikan?

"Dia benar-benar seperti dewi bunga," sang pemilik toko bergumam lagi. Ekspresi kekaguman tercetak jelas di wajahnya saat membicarakan sosok tersebut.

Kali ini Shikamaru tidak menahan diri.

"Apa dia pernah mengenalkan dirinya?" Shikamaru bisa mendengar getar samar pada suaranya. Namun ia sudah tak bisa berhenti. "Paman, apa dia pernah mengatakan sesuatu tentang namanya?"

Lelaki paruh baya di depannya sedikit terkejut dengan reaksi Shikamaru yang tiba-tiba. Ia mengerutkan kening sebentar. "Aaah, kalau tidak salah ... ."

.

.

.

END

Cinta; masih (akan selalu) tak berbatas meski (kelihatannya) tak berbalas.

Next: tulip putih — sorry