DISCLAIMER :
Togashiro-sensei
PAIRING :
KuroPikaLeo, one sided LeoPonzu
SUMMARY :
In our modern society that preaches to freedom, equality and enlightened thinking, are we really that free, equal and open minded?
WARNING :
AU, OOC, FemKura, based on dorama (my favorite one, I'll tell you the title at the last chapter, so pleaseeeee shut up for you who already knew == )
A/N :
Berhubung dua fic multichapter aku akan segera tamat, kurasa tak apa kalau sekarang membuat multichapter yang baru...hehe!
.
Happy reading^^
Seorang wanita muda berambut pirang membuka matanya, menampakkan iris matanya yang berwarna biru. Dia berkedip beberapa kali, lalu menoleh ke arah jam meja yang terletak di samping tempat tidur.
Pk. 05.47.
Wanita itu menghela napas, sebentar menoleh melihat sosok pria di sampingnya yang masih tertidur pulas.
'Aku harus bangun. Kalau tidak Ayah akan tahu dan aku akan dimarahi habis-habisan.'
Dia segera beranjak mengangkat tubuhnya yang telanjang dan hanya ditutupi selimut itu. Tatapannya tertuju ke lantai. Pakaian miliknya dan kekasihnya bertebaran di sana karena aktivitas mereka semalam. Kurapika pun turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya dan mulai memakainya. Rok yang panjangnya sedikit di atas lutut, blus berwarna pastel tanpa lengan...
Tangannya yang seputih susu meraih sepasang stocking yang tersimpan rapi, lalu duduk di tepi tempat tidur dan perlahan memakainya dengan hati-hati. Setelah selesai, dia pun berdiri dan mengenakan blazernya. Gerakannya itu menimbulkan goncangan kecil di tempat tidur yang ia tempati sebelumnya.
Kekasihnya mengerang lemah...tanda bahwa ia terbangun. Wanita itu menoleh menatapnya.
"Kurapika?"
Si Pria membuka sebelah matanya, dengan begitu malas seolah wajahnya masih ingin terbenam di atas bantal.
Yang dipanggil pun tersenyum. "Selamat pagi, Leorio..."
"Jam berapa sekarang?"
"Ah...belum jam enam..."
Leorio merubah posisinya tanpa melepaskan selimut yang menutupi tubuhnya. Sekarang dia tengkurap, memeluk bantalnya erat dengan mata yang kembali terpejam.
"Aku masih mengantuk...aku ingin tidur lebih lama lagi," ucapnya.
Kurapika terkekeh pelan mendengar tingkah kekasihnya itu. "Ya...tidurlah lagi, kurasa tak apa-apa. Aku pulang dulu...aku bisa celaka kalau Ayah tahu aku tidak pulang semalam."
"Mmm...baiklah, maaf aku tak bisa mengantarmu sampai ke pintu..."
"Tak usah dipikirkan..."
Kurapika mengambil tasnya. Ketika melangkah melewati cermin, dia berkaca sebentar merapikan rambut pirang pendeknya yang tampak sedikit berantakan. Saat itulah...Leorio yang baru saja akan terlelap lagi, tersentak tiba-tiba, ketika apa yang ia rencanakan sejak kemarin hampir saja terlupakan.
"Kurapika!"
Kurapika yang baru saja akan berbalik pun kaget, dan tercengang menatap pria itu. "Y-ya? Leorio, ada apa?"
Leorio segera melempar selimutnya lalu turun dari tempat tidur, bergegas meraih celana panjangnya dan mengambil sesuatu dari sana. Dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana boxer dan rambut acak-acakan, dia memegangi sebuah kotak kecil berlapiskan beludru...mengulurkannya pada Kurapika.
Kurapika bertambah kaget sekarang. Apakah...ini seperti apa yang dia pikirkan?
"Maaf jika caraku ini tak pantas, tapi..." Leorio berhenti sejenak. Dia mengangkat wajahnya yang agak memerah, lalu melanjutkan, "Kurapika, maukah kau menikah denganku?"
Kurapika terdiam. Leorio...melamarnya...pria yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun belakangan ini. Sebenarnya bukan hal yang aneh, apalagi sudah melalui banyak hal dan mereka pun sudah tidur bersama hingga kadang secara diam-diam Kurapika menginap di apartemennya.
Akhirnya, sebuah senyuman mengembang di wajah cantik Kurapika.
"Ya, aku mau!" ia menjawab dengan yakin sambil menerima kotak itu.
Kurapika membukanya. Ah...sebuah cincin yang terbuat dari emas putih, dengan berlian berbentuk oval di tengah-tengahnya. Sederhana...dan cantik. Itulah kesan Leorio tentang dirinya.
Sementara itui tempat yang berbeda, seorang pemuda berambut hitam berlari kecil menyusuri trotoar. Matanya yang gelap menatap lurus ke depan. Raut wajahnya datar...seolah tak menunjukkan emosi apapun, namun jika diperhatikan lebih jelas bisa terlihat bahwa dia sudah tak sabar untuk melakukan apa yang ia rencanakan selanjutnya.
Sesampainya di depan sebuah bengkel motor yang masih tutup, pemuda itu berhenti sebentar. Lalu dia membuka pintu bengkel seperti sudah sangat mengenal tempat itu. Tak ada seorang pun di dalamnya. Tapi sudahlah...lagipula dia bukan mencari orang. Matanya langsung tertuju pada motor besar yang terparkir di dalamnya. Dengan sigap ia memakai sarung tangan, helm, lalu menaiki motor itu dan mulai menyalakan mesinnya.
Saatnya...untuk mengawali hari.
Jalanan kota di waktu sepagi ini masih sepi, hanya tampak beberapa kendaraan yang lewat. Di jalan raya yang cukup lengang itu, sebuah motor besar dikendarai dengan sangat kencang. Pengendaranya, pemuda berambut hitam, menatap jalanan di depannya laksana melintasi dunia yang tak berbatas.
Begitu bebas dan menyenangkan.
Matanya seketika membelalak ketika melihat Kurapika yang baru saja melangkah untuk menyeberang. Dengan sigap Si Pemuda menghindar, mengarahkan motornya ke arah kiri—ke belakang Kurapika. Gerakan yang tiba-tiba itu menyebabkan suara decitan yang cukup keras hingga membuat Kurapika menoleh seketika. Refleks, dia segera menghindar.
Motor itu oleng, membuat Si Pemuda terseret. Kurapika pun jatuh dengan posisi berbaring menyamping. Keduanya terdiam sesaat di tengah jalan raya itu.
Setelah mereka sadar dari keterkejutannya beberapa saat kemudian, Si Pemuda segera berdiri dan mengangkat motornya, sedangkan Kurapika pun beranjak duduk. Isi tasnya berhamburan. Dia mulai memunguti barang-barangnya satu persatu. Benar-benar kejadian yang mengejutkan. Hampir saja celaka! Jantung Kurapika masih berdebar-debar sekarang.
Si Pemuda membuka helmnya, membiarkan sinar matahari pagi menerangi kulitnya yang putih pucat. Ia maju beberapa langkah menghadap Kurapika.
"Kau tidak apa-apa?" ia bertanya.
Kurapika menoleh sedikit dengan raut wajah yang masih nampak bingung. "Ya...aku baik-baik saja," jawabnya.
Si Pemuda pun tak berkata apa-apa lagi. Dia berbalik menghampiri motornya kembali. Kurapika hampir selesai memunguti barang-barangnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas ketika dia menyadari kotak cincin dari Leorio terbuka.
Tak ada cincin di dalamnya.
"Cincinnya!" pekik Kurapika dengan suara tertahan.
Si Pemuda menoleh. "Apa?"
"Cincinku hilang! Oh tidak! Cincin pertunanganku..."
Kurapika panik, ia segera mencari cincin itu. Disingkirkannya barang-barang yang sudah ia kumpulkan, menengok ke tempat sekitarnya...tapi nihil. Dia terkejut ketika menyadari ada seseorang yang ikut berjongkok di sampingnya.
Pemuda itu.
"Kau tak perlu melakukannya," ucap Kurapika merasa tak enak. "Biarlah aku mencarinya sendiri..."
Si Pemuda tak menjawab, dia sibuk mencari hingga Kurapika melihat noda darah di siku kiri jaketnya.
"Kau berdarah! Ayo, kita pergi ke rumah sakit!"
Pemuda itu tetap tak menjawab. Tak menemukan apa yang dicarinya, dia berdiri dan mulai memeriksa sisi jalan. Kurapika mengikutinya dengan khawatir.
"Lukamu harus segera diobati...Kalau tidak, beritahu aku di mana kau tinggal. Nanti aku—"
Ucapan Kurapika terhenti ketika melihat Si Pemuda membungkuk, meraih suatu benda kecil yang berkilau.
'Eh? I-itu...'
Si Pemuda berdiri tegak kembali lalu berbalik hingga menghadap Kurapika. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegangi cincin milik wanita pirang itu. Lalu...wajahnya tersenyum. Bukan hanya senyum tipis, tapi senyum yang cukup lebar, menampakkan kegembiraannya karena berhasil menemukan cincin Kurapika.
Kurapika tertegun. Ia memegangi rambutnya yang sedikit menghalangi pandangan karena angin yang bertiup cukup kencang. Kelopak bunga sakura beterbangan di antara kedua orang itu, seorang wanita muda berusia dua puluh empat tahun dan remaja lelaki yang sepertinya usianya sekitar tujuh belas tahun.
Tak lama kemudian, Si Pemuda mulai salah tingkah. Dia seolah tak percaya bisa bersikap seperti itu di hadapan orang yang baru saja ditemuinya. Tersenyum dengan senang.
'Apa yang kulakukan?' batinnya.
Perlahan tapi pasti, senyuman Si Pemuda menghilang. Raut wajahnya kini sudah datar kembali...seolah apa yang sebelumnya nampak di sana tak pernah ada. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menyerahkan cincin yang dipegangnya kepada Kurapika.
"Terima kasih...," Kurapika berkata sambil menerima cincinnya.
Si Pemuda tak menanggapi. Dia terus berjalan menghampiri motornya, lalu segera pergi dari sana tanpa menoleh sedikit pun.
Setelah Si Pemuda menghilang dari pandangan Kurapika, wanita itu bergegas memasukkan cincinnya ke dalam kotak. Dia sudah terlambat...tak ada banyak waktu tersisa. Kurapika baru saja selesai ketika tiba-tiba matanya tertuju ke sebelah kirinya. Ada sebuah ponsel di sana.
'Itu...pasti milik pemuda yang tadi...'
Rumah Keluarga Kai...
Seorang wanita tampak berada di dapur, menyiapkan makanan untuk sarapan pagi ini. Sesekali ia melirik jam yang ada di dinding.
Wanita itu, Mito, menghela napas. Ke mana putrinya? Sudah hampir terlambat...dan dia bingung apa yang akan dikatakannya jika suaminya menanyakan keberadaan Kurapika. Mito mengaduk sup yang dimasaknya perlahan sambil berusaha menenangkan diri.
Tiba-tiba terdengar suara pintu depan dibuka. Mito segera mematikan kompor dan melangkah menghampiri. Dilihatnya Kurapika tengah melepaskan sepatunya. Dari pakaian yang dikenakan Kurapika, sudah jelas semalam dia berada di mana dan bersama siapa.
"Kurapika, kau terlambat!" bisik Mito.
Kurapika tertawa pelan. "Maaf Bu...Oya, Ayah mana? Apakah...Ayah sudah tahu?"
"Belum, dia masih tidur tadi. Mungkin sekarang sedang bersiap-siap."
"Kalau begitu aku harus cepat!"
Kurapika segera menuju ke kamarnya. Mito menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum melihat tingkah putrinya. Melihat arah ujung sepatu Kurapika yang mengarah ke dalam, Mito pun membungkuk. Dia membalikkan arah ujung sepatu itu agar suaminya tidak tahu bahwa Kurapika sebenarnya baru saja datang.
Setibanya di kamar, Kurapika segera mandi dan berpakaian. Ia mengenakan setelan blazer dan rok berwarna biru tua hari ini, lalu blus biru muda sebagai dalamannya. Cepat-cepat disisirnya rambutnya yang pirang. Sungguh, di saat seperti ini Kurapika sangat bersyukur dia memiliki rambut yang pendek dan tidak merepotkan hingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menatanya.
'Oh ya, soal-soal itu! Aku akan memberikan murid-muridku beberapa soal latihan hari ini...'
Kurapika membalikkan badannya. Ia tersenyum ketika menemukan apa yang dicarinya tergeletak di atas meja. Selembar kertas berisikan soal latihan Matematika yang akan dibagikannya hari ini. Sesaat Kurapika memandangi hasil pekerjaannya, lalu memasukkannnya ke dalam tas. Dia terdiam ketika ujung jarinya menyentuh sesuatu.
Oya...cincin itu...
Kurapika mengeluarkan kotak itu dari dalam tas dan membukanya, menatap isinya. Hmm...inikah rasanya dilamar? Kurapika sedikit mengernyit...dan nampak sedikit keraguan di wajahnya. Walau bagaimanapun juga, dia sudah menjawab 'ya' menandakan bahwa dirinya menerima lamaran Leorio. Tapi...entah kenapa...
'Aku belum siap memakai cincin ini...'
Kurapika menghela napas berat. Dia menoleh ke arah sebuah kotak di atas mejanya, dengan beberapa buah laci kecil di dalamnya.
'Baiklah, akan kusimpan di sini dulu,' ia berkata dalam hati sambil memasukkan cincin beserta kotaknya ke dalam laci.
Wanita muda itu tak berpikir dua kali untuk memakai cincin dari Leorio. Dia bergegas ke luar kamar, hendak bergabung bersama kedua orangtuanya di ruang makan. Cincin itu terlupakan untuk sementara.
Ryusuke mengencangkan dasi yang dipakainya. Mendengar suara langkah kaki yang tengah menuruni tangga, pria itu pun menengadah. Raut wajahnya yang tegas menatap Kurapika yang menjadi gugup seketika. Dengan sedikit menunduk, Kurapika melanjutkan langkahnya.
"Selamat pagi Ayah," ia menyapa sambil berusaha tersenyum sesantai mungkin. Jujur, Kurapika tak suka jika ayahnya menatapnya dengan cara seperti sekarang ini. Seolah pria itu mengamatinya dan berusaha mencari-cari adakah kebohongan di matanya.
'Tapi ada Ibu,' Kurapika berkata dalam hati. 'Ibu pasti tak akan mengatakan sesuatu yang akan membuatku dimarahi Ayah...'
"Kau pulang malam lagi?" tanya Ryusuke datar.
Sontak Kurapika kaget. Dia melirik Mito yang berada di belakang ayahnya, tanpa menyadari bahwa ibunya itu tengah memberi isyarat padanya yang mengatakan bahwa aku-tidak-memberitahunya-sama-sekali.
"Ibu! Ibu memberitahu Ayah?!"
Mito memutar bola matanya. Kenapa Kurapika bisa tak mengerti isyarat yang diberikannya tadi?
"Ibumu belum mengatakan apapun," ucap Ryusuke sambil duduk di depan meja makan. "Apa yang kaulakukan? Di mana kau semalam? Jangan bilang kau menginap di rumah temanmu yang bernama Ponzu itu."
Kurapika terdiam, dia tak tahu harus berkata apa. Melihat keadaan ini, Mito segera berusaha mencairkan suasana. Dia duduk di hadapan suaminya.
"Sudahlah, Kurapika bukan anak kecil lagi," katanya. "Lagipula hubungannya dengan Leorio pun baik-baik saja. Kau akan segera menikah dengannya bukan, Kurapika?"
Kurapika terkejut mendengar ucapan ibunya. Kenapa kebetulan sekali? Ya...Leorio memang sudah cukup dekat dengan kedua orangtuanya, dan Kurapika tahu mereka menyukai kekasihnya itu. Bagaimana reaksi keduanya jika sampai mengetahui bahwa dia baru saja dilamar Leorio?
'Bagaimana ini? Apakah aku harus mengatakannya sekarang?' Kurapika bertanya-tanya dalam hati.
Tapi kemudian dia hanya menanggapinya dengan tersenyum dan segera membuka kulkas, menuangkan susu ke dalam gelas .
"Ibu, aku sudah hampir terlambat...aku harus segera pergi," Kurapika berkata sambil menghabiskan susunya. Dalam hati dia berharap agar topik mengenai hubungannya bersama Leorio bisa disingkirkan dulu untuk sementara.
"Kalau begitu ibu bawakan saja untukmu agar bisa kau makan di sekolah," ucap Mito sambil berdiri. Sementara itu Ryusuke hanya menghela napas melihat tingkah putrinya dan mulai membaca koran.
Kurapika segera melangkah menuju ke pintu depan. "Tidak usah Bu, terima kasih!"
Sekolah tempat Kurapika mengajar, Akasaka Gakuen, sudah ramai oleh murid-murid yang berdatangan. Dengan senyuman nampak di wajahnya, dan langkah yang pasti, wanita itu berjalan di tengah keramaian dan sesekali menyapa murid-murid yang berpapasan dengannya.
Langkah Kurapika terhenti ketika seorang murid perempuan berjalan melewatinya begitu saja tanpa menyapa. Gadis yang manis, dengan raut wajah datar dan tatapan mata yang dingin. Machi Yamashita. Dia sering terlihat membaca sebuah buku yang berukuran kecil namun cukup tebal. Bahkan kali ini, dia pun tengah membacanya sambil berjalan.
"Selamat pagi, Yamashita!" Kurapika memutuskan untuk menyapa lebih dulu.
Machi menoleh, tapi dia tak menjawab apalagi tersenyum walau hanya sedikit. Dengan cuek dia melanjutkan langkahnya menuju ke kelas. Raut wajah Kurapika agak berubah. Sejak awal, dia ingin tahu apa yang membuat Machi menjadi seperti ini. Sangat pendiam, tak pernah bergaul dengan siapapun.
'Semoga Tuhan memberikan jalan agar aku bisa membantunya,' ucapnya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel. Kurapika sempat kebingungan karena tidak mengenal nada itu hingga kemudian dia teringat akan ponsel milik pemuda yang bertabrakan dengannya tadi.
Kurapika menatap layar ponsel itu ragu. Tak ada nama, hanya nomor...menandakan bahwa sang pemilik ponsel tak memiliki nomor tersebut di phone book-nya.
Akhirnya Kurapika memutuskan untuk mengangkatnya. Mungkin dengan cara ini dia bisa mengembalikan ponsel itu.
"Halo...?"
Tak ada jawaban.
"Halo? Halo...?"
Tak terdengar suara apapun. Kurapika sedikit mengerti, mungkin si penelepon terkejut karena mendengar suara yang tak dikenalnya.
"Siapa ini?" akhirnya terdengar suara jawaban. Suara seorang wanita.
"Aku menemukan ponsel ini...maaf, apakah kau bisa memberitahuku alamat di mana aku bisa mengembalikannya? Aku—"
Si penelepon langsung mengakhiri panggilannya tanpa menunggu Kurapika selesai bicara. Kurapika mengernyit heran.
'Tidak sopan...siapa dia?' ia bertanya-tanya dalam hati.
Kurapika menyusuri koridor sekolah dengan langkah cepat. Walau bel masuk belum berbunyi, tapi guru-guru yang lain pasti sudah datang. Kurapika tak mau menghadapi komentar pedas dari Pakunoda, seniornya yang entah kenapa bersikap memusuhi Kurapika sejak pertama kali Kurapika mulai mengajar di sini.
Kurapika menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan lalu membuka gagang pintu itu. Dengan senyumnya yang manis, Kurapika melangkah masuk.
"Selamat pagi," sapanya.
Guru-guru yang lain yang tampaknya tengah mempersiapkan apa yang diperlukan untuk mengajar sebentar lagi, menjawab sapaan Kurapika.
Wanita itu menghampiri mejanya. Dia pun harus bersiap-siap.
"Kai-sensei, sepertinya akhir-akhir ini cara berpakaian semakin keterlaluan ya?" tiba-tiba Pakunoda berkata.
'Tuh benar 'kan,' batin Kurapika dalam hati. Dia berusaha tersenyum lalu berbalik menghadap Pakunoda. "Tapi...kurasa akhir-akhir ini aku lebih berhati-hati dalam berpakaian...aku berusaha tampil seprofesional mungkin."
Dengan malas, Pakunoda melirik Kurapika lalu mendengus kesal. "Maksudku bukan aku, tapi murid-murid di kelasmu. Lihatlah bagaimana murid perempuan berpakaian. Aku harap kau bisa memperhatikan mereka lebih baik lagi."
"Ya...aku akan berusaha..."
"Orang bilang, bagaimana murid berpenampilan dan bertingkah laku secara langsung mencerminkan seperti apa guru wali kelas mereka sebenarnya."
Oke, komentar Pakunoda kali ini melewati batas. Kurapika benar-benar tak suka dan mulai merasa tersinggung.
"Tapi tentu saja bukan berarti kau harus mencium murid laki-laki supaya mereka mau memotong rambutnya yang sudah panjang, misalnya."
"AKU SAMA SEKALI TAK BERPIKIR UNTUK MELAKUKAN ITU!"
Tanpa sadar Kurapika menaikkan nada suaranya. Semua guru di ruangan itu menghentikan aktivitas mereka karena terkejut, secara otomatis perhatian terpusat pada Kurapika dan Pakunoda.
Pakunoda langsung menoleh mendengar bentakan Kurapika, dia menatap wanita itu dengan tajam walau rasa terkejut di wajahnya tak bisa disembunyikan. Reaksi Kurapika...membuat Pakunoda terkejut.
Menyadari keheningan yang tiba-tiba itu dan rasa terkejut di sekelilingnya, Kurapika pun tersadar. Raut wajahnya berubah menjadi normal lagi.
"Maafkan aku," ucap Kurapika segera. "Aku akan melakukan sebaik yang kubisa."
Pakunoda masih diam, tak melepaskan tatapannya dari Kurapika sedikit pun. Bahkan ketika Kurapika duduk di mejanya, dia seolah merasakan tatapan wanita bermata sayu itu menusuk punggungnya.
Kurapika mengatur napasnya...hingga kemudian ia terlihat lega setelah sudah berhasil mengendalikan emosinya.
"Kai-sensei," panggil seorang guru dengan rambut hitamnya yang jabrik dan ternyata sudah duduk di samping Kurapika. Gon Yamazaki. Yah, lagipula meja mereka memang bersebelahan dan Gon cukup perhatian pada wanita itu. "Tenanglah...tak usah dipikirkan apa yang dikatakan nenek sihir itu. Dia iri karena kau masih muda dan menarik perhatian guru beserta murid di sini."
"Eh? Kurasa aku biasa saja...," jawab Kurapika sambil sesekali melirik ke belakang, khawatir Pakunoda akan mendengar percakapan mereka.
"Kai-sensei cantik, muda...jadi wajar saja. Dengar, kalau dia bersikap jahat lagi padamu, aku akan memberi peringatan padanya!"
"Apa?! Kau tidak boleh begitu, Yamazaki-sensei!"
Gon hanya terkekeh, lalu segera mengambil bukunya. Dia mengajar mata pelajaran Sejarah. Sebenarnya bukan pelajaran favoritnya, dari caranya bersikap pun dapat dengan mudah diketahui bahwa dia lebih senang beraktivitas di luar ruangan.
"Kai-sensei," terdengar suara seseorang memanggil Kurapika.
Kurapika segera menoleh, dan melihat Kepala Sekolah Ikeda tersenyum padanya. Wanita itu pun berdiri lalu menghampiri Ikeda.
"Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Ikeda. Dia mengenal Ryusuke Kai dengan baik, karena dulu mereka berteman sejak masih sekolah hingga keduanya sudah berkecimpung di dunia pendidikan.
"Ayah baik-baik saja," Kurapika menjawab sambil tersenyum.
"Sampaikan salamku padanya, katakan lain kali aku ingin main golf dengannya lagi."
Kurapika mengangguk. Namun melihat raut wajah yang tak biasa dari Ikeda, dia menyadari sebenarnya ada hal lain yang ingin dibicarakan pria itu. kemungkinan besar, itulah hal utama yang ingin dikatakannya.
Ikeda berdehem, lalu mulai bicara, "Ini...tentang anak pindahan yang kita bahas di rapat kemarin. Aku memutuskan untuk menempatkannya di kelasmu."
"Eh?!"
"Aku rasa kau pasti mampu..."
"T-tapi! Kepala Sekolah, anak itu terus membolos di tempat dia bersekolah sebelum ke sini...Itu artinya, dia adalah masalah besar! Aku masih baru, aku—"
"Tenang saja, Kai-sensei, kalau ada apa-apa nanti...pihak sekolah akan melindungimu."
Ikeda beranjak dari kursinya, dengan raut wajah seolah apa yang dia katakan barusan adalah hal yang cukup sulit untuk diutarakan. Belum lagi ketika dia berusaha meyakinkan dan menenangkan Kurapika, matanya tidak menampakkan hal yang sama.
Kurapika tercengang, dia masih tak bisa berkata apa-apa. Oh...sepertinya semua akan menjadi semakin sulit sekarang!
Bel masuk berbunyi. Para guru menuju ke kelasnya masing-masing, termasuk Kurapika. Dia membuka pintu, masuk ke dalam kelas 2.C yang tampak kacau. Ribut sekali di sana. Murid-muridnya tidak menghiraukan suara bel masuk.
"Ayo, cepat duduk di kursi kalian masing-masing!" seru Kurapika. Dia sudah mulai terbiasa untuk mengeraskan suaranya sejak mengajar dan menjadi wali kelas di sekolah itu.
Murid-muridnya menoleh, meliriknya dengan malas. Lalu sambil menghela napas kesal, mereka duduk di tempatnya. Di bagian belakang, ada dua kelompok murid yang seringkali membuat masalah. Dari pihak laki-laki, terdiri dari Killua Zaoldyeck, Parriston Hill dan Pokkle. Ironisnya, Killua adalah salah seorang idola di Akasaka Gakuen, Parriston dengan sikapnya yang sok namun licik, dan Pokkle...selalu bersemangat menimbulkan kekacauan. Dari pihak perempuan, ada Neon Nostrad, Bisuke dan Alluka. Neon seorang anak yang sangat manja dari keluarga berada, Bisuke yang lebih kalem namun emosional, sedangkan Alluka—yang tak lain tak bukan adalah sepupu Killua—memiliki penampilan yang sangat manis hingga menutupi sifatnya yang sebenarnya.
Geng Killua mengagumi kecantikan Kurapika dan tatapan mata mereka saat melihat wanita itu seperti predator saja, tatapan yang kurang ajar...sementara Geng Neon sudah jelas-jelas iri dengan perhatian yang didapatkan Kurapika.
"Hari ini akan ada murid pindahan yang bergabung dengan kelas kita," Kurapika bicara di depan kelas. Pernyataannya ini membuat seisi kelas gembira dan penasaran.
"Pika-chan, dia laki-laki atau perempuan?" tanya Killua yang bersandar di tembok belakang kelas.
"Laki-laki."
"Benarkah?!" pekik Neon kegirangan. "Wahh...aku merasa cinta akan segera menghampiriku!"
"Memangnya dia tampan?" kali ini Bisuke yang bertanya sambil menopang dagunya dengan sebelah tangan.
"Aku pun belum bertemu dengannya...dan belum melihat berkasnya," jawab Kurapika. "Kepala Sekolah akan membawanya ke sini kalau dia sudah datang."
Seolah menyambut pernyataan Kurapika, pintu ruangan kelas itu kembali terbuka. Kepala Sekolah Ikeda melangkah masuk. Kurapika menatapnya dengan heran.
"Kai-sensei, dia sudah di sini," ucap Ikeda singkat.
"Benarkah? Tapi kenapa dia tidak bersamamu?"
Ikeda tak menjawab, namun dia segera mendekat ke salah satu jendela. Kurapika menyusulnya, dan murid-murid pun, tak terkecuali Machi, ikut melihat ke luar jendela karena ingin tahu.
"Itu dia," Ikeda berkata sambil mengarahkan telunjuknya ke halaman sekolah.
Kurapika mengikuti arah yang ditunjukkan pria itu. Ya, ada seorang pemuda tengah duduk di atas pagar sekolah sambil mengangkat kakinya. Sosoknya agak tertutupi bunga sakura yang tengah berkembang penuh. Ingin melihat lebih jelas, Kurapika sedikit merunduk. Akhirnya dia melihatnya. Pemuda berambut hitam dengan wajah tampan dan kulit putih pucat...
Kurapika terpana. Itu pemuda yang tadi pagi!
"Kau sedang apa? Jangan diam saja, ayo cepat bawa dia ke sini!" perintah Ikeda, membuyarkan lamunan Kurapika yang sejenak terbawa ke kejadian beberapa jam yang lalu.
Dengan masih merasa bingung karena kebetulan yang aneh ini, Kurapika mengangguk. Dia berjalan keluar kelas dan menuruni tangga, lalu mendekati tempat di mana pemuda itu berada.
Si Pemuda pun terkejut saat melihat Kurapika, sementara Kurapika yang sudah menguasai dirinya hanya menatapnya sambil tersenyum.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Si Pemuda heran.
Kurapika berkata, "Kau tahu? Ternyata aku wali kelasmu. Kebetulan yang aneh, ya?"
Pemuda itu tak memberikan tanggapan apapun. Dia sama sekali tak beranjak dari tempatnya duduk sekarang.
"Kenapa kau tidak mau masuk?" tanya Kurapika.
"Aku merasa ragu," akhirnya dia berkata. "Rasanya...aku tak akan menemukan sesuatu yang menyenangkan di sini."
Kurapika merasa heran mendengar jawaban Si Pemuda. Itu bukanlah jawaban yang biasa didengarnya. Kurapika pun menoleh, memandangi bangunan sekolah di belakangnya. Mata hitam Si Pemuda yang semula tertuju pada sosok berambut pirang di hadapannya pun turut beralih ke sana.
Di sepanjang jendela di mana kelas dua berada, termasuk kelas 2.C, terlihat murid-murid berdiri di sana tengah memperhatikannya. Ekspresi mereka berbeda-beda. Ada yang datar, memberikan tatapan angkuh, dan ada yang melambaikan tangan. Tentu saja yang melakukannya adalah murid-murid perempuan seperti Geng Neon. Namun dengan latar belakang langit cerah, sinar matahari yang hangat dan kelopak bunga sakura yang berguguran, membuat pemandangan itu terlihat menyenangkan.
Kurapika menoleh kembali. "Pasti bisa," ia berkata sambil tersenyum lagi. Senyumnya sangat manis...bagaikan senyuman seorang malaikat.
Sesaat Si Pemuda terpana melihat senyuman itu. Menyadari murid di depannya terpaku, Kurapika sedikit salah tingkah...ia mengira mungkin Si Pemuda tak mengerti maksudnya.
"Murid-muridku adalah anak-anak yang baik, mungkin kau bisa mempunyai banyak teman di sini," jelas Kurapika.
Sebenarnya apa yang dikatakan wanita itu cukup sering terdengar ketika menyambut murid baru maupun murid pindahan, Si Pemuda pun pernah mendengarnya. Namun kali ini, mendengar kalimat itu keluar dari mulut Kurapika, beserta senyuman dan ketulusan di wajahnya, membuat Si Pemuda merasa seolah baru mendengar kalimat itu untuk pertama kalinya.
"Ayo kita ke kelas," ucap Kurapika sambil berbalik.
Si Pemuda pun langsung melompat turun dari pagar dan mengikuti wali kelasnya itu sambil menyandang tas ransel di bahu. Ketika mereka tengah menaiki tangga, Kurapika menoleh dan bertanya padanya,
"Bagaimana dengan luka di siku kirimu?"
"Baik," jawab Si Pemuda singkat.
"Aku menemukan ponselmu...sepertinya terlempar ketika kau jatuh. Aku membawanya, nanti akan kukembalikan padamu."
"Ah...tidak usah."
"Eh?"
Langkah Kurapika otomatis terhenti mendengar jawaban Si Pemuda. Bukankah ponsel itu barang yang penting?
"Aku tak menginginkannya," Si Pemuda menjawab kebingungan yang terlihat di wajah Kurapika. "Oya, kau akan segera berhenti mengajar bukan?"
"Kenapa kau bicara begitu?" tanya Kurapika tak mengerti.
"Itu...cincin pertunanganmu...Apakah kau tidak akan berhenti kalau sudah menikah nanti?"
Kurapika terdiam sesaat. Kelihatannya dia pun cukup kaget mendengar pertanyaan dari Si Pemuda. Ya...cincin itu. Benar, sejak tadi dia tak ingat sama sekali!
Kurapika tersenyum kikuk. Dengan agak gelisah dia memainkan jari-jari tangannya. "Dengar, bisakah kau merahasiakannya? Tentang pertunanganku itu? Tapi jangan salah paham...bukan berarti ada sesuatu alasan yang tak wajar di balik permintaanku ini, hanya saja..."
Si Pemuda mengangkat sebelah alis matanya heran. Lalu dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku seragam dan bersandar sejenak di pegangan tangga itu.
"Aku menawarkan perjanjian pertukaran padamu," ucapnya.
"Pertukaran apa?" tanya Kurapika. Apa lagi yang akan dikatakan pemuda itu kali ini?
"Aku akan merahasiakannya jika kau juga tak menceritakan tentang motorku kepada siapapun."
Kali ini, seringai puas nampak di wajah Si Pemuda walau hanya sekilas.
"Baiklah...aku akan merahasiakannya," jawab Kurapika.
'Lancang! Dia berani mengajukan barter padaku!' omelnya dalam hati.
Si Pemuda melanjutkan langkahnya, namun dia merasa aneh melihat Kurapika yang masih belum beranjak dari anak tangga terakhir tempatnya berada tadi.
"Kenapa diam? Masih satu lantai lagi 'kan?" tanya Si Pemuda sambil menunjuk ke lantai atas.
'A-ah...ya," Kurapika menjawab. Dia melangkah di belakang Si Pemuda, membelalakkan matanya ke arah punggung tegap itu. Kurapika masih merasa kesal rupanya.
'Sudahlah, Kurapika, yang penting dia berjanji mau menjaga rahasiamu. Dan lagi dia muridmu, kau akan lebih mudah mengawasinya,' batin Kurapika.
Ketika sudah sampai di kelas, untunglah mood Kurapika sudah kembali lagi. Dia tersenyum sambil mengajak Si Pemuda masuk. Seisi kelas menatapnya, termasuk tatapan kagum dari para murid perempuan ketika melihat sosok yang tampan dan tegap itu.
"Perkenalkan dirimu," ucap Kurapika.
Si Pemuda berdiri di depan kelas. Walau awalnya terasa sulit dan dia pun sebenarnya enggan mengikuti segala macam hal yang sudah diatur ibunya tak terkecuali mengenai sekolah ini, dia ingin mencobanya.
"Aku Kuroro Lucifer...kuharap di sini akan menyenangkan. Salam kenal," ia bicara dengan seulas senyum tipis menghiasi wajahnya.
Geng Neon langsung heboh seketika, sementara murid-murid perempuan lain hanya berani menatap Kuroro dengan pipi merona.
"Terima kasih, duduklah di sana," Kurapika berkata sambil menunjuk kursi kosong yang berada di antara Parriston dan Machi.
Kuroro pun berjalan menuju ke kursinya. Murid-murid yang dilewatinya mengucapkan salam termasuk Geng Killua.
"Lucifer-san!" panggil Neon dengan suaranya yang manja, dia duduk di sebelah Parriston. Ketika Kuroro menoleh, dia dan kedua temannya melambaikan tangan ke arah pemuda itu dengan genit.
Kuroro hanya mengangguk sopan. Setelah duduk, dia melihat ke arah Machi yang tengah melihat ke arahnya dan masih memegangi buku tebal itu. Kuroro ingin menyapanya. Seperti biasa...Machi langsung membuang muka dan membaca bukunya kembali.
Kuroro merasa heran.
'Gadis yang aneh...,' komentarnya dalam hati. Beberapa saat kemudian Kurapika membuka buku absen dan mulai mengabsen murid-muridnya yang hadir hari itu.
Kurapika menjelaskan materi baru di depan kelas. Dia menggambar beberapa garis lengkung, dan menuliskan contoh soal lalu mengerjakannya bersama-sama. Apakah murid-muridnya menyimak dengan baik? Tentu saja tidak...mungkin hanya sebagian kecil saja. Bisuke duduk membelakangi kelas, sibuk mengobrol dengan Neon yang duduk di belakangnya. Sementara Alluka asyik memainkan rambutnya yang panjang. Geng Killua sudah berkali-kali tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. Murid-murid lain pun dengan bebasnya menguap atau mencoret-coret buku tulis seenaknya.
Kurapika menghela napas. "Apakah kalian mendengarkan?" serunya.
"Iya, Sensei...!" jawab kelas itu bersamaan.
Kurapika melangkah ke mejanya, mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tasnya.
"Aku sudah membuat beberapa soal mengenai materi tadi. Jika kalian benar-benar menyimak, pasti akan mudah mengerjakannya. Santai saja, ini bukan ujian...aku hanya ingin tahu sampai di mana pemahaman kalian."
Ucapan Kurapika langsung disambut dengan seruan kecewa murid-muridnya. Tapi itu sudah biasa dialami seorang guru, maka dia pun mulai membagikannya.
Suasana kelas hening seketika. Mereka mulai sibuk mengerjakan soal—yah, walaupun ada juga yang hanya sibuk menatap kertas soal itu. Dengan sabar Kurapika berkeliling melihat pekerjaan murid-muridnya, dan mendorong beberapa orang dari mereka yang belum mulai mengerjakan.
Kurapika berhenti di samping Alluka. Gadis itu masih saja memainkan rambutnya. Kurapika mengambil botol cat kuku yang ada di atas meja.
"Di mana kau membeli cat kuku ini, Alluka? Warnanya bagus," puji Kurapika.
Alluka sedikit memiringkan kepalanya ke arah Kurapika. "Benarkah? Menurutmu begitu?"
"Ya, tapi cat kuku berkilau seperti itu tidak boleh dipakai ke sekolah," Kurapika berkata sambil meletakkan botol itu kembali ke meja Alluka.
Kemudian perhatiannya teralih pada Neon, begitu melihat ke bawah dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Nostrad-san, kurasa rokmu terlalu pendek..."
"Kenapa kau cerewet sekali sih?" omel Neon sambil menatap gurunya dengan berani.
"Tidak, aku hanya—"
"Aku tidak bisa mengerjakan soal karena kau berisik!" tiba-tiba Bisuke membentak lalu berdiri seolah menantang Kurapika.
Kuroro heran melihat hal itu. Kenapa mereka begitu berani? Dan lagi...kenapa Kurapika tak melakukan apapun? Dia melihat Kurapika memilih untuk mengalah, lalu mulai berkeliling lagi memeriksa pekerjaan murid-murid yang lain. Sebenarnya Kuroro cukup terkejut dengan reaksi Kurapika.
Kali ini, pandangan mata Kurapika langsung tertuju pada Machi. Dia berjalan ke arahnya dan langsung mengambil bukunya. Machi mengangkat wajahnya. Dia terlihat begitu kesal.
"Sekarang waktunya pelajaran Matematika, ayo kerjakan soalnya," kata Kurapika sambil membalikkan kertas soal yang ada di hadapan Machi dan dalam keadaan menelungkup.
Tapi Kurapika kaget ketika membalik kertas itu. Ternyata Machi sudah selesai mengerjakannya!
Machi langsung berdiri.
"Ini hanya buang-buang waktu saja," kata Machi sambil berdiri dan menatap Kurapika. Diraihnya kertas itu, lalu dia sobek menjadi serpihan kecil. Sambil melangkah melewati Kurapika, dia mengambil bukunya kembali lalu berjalan keluar kelas.
Kurapika tercengang. Dia masih terkejut. Dia...sudah salah sangka lebih dulu pada muridnya sendiri. Bagi seorang murid, tentu ini hal yang mengecewakan. Machi sudah mengerjakan soalnya sementara Kurapika menuduhnya belum mengerjakan soal itu tanpa memeriksanya terlebih dahulu.
Setelah sekolah selesai, Kurapika meluangkan waktu untuk berjalan-jalan dengan Ponzu, sahabatnya yang juga adalah rekan kerja Leorio. Kini mereka tengah makan malam di sebuah restoran sambil minum sake. Wanita pirang itu bercerita bagaimana ketika Machi menyobek kertas soalnya—tepat di hadapannya.
"Padahal aku sudah berusaha membuat soal itu," keluh Kurapika.
Ponzu terperangah. "Murid-muridmu benar-benar bermasalah, Kurapika," ia berkomentar.
"Padahal dulu...waktu akan mulai mengajar, aku bersemangat sekali. Dan aku ingin terus mengajar seumur hidupku. Tapi sekarang...mungkin menikah adalah jalan keluar yang bagus..."
Kurapika menyantap makanannya sementara Ponzu langsung menoleh padanya.
"Kau bilang apa tadi? Jangan-jangan...Leorio melamarmu, ya?" tanya Ponzu.
Kurapika mengangguk sambil tersenyum.
"Baguslah...kalian sudah pantas untuk menikah."
Lagi-lagi Kurapika hanya mengangguk sambil menuangkan sake yang tersisa ke gelasnya dan segera meminumnya. Ponzu heran melihat reaksi sahabatnya itu.
'Aneh...bukankah seharusnya reaksinya lebih dari hanya tersenyum dan menganggukkan kepala?' Ponzu bertanya-tanya dalam hati.
"Hei," ucap Ponzu, "Ada apa? Jangan bilang kau mencintai lelaki lain!"
"Siapa yang bilang begitu?" jawab Kurapika sambil terkekeh geli. Ia memanggil seorang pelayan dan meminta untuk dibawakan sebotol sake lagi. "Sudah cukup bicara tentang aku. Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kau sudah punya orang yang istimewa?"
"Tidak mungkin!"
"Lho, kenapa?"
Kurapika terus mendesak, namun Ponzu masih saja mengelak dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Ayo kita minum lagi saja!" Ponzu berseru ketika melihat pelayan datang membawakan sake pesanan Kurapika.
Mito duduk di meja makan dengan lesu. Di hadapannya tersimpan menu makan malam untuk satu orang yang sudah dingin. Dia mulai mengantuk...Untuk kesekian kalinya, Mito melihat jam dinding.
'Kurapika ke mana? Ponselnya tidak aktif...,' batinnya khawatir.
Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu depan.
"Aku pulang...!" ucap Kurapika sambil melepaskan sepatunya dan segera menghampiri ibunya di ruang makan.
Mito pun menoleh. "Kau pulang terlambat. Ayo makan malam dulu."
"Aku sudah makan..."
"Padahal Ibu sudah memasak...seharusnya kau menelepon tadi."
"Ya, maaf...Ibu, aku mau teh..."
Mito menghela napas. Dia beranjak dan menuangkan teh untuk Kurapika. Walau bagaimanapun, putri tunggalnya itu kadangkala masih suka bersikap manja.
"Kau harus belajar memasak," kata Mito sambil membawakan teh ke hadapan Kurapika. "Kalau sudah menikah nanti, kau akan kesulitan..."
Kurapika merengut lalu meneguk tehnya. Masih teringat di benaknya, ketika dia mencoba memasak sendiri beberapa waktu lalu. Hasilnya sungguh buruk. Tentu saja ini adalah hal yang memalukan bagi seorang wanita.
Seolah memahami apa yang dipikirkan Kurapika, Mito melanjutkan ucapannya, "Tak usah khawatir...kau pasti bisa. Dulu pun Ibu tak pandai memasak."
"Benarkah?" tanya Kurapika dengan tatapan seolah tak percaya. Lalu tiba-tiba sesuatu muncul di benaknya. "Ibu, kenapa Ibu mau menikah dengan Ayah? Pasti karena cinta, bukan? Dulu Ayah bilang apa waktu melamar Ibu?"
"Kau ini bicara apa...tentu saja Ibu sudah lupa."
Tiba-tiba Ryusuke datang. Dia melirik wajah Kurapika yang tampak memerah dengan tatapan menyelidik.
"Selamat datang, Ayah," sapa Kurapika.
Ryusuke melepaskan jas dan dasinya tanpa menjawab sapaan Kurapika. "Kau mabuk?"
"Hanya sedikit..."
Menduga percakapan ini akan mengarah kepada percakapan yang tidak menyenangkan, selain karena memang sudah lelah, Kurapika segera bangkit dai kursinya sambil menjinjing tas dan blazer yang tadi dia kenakan.
"Aku ganti baju dulu..."
Ryusuke segera berbalik. "Kenapa kau tidak mengatakannya?"
Pertanyaan itu membuat Kurapika mengurungkan niatnya. Dia bertanya, "Maksud Ayah...mengatakan apa?"
"Bahwa Leorio sudah melamarmu."
Wajah Mito langsung berseri-seri. Dia segera memeluk Kurapika. "Oh...Pika-Chan, benarkah itu?! Ibu turut berbahagia untukmu."
Kurapika hanya bisa tersenyum kikuk dengan wajah yang masih terlihat terkejut. Oh Tuhan, kini kedua orangtuanya sudah tahu. Entah kenapa Kurapika merasa tak nyaman dengan hal itu.
TBC
A/N :
Sebagai info, Kurapika n Ponzu di sini 24 tahun, Leorio 28 tahun, Gon 30 th, Kuroro 17th, Killua cs 17th, Neon cs 17th
Review please^^
KuroPika FOREVER
