Disclaimer: Karakter dari Meitantei Conan dan Magic Kaito adalah kepemilikan Aoyama Gosho. Saya hanyalah seorang fansnya yang dengan seenak jidat meminjam karakternya untuk dinistai sepenuh hati.
Summary: Sebuah kehidupan biasa di sekolah yang lebih dari biasa, lima orang murid biasa yang menggemari manga yang sama harus menghadapi kenyataan bahwa hari-hari mereka akan diubah menjadi sangat tidak biasa. Entah kutukan atau berkah? Jawabannya hanya dapat dibentuk oleh mereka sendiri... Dan kenalan-kenalan baru mereka, tentu saja.
Rating: Untuk sementara? T. Kedepannya tergantung jalannya cerita.
Pairing: Yang resmi bakal jadi baru future KaiShin. Yang lain bisa berubah seiring perkembangan cerita.
Warning: Shounen-ai menjurus BL. Bahasa campur-aduk. Penistaan karakter. Apdet suka-suka Author. OCs. Full pipa aer. Spoiler komik Conan sampai chapter terbaru. Beware!
A/N: Penjelasan OCs hanya pada prolog dan chapter 1, untuk mengenalkan mereka seperti apa. Selanjutnya Gosho Boys (minus Kaito sampai beberapa chapter ke depan) akan mengambil porsi besar.
Prologue: The Introduction
Hari itu merupakan sebuah hari yang cerah di SMA Maju Kena Mundur Kena (atau biasa disingkat oleh murid-muridnya tercinta sebagai Mekameka karena nggak rela diketahui bersekolah di sekolah yang... well, memang sudah oke fasilitas pengajar maupun secara keseluruhan dan bahkan terakreditasi A, tapi... entah orang mabuk mana yang menamai sekolah mereka secara nista begitu), matahari bersinar seakan menyemangati murid-murid di minggu kedua semester satu mereka, burung-burung pun berkicau dengan indahnya.
Saat itu baru saja jam pulang sekolah, dan meskipun seharusnya mereka bisa langsung ngacir keluar dari neraka dunia bernama sekolah menuju warnet, mall, atau bantal serta kasur kesayangan yang tengah menunggu di rumah, sayang sekali beberapa dari mereka harus menunaikan tugas tambahan yang dikenal juga dengan nama ekstrakulikuler, yang terjadwal pada hari Jumat yang indah itu.
Siapapun yang mendesain jadwal mereka sudah sepantasnya dilaknatkan sepenuh hati untuk terjun bebas ke jurang terdalam!
Sekumpulan kecil dari mereka yang bernasib cukup sial untuk memilih kegiatan ekskul yang ditempatkan pada hari Jumat tersebut, terlihat tengah nongkrong di suatu sudut sekolah dimana kemungkinan mereka terlihat cabut kelas lebih minimal (untuk alasan yang bejatnya), bisa ngadem dan ngaso (untuk alasan yang derajatnya lebih naek dikit), serta koneksi wifi kenceng dan ada colokan listrik banyak (alasan utama, bahkan lebih penting daripada janji siswa!). Tempat itu diketahui juga sebagai ruang pojokan di belakang ruang BP yang notabene sangat sepi dikunjungi, dan luasnya lebih dari cukup bagi kelima murid yang secara semena-mena menjadikan tempat itu base camp mereka.
Kelima orang tersebut tampak sedang asyik melakukan kegiatan mereka masing-masing, dimana dua orang asik leptopan, satu orang ngebo, satu orang tengah makan dengan selera menyaingi Monkey D. Luffy, dan satu orang lainnya sedang ngebut mengerjakan (baca: nyontek paksa punya temannya) tugas yang seharusnya sudah dikumpulkannya tadi pagi. Hidup ngaret!
"Oi, Fur." Yang tengah meludesi makanan dengan sepenuh jiwa raga menghentikan makannya untuk memanggil salah satu sohibnya. Yang nengok malah dua. "Yang biru! Kenapa lo nggak ganti nama panggilan sih, susah nih kalau yang nyaut dua!" Pemuda berambut merah ngejreng saos tomat ABC itu ngedumel ke arah cewek berambut hitam sebahu yang barusan ikut nengok dari leptopnya.
Yang didumeli cuma mengangkat bahu cuek. "Nggak ada nama panggilan lain yang lebih gampang. Dan nama yang tertera di kartu pelajar gw nggak cocok buat ke-awesome-an gw, tauk!" Balasnya, mengutip kata khas karakter albino favoritnya yang suka bawa burung kuning kemana-mana di kepala.
'Fur' satu lagi, pemuda kurus berambut biru, hanya menghela nafas dan bangun dari posisi ngebonya.
Nasib punya kenalan nggak waras semua...
"Ada apa, Den?" Memutuskan untuk menyahut demi mengalihkan perhatian pemuda rambut merah itu dari niat memulai ritual perang dunia kesekian ratus lokal yang biasanya melibatkan adu ludah dan desibel suara dengan cewek yang memiliki nama panggilan sama dengannya. Bukan apa-apa sih, cuma mager aja ngedengerinnya.
Dan satu kalimat itu rupanya cukup untuk menarik laptoper kedua dari fokus pada laptopnya untuk menunaikan ngakak jumawa.
"Elaine?" Stress, Elden tanpa sadar menyerukan nama gadis berambut pirang pendek itu dengan mata merah menatap penuh curiga. Apa dia akhirnya jadi gila? Kesambet? Kesurupan?
Sebelum sempat dia mengucapkan jampi-jampi atau mencari air zamzam, yang mengakakinya sudah keburu menarik nafas sambil batuk-batuk. Kebanyakan ketawa. "M, maaf, Den... Hmmppffft." Oke, mungkin dia perlu dibawa ke guru BK...? "Habis, habis, tiap kali Frau memanggilmu begitu, rasanya kayak... kayak.. dia itu pelayan pribadimu yang adalah putra keraton, gitu!"
...
Hening.
Memutuskan kalau kewarasan dan waktu serta keriput otaknya lebih berharga untuk digunakan pada hal lain ketimbang mempertanyakan imajinasi seorang Elaine Dupre, Elden menoleh ke arah Frau yang tampak speechless. Seharusnya dalam satu semester mereka kenalan ini, dia sudah biasa, tapi... Tetap saja, dia masih heran seribu heran kenapa oh kenapa gadis itu bisa menjadi peringkat satu seangkatannya...
Beda jenius dan gila memang tipis.
"Hari ini jadi kan nginep di rumah gw? Nyokap dah setuju?" Tidak memakai kata tante, karena dia memang practically adalah anak angkat dari nyokapnya Frau. Yang ditanya mengangguk pelan, merenggangkan badannya dan menguap sambil memasang kembali kacamata yang tadi diletakkan di sebelahnya. "Iya, tapi katanya kau wajib ke rumahku dulu... Sudah lama sekali kau tidak berkunjung kesana, kan? Ada papa juga. Mereka kangen, katanya."
Tawa ngakak kembali terdengar, kali ini dari oknum Fura#2 yang sempat tercueki.
"Cieh, yang dikangenin. Calon menantu."
"Berisik lo, Fur!" Elden merinding.
"Kalau kategori berisik lo adalah kalimat yang terdiri dari lima kata, gw horor buat tahu kategori diem lo itu gimana."
"Dua kata terakhir tadi itu gak perlu banget deh!"
"Kenapa? Takut ketahuan lo menaruh rasa sama adek angkat lo?"
"Dasar fujo! Gw masih lurus yah!"
"Kalo lo lurus, gw udah lebih tegak dari tiang bendera di Istana Negara tauk."
"DEMI SOMAYNYA BANG JONI, GW GAK GAY!"
Dan argumen yang sempat terhelat pun akhirnya kejadian juga.
Orang terakhir yang sempat terlantarkan dari grup kecil mereka, seorang cewek lainnya yang sedari tadi terfokus pada kerjaan-ngebut-sejamnya, berteriak sambil membanting bolpen dan langsung menyabet buku yang terbuka di hadapannya. "SELESE! Okegwcabutdulubainitipyah!" Sang siswi berambut cokelat sepinggang itu pun langsung cabut ke arah ruang guru.
Frau geleng-geleng kepala, sudah pasrah kalau semua kaum perempuan yang dikenalnya tidak akan ada yang masuk dalam kategori Yamato Nadeshiko.
Setelah yang bikin peer balik dan tengah tepar sambil mengelusi kepalanya ("Otakku meleleh, meleleh, meleleeeh...") dan Fura tampak sudah bosan dengan argumennya dan sekarang sudah kembali haha-hihi dengan fanfic di laptopnya, mengacangi Elden yang kesal karena dicuekin, Elaine asik karaoke pribadi di laptopnya, dan Frau... hanya tersenyum maklum sambil memandangi mereka, kalem karena udah biasa.
Dan sedikit bergidik, karena dia bisa terbiasa dengan kejadian semacam ini...
"Guys, udah jam 3. Ekskul, yuk." Berkata mengingatkan dengan nada kekakakan (karena notabene dia yang paling waras di tengah grup penuh kesedengan ini) sambil membereskan tasnya, membuat keempat orang temannya mengerang penuh kemageran. "Haruka, kau nggak lupa bawa celemek dan duit buat bahan ekskul Tata Boga, kan?"
Yang dipanggil mengangguk, bangkit dari pose elus-kepala-penuh-penderitaannya, sambil mengeluarkan barang yang dimaksud. "Yoi."
"Mampus, gw lupa kalau hari ini tes sabuk! Cabut dulu yah!" Fura sendiri sudah langsung menghilang ke arah lapangan indoor sekolah, dimana ekskul Taekwon Do-nya diadakan. Takut dihukum lari keliling lapangan lima puluh kali. Elden, yang baru sadar omongannya beneran dicuekin sampai akhir, sweatdropped sambil mengeluarkan seragam basketnya. "Gw ganti baju dulu, kalian cabut aja. Sampai ketemu minggu depan—Ah, Fur, nanti tunggu gw di gerbang aja kayak biasa." Adik-angkat-beda-delapan-bulan-nya itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
Gadis yang tersisa menutup laptop, sedikit cemberut karena sesi karaokeannya terganggu, namun segera cerah lagi karena artinya ekskul Falconry yang dia senangi akan dimulai. Apa kabar elangnya tersayang yang dititipkan sedari pagi, ya?
Bagaimana sebuah sekolah negeri standar di pinggiran Jabodetabek bisa memiliki ekskul se-aristokrat Falconry, biarkanlah itu menjadi misteri Ilahi.
"Yowes, sampe minggu depan, guys!" Haruka melambaikan tangan salam perpisahan, yang disertai anggukan dari sisa teman se-base camp-nya. Dan mereka pun mencar ke arah ruang ekskul masing-masing.
Tanpa mengetahui bahwa mulai minggu depan yang mereka janjikan, kehidupan mereka yang tidak normal akan berubah menjadi lebih tidak normal lagi.
Bersambung ke chapter 1
