warning :
OOC triple kuadrat, so please yang gak suka klik back :)
Hinata disini saya buat seperti yang saya suka, (bukan bashing). Saya pernah baca pada suatu fic berbahasa inggris, Hinata meninggalkan sosok goodie-goodie nice girl itu, saya suka banget. Lebih cocok dan kesannya oke. Makanya saya realisasikan dalam fic saya ini. buat yang gasuka Hinata agak 'tough', please click back.
inspiration by SasuHina english fic, original ideas by Suena. Please read her story if you want. I swear, i have a licensed for copying her ideas.
sebelum baca ini HIGHLY RECOMENDED :
baca dulu fic "Everybody Loves Karin" milik saya, karena ini merupakan side story-nya
klik http(doubledot)(slash)(slash)riyoryoko18(dot)deviantart(dot)com(slash)art(slash)SasuHina(dash)Give(dash)me(dash)your(dash)hand(dash)153118946
karena darisana lah inspirasi fic ini berasal ;)
e n j o y ! please RnR
One Night
Disclaimer :
Character © Masashi Kishimoto, 1999
Story © karinuuzumaki, 2010
Pairing : SasuHina
Inspiration by
Give Me Your Hand, a SasuHina deviantart by Riyoryoko18
My Chemical Romance – The Sharpest Live
"Naruto akan menikah hari ini." ujar Kiba lirih.
Ya aku tahu, aku menjawab dalam hati. Aku sudah tahu, semua orang tahu. 'Pahlawan Konoha' akan menikah hari ini, hari ini adalah hari bahagianya. Undangan resepsinya juga telah disebar sedari beberapa minggu lalu. Aku pun juga menerimanya, jadi sebenarnya Kiba tak perlu repot-repot mengkonfirmasi ulang berita tersebut. Aku tak mengerti mengapa Kiba bersikap seakan menyesal dengan adanya berita itu, harusnya dia berbahagia, selayaknya seluruh penghuni kota pada umumnya akan bersorak juga mengiringi kebahagiaan pahlawan mereka.
Aku tak mengerti? Oh well, tentu saja aku mengerti!
Kiba mengetahui perasaanku kepada pemuda jabrik kuning itu. Kiba tahu—ralat, kemungkinan besar seluruh rookie Konoha mengetahui bahwa aku mencintainya, hanya dia. Satu-satunya yang ada dalam mimpilku, pemuda yang selalu membuatku semangat menjalani apapun yang menghadang. Dialah motivator sejatiku, walau faktanya sedikitpun tak pernah melakukan apapun demi memotivasiku. Demi apapun juga, hanya dia! Kau harus tau bagaimana rasanya ketika cinta seumur hidup mu lebih memilih menikah dengan gadis teman satu tim nya. Pahit dan benar-benar sakit!
"Hinata? Kau mendengarku?" ulang Kiba membuyarkan lamunanku.
"Ya," jawabku singkat, sungguh sebenarnya aku malas berbicara. Namun bagaimanapun tetap ku pertahankan seulas senyum tipis dibibirku. Aku tak ingin seorangpun tahu bagaimana rasa hatiku. Terluka sih terluka, tetapi aku tetap tak ingin membuat Kiba mengkhawatirkanku begitu.
"Lebih baik kau tidak usah datang ke pesta pernikahan Naruto kalau memang tidak siap." Ucap Kiba to the point. Dalam bicaranya terbersit sedikit nada mengharap. Ah, Kiba. Kenapa kau masih belum mengubah tabiatmu? Kenapa masih saja kau pertahankan prinsip 'lebih baik menghindar daripada sakit' itu dalam benakmu? Pemuda jabrik berambut cokelat ini berbeda, jauh berbeda dengan Naruto yang selalu menghadapi tantangan itu apapun yang terjadi.
"Jangan bercanda, tentu aku akan menghadiri pesta pernikahan mereka." Ujar ku masih diselingi tawa tipis meskipun terselip sedikit getir disana, tapi aku hanya berharap Kiba tak menyadari nya. "Semuanya akan menghadiri pesta tersebut kan? Lagipula, mana mungkin aku melewatkan pesta pernikahan teman satu angkatan sendiri
Memang benar kan? Semua rookie akan menghadiri pestanya. Oh ya, kecuali Neji nii-san tentu, dia sedang keluar dalam sebuah misi tingkat B sendirian. Aku tak mungkin melewatkannya pestanya, bukan karena aku penggila pesta seperti kebanyakan kunoichi lainnya―Ino dan Sakura, i mean. Double eww, karena tentu aku tak bakal mendatangi pesta bersama mereka berdua— hanya saja aku tak ingin mereka semua perpikiran bahwa aku tidak merestui pernikahan Naruto dan Sakura.
Aku merestuinya, aku ikhlas kok. Ikhlas.
"Lihat deh," ujarku pada Kiba. Aku menunjukkan sebuah gaun berbahan campuran antara satin pada bagian dadanya, sementara bagian bawah dilengkapi dengan kain sifon yang ringan melayang, ditata bertingkat-tingkat. Sebuah gaun yang cukup simpel dan berwarna ungu tua, warna ungu yang setingkat lebih muda daripada rambut indigo-ku. "Aku bahkan sudah menyiapkan gaun pestanya."
Aku menempelkan gaun tersebut dari luar tubuhku. Berlenggak-lenggok di depan cermin seakan aku adalah peragawati. Hmm, lumayan juga kok gaun ini, walaupun sudah cukup tua juga—maklum, hand-me-down dari Almarhumah ibuku.
"Iya, tapi kan—"
"Cantik tidak?" potongku cepat.
"Cantik sih, tapi—"
"Kenapa? Kurang pantas ya? Atau terlalu terbuka? Bagian mananya?" aku langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan sekaligus, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan dari sanggahan-sanggahannya. Sudah malas rasanya dibegitukan. Terkadang Kiba itu lebih protective dari Neji nii-san atau Otousan ku. Aku tahu sih dia sudah menganggapku saudaranya, begitu pula aku. Tetapi tetap saja, aku kan tidak suka terlalu dikekang begitu.
"Hinata, coba dengar aku dulu deh!" sahut Kiba gemas. Dia memutar bahuku untuk menatap lurus ke arahnya. "Kau benar sudah siap melihat Naruto menikah dengan gadis lain?"
Aku tak langsung menjawab pertanyaan itu, kuresapi sejenak apa yang dilontarkan Kiba barusan. Sudah siapkah aku?
"Kau siap merelakan Naruto?" tanyanya lagi, kali ini dengan sorot mata lebih tajam, menatap lurus bola mataku. Seakan dia dapat menemukan jawaban dari pertanyaannya di dalam mata lavenderku. "Apa kau sudah tak mencintainya?"
"Tolong lepaskan, Kiba." Sahutku melepaskan diri dari cengkraman tangan Kiba yang dilancarkan terhadap lenganku. Lama-lama gerah juga ya dibeginikan? "Kau sama sekali tak perlu mengkhawatirkan aku. Dari awal juga aku tak pernah mempunyai keinginan untuk memiliki Naruto. Aku hanya sekadar mengaguminya."
Sekadar mengaguminya, haha, damn, i'm a good liar. Sepertinya aktingku benar-benar bisa menang piala oscar atau semacamnya.
"Kau tak tampak seperti itu, Hin." Ujar Kiba dengan rahut wajah prihatin. Ya Tuhan, cukup Kiba. Kenapa kau mempersulitku untuk menahan bendungan air yang tertahan pada kelopak mataku ini? "Hinata, aku hanya tak ingin jika kau harus terluka melihat mereka berdua begitu. Dengarkanlah saranku, kau tak perlu datang."
Aku menghela napas sembari menggeleng, sesekali juga kumainkan bola mataku ke segala arah. Terus dan terus menahan agar tak ada tangis yang jatuh. Sekuat tenaga kupertahankan. "Aku akan tetap datang ke pesta itu." ujarku berusaha setegas mungkin, walaupun dengan nada bergetar. "Dan jika kau tak keberatan, Kiba, aku harus mempersiapkan diri."
Lantas kudorong dia keluar dari kamarku, sedikit memberontak dia hendak mengatakkan sesuatu untuk menyanggahku. Namun dia kalah cepat, karena aku keburu sudah mendorongnya dan menutup pintu kamar dengan cepat. Menguncinya.
Perlahan, tubuhku yang bersandar pada balik pintu merosot dengan teratur. Seketika ketika aku telah terduduk dilantau, air mataku langsung meleleh begitu saja. Sakit, perih. Kenapa? Kenapa Naruto tak pernah menyadari perasaanku? Kenapa Naruto tak mencintaiku? Kenapa hati ini terus berharap memilikinya? Sementara dia sudah disana, bersolek dengan jas pengantin. Bersiap bersanding dengan wanita pilihannya.
Lalu satu pertanyaan lagi terlintas,
Kenapa tidak bisa dia memilihku sebagai pengantinnya?
-
-
Aku bangkit dari dudukku yang berada di tempat duduk jajaran depan ketika mempelai wanita datang didampingi seorang pria tua yang jelas-jelas menebarkan aura bahagia keseluruh hadirin pada pesta pernikahan itu. Senyumnya tak pudar-pudar untuk ditebarkan. Pria itu memang pantas berbahagia, pemuda yang dijuluki 'Pahlawan Konoha', yang akan segera menjadi Hokage untuk desa ini, telah memilih dan mengambil anak gadisnya untuk dipersunting. Nampaknya memang pemuda idaman setiap orang tua untuk anak gadisnya.
Begitu pula dengan seisi gereja, semua bersuka cita penuh bahagia. Semuanya tertawa—diatas semua perih tak kentaraku.
"Naruto Uzumaki, apakah kau bersedia menerima Sakura Haruno sebagai istrimu yang sah, dalam keadaan suka maupun duka?" tanya pendeta didepan kedua mempelai itu.
Mata biru itu sejenak menatap mata hijau disebelahnya, kemudian menjawab mantap penuh rasa bahagia. "Aku bersedia."
Pendeta itu berpaling pada Sakura untuk menanyakan hal yang sama, tetapi telingaku sudah terlanjur kutulikan untuk sementara waktu. Kata 'Aku bersedia' yang terucap dari bibir Naruto sudah cukup untuk membuat hatiku pedih bukan main. Sungguh dalam hati aku berharap waktu berhenti begitu saja sebelum kata itu terucap, agar tak ada sukacita yang hingar bingar menyengat diantara sedihku, agar tak ada yang dapat berbahagia. Karena akupun tak berbahagia.
Tapi itu egois. Dan aku tahu, waktu tak pernah berpihak padaku.
Riuh tepuk tangan menarikku kembali dari lamunanku. Para hadirin sibuk bertepuk tangan, beberapa ada yang bersiul-siul nakal. Aku menatap apa yang ditatap semua orang. Naruto telah bertukar cincin dengan Sakura, dan mereka sedang... Tuhan, kenapa Kau berikan aku mata yang jeli untuk melihat hal yang seperti ini?
Hatiku kontan lebih mencelos daripada sebelumnya. Naruto mencium Sakura, pada bibir merah merekahnya. Semburat merah muncul pada rona wajah bahagia keduanya. Mereka manis sekali, jujur aku ingin berbahagia untuk mereka. Tapi entah kenapa hatiku serta merta menolaknya, perasaan cintaku melebihi segalanya.
Tetapi aku ikut tersenyum, aku ikut heboh bertepuk tangan. Memberikan doa terbaikku kepada mereka, agar mereka bahagia terus selamanya, agar pernikahan ini utuh untuk selamanya, dan hanya mautlah yang memisahkan mereka.
Ah Kami, aku yakin hanya Kau yang tahu bagaimana rasa hatiku.
"Hadirin sekalian, mari kita sambut pengantin kita yang berbahagia untuk memimpin dansa kita malam ini! Mr. and Mrs. Uzumaki!" sang MC mempersilakan Naruto dan Sakura untuk beralih pada lantai dansa. Bukan main tampan Naruto, dengan setelan jas putih yang begitu serasi dengan gaun putih panjang milik Sakura. Mempelai wanita itu juga begitu ciamik dengan gaun tersebut, rambut pink kebanggaannya digelung rapi, wajahnya dipoles natural memperkuat aura cantik nya. Aku selalu iri padanya, dia punya segala yang aku tak punya. Segalanya, termasuk Naruto.
"..kini usai sudah segala penantian panjangku, setelah temukan dirimu duhai kekasihku. Hanya dihatimu akan kulabuhkan hidupku, karena kau lah cinta terakhirku.."
Lagu cinta, seperti biasa, mulai mengalun mengiringi dansa sang pengantin. Sorak sorai hadirin juga menghantar dansa mereka, menambah kebahagian kedua pengantin yang dilanda asmara itu. Demi apapun juga, aku ingin berbahagia untuk mereka. Aku ingin merestui hubungan mereka. Hanya saja jantungku selalu berdetak kencang, memompa adrenalin begitu tinggi hangga dengan menatap mereka berdua berbahagia. Kami-sama, hina kah hamba mu ini yang tak dapat merelakan cintanya?
Langkahku terhuyung, jadi kuputuskan untuk kembali duduk di salah kursi merah yang disediakan untuk para tamu undangan itu. Seorang pelayan menghampiriku, kemudian bertanya sopan. "Ada yang bisa saya ambilkan, nona?"
Aku tak memalingkan pandanganku dari lantai dansa, kemudian berdesis perlahan dengan suara tak kentara. "Ya aku ingin kau ambilkan sebilah pisau untuk mencincang mempelai wanita itu."
"Maaf? Bisa tolong anda ulangi?"
"Hmpf," aku menghela napas, berusaha menahan tawa miris. Kutatap sekali lagi lantai dansa, heaven and earth. Mereka masih disana. Membuatku meringis seketika. "Aku ingin bourbon dengan rum, diaduk, jangan dikocok." Sahutku lancar. Kemudian buru-buru menambahkan, "tambahkan sedikit tequilla, akan lebih baik. Dan, bawakan tiga gelas sekaligus."
Pelayan tersebut nampak kaget dengan pesananku, tetapi tanpa banyak cakap lagi dia mengangguk singkat dan mengatakan bahwa dia akan segera mengambilkannya untukku. Aku sendiri sedikit malu dengan apa yang aku pesan, kujamin aku bisa bahagia semalaman.
"Tak kusangka," sebuah suara mengagetkanku. Dari arah belakang, aku kontan meliriknya. Pemuda biru donker duduk di kursi merah tepat di belakangku, pesona playboy nya langsung terpancarkan dengan sempurna ke bola mata ku. Tak begitu menyenangkan melihat wajahnya saat-saat begini. Aku duduk untuk mencari ketenangan, bukan berbagi kesedihan—seperti yang sudah kami lakukan sejak kepulangannya kembali ke Konoha.
Kami memang berbagi kesedihan, tetapi dengan cara kami sendiri—tanpa perlu bahasa verbal ataupun kontak khusus. Sejak kejadian di kedai Yakiniku beberapa bulan lalu, hanya dengan sekali temu pandang dengannya ketika melihat Naruto dan Sakura bersama. Sesimpel onyx yang bertemu pualam, maka kami sudah dapat saling mengerti apa yang ada di benak masing-masing. Perasaan sakit hati dan perih, merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kami berbagi sedih pada berbagai kesempatan, kemudian sudah. Tak ada hal lain yang perlu dibicarakan dan diungkapkan. Anehnya, hatiku selalu terasa sedikit terobati setelah bertemu pandang dengan onyx nya itu. Entah dia merasakannya atau tidak.
Tapi aku tidak sedang dalam mood untuk bertukar pandang dengannya, tidak dengan Sharingan yang sedang diaktifkannya itu.
Aku memalingkan muka ku kembali ketika pelayan tadi kembali membawakan ketiga gelas berisi minuman yang tadi kupesan, kuucapkan terima kasih singkat, kemudian menegak gelas pertamaku perlahan hingga tandas.
"Ternyata minuman yang begitu selera seorang Hyuuga," komentarnya dengan nada sarkas. Cih, apa sih yang diinginkan pemuda ini? Tak cukup burukkah malamku ini? Sekali lagi aku berpaling padanya, bersiap untuk mengumpat, tetapi dia malah mengangkat gelasnya dan berucap singkat "cheers."
Aku tertegun menatap apa isi gelas milik Sasuke itu, cairan berwarna putih kekuningan, bening dan berbau tajam. Terlebih lagi, cairan itu persis seperti punyaku. Hanya berbeda pada buihnya, buih pada gelas pemuda itu jauh lebih banyak, tentu saja, itu berarti dia memilih minumannya dikocok daripada diaduk seperti minumanku. Menghilangkan kecanggunganku, akhirnya aku balas mengangkat kecil gelas keduaku "cheers."
Kami berdua meneggak minuman kami sampai hampir tandas, seketika kurasakan tubuhku menghangat. Ah, apa yang lebih baik daripada seteguk alkohol di tengah malam dingin dengan derai hujan begini?
"Jadi, kau ingin mencincang sang mempelai wanita?" ujar Uchiha itu membuka topik pembicaraan. Aku kembali tertegun, kupikir tadi aku bicara dengan suara yang luar biasa pelan hingga pelayang disampingku tak dapat mendengarnya, lantas bagaimana pemuda ini mendengar ucapanku? Dia menatapku tetap dengan mata merah darahnya, menunggu jawaban. Oh ya, aku lupa. Sharingannya bisa membaca gerakan bibirku. "Tidak apa, aku juga ingin menghabisi mempelai prianya."
Aku tersenyum kecil dengan alis terangkat. "Tak mungkin, dia sahabatmu."
"Kau juga tak mungkin, karena mencincang mempelai wanita berarti menghancurkan hati pemuda tercintamu." Sahut Sasuke kalem, menegak habis isi gelasnya. Dengan cepat dipanggilnya pelayan, memintanya untuk me-refill minumannya. "Terlebih lagi, itu melanggar takdir bukan? Hyuuga tak pernah melawan takdir."
"Huh, klan kolot." Komentarku pedas, sepertinya alkohol sudah mulai mengendalikanku. Tapi siapa peduli? Otousan ku berhalangan datang, sementara Neji nii-san dalam sebuah misi. Praktis aku satu-satunya Hyuuga di pesta ini. "Karena itulah kami tak pernah mendapatkan apapun yang kami mau. Takdir, takdir, takdir. Setelah itu selalu tentang peraturan, peraturan, peraturan. Apa gunanya dilahirkan di tengah klan paling berkuasa tetapi hidupnya dikekang?"
Sasuke tersenyum sinis padaku, tatapan dengan mata terkutuk milik Uchiha itu. Paling kubenci! Tak tahu mengapa, tetapi Sharingan itu selalu menatapku lurus begitu, seakan membaca seluruh isi hatiku. "Lantas bagaimana? Kau ingin membantai seisi klan mu layaknya kakakku?"
Aku menatapnya dengan pandangan mata yang mulai mengabur. Oh, sial, Berapa sih kadar alkohol tequilla ini? "Ide bagus."
Sasuke nampak tergelak singkat atas jawabanku, aku ingin menjawab lebih banyak sebetulnya. Tetapi kepalaku sudah keburu pusing, bagian kerongkonganku pun memberikan sinyal kering yang membuatku mual seketika. Kurasa aku membutuhkan kamar mandi secepatnya. Salahku juga sih, tak biasanya minum minuman seperti ini, tetapi memaksanya. Memalukan.
Jadi kuucapkan salam singkat kepada Sasuke kemudian keluar dari gedung gereja megah ini, menuju ke area rest room nya yang berada di luar areal gedung dalam gereja itu. Langkah kakiku sedikit terhuyung, hampir semuanya berputar. Tetapi sangat menyenangkan. Haha, yah, kau tahu, semua terasa ringan melayang. Tak ada beban, tak ada kesakitan untuk dihadapi. Mataku menutup dan membuka tanpa diperintah, entah kenapa aku langsung mengantuk.
"Hinata?" sebuah suara menyadarkanku, memaksaku untuk kembali membuka mataku yang setengah menutup itu. Tidak, tidak Kami-sama. Tidak lagi. Kenapa Kau tega mempertemukan aku dengan orang-orang yang tak ingin kutemui malam ini? "Hinata, kau mabuk?!"
Suaranya terdengar begitu khawatir, panik dan menenangkan hatiku sekaligus. Hanya saja mengingat kenyataan bahwa dia baru saja mempersunting gadis lain, sungguh membuat hatiku hancur kembali pada saat itu. Aku sudah tak tahu setan macam apa yang merasukiku. Tapi seketika aku merengkuh tubuh tegap itu dan membenamkan diriku kedalam pelukkannya.
Begitu hangat dan menyenangkan, aroma tubuhnya begitu menenangkan pula. Beraroma citrus hangat yang menggoda setiap indra penciuman wanita manapun. Aku menyukai pemuda ini, Kami. Sangat menyukainya. Setiap helai dari rambut pirangnya, mata biru safirnya, setiap inci dari tubuhnya, dan yang terpenting hatinya. Aku mencintai semuanya yang dimiliki olehnya. Apa adanya.
"Aku mencintaimu, Naruto.." ucapku dengan mata terpejam, meresapi segala kehangatan yang diciptakan oleh tubuh tegapnya itu. Kehangatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. "Aku mencintaimu, sepenuh hatiku. Apakah kau merasakannya?"
Tangannya nampak berusaha untuk melepaskan diri dari pelukanku. "Hentikan, Hinata. Kau mabuk."
"Tidak! Dengarkan! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu!" pekikku tak terkontrol, air mata pun jatuh begitu saja dari kedua mataku. Aku sudah tidak tahu bagaimana dan kenapa, hanya saja hatiku sudah terlalu sakit memendam perasaan ini begini saja. Mungkin saja keberanianku dalam menyatakan perasaan adalah pengaruh alkohol, tetapi aku benar-benar mencintainya. Dia harus tahu betapa kau mencintainya sampai ke seluruh relung jiwaku.
"Kau tak pernah tahu, Naruto. Aku mencintaimu sejak kau masih bukan siapa-siapa. Aku mencintaimu, dengan sepunuh hatiku. Kenapa kau tak pernah melihatku? Kenapa kau tak menyadari keberadaanku?!" Aku membenamkan wajahku yang basah dengan air mata ku sendiri di tanganku, tubuhku bergetar hebat. Gusar, rasa kesal, dan cemburu teramat sangat semuanya beradu satu. Menorehkan luka kedalam hatiku yang telah begitu rapuh ini.
Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan merengkuhku kedalam sebuah pelukan. Membelai rambutku perlahan. Ya Tuhan, pemuda ini benar-benar pintar mempermainkan perasaanku. Aku ingin memilikinya, aku ingin menjadikannya milikku seorang. Tetapi kenapa dia memilih orang lain?
"Hinata, aku senang kau mempunyai perasaan yang begitu besar terhadapku." Ujarnya lembut perlahan-lahan, seakan menginginkan setiap kata yang terucap olehnya tertanam jelas pada otakku. Tangisku semakin pecah kala itu, tak dapat kuhentikan. "Tetapi maaf, aku tak bisa membalas perasaanmu. Kau tahu, aku sudah mencintai wanita lain."
Kala itu juga niatku untuk membunuh istri pemuda ini memuncak, aku ingin menghilankannya dari muka bumi ini. Melenyapkan segala yang telah membuat pemuda ini mabuk kepayang akan dirinya. Tapi kala itu pula aku tersadar, yang seperti itu takkan pernah menyelesaikan masalah. Yang kuinginkan adalah cinta dari pemuda ini, bukan sebuah perwujudan dosa yang akan memuaskan segala nafsu amarahku.
"Kalau begitu, cium aku..." rajukku perlahan kepada pemuda ini putus asa. Mataku sudah lelah menangis, hingga tak ada lagi air yang keluar dari sana. "Satu ciuman dan kau sudah melenyapkan semua lukaku, kumohon..."
Naruto tertegun menatapku, dia menghela napas. Kemudian dikecupnya dahiku. Membuatku kontan tersentak. "Bukan di dahi! Yang kumaksud—"
"Hargailah dirimu sendiri, Hinata." Ujar Naruto tenang memotong ucapanku. Kurasakan panas menjalar dari wajahku hingga ke telinga. Ucapan itu bak tamparan yang begitu keras di wajahku. Hanya saja sakitnya sampai hingga ke dasar hati kecilku. "Kau pantas bahagia dengan orang yang mencintaimu. Tetapi mengertilah, bukan aku orangnya."
Naruto mengusap lenganku perlahan, kemudian meninggalkanku sendirian. Ketika kurasakan hanya tinggal aku sendirian di tengah koridor gereja itu, kakiku sudah tak sanggup menyangga berat tubuhku. Aku jatuh terduduk di lantai. Membiarkan gaun biru cantikku ini jatuh bersamaku, tak peduli bahwa kain satinnya akan kusut ataupun kotor. Wajahku telah basah kembali oleh tangisku sendiri, kerongkonganku semakin kering terasa. Rasa pusing dan mual tak terelakkan menyeruak dari tubuhku.
Sebuah tangan diulurkan kepadaku, tepat didepan wajahku yang menunduk. Perlahan aku mengangkat wajahku, mencari tahu siapa yang ada dihadapanku. Kali ini pemuda biru donker yang tadi kutemui, dengan setelan jas hitam dan dalaman putih merah. Jas itu terlihat lebih messy dari sebelumnya. Sepertinya dia juga sudah mengalami rasa sakit yang sama denganku—atau mungkin kejadian yang sama?
"Berdiri." Sahutnya singkat. Ragu, aku menatap uluran tangannya. "Kubantu, cepatlah berdiri."
Aku menerima uluran tangannya, kemudian bangkit. Tapi entah kenapa seluruh tubuhku seakan bergoyang ketika aku sudah berdiri seutuhnya. Kepalaku pening bukan main, menimbulkan rasa mual yang luar biasa pula. Tak kuat berdiri, akhirnya aku jatuh pada tubuh pemuda dihadapanku ini.
"Sasuke.."
"Hey, kau kenapa?!"
"Ho..HOEEEKK."
"ARGH! APA-APAAN...?!"
Aku sudah tak dapat mendengar apapun lagi. Seluruh pandanganku keburu berubah menjadi hitam.
saya janji ini cuma Two Shoot, janji. Lanjutannya sebenarnya udah jadi dan tinggal publish, tapi aku tunda dulu, biar banyak review nya. hehe. *PLAK!* *malah ngarep*
please RnR if you like it, baru saya update! thanksie!
