Setoples Selai Pisang Jeruk

Vocaloid

Warning : Vocaloid bukan punya saya, ide cerita copas dari pengalaman teman.

Segala keGaJean, OC, OOC, OOOC (what the hell is this? Ok, just a joke), keterbatasan pemilihan kata, penggunaan kalimat yang terkesan berulang, typo, abal, alur melewati batas kecepatan maksimal dalam penulisan cerita dan kecacatan lainnya adalah bentuk ketidak sempurnaan saya sebagai Author biasa.

Jika anda mengalami sakit kepala, perut mual muntah, meriang panas demam dan segala bentuk efek samping lainnya dari membaca fic ini, saya sarankan agar segera membeli obat di apotek terdekat sebelum terlambat.


.

.

.

"Hari libur yang panas seperti ini memang lebih nyaman di rumah sambil menonton televisi ditemani kipas angin." ujar gadis berambut teal dengan dua kuncir menghiasi masing-masing sisi kepalanya seraya menempatkan punggung agar bisa senyaman mungkin di sebuah sofa panjang di ruang keluarga. Wajahnya tampak ceria dan gembira menikmati sebuah acara memasak kesukaannya di televisi. Ya, maklum saja, karena hari-harinya yang lain selalu dipenuhi jadwal kegiatan yang padat di sekolah. Sehingga waktu luang seperti yang dirasakannya saat ini sudah jelas jarang ia nikmati.

Apalagi sejak kedatangan dua adik sepupunya, si kembar berambut pirang madu dengan iris biru kompak yang sudah hampir dua minggu menginap dan akan tinggal bersamanya selama mereka bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Kebebasan menjadi sesuatu yang langka dan semakin terbatas saja. Awalnya, mungkin terdengar menyenangkan jika saudara sepupu akan tinggal bersamamu, tapi lama-kelamaan…

"Miku Nee-chan!" terdengar teriakan panik sekaligus memanggil dari gadis lain di rumah itu. Karena sebelumnya hanya dia sendiri satu-satunya anak gadis di rumah ini, maka barusan adalah tak lain dan tak bukan, salah satu dari si kembar tadi. Si rambut teal pun melenguh pelan, lalu membalas teriakannya dengan menengok ke arah sumber suara yang ia rasa berasal dari dapur.

"Ada apa Rin?" tanyanya pada sosok gadis yang mengenakan shortpants hitam dan T-shirt kuning ─yang ia tahu bernama Rin─ begitu muncul dari dapur dan menghampirinya. Kedua tangannya terpasang sarung tangan dan sebuah piring berisi benda berwarna hitam berbalut kertas alumunium berada di sana ─masih mengepulkan asap tipis berbau menyengat. Cukup melirik benda itu sekilas saja, tanpa perlu dijelaskan lebih detail, ia pun tahu apa yang menyebabkan gadis ini sempat berteriak barusan.

"Mi-Miku Nee… makanan dari refrigator … hangus waktu aku panaskan di microwave." ratap Rin terbata-bata. Raut mukanya berkerut kecewa mendapati cemilan paginya kini telah berubah menjadi arang. Miku pun kembali melenguh. Ini sudah kesekian kali Rin melakukannya. Ia selalu lupa jika sedang menghangatkan makanan di dalam microwave. Entah karena keasyikan bercanda dengan saudara kembarnya atau karena hal lain. Untungnya, mesin elektronik tersebut tidak sampai terbakar.

"Kau itu Rin…" gerutu Miku mendesis. Guratan kecil bersilangan terlihat di sudut kepalanya. Jika ia tidak memiliki karakter yang sedikit diam dan penyabar, mungkin saja gadis di hadapannya akan berakhir dengan omelan yang meledak-ledak ─atau kurang lebih seperti itulah yang Rin bayangkan.

"Maaf," potong Rin cepat sambil membungkukkan badan sedikit begitu mendapati reaksi yang tidak ia inginkan dari orang yang akrab dia panggil Nee-chan. Dan ketika ia berlaku demikian, tanpa sengaja suara raungan tidak manusiawi yang sejak tadi ia tahan di dalam perutnya terlepas hingga bergaung cukup keras di telinga.

"Eh? Barusan…" Miku terkejut dan bergumam dengan alis terangkat sebelah. Sementara gadis pirang itu menelan ludah, melirik perutnya yang sedang berguncang menagih jatah.

"Aku lapar sekali." cengiran aneh terbentuk di bibir Rin begitu ia menatap balik Miku. Suasana sunyi tiba-tiba berlangsung sekitar lima belas detik di ruangan bercat coklat teduh itu. Membiarkan dua pasang bulatan manik saling bertatapan ─di mana azure cerah berkilat-kilat milik si rambut pirang digali dalam-dalam oleh warna emerald di hadapannya.

Akhirnya, Miku tidak tega juga setelah cukup menerima efek radiasi akibat paparan wajah polos Rin yang memelas tanpa dosa. Ia pun berdiri melepas diri dari suasana diam yang tak penting tersebut, sembari menyeret tubuh yang serasa menjerit karena tak rela meninggalkan sensasi keempukan spons di balik selimut sofa. "Baiklah, kalau begitu. Kau tunggu di sini, aku akan keluar belanja sebentar." ujarnya.

Rin yang sedikit bengong sekaligus lega, kembali menegakkan punggung dan menggerakkan kepala mengikuti Nee-Chan-nya ketika berjalan menaiki tangga meninggalkan ruang keluarga. Tidak lama kemudian, gadis berambut teal itu kembali turun dengan penampilan yang berbeda kecuali kuncir dua di kepalanya. "Jangan memanaskan apapun lagi di dalam microwave." pesannya pada Rin sebelum kembali melanjutkan langkah menuju pintu depan.

Sekilas, Miku bisa melihat adik sepupu perempuannya itu sedikit tersentak saat mendengar ucapannya, ekspresinya sama seperti seorang pekerja kantoran yang baru saja ditegur oleh atasan ─Alis bertaut mengerucut disertai kata 'Baik' yang diucapkan penuh gugup. Ya, memang sudah sewajarnya seperti itu bila kau sudah ke sekian kalinya hampir membuat rumah terbakar ─jika sampai microwave meledak─ dan sang pemilik rumah menguji perilaku mu dengan tetap bersikap tenang dan datar.

Sebal? tentu saja. Acara menonton televisinya menjadi terganggu dan dia harus keluar rumah di mana terik matahari begitu menyengat. Kejadian seperti inilah yang sering dialami Putri tunggal Hatsune itu di rumah. Selalu ada kekacauan yang terjadi karena kecerobohan si kembar. Dan sebagai saudara yang lebih tua, mau tidak mau Miku harus mengurus mereka ketika kedua orang tuanya sedang bepergian seperti saat ini.

x-0-x

Kurang lebih dua puluh menit berlalu, akhirnya pintu depan kembali terbuka setelah seorang penghuninya keluar meninggalkan kediamannya yang nyaman. Di baliknya, terlihat penghuni tersebut telah kembali pulang setelah berbelanja. Wajah yang sebelumnya tampak tidak bersemangat ketika harus berseteru dengan terik tak bersahabat, kini terlihat kembali tersenyum dengan segenggam cone es krim vanilla di tangan kanan. Di sebelahnya, berdiri seorang pemuda berambut biru cerah dengan syal senada yang menjadi ciri khasnya tengah membawa dua tas plastik besar. Keduanya tadi sempat bertemu di tengah jalan, itulah alasan mengapa sosok itu sekarang ada di sana.

"Apa tidak gerah memakai itu di cuaca yang panas seperti ini?" Tanya Miku merujuk pada kain tebal kesayangan pemuda itu yang mengalungi lehernya, sembari menggigit bulatan putih berasa manis di atas cone. Mereka berdua berjalan beriringan menuju dapur setelah Miku mengajaknya masuk untuk meletakkan barang belanjaan.

"Tidak. Warnanya kan biru, jadi tidak akan gerah. Sejuk malah." jawab pemuda tadi lalu tertawa, diiringi senyum tipis merekah di bibir merah jambu Miku yang masih terbenam di es krim ketika mendengar suara maskulin yang membuat hati gadis itu berdesir.

"Eh, terima kasih ya, Kaito kun. Maaf kalau aku jadi merepotkanmu," kata Miku "juga es krimnya." imbuhnya tersenyum manis.

"Oh, tidak apa-apa. Selain itu, tidak seharusnya seorang secantik Miku chan menenteng barang berat seperti ini." balasnya. Spontan membuat kedua daerah di bawah sepasang manik hijau tosca merona seperti tomat segar.

"Dasar, tukang gombal." sahut Miku sedikit risih, malu dan bercampur senang.

"Tapi kau suka kan?" lanjut Kaito menggoda sedangkan gadis yang ia goda membalasnya dengan juluran lidah. "Eh? Apa-apaan itu? dipuji kok malah julurin lidah begitu. Setidaknya ucapkan terima kasih atau ciuman lah. Aku kan sudah susah payah membawakan belanjaanmu." protes Kaito dalam tawa guraunya.

"Wee, tadi katanya ikhlas dan suka rela, kok sekarang minta upah?" gerutu Miku dibuat-buat.

"Bawain belanjaan memang suka rela. Tapi buat pujian tadi, tentu harus ada upahnya," kilah Kaito sedikit serius. "Ok lah, ciumannya bisa ditunda, tapi…" ia berhenti sejenak, memperhatikan Miku yang menoleh memandanginya bulat-bulat ─menunggu kata-kata apa yang akan muncul dari mulutnya setelah meletakkan dua tas plastik milik gadis itu di atas meja dapur.

Menghela napas sejenak, pemuda berambut biru itu pun melanjutkan. "apa susahnya ngomong?" ucapnya sambil memasang tingkah yang aneh di depan Miku ─tangan menengadah setinggi dada, siku terlipat menempel perut sedangkan mimik wajah ia buat mengkerut.

Miku pun tertawa geli melihat tingkah pemuda yang ia suka. Kaito memang lihai mengukir senyum di wajah porselinnya, itulah salah satu poin mengapa ia menyukainya. Kejenuhannya sehari-hari selalu bisa sedikit terobati ketika Kaito ada di sekitarnya.

"Baka. " gumam Miku pelan. Tubuhnya berguncang karena menahan tawa. Sementara Kaito kembali mengumbar senyum senang. "Oh ya. Aku dengar kamu sekarang ikut klub kendo, ya?" gadis berambut teal itu mulai membicarakan topik yang lain ketika tawanya berhasil ditaklukkan.

"Iya." jawab Kaito mantap. "kamu tahu kenapa?" imbuhnya dengan sebuah pertanyaan.

"Hmm?" Miku menggeleng pelan. Tangannya mulai sibuk menguras isi kedua tas plastik di atas meja.

"Biar aku bisa jadi Knaito (knight) buat Miku-chan, jadi tidak akan ada yang bisa macam-macam!" ucap pemuda itu penuh semangat, gadis berambut teal itu pun tertawa lirih sekali lagi. "Loh, kok malah tertawa?" sungut Kaito.

"Biar bisa 'Henshin', begitu?" ledek Miku.

"Henshin? Masa aku disamakan dengan pahlawan bertopeng idolanya Shin Chan." protes Kaito sambil menyilangkan kedua tangan di dada.

"Ha ha ha. Maaf Kaito kun, aku kan hanya bercanda." ujar Miku. "Eh, klub kendo bukannya punya jadwal kegiatan hari ini?" Miku sedikit terperanjat ketika mengatakannnya. Kedua matanya memandang heran pada Kaito yang masih berdiri santai di dapurnya. Sebagai bagian dari keorganisasian siswa, tidak mengejutkan jika dia hafal setiap kegiatan klub-klub di sekolah mereka.

"Ga-Gawat! Aku lupa!" ucap pemuda itu gelagapan begitu mendengar apa yang baru saja Miku bilang. Memandangi arloji di tangan kirinya, wajah Kaito pun seketika memucat dan dipenuhi rasa ngeri. "klubnya sudah dimulai lima belas menit lalu! Gakupo senpai akan mencingcangku dengan teknik Hiten mitsurugi-nya!" racau Kaito sambil menyebutkan sebuah teknik pedang karakter anime favorit senpai berambut ungu di klub kendo sekolahnya itu.

"Eh? Jadi Gakupo Senpai bukan cuma maniak cosplay?" Tanya Miku terkejut. Ia memang mengenal Senpai-nya tersebut. Satu-satunya anak laki-laki tingkat tiga dengan tubuh tinggi tegap, rambut ungu meriah, wajah seduktif dan rajin ikut ajang cosplay dengan pakaian ala samurai. Tapi kalau ia juga anggota klub kendo, itu benar-benar tidak terpikirkan.

"Maaf, ya, Miku-Chan! Aku ga bisa mencoba masakan barumu hari ini. Dah!" Kaito tidak menjawabnya dan segera kabur berpamitan. Bahkan sempat terpeleset dan hampir jatuh di koridor rumah. Suara gaduhnya di lantai kayu sampai memancing tawa kecil Miku. Benar-benar ceroboh. Jika bisa membuat Kaito hingga bereaksi sampai seperti itu, maka bisa dipastikan apa yang diucapkannya bukan main-main.

Akhirnya, Sekali lagi rumah kembali tampak sepi. Tanpa ayahnya, tanpa ibunya, tanpa Kaito dan tanpa Len juga Rin. Tunggu, Len dan Rin. Kira-kira apa yang dilakukan oleh si kembar? Miku kembali teringat pada dua adik sepupunya tersebut ─khususnya Rin yang beberapa menit lalu merengek karena lapar dan membuatnya harus rela keluar rumah.

'Biasanya mereka selalu terlihat berlalu lalang di dalam rumah, tapi hari ini benar-benar aneh. Sepanjang hari ini rasanya lebih lenggang dari dua minggu kemarin.' batin Miku. "Rin! Kamu lapar kan? Sini bantu Nee-chan masak, atau Nee-chan tidak akan memasakkanmu sampai nanti malam!" teriak Miku dengan bumbu ancaman. Tak ada jawaban. "Rin! Rin?" gadis itu kembali memanggil adik sepupu perempuannya. Masih tidak ada satu pun suara membalas.

Penasaran, Miku mulai mencari kedua sosok berambut pirang itu. Jika ada Rin, pasti Len tak jauh darinya, begitu juga sebaliknya. Kamar mereka di lantai dua pun jadi rujukan pertama.

"Kyaaa! Len, sakit!" terdengar suara jerit kesakitan ketika Miku baru menginjakkan kaki di anak tangga pertama. Itu suara Rin, tetapi menyebut Len dan berkata sakit? Mengapa ia kesakitan? apa mereka tengah bertengkar? Miku berpikir menduga-duga. Ia pun melanjutkan langkah kakinya menaiki setiap anak tangga, dahinya berkernyit penasaran. Len adalah saudara kandung Rin yang sangat akrab padanya, apa yang membuat Len tega menyakitinya? Ah bukan, apa mungkin Len benar-benar menyakitinya?

"Len! Len! Sudah, Len! Hentikan, Len!" rintih Rin kembali terdengar, bahkan sekarang mulai terdengar ia sedang terisak-isak. Miku yang baru sampai di tengah-tengah tangga, mulai mempercepat langkahnya sedikit.

"Gitu aja sakit." Sekarang ganti suara anak laki-laki didengarnya, dan itu tentu saja Len. Bisa-bisanya bocah itu berkata demikian setelah membuat Kakaknya menjerit kesakitan, rintihan Rin saja belum berhenti ketika Miku sudah berada di depan pintu kamarnya sendiri, dan itu membuatnya mulai geram.

"Kamu menekannya terlalu kuat!" Eh? Menekannya terlalu kuat? apa maksudnya? Langkah kaki si gadis berambut teal itu kembali melambat, bermacam-macam pikiran melintas di kepalanya ketika mendengar irama manja dalam deretan kalimat tersebut.

'Bukannya Rin menangis kesakitan? Seharusnya ia marah dan membentak Len dengan kasar, tidak berucap dengan nada memanja!' Merasa ada yang tidak beres, Miku pun menderap langkahnya ke ujung lorong lantai dua, tempat di mana kamar Len berada. Apalagi, dari tiga kamar termasuk kamarnya sendiri, hanya kamar Len yang terlihat tertutup. Pikiran-pikiran nista pun mulai merasuk ke dalam dirinya.

"Ya udah deh. Kamu di atas, aku di bawah." bagai tersambar petir di siang bolong, kata-kata yang merembes dari balik pintu kayu kamar Len barusan berhasil menghentikan Miku yang sudah terkontaminasi oleh berbagai dugaan-dugaan yang... yah, sesuatu berbau 'Dewasa', ─Membekukan genggaman tangan kanannya tepat ketika berhasil meraih knob pintu, sedangkan kedua bulatan emerald di wajahnya terbelalak lebar seperti mata ikan.

'Astaga… Rin… Len…' gumam Miku tak percaya seraya membungkam mulut menggunakan jemari tangan kirinya. Jantungnya berdegup tidak karuan. 'kalian memang boleh terlihat akrab dan saling menyentuh satu sama lain, tapi jika sudah sejauh ini…"

"Nggghhhnnn! Sedikit lagi Len!"

"Nggghhhnnn! Iya Rin!"

'Bodoh, apa yang ku lakukan!? Mengapa aku hanya diam saja!? Aku harus menghentikan mereka sebelum mereka menghancurkan masa depan mereka sendiri!' teriak Miku dalam hati. Ia pun secara kasar memutar knob pintu ─yang tidak disadarinya kalau itu tidak terkunci─ lalu menyeruak masuk tepat ketika lenguhan panjang terdengar ke udara lebih keras dari sebelumnya. Namun, apa yang didapatinya?

"Eh, Miku Nee-chan sudah pulang? Kebetulan, mau makan roti dengan kita?" sambut Len yang duduk berhadapan dengan Rin sembari menawarkan sebungkus roti tawar yang tergeletak di antara mereka. Sementara sebuah toples berukuran sedang, diapit oleh tangannya dan tangan Rin ─tangan mereka berdua yang lainnya menggenggam tutup toples, bertumpukan.

"Iya. Tadi ada roti tawar di lemari makan, terus di kulkas ada selai pisang-jeruk. Karena sangat lapar dan tutupnya lengket, aku minta tolong Len."

Len, anak laki-laki berambut pirang disampingnya, mengangguk setuju, "Jari-jari kami sampai sakit. Tutupnya benar-benar lengket sekali." ujarnya sambil menghela napas.

"Jari-jariku lebih sakit, kau meremasnya!" keluh Rin sambil memasang wajah cemberut. Len hanya nyengir melihat bibir membentuk angka tiga dijepit oleh pipi menggembung di depannya.

"Jadi… tadi itu…" Miku hanya terbengong di bingkai pintu. Matanya berkedip beberapa kali ─beralih dari si kembar yang menatapnya dan sebuah toples dengan isi berwarna kuning cerah yang menguarkan wangi pisang dan jeruk.

"Kenapa Nee-chan?" Len bertanya keheranan dengan tingkah Nee-chan-nya yang tiba-tiba masuk dan sekarang terbengong begitu saja.

"Ah, tidak apa-apa. Lupakan. Eh, Rin, kalau sudah selesai makan roti, bantu aku memasak untuk makan siang nanti." ucap Miku seraya berlalu pergi, wajahnya mulai memerah karena malu begitu ia membalikkan badan dari mereka.

'Ya ampun, Nee-chan macam apa aku ini, bisa-bisanya aku berpikiran kalau imouto dan otouto ku ini akan berbuat hal yang tidak senonoh.'

"Eh? Tumben."

"Sudah Rin. Turuti saja. Kamu kan yang tadi hangusin makanan di microwave." Len berkata dengan nada menyindir, Rin tersenyum kecut.

.

.

.


Demikian Fic pertama saya di fandom ini, terima kasih buat para reviewer yang menyempatkan diri untuk membaca (lebih-lebih review berguna, XD, [ngarep])