"Begini," ujar pemuda berambut nanas itu dengan perlahan, "sepertinya kau sudah salah paham terhadapku ya?"
Wanita berambut pirang yang dikuncir kuda itu masih terdiam sambil menyunggingkan senyum penuh tanda tanya.
"Aku ini sudah menikah. Bahkan punya tiga anak! Mendokuse!"
KISS ME WHILE YOU DRUNK
Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto
Fic for GIST – Gaara Ino Spring's Tale
"HUWAAAAA!"
Wanita berambut pirang itu hanya bisa menangis sambil menelungkupkan wajahnya di atas meja kantor tempatnya bekerja. Kedua teman satu divisinya yang baru datang hanya bisa melihat wanita itu dengan tatapan bertanya pada teman mereka yang lain, yang berambut coklat dan dicepol. Tenten –begitu nama wanita berambut coklat itu– hanya bisa tertawa getir sementara tangannya yang lain tengah mengelus punggung si wanita berambut pirang.
"Oke," ujar si wanita berambut merah muda sambil melipat tangannya di depan dada setelah ia meletakkan tasnya di kursi. "Jadi apa yang terjadi di sini, eh? Ino-Pig?"
Yang dipanggil 'Ino-Pig' –wanita berambut pirang dikuncir itu– langsung mengangkat kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang sudah kacau. Matanya bengkak dan pipinya yang basah karena air mata pun sedikit memerah.
"Diam kau, Forehead! Jangan coba cari gara-gara denganku saat ini!" bentak Ino sambil mengusap matanya.
"Hei! Aku cuma bertanya, tahu! Sama sekali tidak ada niat untuk mencari masalah denganmu!" sewot Sakura sambil mengerutkan alisnya.
"A-ano.. Ino-chan… ada apa?" tanya seorang wanita berambut indigo dengan tangan yang ia letakkan di depan mulutnya.
Ino menggigit bibir bawahnya. Air matanya yang semula hampir surut mendadak kembali membuncah deras. Sekali lagi, Ino menelungkupkan kepalanya di atas meja seraya menangis dalam suara keras.
"HUWAAA! Shika… Shika… dia…"
Tenten kembali mengelus-elus punggung Ino. Tapi begitu menghadapi pandangan kedua temannya yang menuntut jawaban, Tenten pun menghela napas pendek sebelum kemudian ia menggantikan Ino menjawab.
"Ternyata pria yang ditaksirnya itu sudah menikah. Dan Ino-chan salah paham karena selama ini pendekatannya tidak menuai reaksi negatif dari pria itu. Yah, tapi dibilang positif juga tidak sih. Kalian tahu kan?" jawab Tenten sambil sedikit menyeringai.
Bukannya ikut bersimpati, Sakura –si wanita berambut merah muda sebahu– langsung tertawa terbahak-bahak.
"S-Sakura-chan," ujar Hinata –wanita lain yang berambut indigo– berusaha menghentikan tawa Sakura.
Tapi Hinata terlambat. Ino keburu mengangkat kepalanya kembali dan mendelik galak ke arah Sakura. Sakura pun langsung mengubah tawanya menjadi sebuah senyum-sok-innocent.
"Tertawa sekali lagi, Forehead…" ujar Ino dengan nada yang mengancam.
Sakura hanya mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan Ino yang sudah tampak akan meledak.
"Maaf, maaf," ujar Sakura cepat. "Lagipula, kau sudah kuperingatkan kan? Sudah kubilang kalau aku pernah melihat Shikamaru-mu itu bersama wanita kuncir empat dengan tiga orang anak di dekatnya, tapi kau tidak mau percaya padaku. Salahmu sendiri!"
"Habisnya dia tidak pernah bilang apa-apa!" tukas Ino yang tidak terima disalahkan.
Bagaimanapun, saat itu, ia lebih percaya pada Shikamaru – pria yang merupakan mitra kerjanya dari kantor sebelah. Ia menyukai Shikamaru dan ia punya keyakinan kalau pria itu juga mempunyai perasaan yang sama dengannya. Pasalnya, seperti kata Tenten tadi, berbagai pendekatan dan godaan yang dilancarkan Ino pada pria itu tidak mendapatkan penolakan secara langsung. Bukankah wajar kalau Ino jadi salah paham padanya?
"Heh? Untuk apa dia bilang-bilang padamu kalau tidak ada kepentingan apapun?" ujar Sakura sambil menyibakkan rambut merah mudanya. "Lagipula, mungkin dia tidak mengira kalau kau benar-benar menyukainya?"
"Yang benar saja! Padahal aku sudah menunjukkan dengan jelas perasaanku padanya! Masa dia tidak menyadarinya sama sekali?"
Sakura mengangkat bahunya dengan malas. "Kita sama-sama tahu seperti apa pria bernama Shikamaru itu! Dari awal pun kau sendiri yang bilang kan? Dia itu…"
"Pria yang cuek dan pemalas!" potong Ino cepat sambil menempelkan telapak tangannya di dahi. "Ya, Aku tahu, Sakura. Tapi tetap saja…"
Sekali ini, Ino memang sudah terlihat lebih tenang. Tapi air matanya masih saja mengalir. Tenten, Sakura, dan Hinata-pun akhirnya hanya bisa saling berpandangan dalam diam. Mendadak, Hinata yang sedari tadi terdiam teringat sesuatu.
"Uhm… Ino-chan," panggil Hinata pelan, "bersemangatlah. Malam ini kantor kita akan mengadakan hanami lho?"
Ino menoleh ke arah Hinata. Pikirannya berusaha mencerna kata-kata Hinata barusan.
Hanami? Melihat bunga Sakura yang sedang bermekaran? Oke, hilangkan saja bagian 'bersama kantor', tidak terlalu penting. Yang penting… hanami!
"Nah! Benar juga!" ujar Tenten sambil membunyikan jarinya. "Di hanami malam ini, kita akan bersenang-senang! Aku akan membawa sake mahal yang kudapatkan sebagai oleh-oleh waktu Tou-san keluar kota!"
Mendadak, sinar kehidupan di mata Ino kembali bercahaya.
"Yah, kalau begitu aku akan membawakan wine yang dibelikan pacarku saat dia keluar negeri," tambah Sakura sambil menyeringai.
Karena perkataannya barusan, Sakura pun sukses mendapat death-glare dari Tenten untuk dua alasan. Pertama, karena Tenten merasa Sakura seolah ingin menantangnya dengan menunjukkan bahwa wanita berambut pink itu memiliki minuman beralkohol yang lebih baik darinya. Dan kedua, karena wanita berambut pink itu seolah hendak meningkatkan emosi Ino kembali dengan sengaja menyebutkan kata 'pacar'. Hei? Bagaimanapun yang membuat Ino kalut adalah permasalahannya dengan laki-laki kan?
Untungnya, Ino sudah tidak terlalu mendengarkan perkataan Sakura. Kata 'hanami' dan 'sake' benar-benar sudah menulikan pendengarannya. Sebuah senyum penuh harapan kini mengembang di wajah oval sempurna milik penyandang nama Yamanaka tersebut.
"Malam ini kita akan bersenang-senang, eh?" ujar Ino dengan suara yang sengaja direndahkan. "Bagus! Pokoknya kalian harus bisa membuatku melupakan Shikamaru malam ini!"
o-o-o-o-o
"Aku sudah bilang begitu," ujar Ino sambil memejamkan matanya dengan sebuah gelas kertas terpegang di tangan kanannya. Sebuah urat kemarahan tampak menyembul di pelipisnya. Lalu, begitu ia membuka kembali matanya, gelas kertas yang berisi cairan beralkohol itu langsung diremukkannya hingga isinya meluap keluar.
"TAPI KENAPA SI RAMBUT NANAS ITU JUGA ADA DI SINI? UMPH!"
Sakura yang ada di sebelah Ino langsung berinisatif menutup mulut wanita berisik berambut pirang tersebut. Tentu saja, ia tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan Ino mengucapkan kata-kata yang dapat menuai kekacauan di saat semua orang sedang bersenang-senang dalam pesta hanami ini. Lalu, sambil menunduk-nunduk dan tersenyum getir, Sakura pun langsung meminta maaf atas keributan yang baru saja dibuat Ino.
"Wah, wah! Ternyata kantor sebelah juga sedang mengadakan hanami ya?" ujar Tenten sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.
"M-maaf! Aku tidak tahu…" ujar Hinata sambil menunduk berkali-kali.
"Sudah, sudah, Hina-chan," sela Sakura yang masih membekap mulut Ino. "Ini bukan salahmu kok."
"Tapi…" ujar Hinata yang masih merasa bersalah karena ia-lah yang mengingatkan Ino akan rencana kantornya untuk ber-hanami malam ini.
"Sudahlah! Kita akan bersenang-senang kan?" geram Sakura yang langsung mengambil sake di hadapannya. "Dan kau, Ino! Minum saja lagi! Tidak usah pedulikan cowok bodoh itu!" Sakura pun langsung menuangkan sake di gelas baru dan menyodorkannya pada Ino yang langsung menenggaknya dalam sekali tegukan.
"Lagi!" perintah Ino agar Sakura kembali mengisi gelasnya.
Sakura hanya menghela napas sebelum ia mengisikan kembali gelas Ino. Sakura kemudian melirik ke arah Tenten yang baru menempelkan ujung gelasnya ke bibir. Selanjutnya, mata emerald Sakura pun meneliti sosok Hinata yang tengah mengamati sosok pria berambut pirang –teman satu kantor mereka, yang duduk di tikar yang tidak jauh dari mereka. Setelahnya, wanita dengan warna rambut yang senada dengan warna bunga khas negeri matahari terbit itu pun melihat ke sekelilingnya yang dipenuhi lautan pekerja dari kantornya dan kantor sebelah. Semua tampak bersenang-senang di bawah naungan pohon Sakura yang sedang berkembang dengan indahnya.
Bagaimanapun, ini adalah musim semi. Apalagi kesenangan yang bisa diharapkan melebihi makan dan bersenda gurau bersama teman-teman sembari mengagumi keindahan bunga Sakura? Dan kesenangan itulah yang sebenarnya diharapkan Sakura dengan mengikuti acara rutin kantornya ini. Tapi sepertinya, kesenangan Sakura harus sedikit hilang karena ia malah harus menenangkan –ditambah melayani– salah satu sahabatnya yang sedang patah hati. Seolah belum cukup, Sakura pun dengan dipaksa untuk mendengarkan ocehan sahabatnya itu mengenai pria yang membuatnya patah hati. Sesekali, Sakura bahkan harus membekap mulut sang sahabat agar pria yang tengah dibicarakan –yang sialnya juga ikut ber-hanami dengan kantornya– tidak sampai mendengar apapun yang keluar dari mulut wanita berambut pirang pucat tersebut.
"Dan kau tahu, Sakura-cha~n!" ujar Ino yang sudah agak mabuk tapi masih saja menyodorkan gelasnya untuk kembali diisi oleh Sakura. "Semua cowok itu emang brengseeekkk! Hik!"
"Ah! Kau selalu mengatakan itu tiap kali kau patah hati, tahu?" jawab Sakura yang akhirnya memegang sebuah gelas berisi sake untuk dirinya sendiri.
"Tapi, tapi… kali ini…"
"Tunggu saja sampai kau dapat cowok baru yang bisa kau mangsa!" ujar Sakura dengan wajah yang mulai memerah. "Dan kau pasti akan berkata, 'Sakura, cowok itu memang luar biasa, ya?'. Taruhan!"
"Ukh!" Ino kemudian menuang kembali sake ke dalam gelasnya. "Aku tidak yakin kalau aku bisa menemukan cowok yang luar biasa lagi…"
"Kalau cowok itu gimana?" timpal Tenten yang sama sekali belum mabuk.
Sakura dan Ino pun langsung mengalihkan perhatiannya ke satu arah yang ditunjuk Tenten. Di sana tengah berdiri seorang pria berambut merah yang mengenakan kemeja dengan lengan yang digulung sampai batas siku dan sebuah celana kain panjang berwarna coklat. Pria itu kemudian tampak terburu-buru pergi dengan handphone tertempel di telinganya. Pastilah pria itu mencari tempat yang sepi untuk dapat menjawab panggilan telepon tersebut.
"Awwww! Kawaaaai~.. hik!" ujar Ino yang spontan saja langsung berdiri.
"E-eh? Ino-chan mau apa?"
Ino menatap Hinata dengan mata yang setengah terbuka. Sebuah seringai kemudian diperlihatkan oleh wanita blonde tersebut. Setelahnya, tanpa mengatakan apa-apa, Ino langsung berjalan ke arah dimana pria tadi tampak menghilang.
"T-tenten-chan… Pria tadi… Direktur kantor sebelah kan?" tanya Hinata lagi dengan nada horor dalam suaranya. "A-apa tidak sebaiknya kita hentikan Ino-chan?"
Tenten tampak cuek dan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Setelah mengeluarkanya, ia pun mengotak-atik benda yang ternyata sebuah… handycam!
"Nah, hal menarik baru akan dimulai nih!"
o-o-o-o-o
"Ya, Tou-san. Ha'i. Wakarimashita. Hn. Besok aku akan menyuruh Shikamaru ke tempatmu." Hening sejenak. "Jadi ini semua rencana Onee-san, eh?"
Pria itu tidak menampilkan ekspresi apapun ketika ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Setelah mendengar beberapa patah kalimat dari peneleponnya, pria itu pun menghela napas.
"Baik, baik. Terserah dia sajalah." Pria itu masih berwajah datar sebelum suara di seberang telepon itu memberitahukannya sesuatu. Seketika itu juga, matanya terbelalak dan ekspresi wajahnya cukup menggambarkan kalau ia kaget. Tapi selanjutnya, ia berhasil mengendalikan dirinya sebelum ia berkata dengan nada sedatar mungkin. "Tidak, aku tidak mau. Bawa saja mereka."
Sekali lagi, pria itu terdiam. Ia pun akhirnya memutar bola matanya dengan kesal. "Fine. Terserah."
Pria berambut merah dengan tato kanji 'ai' di dahi sebelah kiri-nya itu langsung mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Dengan wajah yang datar namun menyimpan sedikit kekesalan, pria itu siap kembali ke tempatnya. Mungkin sake akan bisa sedikit menenangkan pikirannya. Tapi belum juga ia kembali ke tempatnya, ia mendadak dikejutkan oleh seorang wanita berambut pirang, berwajah merah, yang tersenyum dengan aneh ke arahnya.
Pria itu pun mundur sedikit. Ia tahu kalau wanita di depannya ini mabuk. Dan ia juga tahu, betapa bahayanya seseorang yang sedang mabuk.
"Hei, hei… sepertinya kau sedang kesal ya, cowok imut?"
Imut? Seumur-umur pria itu tidak pernah dipanggil imut kecuali oleh ibunya dan kakak-kakaknya –yang tentu saja dengan tujuan untuk menggodanya. Selama ini, orang yang melihatnya akan berbisik-bisik di belakang dan membicarakan betapa mengerikan keberadaannya. Ditambah dengan tatapan tajam dan sifat yang memang jarang berbicara, tidak heran jika orang kerap kali salah paham terhadapnya.
Dan sekarang, seorang wanita tidak dikenalnya menyebutnya 'imut'. Entah ia harus senang atau merasa terhina? Tapi ia juga tidak lupa kalau wanita ini adalah orang mabuk dan orang mabuk suka berbicara apa saja tanpa dipikir terlebih dahulu.
Pria berambut merah –yang bernama Gaara itu– memutuskan untuk meninggalkan wanita itu begitu saja. Ia tidak perlu meladeninya dan memang ia tidak punya kewajiban untuk itu. Tapi lagi-lagi wanita itu menghentikan langkahnya dengan menggenggam pergelangan tangan Gaara.
"Jahatnya… aku diabaikan! Hik! Padahal aku cuma mau bercerita~…" ujar wanita itu lagi –Ino– dengan nada yang manja.
"Kau bisa bercerita pada temanmu, bukan denganku," jawab Gaara sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Ino. "Lagipula, kita tidak saling kenal. Sebaiknya kau lepaskan aku sekarang."
"Tidak mau!" ujar Ino keras kepala. Ia malah menarik Gaara yang memang sedang tanpa pertahanan dan kemudian memutar tubuh pria itu hingga punggungnya membentur pohon Sakura. "A-ku-ma-u-ka-u-yang-men-de-ngar-ce-ri-ta-ku," tambah Ino dengan intonasi suara yang terdengar seperti orang yang sedang mengeja.
Gaara berusaha menjauhkan wanita mabuk itu dari depannya.
"Kalau kau beralasan karena kita tidak saling kenal, hik, kita bisa mulai dari saling kenalan," tambah Ino lagi sambil memamerkan sebuah senyuman.
Oke. Harus Gaara akui kalau wanita di hadapannya ini memiliki wajah yang cantik.
"Namaku Ya-ma-na-ka I-no!" Ino pun mengeja namanya di dada Gaara dengan menggunakan jari telunjuknya yang ramping. "Kau?"
Pria itu pun menghela napas. Sekarang ikuti saja kemauan wanita ini dan begitu ada celah, ia akan segera melarikan diri.
"Gaara. Sabaku Gaara."
"Gaara? Gaara-chan?" tanya Ino yang kini meletakkan kedua tangannya ke sebelah kiri dan kanan tubuh Gaara, seolah ia berniat mengunci gerakan pria itu.
Gaara sendiri hanya menggelengkan kepalanya. Apa lagi sekarang? Sudah dibilang imut, sekarang dia dipanggil dengan embel-embel 'chan'? Mimpi apa dia semalam?
"Gaara-chaan! Kau tahu? Wajahmu itu imuuuut sekaliiii!" ujar Ino yang sengaja memanjang-manjangkan dua kata terakhir dalam kalimatnya.
"Ah, ya, ya, terima kasih," jawab Gaara malas-malasan. Kedua tangannya sudah memegang tangan Ino, berusaha menghilangkan penghalang yang diciptakan oleh Ino. "Yamanaka-san, aku harus segera kembali ke tempatku."
"Jahaaa~t! Gaara-chan tidak mau memanggilku dengan sebutan 'Ino'?"
Gaara menatap wanita di hadapannya dengan tatapan tajam. Wanita mabuk ini benar-benar menguji kesabarannya. Gaara bukan orang yang suka marah-marah karena marah hanya akan membuang energi percuma. Dan karenanya, ingatkan Gaara agar ia segera melarikan diri saat ia melihat orang yang sedang mabuk di kemudian hari.
"Baik, ehm, Ino," ujar Gaara setenang mungkin, "bisa kau sedikit menyingkir dariku? Aku harus kembali ke tempat teman-temanku…"
"Oh, oh," ujar Ino sambil mengangguk-angguk. Tapi cuma itu yang dia lakukan, menyingkir pun tidak. Ia kemudian tersenyum lagi pada Gaara yang membuat pria itu jadi merasa sedikit salah tingkah.
"Kalau Gaara-chan mau lewat," ujar Ino sambil menggerakkan tangannya. Telunjuknya kini sudah menunjuk bibirnya sendiri. "Cium aku dulu?"
"Hah?"
"Hihihi~.. malu-malu! Lucunyaaa!" ujar Ino yang langsung saja memeluk Gaara. Tentu saja Gaara berusaha melakukan apapun untuk melepaskan pelukan wanita tersebut. Tapi, menghentikan usaha Gaara, mendadak saja Ino menekan bibirnya sendiri ke bibir pria tersebut.
Gaara terkesiap sementara Ino semakin liar.
Ino terus memaksakan sebuah ciuman ke bibir Gaara. Bahkan tangannya setengah menekan kepala Gaara seolah ia ingin agar pria itu membalas ciumannya. Gaara menyerah, ia membiarkan wanita itu menciumnya dan ia pun membalas ciuman wanita itu sampai wanita itu puas dan kemudian mendorong dada Gaara untuk meminta jarak.
Gaara pun langsung mengelap bibirnya. "Sudah?" tanyanya datar.
Mendadak, dilihatnya pundak wanita di hadapannya tersebut bergetar. Tidak lama kemudian, wajahnya yang terangkat memperlihatkan air mata yang bersumber dari iris aquamarine-nya. Lalu, tanpa aba-aba sedikit pun, wanita itu mulai memukuli dada Gaara sambil berteriak.
"BAKA SHIKAMARU! BAKAAA!"
Gaara sedikit terkejut saat mendengar nama itu meluncur dari mulut Ino. Tapi ia tidak diberi waktu lama-lama untuk terkejut karena pukulan Ino yang bertubi-tubi mulai terasa menyakitkan. Gaara pun meringis saat pukulan Ino mengenai dadanya untuk ke sekian kalinya. Dengan cepat, ia akhirnya menghentikan pukulan itu dengan menahan pergelangan tangan Ino.
"DASAR COWOK BRENGSEEEKK!"
Gaara menghela napas mendengar teriakan wanita tersebut. Perlahan, tangan wanita itu terasa melemah dalam genggamannya. Gaara pun memilih untuk melepaskan tangan tersebut. Sebenarnya, ini adalah kesempatan yang ditunggunya sejak tadi. Ia bisa saja meninggalkan wanita yang mulai sesenggukan di depannya tersebut dan kemudian kembali ke tempat teman-temannya. Tapi sesuatu di dalam dirinya membuat ia tertahan di situ. Mengamati wanita itu menangis.
Hingga wanita itu pun roboh ke arahnya.
Dan menyebabkan ketiga orang melompat panik dari tempat persembunyiannya.
o-o-o-o-o
Perlahan, mata aquamarine itu terbuka. Mengerjab sesaat sebelum terbuka sepenuhnya. Mata itu masih terpaku pada langit-langit ruangan yang berada di atasnya sebelum pandangan tersebut beralih untuk menyapu sekitarnya.
Ruangan yang sederhana dengan furnitur yang juga sederhana. Ruangan yang didominasi oleh warna ungu dan pernak-pernik bunga beraneka rupa. Ruangan yang terasa familiar baginya.
Ah, ya!
Tentu saja familiar! Ini kamarnya sendiri!
Ino terbangun dari posisi berbaringnya sebelum ia memegangi dahinya.
"Ouch," gumamnya perlahan. Efek hangover yang ia rasakan sehabis mabuk kemarin mulai menderanya. Tidak terlalu parah memang. Dan tidak akan menghentikan niatnya untuk masuk ke kantor seperti biasa.
"Kantor… ng… jam berapa sekarang…?" Ino pun melirik ke jam beker yang terdiam begitu saja di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Seketika itu juga, Ino pun terlonjak dari kasurnya.
Secepat kilat, ia beranjak ke kamar mandi –yang memang ada di dalam kamarnya– dan mulai membenahi dirinya. Kepalanya sudah tidak terasa sesakit tadi. Dan ia yakin, sebentar lagi sakit di kepalanya akan benar-benar menghilang.
Sesudah siap dengan pakaian kerjanya, sebuah kemeja setengah lengan berwarna putih yang dilapisi rompi pendek berwarna biru, serta sebuah rok selutut berwarna senada dengan rompinya, Ino pun mulai merias dirinya secara asal. Diikatnya rambut pirangnya tinggi-tinggi dan dibiarkannya beberapa poni menjuntai di depan mata kanannya. Setelah merasa bahwa penampilannya sudah cukup sempurna, ia pun mengambil tasnya sebelum bergegas keluar. Setengah berlari, Ino langsung mendatangi ruang makan yang berada satu lantai dengan kamarnya.
"Ah? Sudah bangun, Hime? Ohayou!" sapa ayahnya yang tengah menyantap roti dengan telur dan sebuah kopi hitam sebagai sarapan paginya. Ino menghampiri ayahnya tersebut sambil tersenyum. Sebuah kecupan ringan pun mendarat di pipi pria paruh baya itu.
"Ohayou, Tou-san!" ujar Ino sambil meneguk segelas air putih. "Sore ja… ittekimasu!"
"Lho? Kau tidak sarapan dulu, Hime?" teriak ayahnya.
"Tidak sempat!"
Ayah Ino pun hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum sebelum ia kembali menikmati sarapan paginya.
o-o-o-o-o
Sepanjang perjalanan menuju kantornya, Ino hanya bisa memikirkan nasibnya kalau sampai ia datang terlambat. Ia bahkan tidak memikirkan sedikit pun soal acara hanami kemarin malam, apa saja yang terjadi di sana, dan siapa yang akhirnya membawanya pulang. Saat ini, kepalanya hanya dipenuhi oleh jalur pintas yang dapat membuatnya sampai di kantor dengan tepat waktu.
Kantor Ino memang sebuah kantor baru yang cukup memanjakan pegawainya. Seperti acara hanami kemarin, semua pegawainya bisa bebas ikut tanpa ditarik iuran sedikitpun. Tapi untuk urusan absensi dan kedatangan? Jangan ditanya! Ancaman potong gaji mungkin saja keluar sebagai hukumannya. Bagaimanapun, prinsip kantor Ino adalah 'orang yang tidak bisa disiplin, tidak mungkin bisa memajukan kantor'. Dan pemotongan gaji diharapkan dapat membuat orang yang sering datang terlambat jadi kapok. Kalau tidak kapok juga? Kantor tidak akan repot-repot. Ucapan selamat tinggal disertai pesangon yang terbilang kecil bisa langsung dinikmati.
Beruntung, ketakutan Ino akan keterlambatan itu tidak sampai terjadi. Bahkan, ia berhasil meraih ruang kerja divisinya beberapa menit sebelum waktu kerja dimulai. Dengan napas ngos-ngos-an, Ino pun mendatangi meja kerjanya dan langsung menjatuhkan dirinya di kursi yang tidak terlalu empuk. Ia menempelkan wajahnya di atas meja sebelum ia menyadari bahwa ketiga temannya tengah berkumpul sambil mengerubungi sesuatu. Dan yang semakin membuatnya penasaran adalah reaksi teman-temannya yang terbilang... mencurigakan?
Sakura yang sedang berdiri di sebelah Tenten tertawa terbahak-bahak. Tenten yang terduduk di kursinya tampak menyenggol Sakura namun ia sendiri juga tidak bisa berhenti tertawa. Hinata yang berdiri agak ke belakang dari posisi Tenten tampak pucat dan sebelah tangannya ia letakkan di depan mulutnya.
Ino mengerutkan alis. Setelah napasnya –yang semula tersengal karena ia baru saja berlari-lari untuk mengejar waktu agar tidak terlambat– kembali teratur, ia pun mendatangi ketiga temannya tersebut.
"Ada apa?" tanya Ino sambil sedikit membungkuk.
Seketika itu juga, Hinata tampak panik, Tenten sedikit terkejut, dan Sakura semakin mengembangkan senyumnya.
"Ne, mite!" Sakura kemudian mengambil alih handycam yang semula dipegang Tenten, memutar balik tayangan yang sudah mereka lihat sebelumnya dan kemudian menyodorkannya ke depan hidung Ino.
Ino menerima handycam tersebut dan kemudian melihat apa saja yang ditampilkan oleh layar kecil alat elektronik tersebut.
Awalnya Ino hanya bisa meringis kecil karena melihat dirinya yang tengah mabuk tersorot dalam handycam tersebut. Selanjutnya, ringisan itu menghilang dan digantikan ekspresi pucat yang diakhiri dengan sorot mata horor sekaligus menuntut penjelasan dari ketiga teman di hadapannya tersebut.
o-o-o-o-o
Sabaku Gaara –Direktur muda yang berhasil membawa perusahaanya menjadi salah satu perusahaan termaju di daerahnya– tengah terduduk di sebuah kursi empuk berwarna hitam dengan sandaran panjang yang melebihi batas kepalanya. Ia mengamati berkas-berkas di tangannya sebelum perhatiannya teralihkan pada 'sesuatu' yang tengah terdiam di atas sofa yang tidak jauh dari tempatnya duduk. 'Sesuatu' yang berjumlah tiga itu tampak bergelung nyaman di bawah selimut yang hangat.
Gaara menghela napas sebelum ia kembali membawa mata turquoise-nya pada berkas-berkas yang harus ia baca saat itu juga. Setelah selesai membaca suatu berkas, ia pun mengambil bolpoin yang ada di atas mejanya dan kemudian menandatangani berkas tersebut dengan baik sebelum dering interphone di mejanya mengejutkannya.
Gaara hanya bisa mengerutkan alis tipisnya –yang nyaris tidak terlihat– sembari menekan salah satu tombol di interphone tersebut.
"Ada apa?" ujar Gaara kemudian.
"Begini, Pak Direktur," jawab sebuah suara dari seberang interphone-nya, "ada seorang perempuan bernama Yamanaka Ino memaksa untuk bertemu Anda. Tapi dia belum membuat janji…"
Yamanaka Ino?
Gaara berusaha mengingat sejenak nama yang terasa tidak asing tersebut.
…
Ah! Tentu saja! Wanita mabuk yang semalam!
Mau apa lagi dia?
Gaara sudah hendak menyuruh sekretarisnya mengusir wanita itu saat tiba-tiba suara sekretarisnya itu berubah.
"Maaf, Sabaku-san. Saya harus berbicara dengan Anda. Saya mohon. Sepuluh menit, tidak… lima menit saja!"
Gaara melirik ke arah jam yang melilit di pergelangan tangan kirinya sebelum ia berkata.
"Baiklah. Silakan masuk."
Gaara pun mematikan sambungan melalui interphone-nya. Hanya berselang beberapa detik setelah itu, suara ketukan di pintu ruangannya mulai terdengar.
"Masuk," jawab Gaara singkat sambil merapikan berkas-berkasnya. Izin darinya tersebut membuat pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok gadis berambut pirang yang tampak…acak-acakan. Wajahnya terlihat kacau dan napasnya tersengal. Peluh pun terlihat membasahi wajah wanita tersebut. Namun, hal lain yang menarik perhatian Gaara adalah bungkusan cukup besar yang dipegang oleh wanita tersebut.
Gaara langsung berdiri dari kursinya.
"Jadi? Ada perlu apa, Yamanaka-san?"
Ino seketika itu juga terkesiap. Sosok di hadapannya ini terlihat begitu mengerikan dengan aura penuh ancaman terlihat di sekeliling tubuhnya. Bagaimana Ino bisa menganggap pria semacam ini sebagai pria yang imut? Ah, mabuk memang membuat penglihatannya memburuk!
"A-a-a…" jawab Ino yang mendadak tergagap. Keberanian yang biasa ia tunjukkan pun menguap begitu saja saat ia bertatapan dengan pria tersebut. Akhirnya, ia hanya bisa menundukkan kepalanya dengan cepat sembari menyodorkan bungkusan yang ia bawa dengan kedua tangannya. "GOMEN!" serunya cepat.
Gaara bukan tidak mengerti maksudnya, tapi pria itu sengaja memancing Ino untuk berkata lebih jauh. "Untuk?"
Ino perlahan mengangkat wajahnya. Semburat merah yang berbeda dengan warna merah yang kemarin dilihat Gaara kini sudah memenuhi wajah wanita tersebut. "Itu.. ano.. kemarin saya mabuk…"
Gaara tetap tenang di tempatnya dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.
"Dan saya sudah berbuat hal yang tidak sopan pada Sabaku-san… Karena itu… sebagai permintaan maaf…"
"Apa ini?" tanya Gaara, mengacu pada bungkusan yang dibawa oleh Ino.
"Ah? Ini… Ini wine mahal dengan kualitas buatan luar negeri," jawab Ino sambil melirik ke bungkusannya sebelum ia melirik ke arah Gaara dengan ragu-ragu. Sejujurnya, Ino sendiri bingung harus memberikan apa sebagai permintaan maaf. Dan karena menurut Sakura, Direktur Perusahaan itu sering mengundang orang untuk jamuan makan malam, maka wine bisa dikategorikan sebagai salah satu hadiah yang cukup baik jika ia ingin meminta maaf.
Gaara memandangi bungkusan tersebut sebelum ia memandang ke arah Ino. Wanita itu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lantai dengan tangan yang masih terjulur ke arah depan, menanti Gaara menerima permohonan maafnya tersebut. Tentu saja wanita itu merasa ketakutan setengah mati. Pertama, ia takut karena sosok Gaara itu sendiri. Kedua, ia takut kalau-kalau pria itu tidak menerima permohonan maafnya dan lebih memilih untuk melaporkan apa yang sudah Ino perbuat pada atasan Ino di kantor. Ino tidak bisa membayangkan kalau sampai ia dipecat karena hal bodoh yang sudah ia lakukan saat mabuk.
Gaara sendiri menangkap ketakutan Ino. Awalnya, Gaara ingin segera menerima hadiah tersebut dan segera menyuruh Ino pulang agar wanita itu bisa segera merasa lega. Tapi mendadak, sebuah ide merasuk ke dalam benak pria berambut merah tersebut. Tidak, ia tidak bisa membuat Ino segera pulang. Ada hal yang bisa dilakukan wanita itu sebagai permintaan maaf, jauh lebih baik dari sekedar memberikan wine.
"Begitu?" ujar Gaara yang akhirnya memecah keheningan. "Seberapa mahal wine yang kau bawa itu?"
"Eh? I..ini wine mahal kok! Aku bahkan membelinya dengan mengorbankan dua bulan uang gajiku.."
"Aku tidak peduli pada gajimu," jawab Gaara tenang, "yang kutanyakan, apa wine mahal itu sebanding dengan ciuman pertama yang telah kau rebut dariku?"
Seketika itu juga, Ino mematung.
"Ci-ciuman pertama?" ulang Ino seolah ia tidak percaya bahwa ada orang, yang kira-kira seumuran dengan dirinya, namun baru pernah merasakan ciuman pertama. "Anda berbohong kan?"
Gaara hanya mengangkat bahunya. "Aku tidak pernah pacaran sekalipun. Bahkan kau perempuan pertama yang berani mendekatiku begitu saja," jelas Gaara dengan tenang.
Ino semakin memucat. Apalagi setelah melihat ekspresi datar Gaara. Ino memang sedikit kebingungan karena baru kali ini ia bertemu seorang pria yang mempedulikan soal ciuman pertama. Tapi, kalau menurut Gaara ciuman pertama itu adalah suatu hal yang sangat berharga, maka Ino telah melakukan suatu kesalahan yang fatal bukan?
Ino pun kembali menundukkan kepalanya berulang kali. "Sungguh! Saya benar-benar minta maaf! Saya sama sekali tidak…"
"Sudahlah," ujar Gaara santai sambil menerima bungkusan dari Ino dan meletakkannya di atas meja kerjanya. "Lupakan saja soal itu. Kau boleh pergi sekarang…"
"Tapi… tapi… Aduh! Saya benar-benar minta maaf! Kalau ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk menebusnya…"
Ino tidak melihat, tapi saat itu Gaara menyeringai tipis.
"Kau mau melakukan apapun?"
"Ng? I-iya?" jawab Ino sambil mengerutkan dahinya.
Saat itulah, tiga makhluk yang semula terdiam dengan tenang di atas sofa mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Perhatian Ino pun teralihkan sesaat dari Gaara ke arah tiga… orang anak kecil berusia sekitar 5 tahun ke bawah.
"Ung? Gaala-chan?" panggil seorang anak perempuan berambut hitam dengan panjang sebahu. Anak itu kemudian turun dari sofa dan langsung berusaha menghampiri Gaara walaupun dengan jalan yang masih terpatah-patah. Gaara sendiri mendekat ke arahnya dan kemudian mengangkat anak perempuan tersebut.
Ino memandang takjub pada apa yang baru ia lihat. Apalagi, tidak lama kemudian kedua bocah lainnya yang berwajah sama satu lain semakin menunjukkan kehidupannya. Keduanya mengulet dalam gerakan yang nyaris sama dan menguap di saat yang hampir bersamaan pula. Dua bocah laki-laki itu kemudian mengerjabkan matanya dan memandang ke arah Ino.
"Ji-chan? Siapa dia?" tanya salah satu dari duo kembar itu sambil menunjuk ke arah Ino.
"Ah…" Gaara melihat ke arah Ino. "Dia pengasuh kalian sementara aku bekerja."
Kedua bocah lelaki berambut pirang itu pun saling berpandangan satu sama lain sebelum mereka turun dari sofa dan menyibakkan selimut yang mereka pakai tadi. Dengan langkah yang sudah lebih mantap, mereka pun setengah berlari ke arah Ino dan langsung memeluk kaki wanita tersebut. Ino sendiri masih mematung, tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi. Ia kemudian tersentak saat duo kembar itu berteriak.
"PENGASUH!"
"H-hah?" ujar Ino yang akhirnya dapat kembali bersuara.
"Begitulah," jawab Gaara sambil menyerahkan si anak perempuan berambut hitam ke dalam gendongan Ino yang masih belum sepenuhnya sadar. "Mohon bantuanmu, Yamanaka-san!"
"Se-ben-tar!" potong Ino sebelum Gaara duduk kembali di kursinya. Gaara pun melirik sekilas ke arah Ino. "Apa maksud Anda, Sabaku-san?"
Gaara menyipitkan matanya sambil membalikkan badannya kembali, menghadap ke arah Ino. "Kukira sudah cukup jelas? Kau jadi pengasuh sementara anak-anak itu. Jujur, aku tidak terbiasa dengan anak-anak."
"Ini… anak-anak Anda?"
Gaara memandang Ino dengan tatapan yang seolah hendak mengatakan 'hei-pacar-saja-aku-belum-punya-bagaimana-bisa-aku-punya-anak-?'. Tapi melihat Ino yang tampaknya masih membutuhkan jawaban, Gaara pun memutuskan untuk menggeleng pelan sebelum membahasakannya secara lisan, "Anak Nee-san-ku."
"Lalu Nee-san Anda…"
"Nee-san dan suaminya ada tugas ke luar kota untuk mengurusi permasalahan di perusahaan induk."
Ino yang kemudian sudah didorong-dorong oleh si kembar dan dipeluk sekuat tenaga oleh anak perempuan dalam gendongannya, mati-matian mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak terjatuh. Ia pun sedikit membujuk kedua anak kembar itu agar terdiam sebentar agar ia bisa berbicara dengan paman mereka.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan, Yamanaka-san?"
"Berapa lama orangtua mereka pergi?" tanya Ino sambil sedikit menghindar dari si kembar yang mulai berlari-larian dengan lincah. Ia juga akhirnya menurunkan si anak perempuan yang mendadak berontak dalam pelukannya. Anak perempuan itu kemudian bergabung dengan kakak-kakaknya dan berlari-larian dalam ruangan yang cukup besar milik Direktur Sabaku tersebut.
"Sekitar seminggu," jawab Gaara acuh tak acuh.
"Jadi saya harus menjadi pengasuh mereka di kantor Anda selama seminggu?"
Gaara tampak memandang ke arah langit-langit ruangannya sebelum ia berkata, "Bukan hanya di kantor Yamanaka-san. Aku juga mengharapkan bantuanmu untuk menjaga anak-anak ini selama di rumah."
"Sabaku-san!" ujar Ino yang entah sejak kapan sudah berhasil mengumpulkan keberaniannya kembali. "Saya tidak mungkin membolos dari kantor hanya untuk menjaga keponakan Anda kan? Dan lagi… kenapa sampai di rumah pun harus saya yang mengurusi mereka?"
Gaara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ino dalam diam. Meskipun demikian, hanya dari tatapan saja, Ino sudah mengerti bahwa pria ini tidak ingin dibantah. Tapi, kali ini Ino tidak akan gentar. Tidak mungkin ia akan merelakan hari-harinya hanya untuk merawat keponakan dari pria yang tidak dikenalnya. Tidak, walaupun itu adalah bentuk permohonan maafnya sekalipun.
"Kau sudah berkata akan melakukan apapun kan, Yamanaka-san?" tanya Gaara sambil beranjak ke tempat duduknya dan mulai menyibukkan diri dengan berkas-berkasnya.
"Y-yah…" Hanya sepersekian menit setelah Ino menunjukkan tekad bahwa ia tidak akan gentar, nyatanya wanita itu kini harus menelan ludahnya sendiri.
"Kalau begitu, lakukan saja yang kuperintahkan. Tidak perlu khawatir soal urusan kantor, aku akan memintakan izin langsung pada atasanmu."
Ino akhirnya hanya bisa menyentuh dahinya yang mulai terasa berdenyut. Ia pun melirik ke arah anak-anak lincah yang saat ini sedang bermain di atas meja. Duo kembar itu tampak saling mendorong sementara si kecil baru berusaha untuk memanjat meja yang tidak begitu tinggi. Melihat itu, Ino langsung melesat dan menangkap si kecil. Wanita itu pun segera mendudukkan si kecil ke sofa dan kemudian menurunkan si kembar dari atas meja.
"Itu bahaya, tahu! Jangan melakukannya lagi!" omel Ino pada ketiganya.
Ketiganya pun terdiam sebelum si kembar menerjang Ino hingga wanita itu terjatuh ke atas sofa di sebelah si anak perempuan. Anak perempuan itu sendiri kemudian berusaha memanjat ke atas pundak Ino. Ino menggerutu pelan sebelum ia mendorong si kembar agar menjauh darinya. Setelah itu, ia menurunkan si kecil dari pundaknya dan mendudukkan anak tersebut di sebelahnya.
"Heh."
Suara dengusan kecil itu membuat Ino menolehkan kepalanya ke arah pria berambut merah yang sedang memandang berkasnya.
"Kurasa aku tidak salah memilihmu, Yamanaka-san. Dan Shikamaru-pun mungkin akan merasa berterimakasih padamu."
Shi-ka-ma-ru?
"Dari mana Anda ta… ah!" Ino terdiam begitu ia bisa mengingat bahwa ia memang menyebutkan nama Shikamaru saat ia menyerang Gaara kemarin malam. Terima kasih pada rekaman Tenten yang membuatnya bisa tahu apa saja yang ia lakukan dan ucapkan kemarin malam. Tapi tunggu! "Apa hubungan Shikamaru dengan anak-anak ini? Kenapa dia akan berterimakasih padaku kalau aku menjadi… pengasuh…mereka…"
Sekelebat ingatan mulai merasuk ke dalam benak Ino.
"Sudah kubilang kalau aku pernah melihat Shikamaru-mu itu bersama wanita kuncir empat dengan tiga orang anak di dekatnya, tapi kau tidak mau percaya padaku."
Tiga orang anak…
Mata Ino meneliti si kembar berambut pirang yang bermata mengantuk itu. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada si kecil yang menyerah untuk memanjat pundaknya dan memilih untuk bermain-main di pangkuannya.
"Yah," jawab Gaara, "karena mereka anak-anaknya Shikamaru. Apalagi?"
Yang benar saja!
Lelucon apa lagi ini?
Pertama, Ino mengalami patah hati karena ternyata pria yang ditaksirnya sudah menikah dan mempunyai tiga orang anak.
Kedua, Ino menyerang seseorang kala ia mabuk dan ternyata orang tersebut adalah Direktur yang menjadi mitra kantor tempatnya bekerja.
Ketiga, Ino diminta Direktur tersebut untuk menjadi pengasuh bagi anak-anak dari… pria yang telah membuatnya patah hati.
Kami-sama!
Sebenarnya sampai kapan kesialan akan terus menghinggapi Ino?
***つづく***
A/N:
Yahahaha! Saya publish fic baru lagi. Sebenarnya ide buat cerita ini udah lama muncul, tapi baru kesampaian diketik sekarang-sekarang. Padahal GIST bentar lagi berakhir yah? Dan artinya saya memang harus ngebut buat bikin kelanjutannya DX. Ohiya, untuk bisa nyelesein fic ini tepat waktu, dengan amat terpaksa saya menunda pengerjaan fic FL dan GM. Maaf sebesar-besarnya buat yang udah nunggu kedua fic itu, terutama buat El-nee dan Ana-chan yang udah nagihin FL…XD
Terlepas soal itu, bagaimana menurut pendapat minna-san soal fic ini?
Please gimme your review, yes?
I'll be waiting.
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie
~Thanks for reading~
