Hakyeon's Wolf

LEON FANFICTION

.

.

.

Jung Taekwoon

Cha Hakyeon

.

.

.

.

.

.

.

Terjemahan, dengan ubahan.

Dengan judul asli "Jaynel's Wolf"

Chapter 1


Cha Hakyeon menatap dua patung singa tinggi yang membingkai pintu dan melepaskan nafasnya yang tertahan. Beberapa murid berlari turun dari tangga, terburu-buru masuk kelas atau kemanapun mereka akan pergi. Keberadaanya disini adalah keinginan ayahnya, laki-laki itu meninggal dan memberikan segalanya untuk Hakyeon, termasuk hidupnya. Walaupun dia tidak ingin berada disini, Hakyeon tak bisa menolak keinginan ayahnya. Tak bisa, walaupun membayangkan bersekolah dengan banyak orang asing sudah membuatnya merinding.

Sambil melihat bertambah kurangnya orang, Hakyeon menutup matanya sejenak untuk menghalau serangan panik yang melandanya. Sampai saat ini hanya ayahnya yang ada disampingnya, hingga dia tak pernah terbiasa berhubungan dengan banyak orang. Suara banyak orang yang bergerak dibelakangnya membuat sihir yang sudah mengalir disetiap urat nadinya berdenyut, siap meledak kapanpun dia berada didalam masalah.

Kegugupan menyerang seluruh tubuhnya bagai peluru saat dia menyadari cepat atau lambat dia akan menjadi salah satu dari mereka. Diusianya yang ke dua puluh lima, tentu saja dia terlihat paling tua diantara murid baru di Mayell Wizard Academy, tapi karena dari awal dia sudah terjebak dengan banyak pelatihan dari awal. Mungkin dia bisa mengambil ujian langsung dibeberapa kelas, dan lulus lebih cepat? Dia memikirkan hal itu hingga dia sadar harus menemukan kantor untuk mengurus administrasi dahulu.

"Apa kau tersasar?"

"Hmm," terjebak dipikirannya sendiri, dia tak menyadari seorang gadis mengajaknya bicara. Dia memiliki rambut coklat yang diombre hijau, mata coklat terang, dan aura keren terpancar darinya. Hakyeon menebak jika akademi penyihir memiliki cheerleaders.

"Apa kau tersasar?" tanyanya lagi. "Kau terlihat tidak yakin kemana kau akan pergi,"

Hakyeon tidak tahu kenapa dia peduli, mungkin dia suka membantu seoarng asing. "Aku mencari kantor kepala sekolah."

"Aku bisa membantumu, aku salah satu koordinator anak baru," dia menunjuk badge warna merah jambu didada sebelah kanannya yang Hakyeon tidak sadari, mungkin karena dia tidak mencoba menatap dadanya. "Sekolah menunjuk beberapa dari kami untuk membantu anak baru dihari pertama mereka. Namaku Hee Yeon, senang bertemu denganmu. Apa kau murid pindahan?"

Hakyeon menerima uluran tangannya, "Aku Hakyeon, tidak. Aku tidak pindah. Hanya mulai terlambat. Satu-satunya keluargaku sakit."

Hanya itu cerita yang kan diberitahukannya pada semua orang. Mereka tidak perlu tahu masa lalu tragis keluarganya.

"Oh," wajahnya tergambar rasa kasihan, tapi untungnya dia tidak berkomentar atau menanyakan hal lain. "Ikut aku. Aku akan membawamu menemui kepala sekolah Choi. Dia sangat hebat. Kau kan menyukainya. Dia adalah penyihir terkuat di generasinya."

Hakyeon tidak berkomentar pada kekuatan kepala sekolahnya. Lalu mengangguk dan berharap dia akan cocok dengannya. Dia tak ingin berdebat tentang kekuatan sihir. Cukup kekuatan tiga penyihir yang mengalir tak beraturan didarahnya.

Dia berharap kepala sekolahnya baik seperti yang dikatakan. Tutornya dulu sering mengunggulkan kepala sekolahnya, tapi ayah Hakyeon tak pernah bertmeu dengannya, jadi dia tak punya pilihan.

Mendengar celotehan Hee Yeon menenangkan kegugupannya. Dan dia berharap akan banyak orang lagi yang ditemuinya seperti dia—bersahabat, tapi tidak banyak tanya.

Hakyeon mengikuti Heeyeon disepanjang jalan batu menuju ke sebuah gedung yang sangat besar. Tiga macam patung hewan langka berjajar, berdiri diatas mutiara-mutiara besar dari keramik. Dua Gargoyle berdiri dengan lututnya menghadap satu sama lain, dua naga melingkari tiang, dan sepasang singa melindungi pintu masuk. Sebelum mendekati pintu, Hakyeon berhenti utnuk menatap sepasang singa itu lebih dekat. Bola mata mereka bersinar kebiru-biruannya, cahanyanya menangkap beberapa bayang-banyang didalamnya.

"Kenapa mereka bersinar?" tanya Hakyeon, menunjuk. Cahanya meredup sebelum Heeyeon menengok.

"Apa yang kau bicarakan?"

"Mata mereka, mereka bersinar." Hakyeon berkata dengan yakin.

"Kupikir hanya bayanganmu saja," Heeyeon menolak ucapan Hakyeon dengan gelengan kepalanya.

Mungkin hanya Hakyeon yang bisa melihatnya.

Bukan kali pertama.

"Lupakan," Hakyeon berusaha mengabaikannya. Dia tidak butuh untuk mencari perhatian tentang keistimewaan nya terlalu cepat. Setiap orang akan segera mengetahuinya ketika dia sudah bergabung dengan mereka.

Heeyeon nampak puas dengan penjelasannya karena dia mulai bicara lagi. Mereka berjalan menyusuri aula menuju ke sebuah pintu kayu mewah. Tulisan 'Kantor Kepala Sekolah' nampak tepahat jelas.

"Ini dia!" ucap Heeyeon.

"Terima kasih, kuhargai itu." Hakyeon tidak akan membayangkan berapa lama dia bisa menemukan kantor itu sendiri. 'Sense of direction' adalah satu hal yang ayahnya tak turunkan padanya.

"Sama-sama, sampai jumpa lagi!" dengan lambaian cepat, Heeyeon berlari. Mungkin untuk membantu idiot lain seperti Hakyeon.

Hakyeon menggelengkan kepalanya tepat saat dia membuka pintu. Yang lalu langsung membawanya ke ruang resepsionis dengan lantai keramik halus. Tercium sedikit pengap, seperti perpustakaan kuno, walaupun matanya tak menemukan buku.

Seoarang gnome duduk dibelakang meja kayu besar, membuatnya terlihat semakin kecil. Kulitnya yang keabu-abuan terbias cahaya matahari dari jendela. Hakyeon bisa langsung tahu bahwa dia perempuan dengan melihat sebuah anting yang tergantung di telinga peri sebelah kirinya. Sedangkan gnome laki-laki menggunakannya disebelah kiri.

Hakyeon mengangguk singkat sebelum berkata menggunakan bahasa gnome. "Aku punya janji dengan tuanmu."

Untuk pertama kalinya, dia menghargai waktu berjam-jamnya untuk mempelajari bahasa lain. Pada saat itu dia merasa itu tak berguna, karena mereka tidak punya gnome dirumah, dan dia merasa dibodohi mempelajari bahasa yang tak bisa digunakan untuk siapapun. Sekarang mungkin hal itu bisa digunakan.

Banyak orang tidak tahu gnome hanya bekerja untuk tuan mereka. Gnome dipaksa komunitas sihir untuk hidup didunia bawah jika tanpa pemilik karena jumlah mereka yang sangat banyak. Kemarahan mereka hanya bisa diatur oleh seseorang uyang memiliki ikatan dengan mereka, dikasus ini tuan mereka. Dan akan menjadi sesuatu yang sangat mulia jika mereka bisa memiliki tuan, dan Gnome yang memiliki pemilik lebih punya status dari pada mereka yang bebas.

Mata gnome itu bersinar saat melihat Hakyeon. "Salam. Kau pasti tuan Lee. Sesorang sudah mengajarimu dengan baik. Kau bicara menggunakan bahasa gnome dengan sangat indah. Aku akan mengatakan pada tuanku kau bisa melewatkan kelas bahasa gnome."

Satu kelas berkurang.

Hakyeon bersorak didalam hatinya, tapi untuk gnome itu, dia membungkuk dalam. "Bantuanmmu sangat kuhargai,"

Setiap kelas yang berhalis dilewatinya adalah caranya menghidari membuang-buang waktu. Walaupun Hakyeon tidak memiliki tujuan jelas dihidupnya, dia akan menghabiskan sisa hidupnya untuk belajar, dia sudah siap memulai hidup barunya.

Sebuah makhul kecil mendekat, lalu tersneyummenunjukkan gigi runcingnya. "Kau sangat diterima, teman gnome. Masuklah."

Dia pasti sudah menelepati, memberitahu kepala sekolah bahwa dia sudah hadir. Dia lupa mereka bisa melakukannya karena ikatan mereka.

Hakyeon tersenyum kepada resepsionis dan menuju ke pintu yang ditnjukkan gnome. Dia masuk tanpa mengetuk.

Seorang tinggi, kurus, dengan rambut panjang putih duduk dibelakang meja metal silver. Dia memberi Hakyeon anggukan setelah dia muncul.

"Selamat sore, master Cha. Sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu. Sekertarisku memberitahuku tentang kemampuan hebatmu dalam gnome."

Hakyeon baru sadar sepanjang percakapannya dengan gnome mungkin langsung didengar oleh kepala sekolah. Dia berharap lulus tes pertamanya. "Terima kasih kepala sekolah Choi. Dia sangat baik." Jelas, tapi bagus.

"Tentu," penyihir itu menatap Hakyeon dalam. "Dia tidak suka kebanyakan orang, jadi aku selalu tertarik jika dia bersinar didepan salah satu orang. Dia sudah bekerja lebih dari dua ratus tahun, dan aku bisa menghitung dangan satu tangan jumlah murid yang dia suka."

Hakyeon tersenyum, tapi tidak bicara. Ayahnya selalu mengajarkan untuk tidak menawarkan informasi secara terbuka.

"Sekarang duduklah, dan kita akan bicarakan tentang jadwalmu." Kepala sekolah menunjuk sebuah kursi yang ada diseberang mejanya.

Hakyeon menempatkan dirinya di tempat duduk kayu hitam itu, kegugupannya berputar didalam perutnya seperti tornado. Dia bisa melakukan ini. Tentunya sekolah tidak akan lebih menekannya dari pada privat tutor yang diterimanya selama ini. Beberapa tutornya sangat ambisius membuat Hakyeon menjadi penyihir paling kuat di era nya.

Kepala sekolah menarik beberapa kertas dimejanya lalu membaca sebuah mantra membuat sebuah stopmap mendekat padanya. "Ini dia."

Hakyeon menunggu dengan tidak sabar saat dia memeriksa datanya. Beberapa gumaman dan anggukan diikuti keryitan didahinya membuat Hakyeon merasa ingin terbang ke kembali rumahnya dan tak melakukan apapun. Setelah jeda beberapa saat, kepala sekolah bicara.

"Ku lihat kau sudah di latih secara pribadi sepanjang hidupmu jadi kami tidak punya catatan kemampuanmu. Kau harus bertemu dengan pengetes untuk tahu apa kekuatan terbesarmu. Aku yakin kau tidak akan mengalami banyak masalah—karena kau punya pendidikan yang sangat bagus. Dan sepertinya sekertarisku sudah mengambil satu langkah didepanku seperti biasa dengan sudah mmenjadwalkan tesmu besok siang. Sekarang, kau bisa menata ruanganmu dan mulai membiasakan diri dengan kehidupan sekolah. Ada pertanyaan?"

Hakyeon menebak, kenapa dia harus datang ke kantor kepala sekolah sendiri untuk ini. Padahal dia yakin jadwalnya bisa dikirim lewat email. Namun ketika matanya bertemu dengan kepala sekolah, pertanyaanya berhenti ditenggorokan. Ekspresi dingin kepala sekolah memberitahunya segalanya. Dia ingin menebak potensi Hakyeon untuk memberontak.

"Aku tidak datang kesini untuk membuat masalah, sir,"

"Bagus. Kemudian kita memang harus baik-baik." Kepala sekolah mengangguk seakan mengambil sebuah kesepakatan. Dia berdiri dan membuat Hakyeon melonjak dari kursinya untuk menyambut uluran tangannya. Setelah hampir mencapai pintu, Hakyeon berbalik.

"Hanya punya satu pertanyaan, sir" keingintahuan selalu menjadi kelemahannya.

"Ya?" kepla sekolah mengangkat kepalanya dan menampakkan kerutan didahinya.

"Singa didepan, mengapa mata mereka bersinar?"

"Kau melihatnya, kah?" kepala sekolah memberinya senyum ramah. "Sistem keamanan,"

"Ah," lalu mengangguk. "Terima kasih,"

Dia pergi tanpa bertanya lagi. Hakyeon menerima sebuah file dari sekertaris, dan memberikan satu anggukan hormat untuk gnome itu. Dan menerima satu senyum sebagai balasan.

Beberapa langkah keluar dari pintu, Hakyeon berhenti sejenak untuk melihat file yang diterimanya. Dan peta selalu menjadi tantangan untuknya. Berharap, dia bisa menemukan dimana dia berada sebelum besok siang.

tbc.


Beri aku kekuatan, Reader-nim karena ini terjemahan lumayan banyak. Agar terus semangat nerjemahnya.

Review dan like sangat dihargai.

hehe.