Shift Malam
.
disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto.
AU. Tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini.
Uchiha Itachi dan Mitarashi Anko pertama kali bertemu di dapur sebuah kafe kecil di dekat alun-alun kota. Saat itu musim dingin, dan mereka bertemu ketika hujan salju sedang turun di luar.
Itachi hanya diberitahu bahwa pekerja part-time baru di kafe itu adalah seorang mahasiswa juga, sama sepertinya. Namun ia tak tahu kalau rekan kerja barunya adalah seorang gadis. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka berdua hampir seumuran.
Pak Teuchi, pemilik kafe itu, mengisyaratkan Anko yang tengah berdiri di ambang pintu dapur untuk masuk dan menghampiri Itachi. Setelahnya, ia berlalu ke depan, membiarkan mereka berdua saling memperkenalkan diri masing-masing.
Itachi, yang ekspresinya menampakkan tanda-tanda dari orang yang tak banyak bicara, menunggu Anko yang sedang berdiri di dekat pintu untuk mengucapkan sesuatu. Anko, yang menangkap isyarat itu, menghela napas pendek dan membuka pembicaraan dengan segera.
"Aku Anko, baru mulai bekerja disini. Oh, itu kan sudah jelas, ya," katanya santai, meskipun separuh kalimatnya hampir terdengar seperti ditujukan pada dirinya sendiri. "Kau?"
"Uchiha Itachi," pemuda itu membalas sembari memberi anggukan kecil. "Senang berkenalan denganmu, Anko-san."
Anko mendecakkan lidahnya. "Cih, tidak usah sok formal begitu," tukasnya seraya menyeringai kecil. "Oh ya, kita bekerja dari jam berapa sampai jam berapa?"
Itachi terdiam sebentar. "Jam tujuh sampai jam dua."
"Oh," Anko bersandar pada rak, menggaruk rambutnya yang tampak sedikit acak-acakan. "Yang shift malam hanya kita berdua saja?"
Itachi mengangguk.
"Wah," Anko terkekeh kecil, yang disambut rekan kerjanya dengan tatapan setengah bingung. "Sepi juga, ya? Tapi tidak masalah," gadis itu mengangkat bahu, lalu melempar senyuman lebar pada Itachi. Sang pemuda berambut hitam hanya menatap Anko lekat-lekat, lalu membalasnya dengan anggukan kecil. Setelahnya, ia menjelaskan peraturan yang ada pada Anko, lalu memberitahukan cara membuat minuman, menyajikan pesanan, dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk tugas shift malam di kafe itu.
Hari pertama bekerja di kafe itu, Anko hampir menyajikan pancake gosong pada pelanggan.
Itachi, yang segera menangkap hal itu di sela-sela mengaduk sop jagung yang sedang dibuatnya—buru-buru memanggil Anko dan mengisyaratkannya untuk bertukar tempat. Anko yang mengaduk sop, sementara pemuda itu akan membuat ulang pancake-nya. Anko, yang memandang bahwa membuat pancake sama saja dengan membuat telur ceplok, mendecakkan lidahnya dan segera menyetujui tawaran itu.
Di pesanan selanjutnya yang tiba, Anko salah memasukkan santan instan pada kopi, yang harusnya dibubuhi dengan krimer cair. Sisi baiknya, Itachi berhasil menyelamatkan hal itu di detik-detik terakhir.
Setengah jam setelahnya, Anko menjatuhkan gelas dari nampan yang sedang dibawanya dari meja pelanggan ke dapur. Beling berserakan di sela-sela sisa ampas kopi. Itachi, yang cepat tanggap seperti biasa, segera tiba di tempat kejadian dengan pengki dan sapu. Ia mengisyaratkan Anko untuk mengantar pesanan yang sudah disiapkannya ke meja pelanggan, sementara ia berkutat dengan tugas bersih-bersih.
Anko merasa jadi orang paling ceroboh sedunia.
Itachi, yang kini tengah memasukkan serpihan pecahan gelas ke kantung plastik, hanya melanjutkan tugasnya dengan tenang dan bersikap biasa saja sewaktu berpapasan dengan Anko di dapur. Anko sejenak terpikir untuk meminta maaf, tapi menahan dirinya. Kelihatannya pemuda itu baik-baik saja.
Atau mungkin ia punya tingkat kesabaran seluas lautan.
Sewaktu melihat rekan kerjanya yang sedang menanggapi seorang pelanggan yang protes es jeruknya rasanya asin; Anko menarik kesimpulan bahwa sepertinya Uchiha Itachi memang orang paling sabar—atau pasrah?—yang pernah ditemuinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, dan kafe itu sepi sepenuhnya.
Itachi mengisi waktu dengan menyelesaikan laporan penjualan hari itu, sementara Anko melihat-lihat varian kopi yang ada di rak dengan rasa ingin tahu—sekaligus membunuh kebosanan.
"Aku baru tahu kalau ada yang namanya avocado coffee," Anko bergumam pada dirinya sendiri. Itachi menaruh pulpennya sebentar untuk mengambil tip-ex yang ada di kaleng tempat alat tulis.
"Kopi susu dicampur esens alpukat," pemuda itu membalas seraya melirik Anko sebentar. pandangannya terfokus pada laporannya lagi.
Anko mengangkat alis. "Sudah tahu, kok."
"Aku hanya memberitahu."
"Oh," Anko membalas seraya tertawa pelan. "Santai saja, Uchiha," ia kembali melanjutkan kegiatannya membaca label-label di tempat kopi. Itachi tak mengatakan apa-apa lagi setelah itu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu ketika Itachi menaruh pulpennya, dan mendapati Anko tengah mengelap piring dengan mata terkantuk-kantuk. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu menghampiri gadis itu.
"Anko-san? Piringnya tidak usah dilap lagi," ia memberitahu gadis itu dengan suara pelan. Anko, yang segera tersadar dari kantuknya, menaruh piring yang sedang dipegangnya dan menggosok matanya keras-keras.
"Taka pa-apa, aku cuma iseng," balas Anko sekenanya. Ia menguap sebentar. "Kau tidak mengantuk, Uchiha?"
Itachi menggeleng.
"Mau kopi, Anko-san?" tawar pemuda itu. Anko terdiam sebentar, lalu mengangguk.
"Oke."
Anko, yang menyangka kalau tawaran itu berarti ia bebas membuat kopi sendiri, bingung sebentar begitu melihat Itachi menghampirinya lima menit kemudian, dengan dua gelas kopi susu di tangan. Ia tak menyangka bakal dibuatkan, padahal. Dengan senyum riang, Anko mengambil satu dan mengucapkan terima kasih.
"Dua jam lagi, ya," gadis itu bergumam setelah melirik jam. Ia mengambil sweater ungu miliknya yang digantungnya di dekat pintu, lalu memakainya. Itachi memandang keluar jendela yang menghadap ke jalan raya dalam diam, tanpa menunjukkan tanda-tanda akan membuka obrolan.
"Kau kuliah jurusan apa, Uchiha?" Anko memecah keheningan. Itachi mengangkat pandangannya dari gelas kopinya.
"Tata boga," balasnya singkat. "Anko-san?"
Yang ditanya menahan keinginan untuk batuk di gelas kopinya, lalu memandangi pemuda itu dengan mata membulat. "Hah? Tata…boga?"
Itachi, tenang seperti biasa, hanya memandangi Anko dengan kalem—lalu mengangguk.
"Oh…" Anko buru-buru menyesap kopinya, semburat geli muncul di matanya yang setengah berair. "Aku tidak menyangka, fufu."
Itachi tersenyum kecil, tampaknya tak mempermasalahkan respon rekan kerjanya tadi. "Anko-san jurusan apa?"
"Psikologi," balas gadis itu santai. "Kenapa kau memilih tata boga, Uchiha?"
Yang ditanya terdiam sebentar, sebelum kemudian menaruh gelas kopinya di meja. "Karena…" ia menjeda kalimatnya, mata hitamnya bergerak memandang langit-langit. "Karena aku ingin membuka toko kue," lanjutnya kalem.
Anko mengangkat alisnya, lalu mengangguk-angguk. "Hoo, begitu ya. Pasti kau jago masak, Uchiha."
Itachi menyesap kopinya buru-buru, lalu menatap Anko sekilas. "Hmm…tidak juga, Anko-san."
Gadis itu hanya tertawa, lalu mendecakkan lidahnya. "Jangan sok-sok merendah begitu, Uchiha," tukasnya santai. Itachi, yang mendadak tampak sedikit canggung, segera membuka lagi topik pembicaraan.
"Anko-san sendiri, kenapa memilih psikologi?"
Anko melempar pandangannya ke pemuda itu tajam—entah kenapa, sebelum kemudian menyesap kopinya perlahan. "Mengapa, ya? Menurutku sepertinya ini jurusan yang tak terlalu merepotkan," balasnya seraya tertawa samar. Namun sejurus kemudian, sorot matanya berubah membeku. Ia menatap Itachi sekilas dengan kilatan gelap yang tak bisa dibaca pemuda itu, sebelum kemudian melempar pandangannya ke jendela.
"Selain itu… ada orang yang ingin kubunuh." Gadis itu menyesap kopinya lagi, lalu meraih tempat susu bubuk di rak dan menambahkan dua sendok penuh ke dalamnya.
.
.
Bersambung.
